Hari ini, Elisa sedang berjalan-jalan ditengah kota Lotus pack. Kota tersebut terletak tak jauh dari istana. Suasana di kota tersebut begitu ramai. Banyak orang-orang membuat toko untuk menjual barang mereka. Mulai dari toko penempa besi sampai toko penjual hasil buruan pun ada.
Tidak hanya itu, udara di kota ini juga begitu segar. Meskipun dikatakan kota, suasana dan udaranya masih asri. Itu dikarenakan kota tersebut dikelilingi oleh hutan di kawasan pack. Elisa berjalan-jalan melihat beberapa toko. Dia berencana mencari beberapa tanaman herbal untuk membuat ramuan dan berbagai obat untuk dirinya sendiri.
Beberapa orang yang ditemuinya seminggu yang lalu mengatakan jika ada sebuah toko tanaman herbal terkenal di tengah kota. Toko tersebut berada di antara toko pakaian dan juga toko pedang. Di depannya terdapat kolam bunga teratai yang memanjang sepanjang tiga toko tersebut.
Sebenarnya, jika tidak karena menolong gadis kemarin, hari ini ia akan tetap berada di gubuk miliknya. Ramuannya telah habis untuk menyembuhkan luka di tubuh gadis itu, karena gigitan Rogue. Bunyi bel terdengar saat Elisa mendorong pintu masuk. Kali ini ia ingin mencari tanaman lily, bunga berwarna merah yang sangat indah. Ia ingin menggunakannya untuk membuat sebuah ramuan. Dia bisa saja mendapatkannya di hutan lily, tapi hutan itu berada di pack lain tepatnya di Water Pack. Serigala lain tidak akan bisa masuk tanpa izin dari sang Alpha.
Selain itu, ia rasa hari ini ingin melihat pemandangan kota. Selalu berada di dalam hutan membuatnya sedikit bosan. "Ada yang kau cari dari tokoku, Nona?" pemilik toko menyapa Elisa ketika sudah sampai di depan meja. "Aku ingin tiga bunga lily merah," ujar Elisa sambil meletakkan beberapa koin perak.
Pemilik tersebut membelakangi Elisa. Lalu kembali menghadapnya kembali membawa tiga bunga lily utuh beserta dengan daun dan batangnya. “Apa kau seorang tabib?" tanya pemilik itu. "Bukan, aku hanya kaum biasa," ujar Elisa. "Apa kau mempunyai izin membeli barang-barang langka?" tanya pemilik itu lagi. "Tidak, aku tidak mempunyai izin tersebut. Aku hanya serigala biasa yang membutuhkan bunga itu untukku sendiri." Elisa menjelaskan siapa dirinya, meskipun tidak semuanya.
"Maaf nona, bunga itu sangat langka, aku tidak bisa menjual ke sembarang orang," ucap sang pemilik toko yang terlihat angkuh. "Benarkah? Akan aku tambahkan beberapa keping lagi," ujar Elisa sambil mengeluarkan lima koin perak. "Maaf, aku tidak bisa." Pemilik toko itu mendorong koin perak tersebut ke arah Elisa.
Melihat pemilik toko ingin menyimpan kembali bunga lily, Elisa segera menangkap tangan itu.
"Aku sangat membutuhkannya," ujar Elisa sedikit memohon.
Biarlah dia seperti pengemis sekarang. Dia benar-benar membutuhkan kelopak bunga tersebut.
"Baiklah, tapi dengan satu syarat. Kau harus menjelaskan padaku apa fungsi dari tanaman yang ingin kau beli. Jika tidak tahu, maka aku tak akan memberikannya padamu," ujar pemilik itu.
"Baiklah," ucap Elisa memutuskan ucapannya. "Ben, panggil saja Ben."
"Baiklah Ben, tapi jika aku bisa menjelaskannya dengan baik, kau harus memberikanku satu pohon mandrake itu secara gratis," tantang Elisa sambil menunjuk ke arah pohon dengan akar berbentuk seperti manusia itu.
