Penyesalanku 4
Aku menatap wajah bocah itu, aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Dia mirip dengan....apa mungkin?.Lalu pandanganku beralih ke papan nama di dada baju seragamnya, "Muhammad Alfarizi Baadillah" Nama itu....
"Auw!" Anak itu menjerit kesakitan, saat berusaha berdiri. Membuat lamunanku buyar seketika."Mana yang sakit, Dek?" tanyaku panik."Pergelangan kakiku, Om," lirihnya. Ku buka sepatu dan kaos kakinya, kulihat memang ada memar di sana, Mungkin dia terkilir saat jatuh tadi."Kamu terkilir ini, Om antar ke rumah sakit ya?" Bocah itu diam, sepertinya sedang berfikir, kemudian menjawab. "Antar ke PKU aja Om, Bunda dinas di sana," ucapnya kemudian.Aku memapah bocah itu menuju mobilku, mendudukkanny di kursi depan, lalu tancap gas ke rumah sakit yang dimaksud. Rumah sakit yang sama, di mana Sandi memeriksakan kehamilan, dan tempat kerja Uma. "Kamu tadi mau kemana? Kok buru-buru, sampai nggak lihat ada mobil lewat," tanyaku pelan, mencoba mengakrabkan diri. Entah mengapa aku merasa ingin dekat dengan anak ini. "Buku Adek kebawa sama saya, Om. Tadi saya bermaksud mengembalikan, Om. Eh... Mobil Mama malah sudah pergi. Lalu saya buru-buru mau kembali ke sekolah, saya sudah lihat kanan kiri kok, sebelum nyebrang, tapi mobil Om, tiba-tiba muncul. Untung nggak ketabrak ya, Om?" terang bocah bernama Alfarizi itu. "Iya, Om yang salah, nyetirnya nggak fokus, Om minta maaf ya?" "Iya Om.""Oh ya, kita belum kenalan. Nama Om, Afnan. Kamu boleh panggil Om Afnan, terus Om panggil kamu apa, nih?" "Alfa, Om.""Alfa kelas berapa?""Kelas 4 Om, SD Muhammadiyah 1." Posisi Alfa jatuh tadi memang dekat kampus SD-SMP-SMA Muhammadiyah, untung saja jalanan belum ramai, jadi peristiwa itu tidak menarik perhatian orang banyak. "Parkir di sebelah situ aja Om, dekat ruangannya Bunda." Alfa menunjuk lokasi parkir yang bertuliskan, "Khusus dokter"."Tapi Om, bukan dokter, Al." "Nggak apa-apa Om, kan saya anaknya dokter, dan calon dokter di sini Om," seloroh Alfa kocak, aku pun reflek mengacak rambutnya, karena gemas.Di pintu masuk, kami disambut satpam dengan ramah. "Lho, Mas Alfa kenapa?" tanya satpam, saat melihat aku membantu Alfa yang jalannya pincang. Pria itu tergopoh-gopoh menghampiri kami. "Jatuh Pak Rudi, sekarang Alfa mau ke ruangan, Bunda." Ternyata mereka sudah saling kenal. "Perlu saya bantu, Pak?" Satpam itu menawarkan bantuan, tapi ku tolak. "Tidak usah Pak, biar saya saja," tolakku halus."Ya sudah, hati-hati ya?" Pria paru baya itu kembali ke tempatnya semula. Alfa mengajakku masuk ke sebuah ruangan, jantungku seolah berhenti berdetak, demi melihat wanita yang sedang duduk di belakang meja."Bunda!" seru Alfa, memanggil wanita yang beberapa hari ini mengisi lamunanku. Apa aku tidak salah dengar? Alfa memanggil Uma, dengan sebutan Bunda? Berarti Alfa anakku? Dia baru duduk di bangku TK saat ketuk palu hakim memutuskan perceraian kami dulu, dan sekarang dia sudah sebesar ini. Ya Allah.... kemana saja aku selama ini?"Alfa! Mas Afnan? Kok kalian bisa?" Uma pun tak kalah terkejutnya denganku.
Mulut polos Alfa berceloteh tentang kejadian naas, yang dialaminya hari ini. sementara Uma hanya diam tak merespon, mungkin masih syok, melihat aku bersama Alfa.
