Sinopsis "Uma!" seruku lantang, memanggil nama mantan istriku yang nampak tergesa-gesa itu. Uma berhenti sejenak, dan menoleh kearahku. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?" ucapnya formal. Seolah kami tidak pernah saling kenal. "Apa kabarmu?" tanyaku basa-basi. "Oh, baik, saya baik-baik saja," jawabnya canggung. Tatap matanya datar, tak ada keramahan di sana. "Anak-anak ---" Belum sempat kuselesaikan ucapanku, Uma sudah memotongnya. "Maaf saya buru-buru, Pak. Ada pasien yang mengalami pendarahan, yang harus segera mendapat tindakan." Uma segera berlalu dan meninggalkan aku begitu saja. Uma pasti malas menjawab pertanyaan basa basiku, karena setelah bercerai, kami benar-benar putus komunikasi. Tak ada lagi nafkah untuk anak-anak, atau perhatian sebagai ayah. Bahkan sekedar bertanya kabaar pun, tak pernah kulakukan. Aku sudah menelantarkan mereka. Melihat Uma yang sekarang membuatku dilanda penyesalan. Wanita yang dulu rela meninggalkan profesinya demi sepenuhnya mengabdi kepada-ku itu, kini bertransformasi menjadi wanita karier yang sukses. Tak ada lagi wanita lemah yang hanya bisa menangis saat kubentak, yang ada wanita berwibawa yang membuat lawan bicaranya bersikap hormat. Dulu kutinggalkan dia dalam keadaan hamil tua anak kedua kami. Bahkan saat melahirkan aku tak menemaninya. Apa kabar anakku sekarang? Seperti apa rupanya? Jujur aku penasaran, sejak dia lahir aku tak pernah menengoknya. Ingin rasanya aku menjumpai dan memeluk mereka bertiga, melampiaskan rindu yang tiba-tiba hadir. Akankah mereka bisa memaafkan dan menerimaku? Penyesalan itu kian menyiksa, mana kala pernikahan ketigaku tak bahagia. Apakah ini karma, karena telah menelantarkan Uma dan anak-anakku? Sejak bercerai dengan Uma, aku tak pernah menemukan wanita sebaik dia. Andai waktu bisa diulang, aku ingin tetap bersama.
View More#Penyesalanku 1
"Saya, mau istri saya diperiksa oleh dokter wanita, suster," ucapku pada perawat yang menjaga meja resepsionis.
"Bisa Pak, tapi Bapak harus menunggu satu jam lagi. Masalahnya, di sini dokter kandungan wanitanya adalah direktur rumah sakit, dan sekarang sedang ada rapat dewan direksi.
Kalau Bapak dan Ibu buru-buru, bisa diperiksa dokter Agus sekarang," jelas perawat bertag name Sita itu ramah.
Aku berfikir sejenak, menunggu itu melelahkan, tapi tak apalah, daripada istriku diobok-obok dokter laki-laki. Jujur aku tidak rela meski dengan alasan medis.
"Ya nggak pa-pa Suster, saya akan menunggu," ucapku mantap.
"Silahkan ditunggu, Pak," pungkasnya, kemudian kembali dengan kesibukannya.
Tak salah aku memilih rumah sakit ini, untuk memeriksakan kehamilan istriku. Rumah sakit milik ormas berlambang matahari terbit ini memang memuaskan pelayanannya.
Dari satpam, hingga resesionisnya ramah semua. Cepat tanggap, lihat saja saat aku minta dokter kandungan wanita, direkturnya sendiri bersedia turun tangan.
Pantas saja rumah sakit ini berkembang pesat, padahal awalnya hanya klinik kecil. Ormas ini memang selalu total kalau membangun fasilitas untuk umum, lihat saja sekolah, kampus, hingga rumah sakit besutannya, yang ada dihampir seluruh kota di Indonesia. Semuanya maju.
Anganku kembali pada masa lalu, dulu mantan istriku pernah dinas di sini, tapi mengundurkan diri setelah menikah denganku. Dia seorang dokter umum, yang baru beberapa bulan bekerja, tapi rela melepas karir dan mimpinya, demi mengabdi kepadaku, suaminya.
Tapi sayang, aku yang kurang bersyukur mendapat istri secantik dan sebaik dia. Justru tidak menghargai pengorbanannya dan menganggap dia manja, saat dia berkeluh kesah.
Ah, andai waktu bisa diulang kembali, aku tidak akan membuat dia terluka, apalagi menceraikannya. Aku akan membahagiakannya, tapi sayang itu hanya anganku saja.
