Share

Kosong

Author: Tiwie Sizo
last update Last Updated: 2023-10-31 07:46:25

Tiga hari sudah Ainun pergi. Jelas ada yang  aku rasakan sejak kepergian perempuan itu. Hening, suasana itulah yang mendominasi setiap sudut rumah. Hanya ada suara Bik Minah, asisten rumah tangga, yang terkadang bertanya tentang beberapa hal. Perempuan paruh baya yang bekerja sejak aku menikah dengan Ainun itu tampak sedikit kesulitan mengerjakan pekerjaannya sejak Ainun tidak ada. Banyak benda yang Bik Minah tidak tahu di mana letaknya hingga aku sedikit kesal dibuatnya. Memangnya apa saja kerjanya selama ini jika sedikit-sedikit bilang Ainun yang biasanya mengurus ini dan itu.

Kupandangi sekeliling rumah dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Rumah ini adalah hasil kerja kerasku. Awalnya aku mempersiapkan rumah ini untuk kutinggali bersama Reina selepas kami menikah. Tapi kemudian, aku justru menikah dengan Ainun dan tinggal di rumah ini bersama perempuan itu.

Sejak awal pindah kesini, rasanya sudah seperti berada di neraka. Dadaku seringkali terasa sesak karena harus tinggal satu atap dan berbagi udara dengan sosok yang telah menjungkir-balikkan hidupku. Setiap kali aku memandang Ainun, hanya ada rasa sakit dan kebencian di hatiku untuknya. Aku bahkan harus menahan diri sekuat tenaga agar tak mengucapkan kata-kata makian pada perempuan itu. Mengabaikannya adalah caraku agar tidak berkata buruk padanya, meski aku tahu itu juga termasuk dalam perlakuan buruk.

"Sarapannya sudah siap, Pak." Bik Minah memberitahu sesaat setelah aku turun lantai atas tempat kamarku berada. Seperti biasa, pagi ini aku telah berpenampilan rapi, siap untuk pergi bekerja.

Sebenarnya aku malas sarapan di rumah. Entah kenapa, menu sarapan tiga hari ini tidak sesuai dengan lidahku. Tapi pekerjaan Bik Minah menyiapkan sarapan pagi ini akan sia-sia jika aku tak menyantapnya.

Dengan langkah enggan, akhirnya aku berjalan menuju ruang makan yang terhubung dengan ruang keluarga. Tanpa bisa kucegah, kepalaku menoleh pada pintu kamar yang terletak di dekat ruang keluarga. Kamar yang ditempati oleh Ainun selama dia tinggal di rumah ini.

Perempuan itu memang tak pernah makan satu meja denganku, entah itu saat sarapan, makan siang ataupun makan malam. Tapi biasanya kami akan berpapasan saat dia berjalan dari arah dapur menuju ke kamarnya, meski seringkali aku akan memandang kearah lain dan mengabaikannya.

"Silakan, Pak." Suara Bik Minah membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk dan segera mendekati meja makan. Di sana sudah terhidang sepiring nasi goreng lengkap dengan acar, telur mata sapi dan lalapan, tak lupa segelas teh hangat sebagai minuman pendamping. 

Aku duduk dan menikmati menu sarapanku dalam diam. Dahiku sedikit mengerut saat satu suapan nasi goreng masuk ke dalam mulut. Seperti hari-hari sebelumnya, hari inipun terasa ada yang aneh dengan masakan Bik Minah.

"Bik Minah sehat?" tanyaku pada Bik Minah yang sedang mencuci peralatan dapur bekas dia memasak tadi.

"Ya, Pak?" Bik Minah menoleh dengan sedikit bingung. 

"Kalau Bik Minah sedang tidak enak badan, istirahat saja dulu sampai benar-benar sehat. Jangan dipaksakan bekerja," ujarku lagi.

"Saya sehat, Pak," jawab Bik Minah masih dengan raut bingung.

"Beberapa hari ini masakan Bik Minah rasanya berbeda dari yang biasanya. Saya kira Bik Minah sedang kurang enak badan, jadi tidak konsen saat memasak."

Bik Minah mematikan kran air, lalu berbalik sepenuhnya menghadap ke arahku sembari sedikit menunduk.

"Maaf kalo masakan saya tidak sesuai dengan selera Bapak," ujarnya dengan nada menyesal.

"Bukan begitu. Selama ini saya tidak merasa bermasalah dengan masakan Bik Minah. Hanya saja, beberapa hari terakhir rasanya jadi berbeda. Mungkin Bik Minah butuh beristirahat selama beberapa hari."

Bik Minah tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi terlihat ragu dan sedikit takut.