"Bunda marah ya? Kok diam aja?" lirih Alfa, melihat bundanya tidak bereaksi."Alfa duduk dulu, biar Bunda lihat lukanya?" ucap Uma, setelah berhasil menguasai diri. Dengan cekatan Uma mengoleskan Gel pereda nyeri, di pergelangan kaki Alfa, lalu membebatnya dengan kain kasa, sementara luka di lututnya diberi cairan antiseptik."Lain kali hati-hati, kalau butuh apa-apa, kamu bisa telfon Bunda, bukannya melakukan tindakan ceroboh seperti tadi," ucap Uma lembut. "Maaf Bunda, Alfa hanya nggak mau Adek nangis, karena bukunya kebawa Alfa," ucap Alfa sendu, kentara sekali dia merasa bersalah."Uma," ucapku pelan, Uma menoleh ke arahku, kali ini tatap matanya datar. "Oh ya, terima kasih sudah menolong anak saya.""Jedar!" rasanya kayak disambar petir disiang bolong, Uma bersikap seolah tidak mengenalku. Ya Allah..., rasanya nyesek banget. Padahal aku tadi berharap, hubunganku dan Uma mencair setelah kejadian ini. "I--iya, sama-sama," ucapku gugup, tiba-tiba lidahku terasa kelu, mendapatkan respon tak terduga dari Uma."Alfa sekarang kembali ke sekolah ya? Bunda antar." Uma menggandeng Alfa yang sudah merasa baikan. "Biar aku saja yang antar," selaku."Nggak usah Pak, nanti merepotkan." Aku merasa tertampar dengan ucapan Uma. Dia hanya menganggapku orang asing, sebenci itukah dia padaku? Aku teringat saat dia masih menjadi istriku, waktu itu orang tuanya menjemput paksa Uma, yang sedang sakit di rumah. Sempat terjadi perdebatan sengit antara aku dan bapaknya, tapi Uma hanya diam saja. "Pak Bu, ada apa ini?" tanyaku bingung saat mendapati mertuaku sudah berada di kamar kami. Alfa digendong Ibu Mertua, sementara Uma, masih berbaring lemah di tempat tidur."Suami macam apa kamu? Istri sakit malah ditinggal pergi, bukannya diantar ke dokter," geram Bapak, dari roman mukanya, aku tahu beliau sedang menahan emosi.
"Saya kerja, Pak. Bukan pergi keluyuran, lagi pula Uma kan dokter, harusnya dia tahu apa yang harus dilakukan saat sakit begini," sanggahku. "Kamu tega ya ngomong begitu? Istrimu itu manusia, bukan wonder women. Dia memang tahu apa yang harus dilakukan, tapi saat tubuhnya lemah seperti ini, dia butuh bantuan orang lain.Jadi begini perlakuanmu kepada anakku selama kalian menikah?!" ucap Bapak tajam. "Bukan begitu Pak, saya tidak mungkin menjaga Uma selama 24jam, saya juga harus kerja untuk menafkahi dia?" ucapku membela diri."Apa kantormu tidak mengijinkan karyawan mengantar istrinya yang sakit?""Me--menginjinkan, tapi selama ini Uma, selalu mandiri, apa-apa dilakukan sendiri, jadi saya pikir dia bisa mengatasi masalah tanpa butuh saya," sanggahku membela diri.
"Kamu memang nggak punya otak! Waktu aku ke sini, dia dalam keadaan demam tinggi, anakmu menangis, menurut Uma, sudah tiga hari ini Ibumu dan anakmu diare, dia kelelahan mengurus keduanya sendiri. Di mana hati nuranimu sebagai Ayah, Anak dan suami, saat anak, Ibu, dan istrimu membutuhkanmu." Bapak yang biasanya bijak dalam bertutur kata itu, kini memakiku, hanya karena masalah sepele.
