-Lantai 30, Kediaman Brown-
Kricing… kricing…
Bunyi mainan bayi yang digerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri. Melihat tawa dari cucu keduanya tersebut, hatinya menjadi terasa sejuk, seperti ketika berdiri di pesisir pantai dan melihat tenggelamnya matahari di ufuk barat.
“Ah… aku berasa lebih muda sepuluh tahun…” gumamnya.
'Nyonya, 86 hari lagi anda akan merayakan ulang tahun anda yang keenam puluh delapan." ujar salah seorang asisten rumah tangganya.
"Nima berisik! Mulutmu mau dibisukan ya?"
"Eh? Ti, tidak nyonya! Tidak mau!" teriak Nima panik. Ditutupinya rahang buatannya itu dengan telapak tangan yang buatan juga. Ya, Nima adalah seorang AMAH. Dia telah bekerja untuk keluarga Brown, sebagai asisten pribadi Sharon Brown, sejak masih berusia remaja. Namun, sewaktu didiagnosis mengidap kanker paru-paru di usia keempat puluhnya, Sharon langsung membiayainya melakukan operasi menjadi seorang AMAH.
"Hahaha! Aku hanya ber
Terimakasih telah membaca chapter <#25 Garnet> ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya! (Kritik dan saran sangat diapresiasi)
Dari kejauhan, Rosa terus mengikuti manusia hologram itu secara diam-diam. Ia masih tidak percaya kalau yang dilihat dengan kedua matanya itu sejatinya adalah seorang manusia asli. Yaah… tapi mengingat teknologi sekarang, tidak mustahil juga sih…. Ah, dia berjalan lagi! Manusia hologram itu berbelok dan masuk ke sebuah ruangan. Toilet umum, demikian tulisan yang terdapat pada papan di atas pintunya. Dia bisa ke toilet? batin Rosa yang memutuskan untuk menunggu di luar ruangan. Ia membayangkan akan jadi seperti apa hasil ekskresi dari tubuh hologram itu. "Halo?" terdengar suara dari dalam, sepertinya itu suara manusia tersebut. "Aku lagi di lantai 86-, eh maksudku, avatar-ku sedang di lantai 86." lanjut suara itu. Merasa memiliki kesempatan yang bagus, Rosa pun berjalan masuk dan berpura-pura hendak ke toilet juga. Tap… tap… Baru dua langkah memasuki ruangan, kedua pasi mata langsung bertatapan. Eh... dia… Satu detik… Dua detik… Tiga detik… Gawat!!! Rosa langsung berbalik da
-Lantai 146, Kawah Pemurnian- Jgrek! Drrkkk…. Untung saja di jalan ketemu ini tadi… batin Rosa yang mendorong sebuah troli belanjaan yang ia temukan di tempat pembuangan sampah dekat ruangannya. Terbentang selimut bergambar kartun seorang anak kecil perempuan dengan teman beruangnya pada bagian atas troli. Orang-orangpun tidak ada yang curiga kalau isi dari troli itu adalah seorang jenazah yang sudah dikafani. Namun, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, tetap saja baunya akan tercium juga. Pip pip..! Pip pip..! Pip pip..! Alarm berbunyi begitu troli memasuki ruangan. Bersamaan dengan itu, dua orang AMAH yang entah berasal darimana telah muncul di sebelah kanan dan kiri troli. Satu dari mereka merendahkan tubuhnya dan menggerakkan kepalanya dari atas ke bawah, sedangkan satu yang lainnya tetap berdiri dan menggerakkan kepalanya dari kiri ke kanan. Cimottt!!!! teriaknya yang mulai panik dalam hati. “Tenanglah. Itu hanya pemeriksaan biasa.” jawab suara tanpa raga. Walau kamu bilang
Tuk! Drrr… tep! “Haa… hampir saja…” gumam Rosa ketika berhasil menangkap botol kaca yang terjatuh dari atas meja. Di seberangnya, duduk seorang Barrelth yang sudah terlelap. “Hmph, lemah!” ujar Rosa pada lawan minumnya itu. Kemudian, ia beranjak dari duduknya dan berjingkat secara perlahan, menghindari terinjaknya barang-barang yang keras, hingga sampai di ambang pintu sebuah ruangan yang tidak memiliki pintu. “Halo~?” sapanya pada ruangan yang penuh dengan peralatan komputer itu. Sebuah kursi beroda menarik perhatiannya. Brugh! Ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi berbantal tersebut dan mulai berputar. Hmmm… nyaman sekali… Duak! Tak sengaja kaki kirinya menendang pinggiran meja. Rosa buru-buru menghentikan putarannya dan langsung melirik ke arah meja makan. Barrelth yang masih terlelap memutar wajahnya menuju ke arah yang berlawanan. Merasa lega, Rosa pun menghela napas. “Hampir saja jantungku copot…” gumamnya mengelus dada. Eh, aku kan sudah tidak punya jantung lagi… batinya girang
