Share

Mulai Sadar

last update Last Updated: 2022-09-27 14:20:04

Penyesalanku 3

 Ah Uma, andai kamu tahu ngenesnya hidupku setelah bercerai denganmu.

Lihat saja, pagi-pagi bukannya bangun menyiapkan sarapan untuk suami, Sandi malah asik molor. 

                     

"Dek, bangun! Sudah siang!" Ku guncang-guncang kaki Sandi, yang masih terlelap dalam mimpi.

"Dek, kamu belum solat subuh lho!" sekali lagi kubangunkan Sandi.

                       

Tapi Sandi tak bergerak sama sekali, tak memberi respon meski kubangunkan berulangkali. Begitulah istriku ini, kalau sudah tidur seperti orang mati.

Tak pernah ada sarapan pagi, atau menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, aku ini beristri tapi rasanya seperti duda saja. Apa-apa melakukan sendiri.             

                       

Gontai ku langkahkan kaki ke dapur, terpaksa aku membuat telur dadar sendiri, nasi kemarin yang dimasak Bi Murni masih ada di magic com. Bosan tiap hari hanya sarapan roti, karena Sandi tak pernah mau masak.            

                         

"Sebelum menikah dulu, Kan aku sudah bilang, Mas. Aku mau jadi istrimu, melayani urusan ranjangmu, tapi urusan dapur dan sumur aku tidak mau tahu.

Bisa rusak riasanku kalau masuk dapur, badanku bau asap, tanganku kasar karena pegang cucian, ogah aku Mas!            

                       

Lagian sudah ada Bi Murni, biar dia yang mengerjakan semua, buat apa bayar mahal-mahal, kalau aku masih ikut mengerjakan juga.

Aku ini istrimu, Mas. Ratu dalam rumah tanggamu, bukan babu!" ketus Sandi, tiap aku protes karena dia tidak pernah mau masak.  

Ucapanku yang singkat selalu dibalas dengan serangkaian pembelaan, yang menurutku nggak masuk akal. 

                 

Sebelum menikahi Sandi, dia memang sudah minta, untuk tidak berkutat dengan urusan dapur, dan aku menyetujui, karena sudah kadung jatuh cinta dengan, kecantikannya yang sempurna.             

              

Tapi, masak hanya membuat sarapan untuk suaminya saja dia tidak mau? Di sini memang ada Bi Murni pembantu kami, tapi dia datang jam delapan pagi dan pulang jam empat sore.

               

Bahkan bekas makan malam kami pun, belum Sandi bereskan, nunggu Bi Murni katanya. Kupikir wanita secantik dia nggak tahan lihat rumah berantakan, dapur berserakan. Nyatanya?.

Aku jadi kembali teringat Uma, wanita berparas ayu yang pernah menjadi istriku selama enam tahun itu.                  

Sebelum azan subuh berkumandang, dia selalu membangunkanku. Usai mandi pakaian kerja sudah tersedia rapi, sebelum berangkat kerja, sarapan sudah tersedia.

"Sarapan dulu Mas, ada sup ayam kampung kesukaaanmu," ujar Uma seraya memamerkan senyum manisnya.           

Setiap pagi, Uma selalu menyediakan sarapan untukku dan ibuku, yang kala itu masih hidup. Semua masakan yang Uma sediakan selalu memenuhi kriteria makanan sehat, dengan gizi seimbang, maklum dokter.

       

"Mmh..., baunya harum banget, kayaknya sedap ini." Aku menghirup uap yang mengepul dari mangkuk.

"Dijamin enak pokoknya, kan masaknya pakai cinta Mas," ucapnya manja.

         

Aku ini orangnya kaku, tak pandai merangkai kata mesra. Rasanya canggung, dan aneh menurutku. Tapi Uma dengan entengnya mengucap kata-kata gombalan padaku, hingga membuat hari-hariku terasa lebih berwarna.

      

Uma...Uma...sejak bertemu denganmu hari itu, aku jadi ingat masa lalu kita, andai saja waktu bisa diputar kembali, aku ingin memperbaiki kesalahanku, memulai semua dari awal dan tidak akan mengabaikanmu lagi.       