"Lama banget sih, dokternya," keluh istriku, membuat lamunanku buyar seketika. Wajahnya terlihat suntuk, bibirnya mengerucut.
Kulihat jam di tanganku sekilas, rupanya sudah satu jam lebih aku menunggu. Tapi dokter wanita yang dijanjikan perawat itu tidak kunjung muncul juga. Aku yang sudah bosan menunggu akhirnya gusar juga.
"Suster, kok Bu Dokternya belum datang juga, hampir dua jam saya menunggu lho?" protesku pada Suster bertagar name Sita.
"Sabar ya Pak, Bu Uma sedang perjalanan ke sini," sahut Suster Sita dengan senyum ramahnya.
"Deg!" Jantungku berdesir lembut, Uma nama dokter yang akan memeriksa istriku? Apaka Uma yang sama? Uma mantan istriku? Ah, pasti hanya kebetulan saja, Uma hanya dokter umum, sedangkan dr. Uma ini spesialis kandungan.
Sesosok wanita berjas putih masuk ke ruang periksa. Dia tinggi semampai, berpenampilan elegan, jadi itu bukan Uma, mantan istriku, melainkan orang lain, yang bernama sama.
"Nyonya Arisandi!" Nama istriku dipanggil dari ruang periksa, aku dan Sandi segera bangkit dan menuju ruangan.
"Silahkan duduk," sapa dokter itu ramah.
"Nyonya Arisandi, umur dua puluh delapan tahun, kehamilan pertama, sudah telat dua bulan," dokter itu membaca kertas karton berwarna biru muda, di genggamannya.
"Keluhannya apa?" tanya dokter itu ramah, dilihat dari matanya yang menyipit, aku yakin dia sedang tersenyum, meski wajahnya ditutupi masker.
"Setiap pagi mual, trus gampang capek, lemes Dokter," jawab istriku menceritakan masalahnya.
"Manja!" desisku dalam hati.
Iya, istri ketigaku ini memang manja sekali. Baru hamil saja, kerjanya malas-malasan, dengan alasan bawaan bayi. Beda dengan Uma dulu, meski dia hamil, tapi tetap gesit mengerjakan tugas rumah, bahkan sambil merawat ibuku yang sakit-sakitan.
Kalau Sandi? Beuh! Jangankan mengurus diriku, mengurus dirinya sendiri saja tidak becus. Apa-apa minta dilayani, bahkan aku terpaksa membayar pembantu, untuk mengerjakan semua kebutuhan rumah termasuk aku dan Sandi.
"Oh, itu biasa Bu, tri semester pertama biasanya mengalami morning sickness, gampang lelah, itu wajar. Tapi tetap harus gerak ya, nggak perlu berat-berat, jalan kaki misalnya.
Kalau dipakai malas-malasan malah nanti nggak baik buat janinnya, kurang sehat." Nasehat dokter Uma.
"Nggak bed res saja Bu Dokter?" sanggah istriku.
"Hah? Bed res? Yang bener aja?" gerutuku dalam hati.
"Nggak perlu, kecuali sudah nggak kuat, nggak ada lagi makanan yang bisa masuk, memang harus bed res. Ibu masih doyan makan, kan?"
"Masih Dokter, terutama yang enak-enak," selorohku.
"Deg!" tiba-tiba jantungku berdetak lebih keras, mata di balik kaca mata itu mirip milik mantan istriku, Uma.
Pandanganku beralih ke dada bagian kiri Dokter cantik itu, "dr. Kusuma Wijayanti Spog", begitu yang nama tertera. Sama persis dengan nama lengkap mantan istriku.
Setelah lima tahun kami berpisah, dia menjelma menjadi wanita berkelas. Tidak seperti saat bersamaku, kusam, kucel, dan kusut.
"Wanita hamil memang begitu Pak, pengennya diperhatikan dan dimanja, turuti saja, selama masih mampu."
Aku merasa tersindir dengan ucapan Uma, atau memang dia sengaja menyindirku? Untuk menyadarkanku, memang begitulah kodrat wanita, ingin selalu disayang dan dimanja.
Dulu, saat dia hamil, aku tak ambil peduli, saat dia pengen ini dan itu, atau mengeluh badannya pegal-pegal. Kuaggap itu semua hanya cara dia cari perhatian saja.
"Mari ke ranjang periksa, biar saya USG," lanjut Uma.
Sandi merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara Suster Sita, menutupi tubuh bagian bawah istriku dengan selimut, lalu membuka baju istriku, dan mengoleskan semacam gel, ke perut Sandi.
