Share

Chapter. 2

'Aku bersumpah akan membalas semua yang kau lakukan padaku. Seluruh keturunan dan kaummu akan aku musnahkan!' Kalimat itu selalu terngiang di pikirannya. Sumpah itu membuat dirinya harus kembali ke dunia ini.

Ivi bereinkarnasi menjadi seorang gadis yang sedikit lusuh bernama Elisa Oswald. Entah memang takdirnya atau hanya sebuah kebetulan belaka, dirinya terlahir kembali di pack tempat dirinya terbunuh secara tidak hormat. Sudah sekitar tiga minggu lebih ia berada di wilayah ini. Selama itu juga dirinya mencari informasi di pack terbesar. Terkadang ia akan pergi ke tengah kota untuk memantau situasi.

Pack adalah sebuah wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh kaum werewolf. Lotus pack adalah sebuah pack terbesar dari tiga pack di benua Marel. Bukan hanya itu, ini adalah pack terkuat. Semua pack takut dan tunduk pada kekuasaan Lotus pack. Informasi itulah yang didapatkannya beberapa minggu ini.

Padahal dahulu, setau dirinya ada lima pack di benua Marel. Namun, mungkin karena peperangan dua pack lainnya telah musnah. Meskipun dia dilahirkan kembali di Lotus pack untuk membalaskan dendamnya, dirinya tidak menyangka jika semesta menjadikannya seorang gadis lemah. Tubuhnya tak seperti gadis kebanyakan. Padahal bagi kaum werewolf, usia tujuh belas tahun seharusnya sudah bisa berganti shift dengan wolf masing-masing. Sedangkan Elisa, untuk berbicara dengan wolfnya saja ia tidak bisa, apalagi untuk berganti shift dengan serigala yang ada di dalam dirinya. Dia sudah berkali-kali mencoba berbicara pada wolfnya, tapi tetap sama. Wolfnya tak pernah datang. Mungkin dia tidak akan pernah melihat bagaimana bentuk serigalanya itu. Sampai akhirnya ia bosan dan memulai hidupnya seperti sekarang.

Dia selalu berusaha melatih diri untuk bertahan dari para Serigala ataupun binatang buas. Meskipun tidak bisa berganti shift, tapi dia masih bisa menggunakan kekuatan sebelumnya. Hanya saja tidak bisa menggunakan secara sembarangan. Jika terlalu sering menggunakan, tubuhnya akan lemah.

"Huh, sepertinya hanya ini yang dapat aku gunakan untuk bertahan hidup sekarang," ucap Elisa sambil memainkan api di tangannya. Tak lama setelah itu, ia melempar api ke arah tumpukan kayu bakar yang sudah dibuat. Matanya terus menatap benda gas berwarna oren ke merah-merahan tersebut. Memperhatikan kobaran api memakan sedikit demi sedikit kayu yang tertumpuk.

"Aku akan membunuh keluargamu seperti api membakar kayu perlahan-lahan," monolog Elisa dengan penuh dendam. Dari mata Elisa terlihat bayangan api yang semakin lama semakin membesar hingga menghabiskan semua kayu. Melihat hal itu, Elisa segera meletakkan beberapa ikan di antara bara api. Siang ini ia ingin memakan ikan bakar. Liurnya hampir saja jatuh saat mencium aroma ikan bakar yang menguar setelah terkena panasnya bara kayu.

"Ini pasti lezat sekali," ucap Elisa senang sambil membolak-balikkan ikan-ikan yang terlihat begitu menggiurkan. Baru saja ia akan mencicipi salah satu ikan yang sudah masak, suara dari arah belakang membuatnya berhenti. Elisa mempertajam pendengarannya. Sesaat kemudian, ia mengambil ancang-ancang jika tiba-tiba seseorang menyerangnya.

"Siapa di sana!" teriak Elisa memegang belati yang tak pernah lepas darinya. Tidak ada jawaban apa pun. Namun, suara berisik itu semakin mendekat.

"Tolong! Tolong!" suara kesakitan itu membuat Elisa penasaran. Elisa berlari mendekati suara itu dengan perlahan. Setibanya di sana, ia melihat seorang gadis seumurannya sedang terkulai lemas. Luka di sekujur tubuhnya menambah prihatin gadis tersebut.

Tiga ekor serigala sedang mencoba menerkam gadis tersebut. Mereka terlihat begitu beringas. Mulut mereka dipenuhi dengan liur bercampur darah. Mungkin darah itu berasal dari sang gadis.

"Siapapun, tolong aku!" teriak gadis itu sambil terisak. Mendengar hal itu, Elisa pun akhirnya merasa iba. Dengan cepat ia berlari menuju sang gadis dan membantunya untuk berdiri. Ketiga serigala itu sontak terkejut dengan kedatangan Elisa. Mereka mengeluarkan geraman menakutkan membuat gadis tadi menggigil. Namun, tidak untuk Elisa, ia malah terlihat santai.