Kuambil handuk dan bergegas mandi, bukankah hidup harus tetap berjalan? Percuma menyesal, semua sudah terlanjur terjadi, meratap tidak akan membuat Uma kembali.     

Kulihat Sandi masih bergelung dengan selimut, dia tidak merasa terganggu sama sekali dengan aktifitasku di kamar ini, entah bagaimana cara mertuaku dulu mendidik anak perempuannya ini.

Sampai aku berangkat kerja, Sandi belum bangun juga. Beginilah akibatnya kalau milih istri hanya karena kecantikan lahiriahnya saja.

       

Kadang terbit sesal, kenapa aku bisa menikahi wanita seperti dia? Selama setahun menikah dengan Sandi, aku merasa tidak bahagia. Sebagai istri tidak bisa melayaniku sepenuhnya, dia hanya bisa dandan, shoping dan jalan-jalan.

"Yakin, mau menikahi wanita seperti Sandi?" tanya Mbak Yeni, sepupuku sekaligus atasanku di kantor.

Perusahaan tempatku bekerja adalah, milik Om Rusdi, ayahnya Mbak Yeni. Sedangkan Sandi bekerja sebagai staf administrasi. jadi Mbak Yeni, juga kenal Sandi.

       

Kedua orang tuaku sudah meninggal, Mas Fatah kakakku, dia anggota TNI dan sedang tugas di daerah perbatasan. Dan Mbak Nunik kakak perempuanku, menikah dengan orang Sumatra, dan sekarang menetap di sana.

Kupikir hanya meminang saja, biarlah Mbak Yeni dan suaminya yang menjadi wakil keluargaku, saat menikah nanti baru kakak-kakakku harus hadir.  

"Memang kenapa Mbak?" tanyaku penasaran.

"Kamu nggak lihat dandanannya?" jawab Mbak Yeni, balik nanya.

"Iya, dia modis pandai merias diri, bukankah itu modal untuk menyenangkan suami?" jawabku heran.  

"Modal cantik paras saja nggak cukup Afnan, kamu sudah menyelidiki latar belakang keluarganya?" tanya Mbak Yeni lagi.

"Sudah, dia tinggal di kosan, orang tuanya cerai, dan masing-masing sudah berkeluarga."

       

"Kamu sudah bertemu kedua orang tuanya?"

"Baru bertemu ayahnya, memang kenapa sih, Mbak? Aku jadi bingung."

        

"Afnan, kamu sudah pernah gagal dua kali. Harusnya kamu hati-hati dalam memilih istri, kalau tidak ingin gagal untuk ketiga kalinya.

Saranku, selidiki dulu bagaimana calon istrimu sebenarnya, pergaulannya, gaya hidupnya, bahkan kalau perlu masa lalunya.

        

Dan satu lagi, apa kamu tidak merasa risih dengan penampilannya yang terlihat "berani" itu?" 

"Soal penampilan, aku tidak mempermasalahkannya. Soal masa lalu, aku tidak perduli, aku juga punya masa lalu Mbak. Lagi pula aku sudah terlanjur janji pada Ayah Sandi, akan membawa keluargaku untuk meminangnya."   

"Hhh..., terserah kamu Af. Orang jatuh cinta memang susah dinasehati.  Yang menjalani kamu, semoga ini pernikahan terakhirmu," pungkas Mbak Yeni.

Dan sekarang aku baru sadar, ucapan Mbak Yeni benar, paras saja tidak cukup membahagiakan. 

"Citt...!" Aku menginjak rem tiba-tiba.

Sialan! Gara-gara melamun aku sampai tidak melihat ada anak kecil menyebrang jalan, buru-buru aku menepikan mobilku, dan menghampiri bocah lelaki yang terduduk di aspal itu.    

"Adek nggak apa-apa?" tanyaku panik.

"Nggak pa-pa Om, tapi celana bagian lututku sobek," ucap bocah itu, dia menunduk sambil mengelus lututnya yang sedikit lecet.

"Ayo ikut Om ke mobil, biar lukanya Om obati."   

"Nggak usah Om, bundaku dokter, nanti biar Bunda aja yang obatin."

