"Mas Devan," panggil Sandra lirih.
Sandra masih melihat ke arah lift, di mana Devan dan rombongannya tadi masuk. Namun sayangnya, hingga pintu lift itu tertutulp, Devan masih tidak menyadari kehadiran Sandra di sana.“Sandra, ayo masuk. Masih nungguin apa?” tanya Tata ketika melihat Sandra berdiri termenung melihat pintu lift yang dikhususkan untuk para atasan itu.“Oh iya, maaf,” jawab Sandra yang kemudian segera masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan dia ke ruang HRD.Saat berada di dalam lift, pikiran Sandra masih terus berjalan memikirkan sosok pria yang tadi secara samar dia lihat. Dia sangat yakin kalau yang tadi dia lihat itu adalah Devan.Namun ada keraguan juga dalam diri Sandra, karena sepertinya tidak mungkin Devan ada di perusahaan lain sepagi ini. Bisa saja itu adalah sosok orang lain yang dia kira seperti Devan.‘Iya nggak mungkin kalau itu Mas Devan. Masa iya dia ke kantor orang lain pagi-pagi kayak gini. Tunggu dulu, kantor ini nggak lagi merger kan sama Pacific grup kan,’ gumam Sandra dalam hati.“Tata, pimpinan di kantor ini namanya siapa ya?” tanya Sandra ingin tahu.“Pak Beni. Emang kenapa, kamu disuruh ngadep Pak Beni juga ya?” tanya Tata balik.“Oh nggak kok, cuma nanya aja. Tapi perusahaan ini sehat kan ... maksud aku nggak lagi ada kemungkinan merger sama perusahaan lain gitu,” selidik Sandra.“Enggak lah, perusahaan ini sehat banget. Bahkan nggak jarang perusahaan ini ngasih bonus ke karyawannya yang berprestasi. Bonusnya juga gede lho, San. Jadi ini salah satu cara perusahaan biar para karyawannya berlomba-lomba untuk menaikkan kinerja mereka biar cepet capai target. Ya kayak model kita dipacu gitulah,” jelas Tata memberi tahu perusahaan pada teman barunya itu.“Bagus banget tuh. Dulu waktu aku masih di Surabaya belum ada kebijakan kayak gitu. Tapi waktu aku balik dari Malaysia kemarin, aku dengar kebijakan itu udah ada. Bagus deh, berarti aku makin terpacu untuk memberikan kinerja yang baik ... soalnya perusahaan habis nyekolahin aku sih. Kan nggak enak kalau ilmunya nggak dipraktekin.”“Bener banget tuh. Semoga kamu bisa menjadi salah satu kandidat yang diunggulkan di perusahaan ini ya.”Sesuai dengan rencana, Tata akan mengantar Sandra pergi ke ruang HRD terlebih dahulu. Sandra harus melapor tentang kehadirannya dan meminta kartu ID karyawan untuk akses keluar masuk di perusahaan ini.“Oh, ternyata kamu atasan aku,” ucap Tata sedikit tidak enak pada Sandra.“Eh, nggak usah kayak gitu ... biasa aja kayak tadi. Kan aku masih butuh banyak info tentang perusahaan ini ... dan aku pikir kamu adalah orang yang cocok untuk mendampingi aku. Mau dong jadi tangan kanan aku,” jawab Sandra sambil tersenyum lebar pada teman barunya itu.“Dengan senang hati, Bu Sandra,” jawab Tata sambil tertawa sendiri.Setelah menyelesaikan semua urusan administrasinya di bagian HRD, Sandra dan Tata kemudian segera menuju ke ruang kerja mereka. Di sana Sandra sudah disambut oleh Ratna, yang merupakan manajer yang bertanggung jawab di bagian desain. Tata kemudian menunjukkan ruangan ketua tim yang akan ditempati oleh Sandra.“Meja kamu di mana?” tanya Sandra pada Tata.“Di situ ... aku duduk bareng sama temen-temen di floor. Dan ini adalah meja semua anggota tim kamu. Eh, aku harus panggil kamu Bu Sandra atau Bos nih,” tanya Tata yang tidak tahu bagaimana dia harus memperlakukan Sandra.“Aduh ... gak usah terlalu formal kayak gitu ah, entar aku malah nggak nyaman. Dan lagian kayaknya usia kita seumuran deh.”“Ya udah deh, kalau gitu aku balik ke meja aku dulu ya. Masih banyak kerjaan soalnya. Selamat bekerja Bu Sandra, semoga betah di sini ya,” pamit Tata sambil terkekeh.