#Penyesalanku 1"Saya, mau istri saya diperiksa oleh dokter wanita, suster," ucapku pada perawat yang menjaga meja resepsionis."Bisa Pak, tapi Bapak harus menunggu satu jam lagi. Masalahnya, di sini dokter kandungan wanitanya adalah direktur rumah sakit, dan sekarang sedang ada rapat dewan direksi.Kalau Bapak dan Ibu buru-buru, bisa diperiksa dokter Agus sekarang," jelas perawat bertag name Sita itu ramah. Aku berfikir sejenak, menunggu itu melelahkan, tapi tak apalah, daripada istriku diobok-obok dokter laki-laki. Jujur aku tidak rela meski dengan alasan medis."Ya nggak pa-pa Suster, saya akan menunggu," ucapku mantap."Silahkan ditunggu, Pak," pungkasnya, kemudian kembali dengan kesibukannya. Tak salah aku memilih rumah sakit ini, untuk memeriksakan kehamilan istriku. Rumah sakit milik ormas berlambang matahari terbit ini memang memuaskan pelayanannya.Dari satpam, hingga resesionisnya ramah semua. Cepat tanggap, lihat saja saat aku minta dokter kandungan wanita, d
Penyesalanku 2"Maaf, saya buru-buru Pak. Ada pasien yang mengalami pendarahan, yang harus segera mendapat tindakan." Uma segera berlalu dan meninggalkan aku begitu saja.Uma pasti malas menjawab pertanyaan basa basiku, karena setelah bercerai, kami benar-benar putus komunikasi. Tak ada lagi nafkah untuk anak-anak, atau sekedar perhatian, aku sudah menelantarkan mereka.Aku bahkan tidak menyerahkan dia secara baik-baik kepada orang tuanya, aku tidak pernah menengok anak kami, atau sekedar menanyakan kabarnya. Bagiku mereka sudah mati, meski terkadang terselip rasa rindu, tapi ego sebagai lelaki menahanku. Kupandang punggung mantan istriku itu, hingga menghilang di lorong rumah sakit. Jujur ada getaran aneh dalam dadaku, saat bertemu dengannya tadi. Apa masih ada cinta untuknya? Entahlah, dari tiga pernikahanku, dialah istri terbaik yang pernah kupunya. "Kok berhenti Mas? Kan Mas Afnan tahu sendiri, menjadi dokter itu impianku sejak kecil," protes Uma, saat ku-utarakan keinginanku ag
Penyesalanku 3 Ah Uma, andai kamu tahu ngenesnya hidupku setelah bercerai denganmu.Lihat saja, pagi-pagi bukannya bangun menyiapkan sarapan untuk suami, Sandi malah asik molor. "Dek, bangun! Sudah siang!" Ku guncang-guncang kaki Sandi, yang masih terlelap dalam mimpi."Dek, kamu belum solat subuh lho!" sekali lagi kubangunkan Sandi.Tapi Sandi tak bergerak sama sekali, tak memberi respon meski kubangunkan berulangkali. Begitulah istriku ini, kalau sudah tidur seperti orang mati.Tak pernah ada sarapan pagi, atau menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, aku ini beristri tapi rasanya seperti duda saja. Apa-apa melakukan sendiri. Gontai ku langkahkan kaki ke dapur, terpaksa aku membuat telur dadar sendiri, nasi kemarin yang dimasak Bi Murni masih ada di magic com. Bosan tiap hari hanya sarapan roti, karena Sandi tak pernah mau masak. "Sebelum menikah dulu, Kan aku sudah bilang, Mas. Aku mau jadi istrimu, melayani urusan ranjangmu, tapi urusan dapur dan sumur a
Penyesalanku 4Aku menatap wajah bocah itu, aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Dia mirip dengan....apa mungkin?.Lalu pandanganku beralih ke papan nama di dada baju seragamnya, "Muhammad Alfarizi Baadillah" Nama itu.... "Auw!" Anak itu menjerit kesakitan, saat berusaha berdiri. Membuat lamunanku buyar seketika."Mana yang sakit, Dek?" tanyaku panik."Pergelangan kakiku, Om," lirihnya. Ku buka sepatu dan kaos kakinya, kulihat memang ada memar di sana, Mungkin dia terkilir saat jatuh tadi."Kamu terkilir ini, Om antar ke rumah sakit ya?" Bocah itu diam, sepertinya sedang berfikir, kemudian menjawab. "Antar ke PKU aja Om, Bunda dinas di sana," ucapnya kemudian.Aku memapah bocah itu menuju mobilku, mendudukkanny di kursi depan, lalu tancap gas ke rumah sakit yang dimaksud. Rumah sakit yang sama, di mana Sandi memeriksakan kehamilan, dan tempat kerja Uma. "Kamu tadi mau kem
