Share

Mulai Sadar

Penyesalanku 3

 Ah Uma, andai kamu tahu ngenesnya hidupku setelah bercerai denganmu.

Lihat saja, pagi-pagi bukannya bangun menyiapkan sarapan untuk suami, Sandi malah asik molor. 

                     

"Dek, bangun! Sudah siang!" Ku guncang-guncang kaki Sandi, yang masih terlelap dalam mimpi.

"Dek, kamu belum solat subuh lho!" sekali lagi kubangunkan Sandi.

                       

Tapi Sandi tak bergerak sama sekali, tak memberi respon meski kubangunkan berulangkali. Begitulah istriku ini, kalau sudah tidur seperti orang mati.

Tak pernah ada sarapan pagi, atau menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, aku ini beristri tapi rasanya seperti duda saja. Apa-apa melakukan sendiri.             

                       

Gontai ku langkahkan kaki ke dapur, terpaksa aku membuat telur dadar sendiri, nasi kemarin yang dimasak Bi Murni masih ada di magic com. Bosan tiap hari hanya sarapan roti, karena Sandi tak pernah mau masak.            

                         

"Sebelum menikah dulu, Kan aku sudah bilang, Mas. Aku mau jadi istrimu, melayani urusan ranjangmu, tapi urusan dapur dan sumur aku tidak mau tahu.

Bisa rusak riasanku kalau masuk dapur, badanku bau asap, tanganku kasar karena pegang cucian, ogah aku Mas!            

                       

Lagian sudah ada Bi Murni, biar dia yang mengerjakan semua, buat apa bayar mahal-mahal, kalau aku masih ikut mengerjakan juga.

Aku ini istrimu, Mas. Ratu dalam rumah tanggamu, bukan babu!" ketus Sandi, tiap aku protes karena dia tidak pernah mau masak.  

Ucapanku yang singkat selalu dibalas dengan serangkaian pembelaan, yang menurutku nggak masuk akal. 

                 

Sebelum menikahi Sandi, dia memang sudah minta, untuk tidak berkutat dengan urusan dapur, dan aku menyetujui, karena sudah kadung jatuh cinta dengan, kecantikannya yang sempurna.             

              

Tapi, masak hanya membuat sarapan untuk suaminya saja dia tidak mau? Di sini memang ada Bi Murni pembantu kami, tapi dia datang jam delapan pagi dan pulang jam empat sore.

               

Bahkan bekas makan malam kami pun, belum Sandi bereskan, nunggu Bi Murni katanya. Kupikir wanita secantik dia nggak tahan lihat rumah berantakan, dapur berserakan. Nyatanya?.

Aku jadi kembali teringat Uma, wanita berparas ayu yang pernah menjadi istriku selama enam tahun itu.                  

Sebelum azan subuh berkumandang, dia selalu membangunkanku. Usai mandi pakaian kerja sudah tersedia rapi, sebelum berangkat kerja, sarapan sudah tersedia.

"Sarapan dulu Mas, ada sup ayam kampung kesukaaanmu," ujar Uma seraya memamerkan senyum manisnya.           

Setiap pagi, Uma selalu menyediakan sarapan untukku dan ibuku, yang kala itu masih hidup. Semua masakan yang Uma sediakan selalu memenuhi kriteria makanan sehat, dengan gizi seimbang, maklum dokter.

       

"Mmh..., baunya harum banget, kayaknya sedap ini." Aku menghirup uap yang mengepul dari mangkuk.

"Dijamin enak pokoknya, kan masaknya pakai cinta Mas," ucapnya manja.

         

Aku ini orangnya kaku, tak pandai merangkai kata mesra. Rasanya canggung, dan aneh menurutku. Tapi Uma dengan entengnya mengucap kata-kata gombalan padaku, hingga membuat hari-hariku terasa lebih berwarna.

      

Uma...Uma...sejak bertemu denganmu hari itu, aku jadi ingat masa lalu kita, andai saja waktu bisa diputar kembali, aku ingin memperbaiki kesalahanku, memulai semua dari awal dan tidak akan mengabaikanmu lagi.       

Kuambil handuk dan bergegas mandi, bukankah hidup harus tetap berjalan? Percuma menyesal, semua sudah terlanjur terjadi, meratap tidak akan membuat Uma kembali.     