"Baik, tapi aku meragukan itu. Melihat dari penampilan lusuhmu, kau hanyalah kaum rendahan."
Meskipun Ben merendahkannya, Elisa tidak marah. Bahkan dirinya terlihat santai dan memperhatikan bunga yang masih dipegang oleh pria itu.
"Akar tanaman itu dapat menyembuhkan luka bakar, daunnya dapat menjadi ramuan untuk meredakan panas dalam tubuh," ujar Elisa santai.
"Kau cukup pintar, tapi orang lain juga tahu akan hal itu."
Ben masih saja meremehkannya, bahkan sekarang menatap Elisa jijik.
"Aku tidak akan menjualnya padamu, ambillah koinmu kembali."
Ben membelakangi Elisa dan ingin meletakkan bunga lily tersebut.
"Bunga lily itu bisa melumpuhkan para Rogue yang mengamuk. Bahkan dengan setengah dari satu kelopak bunganya saja, bisa membuat sepuluh Rogue tidak bisa berganti shift kembali dalam lima hari lamanya."
Ben yang ingin meletakkan bunga tersebut, kembali berbalik. Dia menatap Elisa dengan wajah terkejutnya.
"Siapa kamu?" tanyanya.
"Hanya seorang serigala lemah," jawab Elisa santai.
"Kau tahu dari mana tentang khasiat bunga itu, tidak banyak yang mengetahuinya," ujar Ben masih heran.
"Berikan saja apa yang aku minta, kau sudah berjanji. Kau bukan orang yang tidak memegang perkataanmu bukan?" remeh Elisa menatap pria itu yang sepertinya berpikir sesuatu.
"Tentu saja, aku bukan pria seperti itu."
Ben berbalik lagi mengambil satu pohon mandrake untuk diberikan bersamaan dengan tiga pohon lily merah itu.
"Ini, ambillah," ujar Ben.
Elisa mengambil semuanya. Dia langsung memasukan tanaman tersebut tanpa rasa ragu sedikitpun.
"Terima kasih untuk ini." Elisa menepuk-nepuk tas yang penuh tersebut sambil memperlihatkannya pada Ben.
Elisa keluar toko tersebut dengan tersenyum. Dia senang bisa mendapatkan pohon mandrake dengan gratis.
Pohon tersebut sangat sulit didapatkan. Bahkan para tabib akan membayar mahal untuk mendapatkannya. Lagipula, ia juga membutuhkannya untuk membuat racun.
"Hei, tunggu!" teriak seseorang.
Elisa membalikkan tubuhnya dan sedikit mengerutkan kening. Dia melihat Ben berlari ke arahnya.
"Apa ada yang kurang?" tanya Elisa tanpa basa-basi.
"Ah, tidak. Aku hanya ingin memberikan ini. Aku rasa kau bisa mengikuti kontes ini," ujar Ben sambil memberikan sebuah kertas.
"Kontes pencarian tabib berbakat?" tanya Elisa sambil terus membaca isi kertas tersebut.
"Ya, aku rasa kau akan menang dengan kemampuanmu itu. Jika berminat, kau bisa menuju ke sebelah sana," tunjuk Ben. "Ikuti saja jalan itu, kau akan menemukan banyak orang di sana," lanjutnya.
"Baiklah, terima kasih." Elisa tersenyum.
Ben mengangguk dan kembali ke tokonya. Sedangkan Elisa masih memikirkan apakah akan ikut kontes atau tidak. Dia kembali membaca isi kontes tersebut. Senyuman pun terbit saat membaca apa saja yang didapatkan jika berhasil memenangkannya. Seketika itu juga, dia melangkah menuju tempat yang ditunjuk oleh pemilik toko tadi.
Sesampai di tempat yang disebutkan Ben tadi, ternyata sudah banyak orang yang mendaftar. Ketika gilirannya, tiga orang langsung datang menyerobot. Dua gadis dan satu pria.
"Minggir, kau gadis lemah," sarkas salah satu gadis tersebut.
"Apa kau juga akan mendaftar?" ejek gadis yang lain.