Penyesalanku 5Sebelum mencapai pintu Bapak berbalik menatapku. "Kalau terjadi sesuatu pada Uma, saya pastikan kamu akan menyesal!" ancam Bapak kemudian pergi. Tanpa menunggu jawabanku, Bapak pergi begitu saja.Tanganku mengepal, ego kelaki-lakianku menggelegak, aku tidak terima harga diriku sebagai suami diinjak. Seorang Ayah menjemput paksa anaknya dari rumah suaminya sendiri, ini penghinaan bagiku "Sekali Uma keluar, maka pintu rumah ini akan tertutup selamanya untuk, Uma!" ujarku lantang, Bapak menghentikan langkahnya sejenak, menoleh kearahku sekilas, dengan tatapan sinis, pun Ibu mertua. Kemudian mereka semua pergi, tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku. Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Uma lagi. Bahkan saat anak kedua kami lahir, aku pun tak menjenguknya, untuk apa? Merendahkan harga diriku? "Af, Uma sudah melahirkan, kita kesana yuk, njenguk cucu Ibu." Rengek Ibu padaku."Ibu tahu
Penyesalanku 6Dengan langkah gontai, kutinggalkan ruangan Uma. Entah apa yang sudah terjadi pada diri Uma, hingga membuatnya berubah 180 derajat. Tak lagi lemah lembut. Sebenarnya aku punya satu mantan istri lagi selain Uma. Tapi entah mengapa hanya kenangan bersama Uma yang tak bisa kulupakan, mungkin sudah ada anak diantara kami, dan kebersamaan kami lumayan lama, 6 tahun. Namanya Riyanti, gadis manis berlesung pipi. Aku mengenalnya enam bulan setelah resmi bercerai dengan Uma. Ibu yang mengenalkannya padaku, dia anak sahabat ibuku. Meski dijodohkan, aku dan Riyanti saling mencintai. Aku jatuh cinta pada sosoknya ramah, lembut dan perhatian.Singkat kata kami menikah, setelah menjalani proses pendekatan selama dua bulan. Dia kalem, tak banyak menuntut, dan bersedia menjadi Ibu rumah tangga seutuhnya.Usia Riyanti waktu itu dua puluh dua tahun, jauh lebih muda dibanding Uma. Dia baru saja lulus kuliah, belum punya pengalaman kerja, mungkin itu yang membuat dia t
Pov Uma"Boleh kan, aku menjalin kedekatan dengan anak-anakku?" tanyanya pelan. "Apa selama ini anda perduli?" jawabku dingin. "Aku ---" "Maaf, ada pasien yang harus saya tangani, pemisi." Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, aku segera memotongnya. Malas aku ngobrol lama-lama dengan laki-laki egois ini. Huh! Kenapa kau harus bertemu dia lagi? Hidupku yang semula tentram, kini merasa terusik dengan kehadirannya. Jujur, aku lebih suka dia menghilang.Afnan Baadaillah, Laki-laki yang pernah menorehkan luka terdalam dihidupku, kini muncul lagi. Meski tak sengaja tetap saja aku tidak suka.Bukan hal yang mudah untuk melupakan pria yang pernah membersamaiku selama enam tahun itu. Demi dia, aku rela meninggalkan karir dan mimpiku, mengabdi sepenuh jiwa raga pada suami.Tapi apa yang kudapat? Penghargaan, atau sekedar ucapan terima kasih? Tidak! Dia menganggap itu adalah kewajibanku sebagai istri, memang seharusnya kulakukan tanpa pamrih."Kamu mikirin suamimu lagi, Uma?" tanya
Kejadian yang kualami pagi ini membuat moodku ambyar, susah fokus. Pekerjaanku tidak ada yang beres, teringat sikap dingin Uma. Tak kusangka, dia begitu arogan. Apalagi kata terakhirnya terus terngiang-ngiang di telingaku. "Bahkan saya lupa pernah menjadi istri anda" Uma benar-benar sudah berubah. Karena nggak konsen dengan kerjaan kantor, akhirnya aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Dengan alasan tak enak badan aku minta ijin Mbak Yeni. Sampai rumah, kudapati pagar tidak digembok, berarti ada orang di rumah, begitu pikirku. "Assalamualaikum .... Dek! Mas pulang!" seruku lantang."Waalaikum salam ... eh, Pak Afnan sudah pulang?" Wanita setengah baya yang kupanggil Bibi itu, tergopoh-gopoh menghampiriku. "Bu Sandi mana? Masih di kamar?" tanyaku pada Bi Murni, harusnya Sandi yang menyambutku, kenapa malah pembantu?."Bu Sandi pergi, Pak.""Kemana?""Nggak tahu Pak, nggak pamit tadi, kan biasanya emang begitu." Jadi tiap hari, kalau kutinggal kerja, Sandi pergi kel