"Bu, bawa Alfa masuk mobil, jangan lupa tas mereka. Uma, biar Bapak yang bawa," titah Bapak, pada ibu mertuaku."Tasnya sudah masuk mobil semua Pak, tinggal ransel milik Alfa," sahut Ibu mertuaku, beliau hanya menatapku sekilas, tanpa menyapa sama sekali, padahal biasanya selalu bersikap hangat padaku Aku hanya diam terpaku, sisi kelaki-lakianku tersinggung dengan sikap Bapak. Sebagai suami Uma, aku merasa tidak dihargai oleh mertuaku sendiri."Maaf sebelumnya Pak? Anda tidak bisa membawa Uma keluar begitu saja tanpa seijin saya. Saya ini suaminya." Bapak menatapku tajam. "Menunggu ijinmu, keburu anakku mati. Dengan atau tanpa ijinmu, aku akan tetap membawa Uma berobat ke rumah sakit," tegas Bapak.Kalau Uma memang sakit, biar aku yang membawanya. Bukan orang lain, meski itu ayahnya sendiri. Lancang sekali Bapak melangkahi aku.
"Maaf Pak, saya suaminya, saya punya hak penuh atas, Uma." Sergahku tak terima.
Rahang Bapak mengeras, ada kilat amarah dalam tatapannya. Sementara, Uma terlihat memejamkan mata dalam dekapan Bapak, wajahnya nampak pucat pasi. "Dan hak itu saya ambil sekarang, karena kamu tidak bisa menjaga anak saya. Ceraikan saja Uma, dari pada dia menderita hidup bersamamu." Tanpa menunggu jawabanku, Bapak berlalu begitu saja.Sebelum mencapai pintu Bapak berbalik menatapku. "Kalau terjadi sesuatu pada Uma, saya pastikan kamu akan menyesal!" ancam Bapak kemudian pergi.Bersambung....
"Segera ajukan gugatan cerai kita, Mas. Aku menunggu," pungkas Wina, lalu menyeret kopernya keluar. "Wina!" seruku lantang, sebelum Wina mencapai pintu. Dia menghentikan langkah, dan menoleh kepadaku. "Apalagi Mas?" tanyanya jengkel. Aku diam, bingung harus bagaimana. Sudah berusaha menahannya, tapi dia tetep kekeh pada pendiriannya. Dasar keras kepala. Tak berkacakah dia? Wajahnya biasa saja, kurang cantik menurutku. Aku sudah merendahkan harga diriku, memohon padanya tapi seolah dia tak butuh. Harusnya dia bersyukur, aku yang tampan ini memperistri dia. Bukannya bersikap arogan seperti ini. Sebenarnya aku ingin memohon padanya sekali lagi, agar membatalkan kepergiannya, tapi jika kulakukan, aku takut dia makin besar kepala. Ya sudah lah, kalau dia mau pergi, biar saja. Mungkin lebih baik begitu, soal Ryan biar aku cari pengasuh nanti. Siapa tahu dengan status baruku, Riyanti mau menerimaku kembali. "Semoga kamu tidak menyesali keputusan ini nanti," ucapku akhirnya. "Gitu aja
"Dari mana kamu?" tanyaku, ketika mendapati Wina masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap. Dia terlonjak kaget, hingga kunci pintu yang dia genggam terjatuh. "Apa pedulimu?!" ketus Wina. "Jelas aku peduli, kamu istriku," tukasku. "Istri? Kamu masih ingat kalau aku ini istrimu? Kenapa kamu mengejar wanita lain, kalau masih merasa punya istri?" sindirnya."Tidak usah mengalihkan pembicaraan, aku tanya kamu dari mana?" ucapku datar. "Bukan urusanmu!" ucap Wina tak acuh, melewatiku begitu saja. "Apa susahnya menjawab pertanyaan suamimu? Aku tanya kamu baik-baik, tapi jawabanmu ketus begitu! Kamu punya tata krama nggak sih? Aku ini suamimu, orang yang seharusnya kamu hormati!" Suaraku naik satu oktaf.Wina berhasil memancing emosi yang dari tadi aku tahan. Tiba-tiba aku teringat pesan Mbak Yeni, "Kamu tahu betul bagaimana karakter Wina, dia memang kasar, kalau bicara tanpa saringan. Kamu yang waras ngalah dong! Kamu harus bisa membimbing dia, mengubah sikapnya pelan-pelan. Me