"Benarkah? Apa kau tak punya malu? Kontes ini hanya untuk werewolf," hina pria yang sejak tadi menatapnya jijik.
"Apa maksudmu tidak bisa berganti shift?" tanya Elisa bingung.
"Lihatlah tanda ini," ujar salah satu gadis yang membuka paksa baju di bahunya, "hanya kaum yang tak bisa melakukan shift saja yang mempunyainya," lanjutnya sambil mendorong tubuh Elisa.
Beruntung, dirinya ditangkap oleh seorang warrior yang sedang berjaga di sana. Jika tidak, dia pasti sudah terjatuh dan menjadi tontonan di sana.
"Elisa!" teriak seorang gadis dari kejauhan.
Gadis yang ditolongnya kemarin datang menghampiri bersama seorang pria. Pria yang begitu dikagumi dan ditakuti di pack ini. Siapa lagi kalau bukan Alpha Lotus Pack, seorang pemimpin pack.
"Kau juga mengikuti kontes ini?" tanya Kiana setelah sampai di hadapannya.
"Ya, apa yang kau lakukan di sini, Kiana?" tanya Elisa.
"Aku sedang mendaftar juga. Dan aku senang bisa bertemu denganmu lagi di sini."
"Untuk apa? Bukankah kau anggota kerajaan?" tanya Elisa bingung.
Seharusnya gadis di depannya ini tinggal mengatakan pada sang Alpha untuk menjadi seorang tabib di pack. Tidak harus bersusah payah mengikuti kontes seperti ini.
"Tentu saja untuk menjadi tabib terbaik," jawabnya senang.
Elisa menggeleng pelan melihat tingkah Kiana seperti anak kecil.
"Apa kau sudah mendaftarkan diri?" Kiana bertanya lagi.
Elisa menggeleng pelan dan berkata, "Mereka tidak mengizinkanku karena sebuah tanda ini."
Kiana melihat tanda tersebut dan sedikit terkejut. Namun, dengan cepat juga dia mengubah ekspresinya.
"Ayo, ikut kelompokku saja," ajak Kiana sambil menarik tangan Elisa.
Gadis itu menulis namanya dan juga Elisa dalam satu kelompok. Dia baru tahu bahwa untuk mengikuti kontes tersebut harus memiliki kelompok minimal dua orang. Untung saja Kiana datang, jika tidak, maka ia tidak tahu harus bersama siapa.
Apalagi kini orang-orang telah mengetahui bahwa dirinya tidak dapat berganti shift. Akan sangat sulit mendapatkan teman, bahkan melirik saja orang-orang tak akan mau.
"Ada yang ingin kukenalkan padamu, ayo," bisik Kiana setelah selesai menulis nama mereka.
"Siapa yang akan kau kenalkan padaku?" tanya Elisa mengalihkan pembicaraan.
"Tunggu, di mana dia?" Kiana mencari orang yang dimaksud. Kepalanya menoleh ke sana ke mari.
Sedangkan Elisa hanya bisa mengerutkan kening dengan sikap absurd Kiana.
"Ah, itu dia," tunjuk Kiana.
"Kau siapanya, Alpha?" tanya Elisa tak tahan dengan rasa penasarannya.
Dia melirik sekilas pria yang sedang berjalan ke arah mereka. Pria itu seakan-akan menatapnya bukan Kiana.
"Saudara kembarku, Daren."
"Kembar?" tanya Elisa.
"Kenapa? Kau tidak percaya?" sarkas Daren.
Elisa kembali mengerutkan keningnya. Ternyata pria ini terlalu arogan. Wajar saja, karena dia seorang Alpha.
"Maafkan saya, Alpha Daren. Saya tidak tahu jika itu kau." Elisa menunduk hormat.
"Ayo, Kiana, kita pergi dari sini. Kau tidak pantas berteman dengan makhluk lemah seperti dirinya."
Daren menarik paksa tangan Kiana hingga gadis tersebut merintih kesakitan. Namun, Kiana berteriak memberitahukan sesuatu pada Elisa.