"Ini janinnya, ukurannya normal, ketubannya juga normal, semuanya normal. Ini artinya kehamilan anda baik-baik saja, " ucap Uma pada Sandi, seolah tidak menganggapku ada.
Uma bersikap seolah kami tidak saling kenal, padahal kami pernah hidup seatap selama 6 tahun.
Usai periksa, kuminta Sandi untuk antre di apotek, sementara aku sengaja menunggu Uma, di depan ruang periksa.
Tak lama kemudian, Uma keluar dari ruang periksa dengan tergesa-gesa.
"Uma!" seruku memanggil namanya.
Uma berhenti sejenak, dan menoleh kearahku. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?" ucapnya formal.
"Apa kabarmu?"
"Oh, baik, saya baik-baik saja," ucapnya canggung.
"Anak-anak---" belum sempat kuselesaikan ucapanku, Uma sudah memotongnya.
"Maaf saya buru-buru Pak, ada pasien yang mengalami pendarahan, yang harus segera mendapat tindakan." Uma segera berlalu dan meninggalkan aku begitu saja.
Uma pasti malas menjawab pertanyaan basa basiku, karena setelah bercerai, kami benar-benar putus komunikasi. Tak ada lagi nafkah untuk anak-anak, atau perhatian sebagai ayah. Bahkan sekedar bertanya kabar pun, tak pernah. Aku sudah menelantarkan mereka.
Bersambung...
Cerita ini alurnya maju mundur ya.
"Segera ajukan gugatan cerai kita, Mas. Aku menunggu," pungkas Wina, lalu menyeret kopernya keluar. "Wina!" seruku lantang, sebelum Wina mencapai pintu. Dia menghentikan langkah, dan menoleh kepadaku. "Apalagi Mas?" tanyanya jengkel. Aku diam, bingung harus bagaimana. Sudah berusaha menahannya, tapi dia tetep kekeh pada pendiriannya. Dasar keras kepala. Tak berkacakah dia? Wajahnya biasa saja, kurang cantik menurutku. Aku sudah merendahkan harga diriku, memohon padanya tapi seolah dia tak butuh. Harusnya dia bersyukur, aku yang tampan ini memperistri dia. Bukannya bersikap arogan seperti ini. Sebenarnya aku ingin memohon padanya sekali lagi, agar membatalkan kepergiannya, tapi jika kulakukan, aku takut dia makin besar kepala. Ya sudah lah, kalau dia mau pergi, biar saja. Mungkin lebih baik begitu, soal Ryan biar aku cari pengasuh nanti. Siapa tahu dengan status baruku, Riyanti mau menerimaku kembali. "Semoga kamu tidak menyesali keputusan ini nanti," ucapku akhirnya. "Gitu aja
"Dari mana kamu?" tanyaku, ketika mendapati Wina masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap. Dia terlonjak kaget, hingga kunci pintu yang dia genggam terjatuh. "Apa pedulimu?!" ketus Wina. "Jelas aku peduli, kamu istriku," tukasku. "Istri? Kamu masih ingat kalau aku ini istrimu? Kenapa kamu mengejar wanita lain, kalau masih merasa punya istri?" sindirnya."Tidak usah mengalihkan pembicaraan, aku tanya kamu dari mana?" ucapku datar. "Bukan urusanmu!" ucap Wina tak acuh, melewatiku begitu saja. "Apa susahnya menjawab pertanyaan suamimu? Aku tanya kamu baik-baik, tapi jawabanmu ketus begitu! Kamu punya tata krama nggak sih? Aku ini suamimu, orang yang seharusnya kamu hormati!" Suaraku naik satu oktaf.Wina berhasil memancing emosi yang dari tadi aku tahan. Tiba-tiba aku teringat pesan Mbak Yeni, "Kamu tahu betul bagaimana karakter Wina, dia memang kasar, kalau bicara tanpa saringan. Kamu yang waras ngalah dong! Kamu harus bisa membimbing dia, mengubah sikapnya pelan-pelan. Me