Hubunganku dengan Wina semakin renggang, kami hanya dua orang asing yang tinggal satu atap. Tak saling peduli, bahkan tak saling sapa. Wina yang biasa menyiapkan segala keperluanku, kini tak melakukanya lagi. Di rumah jarang sekali tersedia makanan, tapi cuci setrika dan beres-beres tetap dia lakukan. Bagiku tak masalah, yang penting Ryan terurus. Kasihan kalau anak itu harus merasakan dampak dari pertikaian kedua orang tuanya. Kadang aku merasa bimbang, apakah melanjutkan rencanaku menceraikan Wina, atau melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat ini. Lalu bagaimana dengan Ryan?Memikirkan semua itu kepalaku rasanya mau pecah. Aku dan Wina sama-sama keras kepala, tak ada yang mau mengalah. Aku enggan minta maaf, begitu pun Wina. Diantara kami tak ada yang mau memulai memperbaiki keadaan, semua berpegang teguh pada pendirian. "Kamu yang lebih tua ngalah, sudah tahu Wina itu orangnya bar-bar, harusnya kamu bersikap lembut menghadapinya, bukannya malah menandingi. Kalau dia diam,
Di sinilah kami sekarang, di ruang tamu rumahku, yang sudah seperti ruang sidang. Aku duduk berdampingan dengan Wina, di sofa panjang. Riyanti duduk di sofa single depanku, di sampingnya duduk Pak Rt. Sementara Bu Rt dan Bu Ratmi berdiri. "Tolong jelaskan duduk perkaranya, biar saya bisa membantu mencari solusinya," ucap Pak Rt bijak. "Suami saya berselingkuh dengan janda gatel itu, Pak!" tuding Wina, dia menatap Riyanti penuh kebencian. "Itu tidak benar, itu fitnah! Antara saya dan Mas Afnan tidak ada hubungan apa-apa," sela Riyanti. "Pak Rt dengar sendiri, kan? Dia bahkan memanggil suami saya, Mas. Itu menunjukkan kalau mereka memang punya hubungan spesial, buktinya dia punya panggilan mesra," sergah Wina. "Wina!" bentakku. "Tuh, Pak Rt lihat sendiri, dia nggak terima selingkuhannya disalahkan," sahut Wina. Aku yang berusaha menahan emosi dari tadi, rasanya ingin menggampar mulutnya yang tidak tahu tata krama itu. "Bu Wina, tolong tenang dulu. Beri kesempatan Pak Afnan menje
"Cerai?" Mbak Yeni membeo ucapanku. Setelah kuceritakan tentang niatku untuk bercerai dengan Wina. "Iya Mbak, aku sudah nggak tahan sama sikap Wina. Susah diatur, apalagi penampilannya, bikin ilfeel aja. Rasanya aku ini nggak punya istri, tapi pembantu," ucapku meluapkan unek-unek di hati. "Hhh!" Mbak Yeni membuang nafas kasar. "Kamu dari dulu nggak berubah, selalu buru-buru mengambil keputusan, tanpa dipikir dulu baik buruknya, efek jangka panjangnya. Hanya menuruti emosi saja. Bagaimanapun juga Wina itu istrimu, wanita pilihanmu sendiri, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa kamu buat nikahi dia. Kalau Wina tidak sesuai keinginanmu, bicaralah baik-baik.""Aku sudah capek ngomong sama dia, Mbak. Dia itu keras kepala," selaku."Bingung aku harus ngomong apa sama kamu. Dulu kupikir kamu menikahi Wina, karena sudah siap dengan resiko punya istri dengan latar belakang seperti itu. Kupikir kamu bisa membimbingnya, agar dia bisa mengimbangimu. Eh ternyata makin kesini, makin---
Sejak kejadian pelabrakan yang dilakukan oleh ibu-ibu tidak kenal, terhadap Riyanti. Hubunganku dengan Riyanti menghangat, maksudku dia sudah tidak menolak lagi bantuanku. Karena aku sudah menjadi pahlawan untuknya. Aku ini manajer, perusahaannya pun milik saudaraku, jadi aku sedikit bebas keluar kantor, tanpa perlu ijin. Yang penting pekerjaanku beres, begitu kata Mbak Yeni. Dan kesempatan ini kugunakan untuk mendatangi warung Riyanti. Bantuin dia, dan jaga-jaga kalau ada kejadian serupa. Dari sikapnya, aku merasa Riyanti ini membutuhkan aku sebagai pelindungnya. Meski itu tidak terucap dari bibirnya, aku bisa merasakan itu. "Mas, akhir-akhir ini perasaanku kok nggak enak ya?" ucap Riyanti suatu hari. "Nggak enak gimana?""Nggak enak aja, aku juga nggak tahu kenapa. Tapi feelingku mengatakan bakal ada kejadian yang nggak enak lagi." ucapnya khawatir. "Nggak usah negatif thinking jadi orang, nanti malah kejadian. Mikir itu yang positif aja, yang baik-baik, biar yang terjadi juga