“Kerja yang baik ya, Bu Tata. Kalo nggak baik, ntar saya marahin lho,” jawab Sandra sambil ikut tertawa juga.Sandra melihat ruang kerjanya yang baru di kantor pusat. Meskipun ruangan itu tidak terlalu besar, namun dia merasa bangga karena perusahaan benar-benar menghargai prestasinya selama ini meskipun dia dulu hanya lulusan SMA ketika dia masuk ke perusahaan ini. Namun karena tekadnya yang begitu kuat untuk menghidupi putranya serta ibunya, Sandra bekerja mati-matian untuk terus bisa menopang kehidupan keluarga kecilnya itu setelah dia lepas dari kehidupan Devan.Sementara itu di lantai atas gedung perkantoran ini, seorang pria muda sedang duduk sambil melipat kakinya dan tampak berbincang dengan serius dengan pimpinan tertinggi di perusahaan ini. Tampaknya mereka sedang membicarakan masalah bisnis yang akan mereka lakukan bersama.“Makasih lho Pak Devan udah mempercayakan kami untuk mendesain Mall yang akan Bapak bangun. Kebetulan kami memiliki seorang desain interior baru yang kinerjanya cukup baik selama ini dan baru saja dia menyelesaikan studi tambahannya di Malaysia. Sepertinya, saya akan menyuruh orang itu untuk langsung mengurusi proyek dari Pacific group ini, Pak,” ucap Beni dengan ramah pada relasi bisnisnya itu.“Orang baru? Apa orang itu kinerjanya benar-benar bisa dipertanggungjawabkan?” tanya Devan mempertanyakan kualitas orang yang dipromosikan oleh Beni.“Tentu saja, Pak. Kalau kinerjanya tidak bagus ... mana mungkin kami berani mengucurkan dana yang besar untuk menyekolahkan dia lagi sampai ke luar negeri. Oh ya, untuk sekedar referensi saja, Bapak sudah pernah datang ke mall Pakwon yang kini menjadi salah satu mall terbesar di Surabaya buatan kita beberapa tahun yang lalu? Itu 80 persen desainnya hasil rancangan desainer kami ini. Sisanya dikerjakan oleh beberapa rekan satu timnya. Namun tetap saja angka 80 persen itu bukan angkanya sedikit kan, Pak,” papar Beni menjelaskan tentang prestasi desainer yang dia rekomendasikan.“Jadi itu buatan dia? Saya memilih Artha Graha itu karena saya melihat mall itu. Oke kalau gitu, saya setuju kalau dia yang pegang proyek ini. Dan saya harap hasilnya tidak mengecewakan.”“Baik Pak, kami akan mengusahakan dan akan membawa konsep kami tentang mall ini dalam pertemuan kita berikutnya.”“Oke, saya setuju dan saya harap konsep itu bagus. Kalau gitu saya permisi dulu dan saya tunggu kabar selanjutnya,” pamit Devan.“Baik Pak Devan, saya antar ke depan, Pak.”“Nggak usah, biar saya turun sendiri aja. Lagi pula Pak Beni pasti juga sibuk, saya permisi dulu,” jawab Devan sambil menoleh ke arah asisten pribadinya yang sudah siap berdiri untuk mengawalnya pergi dari ruang tempat mereka melakukan meeting.Beni tidak bisa memaksakan kehendaknya pada Devan. Dia pun mengantar klien barunya itu sampai ke lift.Sambil berjalan menuju ke arah lift, Devan dan Beni tetap saling berbincang satu sama lain membicarakan bisnis-bisnis mereka. Langkah kaki Beni terhenti di depan meja sekretarisnya sebelum dia melanjutkan langkahnya lagi.“Bu Sandra, udah datang hari ini?” tanya Beni pada sekretarisnya.‘Sandra,’ ucap Devan kaget mendengar nama yang di sebut oleh Beni.“Mungkin sudah Pak, tapi saya tanyakan dulu ke bagian HRD,” jawab sekretaris Beni.“Ya udah, kalo udah dateng, tolong suruh ke ruangan saya ya,” pesan Beni.“Baik, Pak.”Beni dan Devan melanjutkan langkah mereka lagi menuju ke pintu lift yang sudah terbuka. Di dalam sana ada salah satu staf Beni yang sedang menunggu Devan dan asistennya agar mereka bisa turun bersama.“Sandra itu nama desainer yang akan menangani proyek saya?” tanya Devan iseng.“Iya, Pak. Itu desainer baru kami yang saya ceritakan tadi. Semoga nanti kinerjanya tetap bagus seperti dulu,” jawab Beni.“Oh gitu ya. Baiklah, kalau gitu saya permisi dulu Pak Beni. Senang bisa bertemu dengan perusahaan kontraktor yang cukup disegani di negeri ini.”“Bisa saja Pak Devan ini. Justru saya yang senang sekali karena bapak sudah mempercayakan kami untuk proyek Supermall dari Pacific Group, Pak.”Devan dan asisten pribadinya segera masuk ke dalam lift meninggalkan Beni yang masih berdiri di depan pintu lift hingga pintu tersebut tertutup. Staf yang tadi ada di lift segera menekan tombol lobi yang akan mengantarkan Devan untuk kembali ke perusahaannya.Pintu lift terbuka. Staff yang tadi berada satu lift dengan Devan, memberikan salam dengan menganggukan kepalanya sebelum dia keluar dari lift. Pada saat itu di depan pintu lift yang terbuka, ada seorang wanita yang melintas sambil menundukkan kepalanya melihat berkas yang dia pegang.“Sandra,” ucap Devan lirih saat melihat wanita di depan lift itu melintas di hadapannya.“Brengsek!” Lisa datang ke restoran tempat dia membuat janji dengan Irene. Dia tadinya memang akan bertemu dengan Irene dan beberapa teman mereka lainnya untuk sekedar makan bersama.Tapi mood Lisa rusak, saat dia bertemu dengan Devan dan Sandra tadi. Dia kembali merasa takut, karena sempat menculik Nathan atas perintah Irene tempo hari.“Kamu ini kenapa sih?! Dateng-dateng malah ngamuk. Ada apaan?” tanya salah satu teman Irene lainnya.“Iya, kamu kenapa sih, Lis? Ada masalah apaan?” Irene ikut penasaran.“Kalian tau gak, aku barusan ketemu sama siapa?” ucap Lisa memulai cerita.“Ketemu ama siapa emang?”“Devan. Aku ketemu Devan dan Sandra!” “Hah?! Seriusan? Trus gimana?” Irene ingin tahu kelanjutan cerita Lisa.“Sumpah, aku kaget banget. Ternyata anaknya ngenelin aku. Brengsek! Aku gak aman kalo sampe Nathan beneran ngenalin aku dan Devan nemuin bukti kalo aku beneran yang bawa anak mereka. Aku harus gimana, Ren?” Lisa khawatir akan keselamatannya.Irene terdiam mendengar cer
“Nathan, Nathan kenapa?” tanya Siska yang melihat cucunya menarik-narik tangannya.“Gak mau. Gak mau ke situ.” Nathan menarik tangan eyangnya kuat-kuat.“Ada apa, Bu?” tanya Sandra sambil menoleh ke belakang.“Gak mau. Gak mau ke sana,” ucap Nathan sambil mulai menarik kuat tangan eyangnya dan mulai mundur.“Sayang, ada apa?” Sandra mendekati putranya.“Nathan, sama Papa aja yuk.” Devan segera mengambil alih tangan Nathan dan menggandeng bocah kecilnya itu.Devan mengajak Nathan untuk duduk sebentar di sebuah bangku yang ada di dekat mereka. Dia ingin mengajak putranya itu berbincang untuk mengetahui kenapa putranya tiba-tiba merajuk.Devan menyuruh anggota keluarganya yang lain, pergi lebih dulu menuju ke toko yang akan mereka tuju tadi. Sandra pun segera mengondisikan para anggota keluarganya, agar mereka tidak khawatir tentang Nathan.“Nathan kenapa tadi? Nathan liat sesuatu?” tanya Devan penuh kelembutan.Nathan mengangguk, “Nathan liat Tante Maya. Nathan gak mau ke sana.” N
“Pak, video cctv-nya berhasil diperbaiki.” Raka datang sambil membawa iPad di tangannya.“Mana videonya,” pinta Devan yang ingin melihat sosok wanita yang sudah menculik anaknya kemarin.Raka langsung memberikan iPad yang ada di tangannya itu pada atasannya. Dia ingin atasannya itu juga melihat apa yang sudah ditemukan oleh Bayu setelah memperbaiki kualitas gambar dari CCTV Mall tersebut.Sandra yang juga ingin melihat video rekaman penculikan putranya, segera menggeser posisi duduknya mendekati sang suami. Dia ingin mencari sosok wanita yang berani mengaku sebagai Maya dan membuat seluruh keluarganya panik keseharian.“Mas, kok masih belum terlalu kelihatan ya,” ucap Sandra ketika dia melihat video yang kini sedang diputar suaminya itu.“Iya. Kualitas videonya emang udah bagus. tapi aku juga nggak gitu kenal sama orang itu. Kayaknya dia emang sengaja ngelakuin ini karena penyamarannya benar-benar full. Lihat aja itu mulai dari topi, masker, sampai rambutnya pun kayaknya juga palsu.
