Pagi-pagi, Elisa sudah berada di Rainforest. Sebenarnya, ia tidak berniat untuk datang, tapi mengingat wajah Kiana kemarin, akhirnya ia pun di sini sekarang. Dia melihat sekeliling, tetapi tidak ada tanda-tanda Kiana. Tidak ada jejak sama sekali. Elisa pun duduk bersandar di pohon besar sambil terus menunggu.
"Kau sudah datang, maaf aku ada sedikit kegiatan tadi," kata Kiana sambil berlari menghampiri Elisa.
"Tidak masalah. Kau adalah tuan putri," Elisa berdiri dan membersihkan pakaian yang terkena tanah.
"Apa kau sudah siap?" tanya Kiana lagi.
Elisa bingung dan bertanya, "Untuk apa?"
"Hari ini kita akan mencari bahan-bahan untuk membuat ramuan. Ini aku sudah dapat apa saja yang dibutuhkan," Kiana menunjukkan secarik kertas dengan tulisan.
Elisa mengambil dan membacanya. Dia tahu benar jika isinya tentang bahan-bahan yang diperlukan. Hanya saja, ada satu bahan yang tidak diketahui olehnya.
"Daun Autumn, aku tidak pernah tahu tanaman ini," ujar Elisa sambil mengembalikan kertas kepada Kiana.
"Itu tanaman merambat. Cukup sulit mencarinya. Namun, kau tenang saja, semua bahan itu ada di dalam hutan ini," Kiana tersenyum ceria.
"Apa hanya kita berdua yang pergi?"
"Aku rasa Valeri dan yang lainnya sudah di dalam. Tadi aku melihat mereka ke arah hutan ini," jelas Kiana.
Itu artinya tidak hanya mereka berdua. Elisa bersyukur tentang itu. Jadi, jika bertemu dengan hewan buas atau para Rogue, setidaknya mereka berdua bisa meminta bantuan yang lain.
Meskipun sebenarnya ia bisa saja melumpuhkan para Rogue dengan kekuatannya, ia tidak berani mengambil risiko. Jika ada yang mengetahui bahwa ia seorang penyihir dan serigala, maka hidupnya akan terancam. Di Lotus Pack tidak boleh ada seorang penyihir, meskipun Elisa hanya memiliki darah setengah penyihir dan setengah serigala.
"Ayo, kita harus cepat. Jika malam hari, para Rogue akan berkeliaran di hutan ini. Aku tidak ingin kejadian lalu kembali terulang lagi padaku," kata Elisa.
Elisa ditarik oleh Kiana ke dalam hutan.
"Apa kau serius pergi ke dalam sini? Kenapa tidak mencarinya saja di toko?" tanya Elisa.
"Di sana tidak lengkap, dan kau harus tahu, tanaman Autumn tidak bisa dibawa keluar sembarangan dari hutan ini. Hanya dengan menggunakan tempat ini, daun tersebut tetap hidup. Jika tidak, daunnya akan kehilangan khasiatnya," jelas Kiana sambil mengeluarkan sebuah kotak transparan yang ditutupi oleh sihir.
"Dari mana kau mendapatkan benda itu?" tanya Elisa.
"Leluhur yang memberikannya," jawab Kiana.
Elisa jadi penasaran dengan pohon itu. Dari mana asal pohon itu sebenarnya dan apa saja khasiatnya. Mungkin dia bisa membawa dan menanamnya di dekat rumah pohonnya nanti. Mereka terus berjalan dan mencari. Mata keduanya selalu melihat ke arah semak-semak atau pohon.
Seharian mereka sudah mencari, tapi masih ada dua bahan yang belum ditemukan. Pohon Autumn dan juga bunga Mahameru. Elisa tahu bentuk bunga Youtan Poluo, berwarna putih. Namun, yang membuatnya susah dicari karena mereka berukuran sangat kecil, hanya satu milimeter. Aroma dari bunga ini begitu kuat, dan jika bermekaran akan bisa tercium sampai radius yang cukup jauh.
Sedangkan pohon Autumn sendiri, dia tidak mengetahuinya. Dia juga baru saja mendengar tentang pohon tersebut. "Apa kau pernah melihat pohon Autumn itu?" tanya Elisa yang masih mencari di semak-semak dan setiap pohon. Jika benar yang dikatakan Kiana, pohon Autumn menjalar, maka sudah dipastikan pohon tersebut hidup karena melekat pada sang inang.
"Aku pikir pernah melihatnya di buku herbal." Elisa berbalik menatap Kiana, "Jadi kau tak tahu bentuknya?"