"Wah, sepertinya kamu terlalu baik untuk membantu gadis itu," ejek salah satu serigala tersebut. "Biarkan saja Jo, malam ini kita bisa mendapatkan santapan yang lezat dan tentunya berbanyak."

Mendengar hal itu, Elisa yang berusaha membangunkan tubuh gadis cantik itu pun menatap ketiga makhluk berbulu tersebut. "Jangan membuatku marah," ucap Elisa datar melihat ketiga Rogue yang merupakan serigala bebas tanpa memiliki pack.

"Wow, ternyata kamu berani juga melawan kami. Sebaiknya kamu pergi saja, kami tidak akan mengejarmu gadis lemah," ucap serigala lainnya.

"Cih. Kalau aku tidak mau, bagaimana?" tantang Elisa.

"Hahaha. Sepertinya kau tidak sadar diri. Kau hanya gadis terlemah di pack ini. Salah satu dari kami saja sudah bisa menghabisi nyawamu." Salah satu serigala tersebut maju mendekati Elisa. Elisa langsung mengubah posisinya menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak ingin beberapa detik kemudian hewan bertaring dan menjijikkan tersebut menyerangnya.

"Siapa kamu?" bisik sang gadis, "apakah kamu bisa membantuku?" lanjutnya.

Elisa kesal mendapat pertanyaan seperti itu. Meskipun tubuhnya lemah, tapi ia masih bisa membunuh para binatang buas di kawasan ini. Apalagi hanya dengan tiga serigala kotor di depannya yang terlihat begitu lapar.

"Kalau begitu aku pergi saja, sepertinya kau tak butuh bantuanku." Elisa melepas pegangannya dan ingin melangkah pergi keluar dari gerombolan serigala tersebut.

"Tidak!" teriak gadis itu sambil menegang tangan Elisa, "jangan tinggalkan aku sendiri di sini," cicitnya menatap mata Elisa.

"Untuk apa? Bukankah kamu tak percaya padaku?" tanya Elisa tanpa membalas tatapan dari gadis itu.

Memang benar yang dikatakan salah satu di antara serigala tersebut. Jika tubuh Elisa lemah, untuk menghadapi salah satu dari mereka saja, ia berpikir dengan keras bagaimana caranya. Meskipun begitu, ia masih sanggup melumpuhkan mereka dengan kemampuannya yang sekarang.

"Aku percaya padamu, tolonglah aku." Gadis itu memelas diri pada Elisa.

"Ok, dengarkan aku, kamu lari lah ke belakang pohon besar itu dan jangan keluar sampai aku mendatangi dirimu. Aku akan mengalihkan mereka bertiga dari dirimu."

Elisa menatap gadis yang masih belum diketahui namanya. Dengan ragu-ragu gadis itu menganggukkan kepala dan bersiap-siap untuk berlari. Elisa kembali menatap ketiga serigala untuk mendapatkan kesempatan menyerang, lalu tersenyum mengejek.

"Aku tidak takut pada kalian. Aku bisa membunuh kalian bertiga sekaligus sekarang juga."

"Kau sombong sekali," ucap salah satunya.

Semua berjalan sesuai kemauan Elisa. Mereka bertiga terlihat marah mendengar pernyataan darinya. Tanpa menunggu waktu lama, ketiga serigala itu menyerangnya. Elisa yang sudah siap dengan serangan tersebut pun menghindari mereka bertiga. Sedangkan gadis tadi berlari menuju pohon besar di dekat mereka.

"Kau akan aman sementara di sana. Mereka tidak bisa melihatmu," ucap Elisa memperhatikan gadis yang berlari dengan tergopoh-gopoh.

Elisa sudah memantrai pohon tersebut. Hanya dirinya yang bisa menemukan gadis di balik pohon itu.

"Kau sudah membuat kami marah, maka rasakan ini dari kami!" geram salah satu Serigala itu.

Mereka bertiga dengan cepat menerkam Elisa. Berusaha mencakar tubuh Elisa. Namun, dengan cepat pula Elisa menghindari ketiganya. Salah satunya mulai memperlihatkan taringnya.

Elisa hanya menyeringai dan mulai menyerang balik. Meskipun dirinya tak dapat menjadi wolt, tapi pergerakannya cukup cepat. Hingga pisaunya mengenai tubuh sang Serigala.

"Akhhh. Sialan kau!"

Serigala tersebut kembali menyerang Elisa dengan ganas. Hampir saja tangannya di terkam jika tak bergerak cepat. Melihat serigala yang sudah lelah dan kesakitan karena lukanya membuat Elisa mengambil kesempatan. Dengan cepat dirinya menekan pisau ke arah jantung hingga serigala tersebut tak dapat bergerak lagi.

"Apa yang kau lakukan padanya!" teriak serigala yang lain.

"Membunuhnya," jawab Elisa datar.

