Tiga hari sudah Ainun pergi. Jelas ada yang aku rasakan sejak kepergian perempuan itu. Hening, suasana itulah yang mendominasi setiap sudut rumah. Hanya ada suara Bik Minah, asisten rumah tangga, yang terkadang bertanya tentang beberapa hal. Perempuan paruh baya yang bekerja sejak aku menikah dengan Ainun itu tampak sedikit kesulitan mengerjakan pekerjaannya sejak Ainun tidak ada. Banyak benda yang Bik Minah tidak tahu di mana letaknya hingga aku sedikit kesal dibuatnya. Memangnya apa saja kerjanya selama ini jika sedikit-sedikit bilang Ainun yang biasanya mengurus ini dan itu.
Kupandangi sekeliling rumah dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Rumah ini adalah hasil kerja kerasku. Awalnya aku mempersiapkan rumah ini untuk kutinggali bersama Reina selepas kami menikah. Tapi kemudian, aku justru menikah dengan Ainun dan tinggal di rumah ini bersama perempuan itu.Sejak awal pindah kesini, rasanya sudah seperti berada di neraka. Dadaku seringkali terasa sesak karena harus tinggal satu atap dan berbagi udara dengan sosok yang telah menjungkir-balikkan hidupku. Setiap kali aku memandang Ainun, hanya ada rasa sakit dan kebencian di hatiku untuknya. Aku bahkan harus menahan diri sekuat tenaga agar tak mengucapkan kata-kata makian pada perempuan itu. Mengabaikannya adalah caraku agar tidak berkata buruk padanya, meski aku tahu itu juga termasuk dalam perlakuan buruk."Sarapannya sudah siap, Pak." Bik Minah memberitahu sesaat setelah aku turun lantai atas tempat kamarku berada. Seperti biasa, pagi ini aku telah berpenampilan rapi, siap untuk pergi bekerja.Sebenarnya aku malas sarapan di rumah. Entah kenapa, menu sarapan tiga hari ini tidak sesuai dengan lidahku. Tapi pekerjaan Bik Minah menyiapkan sarapan pagi ini akan sia-sia jika aku tak menyantapnya.Dengan langkah enggan, akhirnya aku berjalan menuju ruang makan yang terhubung dengan ruang keluarga. Tanpa bisa kucegah, kepalaku menoleh pada pintu kamar yang terletak di dekat ruang keluarga. Kamar yang ditempati oleh Ainun selama dia tinggal di rumah ini.Perempuan itu memang tak pernah makan satu meja denganku, entah itu saat sarapan, makan siang ataupun makan malam. Tapi biasanya kami akan berpapasan saat dia berjalan dari arah dapur menuju ke kamarnya, meski seringkali aku akan memandang kearah lain dan mengabaikannya."Silakan, Pak." Suara Bik Minah membuyarkan lamunanku.Aku mengangguk dan segera mendekati meja makan. Di sana sudah terhidang sepiring nasi goreng lengkap dengan acar, telur mata sapi dan lalapan, tak lupa segelas teh hangat sebagai minuman pendamping. Aku duduk dan menikmati menu sarapanku dalam diam. Dahiku sedikit mengerut saat satu suapan nasi goreng masuk ke dalam mulut. Seperti hari-hari sebelumnya, hari inipun terasa ada yang aneh dengan masakan Bik Minah."Bik Minah sehat?" tanyaku pada Bik Minah yang sedang mencuci peralatan dapur bekas dia memasak tadi."Ya, Pak?" Bik Minah menoleh dengan sedikit bingung. "Kalau Bik Minah sedang tidak enak badan, istirahat saja dulu sampai benar-benar sehat. Jangan dipaksakan bekerja," ujarku lagi."Saya sehat, Pak," jawab Bik Minah masih dengan raut bingung."Beberapa hari ini masakan Bik Minah rasanya berbeda dari yang biasanya. Saya kira Bik Minah sedang kurang enak badan, jadi tidak konsen saat memasak."Bik Minah mematikan kran air, lalu berbalik sepenuhnya menghadap ke arahku sembari sedikit menunduk."Maaf kalo masakan saya tidak sesuai dengan selera Bapak," ujarnya dengan nada menyesal."Bukan begitu. Selama ini saya tidak merasa bermasalah dengan masakan Bik Minah. Hanya saja, beberapa hari terakhir rasanya jadi berbeda. Mungkin Bik Minah butuh beristirahat selama beberapa