Kiana hanya cengengesan, sedangkan Elisa menghembuskan napas kasar. Sejak tadi mereka mencari benda yang tahu bentuknya seperti apa. Pantas saja tidak bisa menemukannya.
"Tapi aku pernah membaca, jika daunnya melingkar berbentuk spiral. Jika kau sentuh, daunnya akan membuka dan menjadi lurus. Dan aromanya menenangkan." Kiana menjelaskan secara detail.
Tiba-tiba Elisa mencium aroma wangi. Dia tahu betul aroma tersebut dari bunga yang mereka cari-cari sejak tadi. Tanpa memikirkan Kiana, ia pun langsung mengikuti aroma tersebut.
Setelah beberapa meter berjalan, Elisa menemukan sebuah air terjun yang indah. Di bawahnya terdapat sungai kecil dengan air begitu jernihnya. Bunyi suara air yang jatuh dari ketinggian membuat dirinya tenang. Udaranya pun begitu segar, meskipun hari sudah menjelang sore.
"Elisa, kau di mana!" teriak Kiana dari kejauhan.
"Aku di sini!" jawab Elisa ikut berteriak.
"Wah, aku baru tahu jika di Rainforest ada tempat seindah ini." Kiana berlari mendekati Elisa, lalu berlari mencuci wajahnya di sungai kecil tersebut.
"Elisa, airnya sangat segar. Cobalah," ajak Kiana mulai menampung air di kedua tangannya. Tak lama setelah itu, air pun berpindah ke mulutnya.
Elisa mengikuti Kiana. Benar saja, saat air itu membasahi kerongkongannya, rasa segar pun hadir. Tubuhnya yang lelah pun terasa segar kembali.
Mereka berdua bermain air dan melupakan tujuan awal. Tertawa bersama-sama. Tanpa tahu jika seseorang sedang memperhatikan keduanya di balik sebuah batu besar di samping air terjun.
"Apa itu?" Kiana menunjuk ke atas air terjun. Elisa juga menajamkan penglihatannya untuk melihat apa yang dipikirkannya benar. Tampak seperti batu berkilau dan bergerak-gerak. Sekali lagi dia menajamkan matanya agar bisa lebih jelas. Benar saja, setelah itu dia bergegas mencari jalan menuju puncak air terjun.
Dengan cekatan, dia menaiki tanjakan berbatu tersebut. Kiana pun tak mau kalah, ia berlari kencang layaknya seorang wolf. Sampai akhirnya, keduanya pun tiba di atas.
"Elisa, itu bunga Youtan!" jerit Kiana senang, "kita mendapatkannya, Elisa."
Saking senangnya Kiana langsung memeluk Elisa erat, hingga tak sengaja membuat dirinya kesakitan dan susah bernapas.
"Kiana, lepaskan." Elisa berusaha melepaskan diri dari gadis itu.
"Oh, maafkan aku. Aku begitu senang karena sudah mendapatkan bunga itu." Kiana langsung menghampiri dan mencabut beberapa tangkai bunga. Begitu juga dengan Elisa. Dia menyimpan bunga tersebut ke dalam tas miliknya.
"Sttt." Elisa meletakkan jari telunjuknya di bibir.
Kiana mendekati Elisa dan berbisik, "Ada apa, Elisa?"
"Sepertinya ada seseorang di sini. Dan aku rasa ia sudah mengintai kita sejak tadi." Elisa menjelaskan situasi mereka saat ini.
Elisa segera mengambil batu di samping kakinya. Menggenggam erat batu tersebut. Setelahnya, dia langsung melempar ke semak-semak di samping Kiana.
"Aduh!" teriak seorang gadis.
Kepala gadis tersebut keluar, wajahnya terlihat begitu marah.
"Apa yang kau lakukan di sini, Rebecca?" tanya Kiana sedikit terkejut.
"Aku tertinggal dari kawanan, jadi aku mengikuti kalian berdua," jawabnya.
"Tapi kenapa harus bersembunyi?" tanya Kiana lagi.
Belum sempat Rebecca menjawab, suara geraman muncul dari balik pohon. Beberapa Rogue pun muncul dengan seringaian.
Elisa berhati-hati. Sedangkan Kiana dan Rebecca mendekati dirinya.
"Kalian bisa berkelahi, bukan?" tanya Elisa memastikan sesuatu.
"Ya, aku bisa membunuh salah satu dari mereka." Kiana mulai memasang kuda-kudanya.
"A-aku tak berani melawannya," jawab Rebecca, membuat Elisa mendesah kasar.