Hubunganku dengan Wina semakin renggang, kami hanya dua orang asing yang tinggal satu atap. Tak saling peduli, bahkan tak saling sapa. Wina yang biasa menyiapkan segala keperluanku, kini tak melakukanya lagi. Di rumah jarang sekali tersedia makanan, tapi cuci setrika dan beres-beres tetap dia lakukan. Bagiku tak masalah, yang penting Ryan terurus. Kasihan kalau anak itu harus merasakan dampak dari pertikaian kedua orang tuanya. Kadang aku merasa bimbang, apakah melanjutkan rencanaku menceraikan Wina, atau melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat ini. Lalu bagaimana dengan Ryan?Memikirkan semua itu kepalaku rasanya mau pecah. Aku dan Wina sama-sama keras kepala, tak ada yang mau mengalah. Aku enggan minta maaf, begitu pun Wina. Diantara kami tak ada yang mau memulai memperbaiki keadaan, semua berpegang teguh pada pendirian. "Kamu yang lebih tua ngalah, sudah tahu Wina itu orangnya bar-bar, harusnya kamu bersikap lembut menghadapinya, bukannya malah menandingi. Kalau dia diam,
Di sinilah kami sekarang, di ruang tamu rumahku, yang sudah seperti ruang sidang. Aku duduk berdampingan dengan Wina, di sofa panjang. Riyanti duduk di sofa single depanku, di sampingnya duduk Pak Rt. Sementara Bu Rt dan Bu Ratmi berdiri. "Tolong jelaskan duduk perkaranya, biar saya bisa membantu mencari solusinya," ucap Pak Rt bijak. "Suami saya berselingkuh dengan janda gatel itu, Pak!" tuding Wina, dia menatap Riyanti penuh kebencian. "Itu tidak benar, itu fitnah! Antara saya dan Mas Afnan tidak ada hubungan apa-apa," sela Riyanti. "Pak Rt dengar sendiri, kan? Dia bahkan memanggil suami saya, Mas. Itu menunjukkan kalau mereka memang punya hubungan spesial, buktinya dia punya panggilan mesra," sergah Wina. "Wina!" bentakku. "Tuh, Pak Rt lihat sendiri, dia nggak terima selingkuhannya disalahkan," sahut Wina. Aku yang berusaha menahan emosi dari tadi, rasanya ingin menggampar mulutnya yang tidak tahu tata krama itu. "Bu Wina, tolong tenang dulu. Beri kesempatan Pak Afnan menje
"Cerai?" Mbak Yeni membeo ucapanku. Setelah kuceritakan tentang niatku untuk bercerai dengan Wina. "Iya Mbak, aku sudah nggak tahan sama sikap Wina. Susah diatur, apalagi penampilannya, bikin ilfeel aja. Rasanya aku ini nggak punya istri, tapi pembantu," ucapku meluapkan unek-unek di hati. "Hhh!" Mbak Yeni membuang nafas kasar. "Kamu dari dulu nggak berubah, selalu buru-buru mengambil keputusan, tanpa dipikir dulu baik buruknya, efek jangka panjangnya. Hanya menuruti emosi saja. Bagaimanapun juga Wina itu istrimu, wanita pilihanmu sendiri, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa kamu buat nikahi dia. Kalau Wina tidak sesuai keinginanmu, bicaralah baik-baik.""Aku sudah capek ngomong sama dia, Mbak. Dia itu keras kepala," selaku."Bingung aku harus ngomong apa sama kamu. Dulu kupikir kamu menikahi Wina, karena sudah siap dengan resiko punya istri dengan latar belakang seperti itu. Kupikir kamu bisa membimbingnya, agar dia bisa mengimbangimu. Eh ternyata makin kesini, makin---
Sejak kejadian pelabrakan yang dilakukan oleh ibu-ibu tidak kenal, terhadap Riyanti. Hubunganku dengan Riyanti menghangat, maksudku dia sudah tidak menolak lagi bantuanku. Karena aku sudah menjadi pahlawan untuknya. Aku ini manajer, perusahaannya pun milik saudaraku, jadi aku sedikit bebas keluar kantor, tanpa perlu ijin. Yang penting pekerjaanku beres, begitu kata Mbak Yeni. Dan kesempatan ini kugunakan untuk mendatangi warung Riyanti. Bantuin dia, dan jaga-jaga kalau ada kejadian serupa. Dari sikapnya, aku merasa Riyanti ini membutuhkan aku sebagai pelindungnya. Meski itu tidak terucap dari bibirnya, aku bisa merasakan itu. "Mas, akhir-akhir ini perasaanku kok nggak enak ya?" ucap Riyanti suatu hari. "Nggak enak gimana?""Nggak enak aja, aku juga nggak tahu kenapa. Tapi feelingku mengatakan bakal ada kejadian yang nggak enak lagi." ucapnya khawatir. "Nggak usah negatif thinking jadi orang, nanti malah kejadian. Mikir itu yang positif aja, yang baik-baik, biar yang terjadi juga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments