Share

Bayang Masa Lalu

Penyesalanku 2

"Maaf, saya buru-buru Pak. Ada pasien yang mengalami pendarahan, yang harus segera mendapat tindakan." Uma segera berlalu dan meninggalkan aku begitu saja.

Uma pasti malas menjawab pertanyaan basa basiku, karena setelah bercerai, kami benar-benar putus komunikasi. Tak ada lagi nafkah untuk anak-anak, atau sekedar perhatian, aku sudah menelantarkan mereka.

Aku bahkan tidak menyerahkan dia secara baik-baik kepada orang tuanya, aku tidak pernah menengok anak kami, atau sekedar menanyakan kabarnya. Bagiku mereka sudah mati, meski terkadang terselip rasa rindu, tapi ego sebagai lelaki menahanku. 

Kupandang punggung mantan istriku itu, hingga menghilang di lorong rumah sakit. Jujur ada getaran aneh dalam dadaku, saat bertemu dengannya tadi. Apa masih ada cinta untuknya? Entahlah, dari tiga pernikahanku, dialah istri terbaik yang pernah kupunya. 

"Kok berhenti Mas? Kan Mas Afnan tahu sendiri, menjadi dokter itu impianku sejak kecil," protes Uma, saat ku-utarakan keinginanku agar dia berhenti bekerja.

"Lihatlah perut buncitmu itu, tak lama lagi akan lahir buah hati kita. Lagi pula aku tidak mau anakku diasuh oleh pembantu," ucapku berlasan.

"Tapi tugas dokter itu mulia Mas, banyak dibutuhkan orang, banyak menyelamatkan nyawa manusia," sanggah Uma, berusaha meyakinkan,ku. Bulir bening mulai menetes di pipinya. 

"Setinggi apapun pekerjaanmu, tugas utamamu adalah mengabdi pada suami, dan itu lebih mulia dibanding kamu mengurus orang lain," ucapku dengan nada dingin.

Uma tertunduk, sesekali dia mengusap sudut matanya. Aku tahu dia menangis, tapi berusaha tegar di depanku. 

"Kalau Mas Afnan memintaku berhenti, bicaralah pada Bapak. Karena menjadi dokter bukan hanya impianku, tapi impian keluargaku juga," lirih Uma, tanpa berani menatapku. 

Bapak mertuaku Dokter spesialis penyakit dalam, sedangkan ibu mertuaku Dokter spesialis anak. Wajar kalau Uma ingin menjadi seperti kedua orang tuanya.

Dan di sinilah aku sekarang, di rumah orang tua Uma.

"Kalau berhenti total, Bapak kurang setuju. Bagaimanapun juga, Uma satu-satunya harapan kami, untuk meneruskan tugas kami menolong sesama, dengan menjadi dokter.

Kalau dia berhenti, ilmu yang sudah dia pelajari akan sia-sia, dan impian kami untuk punya penerus akan sirna," ucap mertuaku merasa keberatan, saat aku memberi tahu Bapak, bahwa Uma akan mengundurkan diri dari rumah sakit dia bekerja, untuk fokus menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.

"Saya hanya tidak ingin, Uma lalai pada tugasnya sebagai seorang Ibu dan istri, Pak. Kalau dia masih tetap bekerja. Kan ilmunya masih bermanfaat untuk keluarga kecil kami," ucapku meyakinkan.

"Hhh," Bapak menghela nafas, kemudian berkata, "Kalau saja aku masih punya hak mengaturnya, aku tidak akan membiarkan Uma, berhenti menjadi dokter.

Kamu tahu sendiri, Kakak Uma, lebih memilih menjadi pengusaha, dan Uma yang sudah susah payah menempuh pendidikan, dengan prestasi yang membanggakan, kini harus berhenti demi mengabdi pada suami.

Jujur Bapak kecewa, tapi apa mau dikata, ini sudah menjadi pilihan kalian berdua, semoga ini bukan keputusan yang keliru," pungkas Bapak.

Kulirik Uma yang duduk di sampingku, dia hanya diam menundukkan kepala. Aku tahu dia merasa berat melepas karir yang sudah lama diimpakannya, tapi demi aku rela melakukannya.