"Kalau begitu, kau lari saja. Aku dan Kiana akan mengalihkan mereka berempat. Setelah melihat Rebecca mengangguk paham, Elisa mengeluarkan pisau kecil miliknya. Belati yang terlihat seperti pisau biasa. Namun, siapa sangka benda itu terbuat dari perak dan hanya Elisa yang mengetahuinya. Dia telah memberikan sihir pada belati tersebut agar tak ada yang bisa tahu dari mana belati tersebut dibuat.
"Apa gadis ini yang membunuh teman-temanmu?" Salah satu dari Rogue tersebut bertanya pada kawanannya.
"Ya, benar."
"Kalian dikalahkan oleh satu wanita lemah ini? Tidak bisa dibayangkan."
Elisa sadar jika yang dibicarakan mereka adalah dirinya. Bahkan dengan berani, ia menatap kawanan tersebut dengan tatapan tajam.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Kiana tanpa rasa takut.
"Kami ingin makan malam, dan itu adalah kalian bertiga." Salah satu dari kawanan tersebut menjawab. Sepertinya ia adalah bos dari kaum tersebut.
"Kalian akan mendapatkan makan malam yang lezat, jika bisa membunuh kami. Tapi sepertinya itu akan susah sekali, jadi sebaiknya kalian pergilah dari sini. Kami sedang tak ingin membunuh kalian." Elisa dengan santainya berbicara.
"Sombong sekali dirimu. Jangan hanya karena sudah membunuh beberapa kawananku, kau bisa lolos begitu saja. Itu tidak akan pernah terjadi." Pimpinan mereka menjawab Elisa.
"Cih. Kalau begitu, ayo kita bertarung. Aku ingin lihat siapa yang akan menjadi pemenangnya," sarkas Elisa mengangkat dagunya angkuh.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Daren.Ia menatap Elisa penuh rasa penasaran. Untuk apa gadis itu ada di taman terbengkalai sendirian? Ke mana orang lain? Apa dia berjalan ke sini sendiri?"Eh, kau mengagetkanku," sahut Elisa, sedikit terkejut.Ia langsung memasang wajah jutek, tapi tampaknya Daren tidak terlalu peka dengan sikapnya itu."Kenapa kau ada di sini? Siapa yang membawamu?" Daren bertanya lagi."Itu bukan urusanmu," balas Elisa ketus. Ia benar-benar tidak ingin berada satu tempat dengan pria itu."El, kau keterlaluan pada pasanganmu sendiri," tegur Ivy."Biarkan saja. Dia memang pantas menerimanya," jawab Elisa dingin.Ia menjauh dari Daren. Tak sudi berlama-lama di dekat pria yang membuat hidupnya porak-poranda. Karena Daren, ia sering terbaring di ruang tabib. Karena pria itu juga, nyawanya selalu terancam oleh para rogue."Hei," panggil Daren, mencoba mendekati.Ia tahu Elisa menghindarinya akhir-akhir ini. Ia ingin tahu alasan sebenarnya. Mengapa Elisa selalu perg
Dua hari telah berlalu.Kini Elisa berada di sebuah lorong istana, sibuk mondar-mandir keluar masuk ruangan. Sejak pagi, ia fokus meracik ramuan untuk raja dan ratu—dua sosok paling penting di kerajaan ini. Setelah semuanya siap, ia menyerahkannya kepada pelayan yang akan mengantarkan ramuan itu.“Kia! Sudah siap belum?” teriak Elisa dari luar. Tak ada waktu untuk bersantai. Ia harus serius.Ramuan itu dibuat dari bahan herbal khusus untuk memulihkan tenaga sang raja dan ratu. Dari Kiana, ia mendengar bahwa kesehatan keduanya menurun drastis belakangan ini. Elisa menduga ada racun yang menggerogoti tubuh mereka, dan ia sudah lebih dulu memberi ramuan penawar berbahan dasar mandrake. Kini, ia hanya perlu menunggu reaksinya berkembang sepenuhnya.Setelah tugasnya selesai, Elisa berniat beristirahat di kamarnya yang lama. Namun, di tengah perjalanan, ia melihat seseorang yang sangat tidak ingin ia temui.“El, kemarilah,” panggil pria itu dengan senyum lebar.Dulu, senyum itu membuat jant
“Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalau El bersamamu, selalu saja begini?” tanya Kiana dengan nada kesal.Daren hanya diam. Ia tak berniat menjawab, apalagi menanggapi pertanyaan adiknya itu. Tatapannya tertuju pada Elisa yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Wajah yang tadi pucat kini mulai membaik—setidaknya tak lagi seperti mayat.“Bagaimana kondisinya? Apa lukanya sudah ditangani?” tanya Daren kepada para tabib yang berjaga di sisi ranjang.“Sudah, Alpha. Semua luka telah kami bersihkan dan balut. Dalam tiga hari, seharusnya ia sudah pulih,” jawab salah satu tabib.Kiana berdecak kesal melihat sikap kakaknya yang seolah mengabaikannya. Bahkan menatap pun tidak. Kalau saja dia bukan Daren—kakaknya sendiri—sudah dari tadi kepalanya dijitak.“Kalian boleh pergi,” ucap Daren tanpa mengalihkan pandangan dari Elisa.Perasaan lega perlahan muncul. Ia tahu, semua ini salahnya. Dan untuk itu, ia hanya ingin tinggal berdua dengan Elisa.“Kau juga pergi, Kia,” tambahnya pelan.K
Daren mengamati matenya dari balik pepohonan. Ada rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan ketika melihat Elisa menebas leher dua rogue dengan gerakan belatinya yang cepat dan mematikan. Kini, hanya tersisa dua musuh.“Ternyata kau cukup lincah untuk ukuran gadis muda,” ujar salah satu rogue sambil menyeringai.Sebenarnya mereka berniat kabur, namun melihat dua teman mereka mati membuat mereka enggan mundur. Harga diri mereka sebagai rogue tak membiarkan mereka lari dengan pengecut.“Jangan pernah meremehkanku!” teriak Elisa meski napasnya sudah tak beraturan.Tubuhnya lelah. Tenaganya terkuras. Membunuh dua rogue sebelumnya bukan perkara mudah, dan dua yang tersisa terlihat lebih tangguh dan berpengalaman.Elisa kembali mengangkat belatinya. Kedua rogue menyeringai, seolah tahu gadis itu hampir habis tenaga.Mereka mulai berpencar, mencoba mencari celah untuk menyerang. Elisa tetap siaga meski tubuhnya penuh luka. Cakaran dari serangan sebelumnya terasa menyengat.Tanpa sengaja, mata
Aroma khas ikan bakar memenuhi udara, membuat perut keduanya bergemuruh lapar. Mereka sama-sama tak sabar untuk mencicipi hidangan itu.Elisa duduk di dekat perapian, matanya terus terpaku pada ikan yang tengah dipanggang. Air liur tak henti mengalir, dan matanya tak berkedip sejenak pun. Api- api perapian memanggilnya, mengeluarkan aroma khas ikan yang membuatnya semakin lapar.Melihat bahwa ikan-ikan tersebut telah matang, Daren segera mengambil satu dan menusukkannya dengan sebatang ranting pohon. "Silakan, cicipi," kata Daren saat menawarkan ikan tersebut kepada Elisa. Daren tahu Elisa tak bisa melepaskan pandangannya dari ikan yang telah matang. Aromanya yang menggoda membuatnya terus merasa haus.Setelah menawarkan ikan, Daren kembali ke tempat semula. Waktu sudah menjelang senja, dan udara menjadi semakin dingin setelah panas siang tadi. Angin pun semakin kencang, memaksa mereka untuk tetap berdekatan dengan api.Namun, Elisa masih belum menyentuh ikan yang ditawarkan oleh Dare
"Wah ini indah sekali!" Elisa terlihat kagum dengan apa yang ada di depannya. Hingga dirinya tak tahu telah mendorong Daren sehingga pria itu menjauh darinya. Detik kemudian ia tersadar. Dirinya mulai melototkan matanya. Tersadar dengan apa yang telah dilakukan. Tidak hanya itu, ia juga memutarkan tubuhnya perlahan menghadap Daren. Pria itu menatapnya tak percaya. Matanya begitu tajam melihat gadis tersebut. Elisa hanya bisa cengengesan karena hal tersebut. Dia sebenarnya bingung dengan sikap pria itu. Apakah marah atau tidak?Sementara itu, Daren yang telah kembali pada tubuhnya kesal dengan Greg. Bisa-bisanya ingin berganti shift tanpa berbicara dengannya. Ia rasa wolfnya sedang marah saat ini."Kau marah?" tanya Elisa dengan polosnya. Daren terus menatap gadis itu. Dia sedikit bingung pada Elisa. Menurutnya gadis itu plin plan. Terkadang bersikap baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Terkadang bersikap layaknya seorang musuh. Saat memikirkannya, sebuah ide pun muncul dari pikiran D