"Besok, temui aku di Rainforest!"
Elisa mendengar teriakan Kiana, tapi tak menghiraukannya. Dirinya hanya bisa diam, mengepalkan kedua tangannya karena pernyataan sang Alpha. Tatapan tajam pun ia berikan pada punggung pria terkuat di Lotus Pack, lalu membalikkan tubuhnya ke arah yang berlawanan.
"Mate!"
Elisa terkejut mendengar bisikan tersebut. Siapa yang berbicara? Mengapa ia bisa mendengarkan suara isi hati orang lain?
Dengan cepat, ia menoleh ke belakang. Di sana, di depannya, sudah ada seorang pria yang menatap dirinya tajam. Bukan tatapan bahagia atau pun jatuh cinta, tapi tatapan benci pada musuhnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Daren.Ia menatap Elisa penuh rasa penasaran. Untuk apa gadis itu ada di taman terbengkalai sendirian? Ke mana orang lain? Apa dia berjalan ke sini sendiri?"Eh, kau mengagetkanku," sahut Elisa, sedikit terkejut.Ia langsung memasang wajah jutek, tapi tampaknya Daren tidak terlalu peka dengan sikapnya itu."Kenapa kau ada di sini? Siapa yang membawamu?" Daren bertanya lagi."Itu bukan urusanmu," balas Elisa ketus. Ia benar-benar tidak ingin berada satu tempat dengan pria itu."El, kau keterlaluan pada pasanganmu sendiri," tegur Ivy."Biarkan saja. Dia memang pantas menerimanya," jawab Elisa dingin.Ia menjauh dari Daren. Tak sudi berlama-lama di dekat pria yang membuat hidupnya porak-poranda. Karena Daren, ia sering terbaring di ruang tabib. Karena pria itu juga, nyawanya selalu terancam oleh para rogue."Hei," panggil Daren, mencoba mendekati.Ia tahu Elisa menghindarinya akhir-akhir ini. Ia ingin tahu alasan sebenarnya. Mengapa Elisa selalu perg
Dua hari telah berlalu.Kini Elisa berada di sebuah lorong istana, sibuk mondar-mandir keluar masuk ruangan. Sejak pagi, ia fokus meracik ramuan untuk raja dan ratu—dua sosok paling penting di kerajaan ini. Setelah semuanya siap, ia menyerahkannya kepada pelayan yang akan mengantarkan ramuan itu.“Kia! Sudah siap belum?” teriak Elisa dari luar. Tak ada waktu untuk bersantai. Ia harus serius.Ramuan itu dibuat dari bahan herbal khusus untuk memulihkan tenaga sang raja dan ratu. Dari Kiana, ia mendengar bahwa kesehatan keduanya menurun drastis belakangan ini. Elisa menduga ada racun yang menggerogoti tubuh mereka, dan ia sudah lebih dulu memberi ramuan penawar berbahan dasar mandrake. Kini, ia hanya perlu menunggu reaksinya berkembang sepenuhnya.Setelah tugasnya selesai, Elisa berniat beristirahat di kamarnya yang lama. Namun, di tengah perjalanan, ia melihat seseorang yang sangat tidak ingin ia temui.“El, kemarilah,” panggil pria itu dengan senyum lebar.Dulu, senyum itu membuat jant
“Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalau El bersamamu, selalu saja begini?” tanya Kiana dengan nada kesal.Daren hanya diam. Ia tak berniat menjawab, apalagi menanggapi pertanyaan adiknya itu. Tatapannya tertuju pada Elisa yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Wajah yang tadi pucat kini mulai membaik—setidaknya tak lagi seperti mayat.“Bagaimana kondisinya? Apa lukanya sudah ditangani?” tanya Daren kepada para tabib yang berjaga di sisi ranjang.“Sudah, Alpha. Semua luka telah kami bersihkan dan balut. Dalam tiga hari, seharusnya ia sudah pulih,” jawab salah satu tabib.Kiana berdecak kesal melihat sikap kakaknya yang seolah mengabaikannya. Bahkan menatap pun tidak. Kalau saja dia bukan Daren—kakaknya sendiri—sudah dari tadi kepalanya dijitak.“Kalian boleh pergi,” ucap Daren tanpa mengalihkan pandangan dari Elisa.Perasaan lega perlahan muncul. Ia tahu, semua ini salahnya. Dan untuk itu, ia hanya ingin tinggal berdua dengan Elisa.“Kau juga pergi, Kia,” tambahnya pelan.K