hari."Bik Minah tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi terlihat ragu dan sedikit takut."Maaf, Pak. Sebenarnya yang memasak untuk Bapak selama ini bukan saya, tapi Bu Ainun. Bu Ainun minta sama saya supaya jangan bilang ke Bapak kalau Ibu yang masak," ujar Bik Minah kemudian dengan hati-hati.Seketika aku berhenti mengunyah dan mengangkat wajahku. Kulihat Bik Minah yang masih memasang ekspresi takut."Saya benar-benar minta maaf karena tidak bisa memasak seperti masakan Bu Ainun. Tolong jangan pecat saya, Pak," pinta Bik Minah dengan nada memelas.Aku menghela nafas panjang, lalu berusaha menelan nasi yang ada dalam mulutku dengan sedikit kesusahan. Nasi itu terasa seperti kerikil hingga membuat tenggorokanku terasa sangat sakit. Kuraih cangkir teh dan meneguk habis isinya. Kusudahi menyantap sarapan yang baru tiga suap masuk ke dalam mulutku."Saya sudah selesai. Tidak usah khawatir, saya tidak akan memecat Bik Minah. Silakan dibereskan meja makannya," ujarku sembari bangkit."Baik, Pak." Bik Minah bergegas melakukan apa yang kupinta tadi. Sedangkan aku berlalu dari meja makan untuk segera berangkat ke tempat kerja.Langkahku terhenti dengan sendirinya saat hendak melewati pintu kamar Ainun. Kupandangi pintu kamar itu selama beberapa saat. Aku pikir aku akan merasa senang saat dia sudah tak ada di rumah ini. Tapi sekarang apa yang kurasakan? Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Hatiku tiba-tiba terasa kosong dan hampa. Jauh lebih buruk daripada saat aku merasakan marah dan benci saat melihatnya.Kupikir jiwaku akan merasa bebas saat Ainun pergi dari kehidupanku. Tapi yang kurasakan justru perasaan rumit yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Dan perasaan itu jauh lebih menyiksaku. Tanpa aku sadari, aku melangkah mendekati pintu kamar Ainun dan membukanya perlahan. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadaku saat kuhirup aroma khas bayi dari dalam sana. Aku masuk dan perlahan duduk di pinggiran tempat tidur Ainun sembari mengamati sekeliling kamar. Netraku tertuju pada sepasang kaos kaki bayi yang tergeletak di ujung tempat tidur.Aku bangkit dan mengambil benda itu. "Farhan ...." Untuk pertama kalinya aku menyebut nama bayi yang dilahirkan Ainun. Nama yang diberikan Mama dan Papa untuk bayi yang mereka yakini sebagai cucu.Seperti ada yang meremas hatiku saat aku menyebutkan nama bayi itu. Bayi yang katanya sangat mirip denganku tapi tetap ku sangkal jika dia anakku. Mataku terasa panas dan seketika menumpahkan lelehan cairan hangat. Segera kuseka airmata yang tiba-tiba saja jatuh tak tertahankan. Kenapa aku menangis? Memangnya apa yang begitu membuatku bersedih hingga seorang lelaki seperti ku harus menangis? Tidak, semenjak menjadi seorang lelaki dewasa, aku tidak pernah sedikitpun menitikkan airmata, meski berada dalam keadaan paling menyedihkan sekalipun. Lalu kenapa sekarang aku begitu cengeng?Ainun, sebenarnya apa yang sudah kau lakukan padaku?Hari demi hari terlewati, dan Ainun benar-benar tak kembali. Aku menikmati kesendirianku tanpa berusaha untuk keluar dari rasa sepi.Beberapa kali tanpa sadar aku masuk ke kamar yang dulu ditempati Ainun. Biasanya hal itu kulakukan saat mataku tak kunjung terpejam, sedangkan malam semakin larut. Tak jarang aku justru tertidur di sana dan baru tersadar dengan hal konyol yang telah kulakukan saat pagi telah tiba. Entah apa yang mendasari ku melakukan hal itu. Rindukah aku pada Ainun? Aku langsung membuang jauh-jauh pertanyaan itu tanpa berniat mencari tahu kebenaran atas isi hatiku sendiri.Semakin hari, aku semakin tak banyak berbicara. Aku lebih suka diam dan menenggelamkan diri ke dalam duniaku sendiri. Hampir seluruh waktuku kuhabiskan untuk bekerja. Secara bersamaan, beberapa rekan sesama pengacara berencana untuk mendirikan firma hukum dan mengajak ku untuk bergabung. Akupun setuju bergabung bersama mereka dan memulai perjuangan baru kami. Kesibukanku itu cukup membuat rasa kesepi