Kulihat Sandi masih bergelung dengan selimut, dia tidak merasa terganggu sama sekali dengan aktifitasku di kamar ini, entah bagaimana cara mertuaku dulu mendidik anak perempuannya ini.

Sampai aku berangkat kerja, Sandi belum bangun juga. Beginilah akibatnya kalau milih istri hanya karena kecantikan lahiriahnya saja.

       

Kadang terbit sesal, kenapa aku bisa menikahi wanita seperti dia? Selama setahun menikah dengan Sandi, aku merasa tidak bahagia. Sebagai istri tidak bisa melayaniku sepenuhnya, dia hanya bisa dandan, shoping dan jalan-jalan.

"Yakin, mau menikahi wanita seperti Sandi?" tanya Mbak Yeni, sepupuku sekaligus atasanku di kantor.

Perusahaan tempatku bekerja adalah, milik Om Rusdi, ayahnya Mbak Yeni. Sedangkan Sandi bekerja sebagai staf administrasi. jadi Mbak Yeni, juga kenal Sandi.

       

Kedua orang tuaku sudah meninggal, Mas Fatah kakakku, dia anggota TNI dan sedang tugas di daerah perbatasan. Dan Mbak Nunik kakak perempuanku, menikah dengan orang Sumatra, dan sekarang menetap di sana.

Kupikir hanya meminang saja, biarlah Mbak Yeni dan suaminya yang menjadi wakil keluargaku, saat menikah nanti baru kakak-kakakku harus hadir.  

"Memang kenapa Mbak?" tanyaku penasaran.

"Kamu nggak lihat dandanannya?" jawab Mbak Yeni, balik nanya.

"Iya, dia modis pandai merias diri, bukankah itu modal untuk menyenangkan suami?" jawabku heran.  

"Modal cantik paras saja nggak cukup Afnan, kamu sudah menyelidiki latar belakang keluarganya?" tanya Mbak Yeni lagi.

"Sudah, dia tinggal di kosan, orang tuanya cerai, dan masing-masing sudah berkeluarga."

       

"Kamu sudah bertemu kedua orang tuanya?"

"Baru bertemu ayahnya, memang kenapa sih, Mbak? Aku jadi bingung."

        

"Afnan, kamu sudah pernah gagal dua kali. Harusnya kamu hati-hati dalam memilih istri, kalau tidak ingin gagal untuk ketiga kalinya.

Saranku, selidiki dulu bagaimana calon istrimu sebenarnya, pergaulannya, gaya hidupnya, bahkan kalau perlu masa lalunya.

        

Dan satu lagi, apa kamu tidak merasa risih dengan penampilannya yang terlihat "berani" itu?" 

"Soal penampilan, aku tidak mempermasalahkannya. Soal masa lalu, aku tidak perduli, aku juga punya masa lalu Mbak. Lagi pula aku sudah terlanjur janji pada Ayah Sandi, akan membawa keluargaku untuk meminangnya."   

"Hhh..., terserah kamu Af. Orang jatuh cinta memang susah dinasehati.  Yang menjalani kamu, semoga ini pernikahan terakhirmu," pungkas Mbak Yeni.

Dan sekarang aku baru sadar, ucapan Mbak Yeni benar, paras saja tidak cukup membahagiakan. 

"Citt...!" Aku menginjak rem tiba-tiba.

Sialan! Gara-gara melamun aku sampai tidak melihat ada anak kecil menyebrang jalan, buru-buru aku menepikan mobilku, dan menghampiri bocah lelaki yang terduduk di aspal itu.    

"Adek nggak apa-apa?" tanyaku panik.

"Nggak pa-pa Om, tapi celana bagian lututku sobek," ucap bocah itu, dia menunduk sambil mengelus lututnya yang sedikit lecet.

"Ayo ikut Om ke mobil, biar lukanya Om obati."   

"Nggak usah Om, bundaku dokter, nanti biar Bunda aja yang obatin."

"Deg!" tiba-tiba aku merasa berdebar, ketika anak itu menyebut, kalau bundanya adalah seorang dokter.             

Aku menatap wajah bocah itu, aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Dia mirip dengan..., apa mungkin?.

 Lalu pandanganku beralih ke papan nama di dada bajunya "Muhammad Alfarizi Baadillah," Nama itu.... 

Bersambung.... 

Penyesalan memang selalu belakangan, Om. Kalau  di depan, namanya pendaftaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status