-Lantai 40, pusat restoran- Kenapa ketemu dia lagi…?!!!! batin Visera berteriak dari balik pintu masuk begitu menyadari keberadaan Rosa yang sedang melayani para pengunjung. “Hm..? Kenapa, Sangria?” ujar rekan kerja di sampingnya yang memiliki rambut berwarna hijau fluorescent meskipun dirinya sendiri dipanggil dengan kode nama ‘Fuchsia’. “Tidak… apa-apa. Ayo kita masuk…!” jawab Visera melangkah duluan. Selama berjalan melewati barisan meja depan, ia terus berkomat kamit dalam hatinya. Jangan lihat ke sini…! Jangan lihat ke sini…! Jangan lihat ke sini…! “Fiuh…” ujarnya merasa lega setelah berhasil masuk ke ruang VIP dan duduk di kursinya tanpa gangguan. Dia melirik ke arah luar kaca. “Woah… pertama kali aku melihat seseorang yang memilih untuk mewarnai rambutnya menjadi putih…” gumam rekan kerja yang duduk di samping kirinya. “Dia tidak takut cat-nya luntur apa ya…” tambah Fuchsia yang menengok ke belakang. “Atau pakai wig?” Mendengar itu, Visera teringat akan percakapan merek
“Surat perjanjian itu… kamu setujui ya.” Keesokan harinya, tepatnya ketika aku baru saja sampai di lantai medis setelah susah payah menanjak mengendarai sekuterku selama kurang lebih 3,5 jam, aku mendapat kabar kalau Lizo telah sadar dari komanya. “Uwoohh!! Rasanya memang agak asing… tapi ini keren sih, keren banget!” teriak Lizo kegirangan sambil menggerak-gerakkan tangan, kaki, beserta tubuh barunya itu. Kuakui suara barunya juga terdengar sama persis seperti suara aslinya. “Dan, dan, coba pukul aku!” “Ehhh? Untuk apa??” “Haish, kamu ini…” Buk! Lizo meninju pipinya sendiri. “Wah, benar-benar tidak terasa sakit…” lanjutnya. “Hey bocah, walaupun tidak terasa sakit tapi bukan berarti tangan barumu itu tidak bisa copot!” ucap Kak Megan. Kemudian tidak berapa lama sampai-sampai si dokter koplak yang satu itu datang bersama dengan…. aku tidak yakin, tapi sepertinya kemarin paman itu dipanggil ‘Sean’? Seperti yang kuantisipasi, pria berpakaian formal itu lalu mewakili atasannya, Miste
Jam sebelas malam, waktu dimana sebagian besar para penghuni bungker telah tertidur pulas di ruangannya masing-masing, terutama bagi mereka yang masih anak-anak maupun yang telah cukup berumur. Namun itu tidak berlaku untuk salah satu dari enam pemilik ruangan di quintus, wilayah paling elit sebungker, ini. Ia terbaring di atas tempat tidurnya dengan menggunakan sebuah kacamata transparan khusus yang memiliki warna minimalis yang senada dengan dinding ruangannya. Pip… Pip… [memulai sistem…] Pats! Hal pertama yang dilihatnya ialah sebuah pintu besar dengan layar berisi tulisan ‘ABCD’ di atasnya. Ia menatap bayangannya yang terpantul di pintu. Bayangan seorang wanita belia yang tinggi, anggun dan rupawan. Ia berusaha menyentuh pipinya, tapi tidak terasa apa-apa. Ah iya, ini kan virtual… batinnya merasa malu tanpa sebab. Ia celingukan ke sekelilingnya dan merasa lega karena tidak mendapati keberadaan kamera. Ia lalu menekan tombol yang melayang-layang di samping pintunya. Klik! [Sila
Sudah satu bulan semenjak Lizo pergi meninggalkan Primus. Rutinitas kami berjalan seperti biasanya, kecuali Dan yang sekarang menjadi lebih sering berada di ruangan. | “Sudah pulang?” ujar Visera pada rekan satu ruangannya yang baru saja membuka pintu. Dan mengangguk. Ia melepas sepatunya dan langsung berjalan menuju kamarnya. “Aku berangkat dulu.” sela Visera sebelum Dan menutup pintu kamarnya. “Hm.” Blam! . . . -Lantai 75, pintu masuk bagian barat daya- Pip! “Silahkan masuk.” Pip! “Silahkan masuk.” Selangkah demi selangkah ia maju mengikuti barisan antrian. Sesekali ia menyalakan layar gawainya untuk memeriksa kalau-kalau ada pesan masuk. Namun sedari tadi, hanya ada satu orang yang bolak balik mengirim pesan kepadanya. Ding! Rosa5 : Hai~ Ding! Rosa5 : Lagi jalan ke tempat kerja kan? Ding! Rosa5 : Semangat yaa! Ding! Rosa5 : (stiker) “Hmm...” Pip! [Notifikasi dibisukan selamanya] Sejak beberapa hari yang lalu entah bagaimana dan darimana, cewek ini bisa tahu akun ak
Ketika ia mendapatkan kesadarannya, ia dapat rasakan berbagai tatapan menusuk tajam ke arahnya. Ia membuka kedua matanya. Berbagai macam makhluk hidup, mulai dari yang seukuran telapak tangan hingga yang mengalahkan tinggi pepohonan sekalipun telah berdiri membuat lingkaran di sekeliingnya. Para makhluk udara meminjam tubuh para makhluk darat untuk bertengger di atasnya. Dan daripada semua itu, mata bulat mereka yang terbuka lebar membuat suasana menjadi cukup menyeramkan. Siapa dia? Siapa dia? Aku baru pertama kali melihat dia. Aku juga baru pertama kali melihat dia. Dia tidak memiliki bulu. Dia juga tidak memiliki sayap dan mulut. Tapi benda apa yang tergantung di belakangnya itu? Iya, benda apa itu? Apakah enak? “……..” Ia terdiam. Tidak tahu harus merespon apa. Apa ini? Jerapah bersayap angsa? Babi bertubuh serigala? Tupai berkepala kelelawar? Hah? Srek “!!” “Woi!” Ia refleks berbalik dan berteriak, membuat seekor makhluk yang menggunakan belalainya untuk mengangkat ram