"Ini salah Mama. Harusnya Mama tidak terlalu banyak bicara sama Ainun. Harusnya Mama tidak mengatakan ini dan itu ... hiks ... hiks ...." Mama masih menangis terisak di sampingku.Aku melirik Mama sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Pagi ini terpaksa aku tidak pergi bekerja karena kedatangan Mama yang tak terduga. Mama tampak masih sangat emosional sejak datang ke rumah tadi, hingga akhirnya aku pun menuruti keinginan Mama untuk mencari Ainun, meski aku sendiri tidak tahu mesti mencari kemana. Tujuan pertamaku saat ini adalah mendatangi kediaman kedua orang tua Ainun untuk mencari tahu siapa saja teman yang akrab dengannya. Jika menemui teman-temannya, siapa tahu salah satu dari mereka ada yang punya informasi tentang Ainun.Memang tidak banyak yang kuketahui tentang Ainun, selain siapa kedua orang tuanya dan di mana mereka tinggal. Selama hidup satu atap, aku tak pernah mempedulikannya. Bahkan berbicara padanya pun hanya sesekali, itupun seringkali pembicaraan yang kurang mengenaka
Setelah tak mendapatkan informasi apa-apa dari ibunya Ainun, aku pun akhirnya mengajak Mama untuk kembali menemui pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Mungkin saja di sana aku bisa mendapatkan sedikit petunjuk.Dengan dipandu oleh Mama, aku melajukan mobil menuju tempat tersebut.Mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan sederhana, atau lebih tepatnya sebuah warung makan. Menurut Mama, itu adalah warung makan milik Bu Ratna, perempuan paruh baya yang juga pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Kami langsung turun dan masuk ke dalam warung makan tersebut."Maaf, Dek. Bu Ratnanya ada?" tanya Mama pada salah seorang pelayan warung makan tersebut.Pelayan tersebut terdiam sesaat. Mungkin dia agak bingung karena kami datang bukan untuk memesan makanan."Saya kenalan Bu Ratna, datang kemari karena ada perlu. Tadi pagi saya ke rumahnya, tapi beliau buru-buru karena mau ke warung katanya," ujar Mama lagi menambahkan."Oh ...." Pelayan warung itu mengangguk menger
Setelah puas mendengarkan cerita tentang Ainun dari Bu Ratna, aku dan Mama akhirnya pamit undur diri. Tak lupa kutinggalkan nomor kontakku pada Bu Ratna, agar beliau bisa segera memberitahuku jika seandainya Ainun menghubungi menggunakan nomor kontaknya yang baru.Bu Ratna ikut mengantar kami sampai ke dekat warung makannya, tempat mobilku terparkir. Karena hari sudah mulai siang, kuputuskan untuk mengantarkan Mama pulang dulu karena aku juga masih harus pergi ke kantor. Setelah itu, baru aku pikirkan lagi caranya untuk menemukan keberadaan Ainun."Jalan kemana lagi kita?" tanya Mama sambil menoleh kearahku."Aku antar Mama pulang dulu, setelah itu aku mau ke kantor," jawabku sambil fokus menyetir."Istri dan anakmu menghilang, bisa-bisanya kamu masih memikirkan pekerjaan? Ternyata selain tidak punya otak, kamu juga tidak punya hati, ya?" Mama melotot ke arahku dengan nafas yang agak memburu.Aku membuang nafas kasar. Sejak Ainun pergi malam itu, Mama terus saja mengucapkan kata-kata