"Kamu kenapa sih, Mas? Sekarang kok jarang makan di rumah, nggak mau dibawain bekal," tanya Wina ketika aku menolak sarapan, dan tidak mau membawa bekal yang sudah dia siapkan. "Nggak pa-pa, hampir tiap hari ada aja yang bawa makanan, masak iya aku tolak, nggak enak," bohongku. Padahal aku males makan masakan Wina yang itu-itu saja. Lagi pula aku males bawa bekal dari rumah, kayak anak TK aja. Mending aku makan di warungnya Riyanti, rasanya enak plus bisa menatap wajah cantiknya. "Beneran itu alasannya? Bukan karena ada alasan lain?" tanyanya curiga. "Alasan lain apa? Kamu jangan ngarang ya?" "Mungkin aja kamu lebih suka makan di warung Mbak Janda, yang sekarang lagi viral itu.""Mbak Janda?" Aku membeo ucapan Wina. "Iya, warung sotonya Mbak Riyanti. Warga baru kompleks ini.""Kamu itu ngarang, aku memang pernah makan di sana, tapi nggak setiap hari juga. Nggak bosen apa, makan soto terus," sangkalku. Padahal aku hampir setiap hari makan di warung itu. Bagiku tidak ada kata bosa
Setelah kedatanganku yang pertama mendapat sambutan baik dari Riyanti, hampir setiap hari aku berkunjung ke warung itu. Tapi aku memilih jam makan siang, yang pengunjungnya tak terlalu ramai. Aku juga sering bantu Riyanti, beres-beres saat warungnya kalau mau tutup. Entah lah, apa yang kulakukan ini dosa atau tidak, aku hanya ingin meringankan sedikit saja beban janda muda itu. Meski berkali-kali dia menolak bantuanku. "Mas Afnan nggak usah repot bantu-bantu di sini. Ada anak-anak, biar mereka aja yang mengerjakan," ucap Riyanti ketika membantunya menurunkan belanjaan dari mobil. "Nggak pa-pa, aku seneng bisa bantu kamu.""Iya, tapi aku nggak enak. Apa kata orang nanti, melihat Mas Afnan bantuin aku di sini!" "Ya emang kenapa? Nggak salah, kan?""Mas, aku ini sudah berusaha sebisa mungkin menyembunyikan masa lalu kita lho, kalau kamu kayak gini nanti tetangga tahu, kalau aku ini mantan istrimu.""Kalau mereka tahu kenapa?""Kan bisa jadi bahan gunjingan, Mas. Aku malu.""Sudah ngg
Sejak Riyanti menghantui pikiranku, aku jadi penasaran ingin bertemu dengannya, meski tak bisa ngobrol lama, setidaknya aku bisa memandang wajahnya. Tapi setiap hari aku hanya bisa menatap pagar terkunci dari luar, rumah Riyanti selalu sepi. Paling-paling aku melihat pembantunya yang sedang nyapu halaman. Tak kehilangan akal, aku berusaha bangun pagi, agar bisa melihat Riyanti. Begitu azan berkumandang, aku segera bergegas ke mesjid terdekat, tapi rumah Riyanti sudah sepi. Usaha apa lagi yang harus kulakukan agar bisa bertamu Riyanti? Tiba-tiba terlintas ide dikepalaku, mengapa aku tidak ke warung makannya saja? Pura-pura makan. Selain bisa menatap wajahnya dari dekat, aku bisa merasakan enaknya masakan dia. "Tumben pagi-pagi sudah mau berangkat, Mas?" sapa Wina, ketika melihatku sudah rapi. "Iya, ada beberapa berkas yang harus diperiksa," bohongku. Berkas apaan? Aku hanya ingin sarapan di warung makan milik Riyanti. "Nggak sarapan dulu? Sudah mateng lho, aku ambilin ya?""Ngga