"Deg!" tiba-tiba aku merasa berdebar, ketika anak itu menyebut, kalau bundanya adalah seorang dokter.             

Aku menatap wajah bocah itu, aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Dia mirip dengan..., apa mungkin?.

 Lalu pandanganku beralih ke papan nama di dada bajunya "Muhammad Alfarizi Baadillah," Nama itu.... 

Bersambung.... 

Penyesalan memang selalu belakangan, Om. Kalau  di depan, namanya pendaftaran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ira Zamzuri
Thoor.. bisa aja emangnya masih ada pendaftaran
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Penyesalanku   Ending Sesion2

    "Segera ajukan gugatan cerai kita, Mas. Aku menunggu," pungkas Wina, lalu menyeret kopernya keluar. "Wina!" seruku lantang, sebelum Wina mencapai pintu. Dia menghentikan langkah, dan menoleh kepadaku. "Apalagi Mas?" tanyanya jengkel. Aku diam, bingung harus bagaimana. Sudah berusaha menahannya, tapi dia tetep kekeh pada pendiriannya. Dasar keras kepala. Tak berkacakah dia? Wajahnya biasa saja, kurang cantik menurutku. Aku sudah merendahkan harga diriku, memohon padanya tapi seolah dia tak butuh. Harusnya dia bersyukur, aku yang tampan ini memperistri dia. Bukannya bersikap arogan seperti ini. Sebenarnya aku ingin memohon padanya sekali lagi, agar membatalkan kepergiannya, tapi jika kulakukan, aku takut dia makin besar kepala. Ya sudah lah, kalau dia mau pergi, biar saja. Mungkin lebih baik begitu, soal Ryan biar aku cari pengasuh nanti. Siapa tahu dengan status baruku, Riyanti mau menerimaku kembali. "Semoga kamu tidak menyesali keputusan ini nanti," ucapku akhirnya. "Gitu aja

  • Penyesalanku   Bab 11

    "Dari mana kamu?" tanyaku, ketika mendapati Wina masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap. Dia terlonjak kaget, hingga kunci pintu yang dia genggam terjatuh. "Apa pedulimu?!" ketus Wina. "Jelas aku peduli, kamu istriku," tukasku. "Istri? Kamu masih ingat kalau aku ini istrimu? Kenapa kamu mengejar wanita lain, kalau masih merasa punya istri?" sindirnya."Tidak usah mengalihkan pembicaraan, aku tanya kamu dari mana?" ucapku datar. "Bukan urusanmu!" ucap Wina tak acuh, melewatiku begitu saja. "Apa susahnya menjawab pertanyaan suamimu? Aku tanya kamu baik-baik, tapi jawabanmu ketus begitu! Kamu punya tata krama nggak sih? Aku ini suamimu, orang yang seharusnya kamu hormati!" Suaraku naik satu oktaf.Wina berhasil memancing emosi yang dari tadi aku tahan. Tiba-tiba aku teringat pesan Mbak Yeni, "Kamu tahu betul bagaimana karakter Wina, dia memang kasar, kalau bicara tanpa saringan. Kamu yang waras ngalah dong! Kamu harus bisa membimbing dia, mengubah sikapnya pelan-pelan. Me

  • Penyesalanku   Bab 10

    Hubunganku dengan Wina semakin renggang, kami hanya dua orang asing yang tinggal satu atap. Tak saling peduli, bahkan tak saling sapa. Wina yang biasa menyiapkan segala keperluanku, kini tak melakukanya lagi. Di rumah jarang sekali tersedia makanan, tapi cuci setrika dan beres-beres tetap dia lakukan. Bagiku tak masalah, yang penting Ryan terurus. Kasihan kalau anak itu harus merasakan dampak dari pertikaian kedua orang tuanya. Kadang aku merasa bimbang, apakah melanjutkan rencanaku menceraikan Wina, atau melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat ini. Lalu bagaimana dengan Ryan?Memikirkan semua itu kepalaku rasanya mau pecah. Aku dan Wina sama-sama keras kepala, tak ada yang mau mengalah. Aku enggan minta maaf, begitu pun Wina. Diantara kami tak ada yang mau memulai memperbaiki keadaan, semua berpegang teguh pada pendirian. "Kamu yang lebih tua ngalah, sudah tahu Wina itu orangnya bar-bar, harusnya kamu bersikap lembut menghadapinya, bukannya malah menandingi. Kalau dia diam,