"Maaf, Pak. Sebenarnya yang memasak untuk Bapak selama ini bukan saya, tapi Bu Ainun. Bu Ainun minta sama saya supaya jangan bilang ke Bapak kalau Ibu yang masak," ujar Bik Minah kemudian dengan hati-hati.

Seketika aku berhenti mengunyah dan mengangkat wajahku. Kulihat Bik Minah yang masih memasang ekspresi takut.

"Saya benar-benar minta maaf karena tidak bisa memasak seperti masakan Bu Ainun. Tolong jangan pecat saya, Pak," pinta Bik Minah dengan nada memelas.

Aku menghela nafas panjang, lalu berusaha menelan nasi yang ada dalam mulutku dengan sedikit kesusahan. Nasi itu terasa seperti kerikil hingga membuat tenggorokanku terasa sangat sakit. Kuraih cangkir teh dan meneguk habis isinya. Kusudahi menyantap sarapan yang baru tiga suap masuk ke dalam mulutku.

"Saya sudah selesai. Tidak usah khawatir, saya tidak akan memecat Bik Minah. Silakan dibereskan meja makannya," ujarku sembari bangkit.

"Baik, Pak." Bik Minah bergegas melakukan apa yang kupinta tadi. Sedangkan aku berlalu dari meja makan untuk segera berangkat ke tempat kerja.

Langkahku terhenti dengan sendirinya saat hendak melewati pintu kamar Ainun. Kupandangi pintu kamar itu selama beberapa saat. Aku pikir aku akan merasa senang saat dia sudah tak ada di rumah ini. Tapi sekarang apa yang kurasakan? Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Hatiku tiba-tiba terasa kosong dan hampa. Jauh lebih buruk daripada saat aku merasakan marah dan benci saat melihatnya.

Kupikir jiwaku akan merasa bebas saat Ainun pergi dari kehidupanku. Tapi yang kurasakan justru perasaan rumit yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Dan perasaan itu jauh lebih menyiksaku. 

Tanpa aku sadari, aku melangkah mendekati pintu kamar Ainun dan membukanya perlahan. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadaku saat kuhirup aroma khas bayi dari dalam sana. Aku masuk dan perlahan duduk di pinggiran tempat tidur Ainun sembari mengamati sekeliling kamar. Netraku tertuju pada sepasang kaos kaki bayi yang tergeletak di ujung tempat tidur.

Aku bangkit dan mengambil benda itu. 

"Farhan ...." Untuk pertama kalinya aku menyebut nama bayi yang dilahirkan Ainun. Nama yang diberikan Mama dan Papa untuk bayi yang mereka yakini sebagai cucu.

Seperti ada yang meremas hatiku saat aku menyebutkan nama bayi itu. Bayi yang katanya sangat mirip denganku tapi tetap ku sangkal jika dia anakku. Mataku terasa panas dan seketika menumpahkan lelehan cairan hangat. 

Segera kuseka airmata yang tiba-tiba saja jatuh tak tertahankan. Kenapa aku menangis? Memangnya apa yang begitu membuatku bersedih hingga seorang lelaki seperti ku harus menangis? Tidak, semenjak menjadi seorang lelaki dewasa, aku tidak pernah sedikitpun menitikkan airmata, meski berada dalam keadaan paling menyedihkan sekalipun. Lalu kenapa sekarang aku begitu cengeng?

Ainun, sebenarnya apa yang sudah kau lakukan padaku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Ingin Mas Kawin Apa?

    Mama menangis tersedu sambil memeluk Ainun erat. Ainun juga tampak terisak. Kedua perempuan berbeda generasi itu tampak saling melepaskan rindu sambil menumpahkan kesedihan masing-masing."Tega sekali kamu membawa Farhan meninggalkan Mama tanpa mengatakan apapun. Setiap hari Mama merindukan kalian. Setiap hari Mama mencemaskan keadaan kalian. Hampir mati rasanya Mama setiap kali membayangkan terjadi hal buruk pada kalian." Mama berucap dengan sangat emosional sembari mengurai pelukannya."Maafkan saya, Ma. Maaf ...," ujar Ainun serak di sela isakannya."Kemana saja kamu, Ainun? Kenapa baru sekarang kamu kembali. Mama sudah merasa putus asa karena kamu dan Farhan tak juga ditemukan.""Maaf, Ma. Saya tidak bermaksud membuat Mama menjadi seperti itu ...," lirih Ainun."Kamu tidak bermaksud, tapi nyatanya kami tega memisahkan Mama dari Farhan. Harusnya meskipun kamu ingin berpisah dari Arkan, kamu jangan memisahkan Mama dengan cucu Mama satu-satunya."Ainun menundukkan wajahnya dengan pen

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Kejutan untuk Mama dan Papa

    Aku memandang tanganku yang disentuh lembut oleh tangan Ainun, lalu beralih melihat wajahnya juga. Agak tak percaya rasanya Ainun menerimaku. Tapi kata-katanya tadi terdengar jelas jika ia bersedia menikah kembali denganku, dan aku yakin tidak sedang salah dengar. Aku menatap Ainun lamat-lamat, memastikan jika saat dia ini sedang bersungguh-sungguh, bukan sedang menjahili ku.Ainun juga tampak sedang memandang kearahku, tapi kemudian dia menunduk dengan wajah yang agak bersemu merah. Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat melihatnya malu seperti itu. Kutarik kembali lengan Ainun dan kubawa lagi dia ke dalam pelukanku."Pak ...." Ainun hendak protes, tapi tampaknya kata-katanya tertahan hanya sampai di kerongkongan saja. Entah sejak kapan aku jadi sangat suka memeluknya seperti ini. Tubuh Ainun yang semula kaku pun kini jauh lebih rileks. Tanpa disadari, kami berdua tampaknya mulai menikmati tubuh kami yang saling b

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Meyakinkan Ainun

    "Kenapa?" Aku bertanya pada Ainun yang tampak kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng kikuk dan terlihat salah tingkah."Kita hanya akan melakukan akad ulang, tidak perlu mengurus surat-surat ke KUA, jadi tidak akan terlalu merepotkan. Bisa segera dilaksanakan," ujarku.Ainun mengangkat wajahnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa agak malu karena aku membicarakan pernikahan ulang kami dengan begitu gamblangnya. Aku maklum, karena di pernikahan kami sebelumnya, tak ada pembicaraan tentang pernikahan di antara kami berdua. Kami juga tak pernah benar-benar saling berhadapan seperti sekarang ini."Ainun," panggilku."Ya," Ainun menjawab sambil masih menunduk.Aku duduk di pinggiran tempat tidur, lalu memandang Ainun selama beberapa saat."Kemarilah, kita bicara." pintaku.Ainun kembali mengangkat wajahnya dan melihatku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat dan duduk di sampingku meski dengan sedikit ragu-ragu."Aku tidak akan meminta mu untuk memaafkan kes

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Menikah Kembali?

    "Ya Allah, apa saya tidak sedang salah lihat? Ini sungguhan Bu Ainun?" Bik Minah kembali bergumam tak percaya. Ainun hanya tersenyum karena tak tahu harus berkata apa. "Kita tidak disuruh masuk, Bik?" tanyaku. "Astagfirullah, maaf, Pak," ujar Bik Minah sembari menyingkirkan. Beliau Terlihat agak tidak enak karena sudah menghalangi pintu. Aku pun melangkah masuk diiringi oleh Ainun. Bik Minah juga mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, aku mendudukkan Farhan di sofa dan mengambil alih koper yang dibawa Ainun. "Bu Ainun ...." Bik Minah kembali bergumam. Tampaknya dia masih belum percaya dengan kehadiran Ainun di rumah ini. "Apa kabar, Bik?" tanya Ainun kemudian sambil mengulas senyuman. Bik Minah balas tersenyum, tapi kemudian matanya berkaca-kaca. "Saya baik, Bu. Bu Ainun sendiri bagaimana kabarnya? Pergi kemana Ibu selama ini?" Bik Minah terlihat begitu emosional. Lagi-lagi Ainun hanya menjawab pertanyaan Bik Minah dengan senyuman. "Saya juga b

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Pulang

    Cukup lama Ainun tersedu di pelukanku. Aku hanya diam sembari mengusap punggungnya lembut. Tak ada kata yang kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku tahu, saat ini yang ia perlukan adalah ruang untuk menumpahkan semua kesedihan yang ditahannya selama ini. Kubiarkan dia menangis sepuasnya agar hatinya terasa jauh lebih lega.Setelah beberapa saat, tangis Ainun pun mereda. Kurasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku dan pelukan kami pun terurai. Wajah Ainun terlihat sembab, tapi kemudian matanya agak sedikit melebar saat menyadari kemeja yang kukenakan basah di bagian dada karena airmatanya."Maaf, Pak ...," ujarnya panik.Aku tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya itu. "Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.Ainun tampak menunduk. Entah kenapa aku berpikir jika saat ini dia sedang malu."Kemasilah barang-barang yang mau kamu bawa," titahku lagi.Ainun tampak kikuk dan tak tahu harus melakukan apa."Jangan keras kepala, lakukanlah seperti yang kukatakan tadi. Setelah Farhan