Waktu itu Uma baru enam bulan menikah denganku, dan sedang hamil lima bulan. Dengan alasan kesehatan janin, aku minta Uma berhenti kerja. Meski awalnya dia keberatan, toh akhirnya dia manut juga.

Sejak itu kegiatan Uma, hanya seputar dapur sumur dan kasur, tak ada lagi jas putih dan stetoskop yang menghiasi tubuhnya.

Dia mulai bisa menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga, dia juga tidak keberatan merawat ibuku yang sakit-sakitan. Dia begitu telaten, tak salah aku menikahinya.

Sebenarnya, ada alasan lain kenapa aku melarang dia menjadi dokter. Uma itu cerdas dan berprestasi, baru saja lulus tapi langsung ditarik untuk bekerja di RSUD, dia juga dipromosikan untuk mendapat beasiswa untuk mengambil spesialis.

Aku tak ingin tersaingi oleh istriku sendiri, aku akan merasa minder kalau karirnya melesat sementara aku masih begini-begini saja. Aku takut kalah pamor.

"Mas, kok malah bengong di situ! Ayo pulang!" ucapan Sandi seketika membuyarkan lamunanku.Istri ketigaku itu menatapku penuh selidik. 

"Eh, i--iya, sudah dapat obatnya?" ucapku gugup, takut ketahuan Sandi aku memikirkan mantan istriku. 

 "Sudah, Mas. Lihat siapa sih?" tanya Sandi penasaran, dia melongok ke arah lorong, di mana aku menatap kepergian Uma tadi.

"Nggak ada, ayo pulang!" ajakku, lalu segera meninggalkan ruang tunggu.

Sepanjang perjalanan pulang, fikiranku masih tertuju pada Uma, wanita yang kuceraikan lima tahun yang lalu.

Rupanya setelah bercerai dia kembali mewujudkan mimpinya, menjadi dokter seperti cita-citanya dulu. Tak kusangka secepat itu dia sampai pada posisi se-prestis ini.

"Aku tuh pengen banget jadi dokter anak, kayak Ibu, Mas. Kayak nggak tega lihat anak-anak kehilangan keceriaannya karena sakit, kepengen segera menolongnya agar dia sembuh, terus bisa main lagi," ucapnya dengan mata berbinar, waktu kami dalam perjalanan pulang ke rumahnya, saat itu kami masih pacaran.

Tapi jalan nasib merubahnya menjadi dokter kandungan, entah apa alasan yang melatar belakanginya? Ingin kutanyakan pada Uma secara langsung, tapi apa dia mau menjawab, bertemu denganku saja dia pura-pura tidak kenal. 

"Mas mikirin apa sih? Perasaan dari tadi bengong mulu deh? Di ajak ngomong nggak nyahut!" seru Sandi, membuatku terpaksa berhenti memikirkan Uma. 

"Eh iya, kamu ngomong apa tadi?" Jelas Sandi protes, biasanya kami sering bercanda atau ngobrol apa saja, meski nyetir. 

"Mas Afnan naksir dokter kandungan tadi ya?" tuduh Sandi. 

"Naksir gimana? Orang mukanya nggak keliatan gitu?" sanggahku. 

"Meski pakai masker, aura kecantikannya tetap terpancar lho, iya kan Mas?" sahut Sandi. 

Uma memang cantik, Sandi. Bukan hanya wajahnya yang cantik, tapi hatinya juga cantik. Aku yakin kamu bakal cemburu berat kalau tahu Uma adalah mantan istriku. 

"Semua wanita cantik," jawabku asal. 

"Tapi tetep aku yang paling cantik, iya kan?" 

"Iya, kalau nggak cantik mana mau Mas menikah denganmu." Ku elus puncak kepala Sandi, dan wanita yang kunikahi setahun lalu itu pun menyenderkan kepalanya di bahuku. 

Meski secara fisik Sandi jauh lebih menarik dari Uma, tapi bagiku Uma tetap lah wanita sempurna yang pernah kujumpa.

Ah Uma, andai kamu tahu ngenesnya nasibku setelah bercerai denganmu.

Bersambung....

Kira-kira nasib sengenes apa sih? Suami egois ini? Baca terus kisahnya ya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status