"Aku akan membunuhmu!" Kedua serigala tersebut langsung menyerang Elisa.

Elisa terlihat sedikit kesulitan menghadapi keduanya. Sampai ketika dirinya tak bisa menghindari serangan salah satu dari mereka. Bahunya diterkam kuat oleh Serigala tersebut. Elisa berusaha sekuat tenaga mencoba melepaskan gigitan tersebut. Dia menusukkan pisau kecil itu ke daerah leher Serigala hingga mengiris urat leher sampai putus.

Bersamaan dengan tewasnya Serigala tersebut, gigitannya pun terlepas. Darah mengalir begitu saja dari bahu Elisa. Serigala yang tersisa pun melarikan diri ketika melihat kedua temannya tewas.

Elisa menyentuh bahunya dan mengucapkan salah satu mantra penyihir agar darahnya berhenti keluar. Setelah itu, dia kembali menuju pohon besar untuk menemui gadis tadi.

"Apa mereka sudah pergi?" tanya gadis itu menatap dari balik pohon.

"Keluarlah, mereka sudah tewas," jawab Elisa cuek lalu meninggalkan gadis itu.

Sudah cukup rasanya untuk membantu sang gadis. Dia tidak ingin terlalu banyak berurusan dengan orang asing.

"Tunggu aku," teriak gadis bersurai coklat itu.

"Ada apa?" tanya Elisa malas.

"Bantu aku, aku takut di sini sendirian," cicit gadis itu.

Mau tidak mau Elisa pun kembali kepada gadis itu. Dia juga membantu sang gadis untuk berdiri. Melihat keadaannya, membuat Elisa tak tega dan akhirnya membuatnya harus membawa gubuk kecil miliknya di atas pohon.

"Wow, aku baru tahu ada rumah di sekitar sini? Apa kau yang membuatnya?" tanya Kiana yang sudah terlihat cukup baik.

"Ya, ini rumahku," jawab Elisa sambil terus membawanya menuju tempat tidur.

"Apa kau tinggal sendiri?"

"Tahanlah, ini akan sakit tapi bisa membuat lukanya cepat kering." Elisa memberikan sedikit bubuk di atas luka yang terbuka pada tangan gadis itu.

"Akkhhh. Sakit," jerit gadis itu, meskipun begitu ia tetap tak menarik tangannya.

Lambat laun rasa sakit itu berubah menjadi rasa dingin yang mengenakan. Tak ada lagi rasa sakit atau pun perih.

"Minumlah, aku rasa kau kehau..."

Belum selesai Elisa berbicara, gelas itu sudah berpindah tangan. Ila menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Terima kasih," ucap gadis itu tulus, "kamu siapa? Aku Kiana," ucap gadis itu kembali.

"Elisa," jawabnya.

"Bubuk apa yang kau berikan padaku tadi?" tanya Kiana yang sudah terlihat cukup baik. Tubuhnya terasa lebih baik setelah bubuk tadi menyembuhkan lukanya.

"Hanya obat penyembuh saja," jawab Elisa.

"Apa kau seorang tabib?"

"Tidak, aku hanya suka mempelajari tentang obat-obatan dan penyembuhan saja."

"Wow, kau sama denganku, aku seorang calon tabib di pack ini. Mungkin kau bisa datang dan belajar di istana bersamaku." Kiana terlihat antusias.

"Benarkah? Aku pikir pack ini masih menggunakan para witch untuk menyembuhkan," ucap Elisa sedikit memancing Kiana.

"Apa kau gila! Di pack ini sudah tidak ada witch. Mereka semua musnah beberapa ratus tahun silam, dan kau tahu kenapa? Karena salah satu di antara mereka membunuh nenekku," jelas Kiana dengan nada sedikit marah.

Tanpa sadar kedua tangan Elisa mengepal kuat. Ia tidak senang mendengar penuturan Kiana, seolah-olah kaum witch begitu bersalah.

"Ada apa?" tanya Kiana melihat perubahan sikap Elisa.

"Tidak, hanya berpikir mengapa kalian memusnahkan mereka hanya karena satu orang yang bersalah," jawab Elisa.

Kiana sedikit terkejut, tapi setelah itu dia kembali bersikap biasa.

"Aku tidak tahu pasti, karena saat itu aku belum lahir ke dunia ini."

"Kembalilah ke tempatmu. Aku rasa semua orang sedang mencarimu." Elisa menatap Kiana dan ke bawah dari jendela.

"Ya, sepertinya mereka sedang mencariku. Aku akan kembali, tapi kamu harus berjanji nanti akan ke istana melihatku," ucapnya berjalan ke tangga di samping pintu.

"Ya, aku pasti akan datang."

Kiana pergi meninggalkan Elisa. Ia hilang di balik semak-semak jalan masuk ke gubuk Elisa. Sedangkan Elisa tersenyum menyeramkan ketika melihat kepergian Kiana. Dia merasa semesta begitu berpihak padanya kali ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status