Kepala Devan rasanya mau pecah memikirkan siapa orang yang telah membawa putranya kemarin secara diam-diam. Setelah Nathan mengkonfirmasi kalau bukan Maya, asisten istrinya yang membawa dia kemarin, kini Devan semakin bingung dengan sosok wanita yang berani mencari masalah dengan dirinya itu.Devan masih duduk di sofa yang ada di teras belakang rumahnya sambil melihat ke arah putranya yang kini tengah berenang ditemani oleh Wati. Pria kecilnya itu sama sekali tidak menunjukkan gelagat yang aneh, meskipun ada Maya di sekitar sana bersama dengan istrinya.“Tampaknya emang bukan Maya pelakunya, Pak,” ucap Raka yang ikut memberi penilaian pada peristiwa ini.“Iya, kayaknya emang bukan Maya. Terus Maya yang mana ya? Kayaknya aku nggak pernah kenal lagi ada nama Maya lain yang dikenal sama Nathan. Siapa sebenarnya orang ini? Berani bener dia main-main sama aku,” gerutu Devan sambil mencoba memikirkan berbagai kemungkinan tentang orang yang dia curigai.“Apa mungkin orang itu Bu Irene, Pak
Sandra menatap ke arah suaminya. Dia seolah sedang meminta pertimbangan dari suaminya tentang apa yang harus dia lakukan saat ini.Devan meminta Sandra untuk menyiapkan pertemuan antara Maya dengan putra mereka. Sandra pun akhirnya menyuruh Maya untuk tetap menunggu di ruang kerjanya sementara dia akan menemui Nathan di rumah utama bersama dengan suaminya.“Mas, nanti kalau Nathan trauma gimana?” tanya Sandra sambil berjalan keluar dari ruang kerjanya bersama sang suami.“Semoga aja nggak. Ya udah yuk, kita coba dulu biar masalah ini cepat selesai,” jawab Devan penuh harap agar putranya bisa memberikan petunjuk.“Ya udah deh, kalau gitu aku kasih pengertian dulu ke Nathan ya. Nanti kalau aku rasa dia udah siap, Mas Devan suruh Raka bawa Maya ke sini ya.”“Oke, sayang. Kita santai aja dulu ya. Kamu juga jangan terlalu panik, ntar takutnya nyalur ke Nathan,” pesan Devan pada sang istri.“Iya, Mas.”Sandra segera berjalan menuju ke putranya yang saat ini tengah bermain bersama dengan
“Maya, saya mau bicara sama kamu,” ucap Devan yang baru saja masuk bersama dengan Raka.Maya melihat ke arah Sandra lalu ke arah Devan lagi, “Ada apa ya, Pak?” “Mas,” panggil Sandra sambil melihat ke arah suaminya.Devan tidak menjawab panggilan istrinya dan hanya memilih untuk mengangguk saja pada istrinya itu. Dia kemudian menyuruh sang istri untuk berpindah tempat duduk karena dia ingin duduk berhadapan dengan Maya.Devan ingin melihat ekspresi Maya ketika nanti dia mengintrogasi wanita itu. Devan yang kini sudah didampingi oleh Sandra dan Raka, siap untuk mencari tahu kebenaran tentang kejadian kemarin.Maya menoleh ke arah Sandra. Suasana di ruang kerja Sandra kali ini tampak sangat berbeda, karena wajah ketiga orang yang sedang bersamanya kali ini tampak sangat serius. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan oleh suami dari atasannya tersebut.“Maaf, ada apa ini ya, Bu?” tanya Maya yang kini sedang bingung.“Maya, saya mau tanya ke kamu. Tapi saya minta ka