  • Penyesalanku   Bab 9

    Di sinilah kami sekarang, di ruang tamu rumahku, yang sudah seperti ruang sidang. Aku duduk berdampingan dengan Wina, di sofa panjang. Riyanti duduk di sofa single depanku, di sampingnya duduk Pak Rt. Sementara Bu Rt dan Bu Ratmi berdiri. "Tolong jelaskan duduk perkaranya, biar saya bisa membantu mencari solusinya," ucap Pak Rt bijak. "Suami saya berselingkuh dengan janda gatel itu, Pak!" tuding Wina, dia menatap Riyanti penuh kebencian. "Itu tidak benar, itu fitnah! Antara saya dan Mas Afnan tidak ada hubungan apa-apa," sela Riyanti. "Pak Rt dengar sendiri, kan? Dia bahkan memanggil suami saya, Mas. Itu menunjukkan kalau mereka memang punya hubungan spesial, buktinya dia punya panggilan mesra," sergah Wina. "Wina!" bentakku. "Tuh, Pak Rt lihat sendiri, dia nggak terima selingkuhannya disalahkan," sahut Wina. Aku yang berusaha menahan emosi dari tadi, rasanya ingin menggampar mulutnya yang tidak tahu tata krama itu. "Bu Wina, tolong tenang dulu. Beri kesempatan Pak Afnan menje

  • Penyesalanku   Bab 8

    "Cerai?" Mbak Yeni membeo ucapanku. Setelah kuceritakan tentang niatku untuk bercerai dengan Wina. "Iya Mbak, aku sudah nggak tahan sama sikap Wina. Susah diatur, apalagi penampilannya, bikin ilfeel aja. Rasanya aku ini nggak punya istri, tapi pembantu," ucapku meluapkan unek-unek di hati. "Hhh!" Mbak Yeni membuang nafas kasar. "Kamu dari dulu nggak berubah, selalu buru-buru mengambil keputusan, tanpa dipikir dulu baik buruknya, efek jangka panjangnya. Hanya menuruti emosi saja. Bagaimanapun juga Wina itu istrimu, wanita pilihanmu sendiri, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa kamu buat nikahi dia. Kalau Wina tidak sesuai keinginanmu, bicaralah baik-baik.""Aku sudah capek ngomong sama dia, Mbak. Dia itu keras kepala," selaku."Bingung aku harus ngomong apa sama kamu. Dulu kupikir kamu menikahi Wina, karena sudah siap dengan resiko punya istri dengan latar belakang seperti itu. Kupikir kamu bisa membimbingnya, agar dia bisa mengimbangimu. Eh ternyata makin kesini, makin---

  • Penyesalanku   Bab 7

    Sejak kejadian pelabrakan yang dilakukan oleh ibu-ibu tidak kenal, terhadap Riyanti. Hubunganku dengan Riyanti menghangat, maksudku dia sudah tidak menolak lagi bantuanku. Karena aku sudah menjadi pahlawan untuknya. Aku ini manajer, perusahaannya pun milik saudaraku, jadi aku sedikit bebas keluar kantor, tanpa perlu ijin. Yang penting pekerjaanku beres, begitu kata Mbak Yeni. Dan kesempatan ini kugunakan untuk mendatangi warung Riyanti. Bantuin dia, dan jaga-jaga kalau ada kejadian serupa. Dari sikapnya, aku merasa Riyanti ini membutuhkan aku sebagai pelindungnya. Meski itu tidak terucap dari bibirnya, aku bisa merasakan itu. "Mas, akhir-akhir ini perasaanku kok nggak enak ya?" ucap Riyanti suatu hari. "Nggak enak gimana?""Nggak enak aja, aku juga nggak tahu kenapa. Tapi feelingku mengatakan bakal ada kejadian yang nggak enak lagi." ucapnya khawatir. "Nggak usah negatif thinking jadi orang, nanti malah kejadian. Mikir itu yang positif aja, yang baik-baik, biar yang terjadi juga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status