Aku terdiam mendengar kata-kata Papa. Meski ingin kembali ingin menyangkal, tapi jauh di dasar hatiku, aku membenarkan semua itu. Aku curiga jika Farhan bukan anakku, tapi tak melakukan apapun untuk mencari kebenarannya. Yang kulakukan hanyalah terus bersikap buruk pada Ainun untuk membuat perempuan itu ikut merasakan penderitaan yang aku rasakan. Bagaimana pun, dialah yang telah membuatku harus kehilangan gadis yang sangat kucintai. Itulah yang ada dalam benakku selama ini.Benar kata Papa, aku benar-benar pengecut. Aku takut jika sebenarnya Ainun tak pernah menipuku dan aku menjadi satu-satunya orang jahat di sini. Aku takut mendapati kenyataan jika aku sungguh telah mengkhianati Reina dengan menghamili Ainun."Sudahlah, Pa." Terdengar Mama kembali menenangkan Papa. Terlihat Papa menghela nafas panjang, berusaha meredam amarahnya. Wajah Papa masih terlihat mengeras, tapi tak semurka sebelumnya."Apa menurutmu cuma kamu saja yang rugi saat menikahi Ainun, Arkan? Kamu tidak berpikir ji
POV AINUNSetiap pagi, inilah rutinitas yang selalu aku lakukan. Bangun subuh, kemudian langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang akan disantap seluruh penghuni rumah, tentunya setelah aku menunaikan sholat subuh.Kuletakkan sebakul penuh nasi goreng yang kumasak barusan ke atas meja makan, lalu membungkus jatahku dengan menggunakan koran bekas yang dialasi dengan daun pisang. Kumasukkan nasi goreng yang menjadi bekalku hari ini ke dalam tas kerja. Kemudian bergegas aku mandi sebelum kedua adikku mendahului. Sudah menjadi kebiasaanku merangkap sarapan pagi dan makan siang menjadi sekali makan. Bukan tanpa alasan, itu semua agar aku bisa menghemat pengeluaran.Ayahku hanyalah pekerja serabutan, dan ibu membantu dengan menjadi buruh cuci untuk beberapa tetangga yang ekonominya jauh lebih baik. Penghasilan orang tuaku itu kadang hanya cukup untuk membiayai sekolah kedua adikku, hingga untuk makan sehari-hari lebih sering aku yang menanggungnya dari gajiku sebagai petugas kebe
POV AINUN"Lagi makan siang, ya?" tanya Pak Arkan saat kami-para petugas kebersihan-sedang makan siang di pantry kantor."Iya, Pak. Bapak perlu sesuatu?" Nafis balik bertanya."Tidak, kok. Tadi waktu pulang meeting dengan klien, kebetulan beli ini. Dimakan sama-sama, ya. Jangan lupa kasih security di depan juga." Pak Arkan meletakkan dua kotak makanan berukuran besar di meja pantry, kemudian berlalu begitu saja."Terima kasih, Pak." Nafis masih sempat mengucapkan terimakasih, diikuti oleh rekan kerjaku yang lain. Pak Arkan hanya menanggapi dengan sedikit melambaikan tangannya sambil terus melangkah meninggalkan pantry. Saat Pak Arkan benar-benar sudah tak terlihat, rekan-rekan kerjaku berhamburan mengerubuti kotak makanan pemberian Pak Arkan tadi."Widih ... ayam goreng krispi, masih hangat lagi," ujar Nafis dengan bersemangat."Tahu banget Pak Arkan kalau aku makan siang cuma sama sambal tempe doang." Bang Ramli terkekeh sambil mencomot sepotong ayam goreng krispi pemberian Pak Arka
POV AINUNSetelah hari di mana aku secara tak sengaja membantu ibunya Pak Arkan, tanpa sadar aku menjadi sering memperhatikan Pak Arkan di kantor. Setiap hal baik yang beliau lakukan membuatku merasa miris. Jika memang tunangan Pak Arkan seperti yang ibunya katakan tempo hari, alangkah tak adilnya hidup ini untuk Pak Arkan. Bagaimana mungkin lelaki sebaik beliau mendapatkan perempuan yang tak setia dan tak menghormati orang tuanya.Bukankah katanya lelaki yang baik diperuntukkan bagi perempuan yang baik pula? Ah, beberapa kali kugelengkan kepalaku dan berusaha membuang pikiran tentang Pak Arkan. Kenapa juga aku harus mengurusi kehidupan orang lain. Pak Arkan mau menikah dengan perempuan seperti apa, itu bukan urusanku. Toh, kami juga tidak terlalu mengenal satu sama lain, bukan teman atau pun saudara. Hanya kebetulan aku mengaguminya karena kepribadiannya yang menurutku begitu mengagumkan.Aku berusaha untuk tak peduli dan menjauhkan pikiranku dari hal-hal yang tak seharusnya aku pik