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Teman Berbagi

    Ainun menyeka airmata yang terus luruh membasahi kedua pipinya. Ia terisak dengan agak tertahan, seakan tak ingin Farhan terganggu karena mendengar suara tangisannya."Apa maksudnya dengan hidupmu mungkin tidak akan lama lagi?" tanyaku dengan dada yang bergejolak hebat. Perasaan takut dan khawatir memenuhi pikiranku hingga tubuhku terasa agak bergetar."Saya mengidap penyakit serius, Pak. Saya tidak tahu akan mampu bertahan berapa lama lagi," jawab Ainun lirih."Penyakit serius apa, Ainun? Kamu sakit apa?" Tanpa sadar aku mencengkram kedua bahu Ainun dan memandang wajahnya dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ainun menunduk semakin dalam. Bahunya berguncang karena tangisnya kini tak bisa lagi ia tahan. Airmata Ainun mengalir semakin deras layaknya derai hujan yang jatuh dari atas langit. Isakannya kini juga terdengar jelas. Ainun tersedu-sedu dengan sangat memilukan, membuatku paham besarnya penderitaan dan kesedihan yang saat ini ia tanggung. Dan Ainun menyimpannya seorang diri tan

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Alasan Ainun Kembali

    Aku tak bisa melupakan wajah pucat Ainun hingga terus memikirkannya. Setiap kali teringat raut wajah kesakitannya serta ringisan lirih yang lolos dari mulutnya hari itu, seketika aku menjadi gelisah dibuatnya. Beberapa kali aku berusaha mampir ke kediaman Ainun dan mencari tahu keadannya, Ainun bersikeras jika dirinya tidak apa-apa dan terus mengusirku. Dan akhirnya aku pun menyerah, kuturuti keinginan Ainun yang akan membicarakan semuanya saat hasil tes DNA Farhan sudah keluar.Sebegitunya dia ingin membuktikan jika Farhan itu anakku. Mungkin karena luka yang kutorehkan di masa lalu yang terlalu dalam dan menyakitkan serta begitu mencoreng harga dirinya, hingga dia tak ingin mengatakan apapun padaku sebelum bukti itu dia genggam.Aku menghela nafas dalam sambil berusaha kembali fokus pada pekerjaanku. Sudah beberapa hari berlalu, yang artinya hasil tes DNA Farhan sudah bisa dilihat dalam beberapa hari kedepan, meskipun bagiku itu sama sekali tidak ada gunanya. Toh, aku sudah tahu jik

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Sesuatu yang Janggal

    Aku pulang ke rumah dengan berbagai perasaan yang berbaur menjadi satu. Tapi dari semua rasa yang ada, perasaan senanglah yang kini lebih mendominasi hatiku. Akhirnya, setelah lima tahun pencarian tanpa hasil, sekarang aku kembali dipertemukan dengan Ainun dan Farhan lagi. Meskipun Ainun masih terlihat tak bersahabat dan agak menjaga jarak, tapi setidaknya aku bisa berinteraksi dengan mereka.Setelah membersihkan diri dan makan malam masakan sederhana Bik Minah, biasanya aku akan langsung masuk ke ruang kerja dan melanjutkan pekerjaan yang tidak terselesaikan di kantor. Tapi kali ini aku tidak masuk kesana, melainkan masuk ke kamar kosong yang berada di sebelah ruang kerjaku.Di lantai atas rumahku terdapat tiga buah kamar. Satu kamar tidurku, lalu kamar yang berada tepat di sebelah kamarku kuubah menjadi ruang kerja. Sedangkan kamar yang satunya lagi kubiarkan kosong. Aku mengamati setiap sudut kamar itu. Sudah ada tempat tidur dan juga lemari di sana, tapi selain itu tidak ada furn

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Berusaha

    "Aku tahu jika aku sudah melakukan kesalahan yang begitu fatal padamu dan juga Farhan. Aku tahu jika perlakuanku padamu benar-benar tak termaafkan. Tapi setidaknya, tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua itu. Izinkan aku menjadi sosok ayah yang semestinya untuk Farhan, Ainun." Aku masih memeluk erat tubuh Ainun."Pak Arkan, saya mohon jangan seperti ini," ujar Ainun sambil sekali lagi berusaha lepas dari pelukanku."Maafkan kebodohanku, Ainun. Maaf karena telah menyia-nyiakan mu selama ini. Pulanglah, rumah kita sangat sepi sejak kamu pergi ....""Rumah kita?" Ainun mendorong tubuhku dengan hentakan yang lebih kuat daripada sebelumnya, hingga mau tak mau pelukanku pun terlepas."Apa Bapak yakin sedang tidak salah minum obat? Rumah mana yang Bapak maksud dengan rumah kita? Dan lagi, sejak kapan ada kata kita di antara saya dan Bapak?" tanya Ainun dengan sarkas.Aku terdiam dan menatapnya dengan perasaan bersalah yang begitu menghujam. Bukannya aku lupa dengan semua perlakuanku

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status