Daren mengamati matenya dari balik pepohonan. Ada rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan ketika melihat Elisa menebas leher dua rogue dengan gerakan belatinya yang cepat dan mematikan. Kini, hanya tersisa dua musuh.“Ternyata kau cukup lincah untuk ukuran gadis muda,” ujar salah satu rogue sambil menyeringai.Sebenarnya mereka berniat kabur, namun melihat dua teman mereka mati membuat mereka enggan mundur. Harga diri mereka sebagai rogue tak membiarkan mereka lari dengan pengecut.“Jangan pernah meremehkanku!” teriak Elisa meski napasnya sudah tak beraturan.Tubuhnya lelah. Tenaganya terkuras. Membunuh dua rogue sebelumnya bukan perkara mudah, dan dua yang tersisa terlihat lebih tangguh dan berpengalaman.Elisa kembali mengangkat belatinya. Kedua rogue menyeringai, seolah tahu gadis itu hampir habis tenaga.Mereka mulai berpencar, mencoba mencari celah untuk menyerang. Elisa tetap siaga meski tubuhnya penuh luka. Cakaran dari serangan sebelumnya terasa menyengat.Tanpa sengaja, mata
Aroma khas ikan bakar memenuhi udara, membuat perut keduanya bergemuruh lapar. Mereka sama-sama tak sabar untuk mencicipi hidangan itu.Elisa duduk di dekat perapian, matanya terus terpaku pada ikan yang tengah dipanggang. Air liur tak henti mengalir, dan matanya tak berkedip sejenak pun. Api- api perapian memanggilnya, mengeluarkan aroma khas ikan yang membuatnya semakin lapar.Melihat bahwa ikan-ikan tersebut telah matang, Daren segera mengambil satu dan menusukkannya dengan sebatang ranting pohon. "Silakan, cicipi," kata Daren saat menawarkan ikan tersebut kepada Elisa. Daren tahu Elisa tak bisa melepaskan pandangannya dari ikan yang telah matang. Aromanya yang menggoda membuatnya terus merasa haus.Setelah menawarkan ikan, Daren kembali ke tempat semula. Waktu sudah menjelang senja, dan udara menjadi semakin dingin setelah panas siang tadi. Angin pun semakin kencang, memaksa mereka untuk tetap berdekatan dengan api.Namun, Elisa masih belum menyentuh ikan yang ditawarkan oleh Dare
"Wah ini indah sekali!" Elisa terlihat kagum dengan apa yang ada di depannya. Hingga dirinya tak tahu telah mendorong Daren sehingga pria itu menjauh darinya. Detik kemudian ia tersadar. Dirinya mulai melototkan matanya. Tersadar dengan apa yang telah dilakukan. Tidak hanya itu, ia juga memutarkan tubuhnya perlahan menghadap Daren. Pria itu menatapnya tak percaya. Matanya begitu tajam melihat gadis tersebut. Elisa hanya bisa cengengesan karena hal tersebut. Dia sebenarnya bingung dengan sikap pria itu. Apakah marah atau tidak?Sementara itu, Daren yang telah kembali pada tubuhnya kesal dengan Greg. Bisa-bisanya ingin berganti shift tanpa berbicara dengannya. Ia rasa wolfnya sedang marah saat ini."Kau marah?" tanya Elisa dengan polosnya. Daren terus menatap gadis itu. Dia sedikit bingung pada Elisa. Menurutnya gadis itu plin plan. Terkadang bersikap baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Terkadang bersikap layaknya seorang musuh. Saat memikirkannya, sebuah ide pun muncul dari pikiran D