Share

Penyintas
Penyintas
Author: Mint.Nata

#0 Prolog

Ceklek! Krriiiieeettt….

Dengan perlahan aku mendorong pintu kayu yang sudah tua itu.

“Permisi…” ucapku. Namun tidak ada balasan. Aku pun berjalan memasuki ruangan. Tidak lupa untuk menutup pintu.

“Huu.. huu huu huu…”

“Astaga!”

Aku dikejutkan dengan seekor burung hantu yang sedang bertengger di atas sebuah tiang yang terletak persis di sebelah kiri pintu. Bulunya putih seperti salju. Matanya yang hitam bundar membuat keberadaannya menjadi menakutkan. Aku langsung menjauhkan diri darinya. Setelah berjarak kurang lebih lima langkah besar, mata burung hantu itu perlahan terpejam.

“Dia… tidur?”

Merasa sedikit aman, aku mulai melihat-lihat sekeliling ruangan. Sebagian besar isi ruangan tersebut ialah… buku. Sisanya hanyalah rak buku, kedua pintu, tiang beserta burung hantu itu, dan… aku. Tidak ada jendela satupun. Aku mendongak untuk melihat satu-satunya penerangan di ruangan itu.

“Lah.. dimana atapnya..?”

Aku menyipitkan mata untuk melihat langit-langit, tapi tidak menemukan ujungnya. Yang terlihat hanyalah barisan-barisan buku yang menjulang hingga entah berapa meter ke atas sana. Aku yakin barisan terakhir yang terlihat jelas di mataku bukanlah barisan buku yang paling atas. Lupakan tentang atap. Aku jadi penasaran dengan orang yang mengoleksi ribuan buku ini sekarang.

“Satu buku saja sudah sangat tebal, butuh berapa tahun untuk membaca semua yang ada disini…”

Ketika sedang melihat-lihat, mataku menangkap sebuah buku yang berada di baris keempat belas dari bawah. Aku menjinjit untuk mengambilnya, namun tetap tidak sampai. Tidak ada tangga ataupun bangku yang bisa digunakan sebagai pijakan pula. “Satu.. dua.. tiga.. hup!” Segere setelah kakiku menolak, jantungku kembali diburu.  Bagaimana tidak, tubuhku seperti menjadi sangat ringan dan terhempas begitu saja ke atas.

Jadi begini rasanya terbang…

Dua puluh baris telah kulewati. Tiga puluh… empat puluh.. sampai-sampai aku tidak terhitung lagi. “Eh, eh, ini gimana berentinya..!?” Segera setelah kuteriakkan kalimat itu, dapat kurasakan seseorang berhasil menangkap dan menarik pergelangan kakiku. “Terima ka, eeh!!?” Dengan tenaga yang luar biasa kuat, orang itu menarikku bersamanya ke arah bawah. “Waaaa!!!” teriakku merasa takut karena akan menabrak lantai dengan keras. “Sshhh…” Tanpa kusadari kecepatan jatuh kami melambat dan aku telah berhasil mendarat di lantai tanpa luka fisik sedikitpun.

Tapi mentalku yang kenapa-napa!!

“Bagaimana terbangnya? Seru..?”

Aku langsung menengok ke sumber suara. Berdiri seseorang berambut hitam panjang terikat dengan kemeja putih dipadu dengan jas serta celana panjang hitam. Sebuah topeng berbentuk wajah dari burung hantu menutupi bagian atas wajahnya.

Pria?

“Bukan,” jawabnya seakan mengetahui isi pikiranku. Mendengar itu, aku tidak terkejut. Sepertinya aku sudah terbiasa dengan hal-hal tak lazim seperti terbang dan semacamnya disini.

Suaranya tidak seperti perempuan, tuh? Tunggu, memangnya suaranya tadi seperti pria? Sebentar, kenapa aku jadi tidak bisa membedakan suaranya ini suara pria atau wanita?

“Aku juga bukan wanita.”

Oke, sekarang, barulah aku terkejut.

“Tapi dulunya aku adalah wanita, dan juga pria.” Ia menyeringai lebar.

Dia ini suka membuat orang lain bingung ya..?

“Ah, sudah pasti bukan waria juga ya.. hahahaha!” lanjutnya membuatku semakin bingung.

“Jadi, apa kau ingat kenapa kau bisa sampai disini? Aiyaa, Sonou terbangun ya? Utututu...” ucapnya sambil mengelus-elus kepala burung hantu yang terbangun ketika mendengarnya tertawa tadi.

Iya juga..

Aku darimana?

“Tidak...?” jawabku ragu.

“Tidak? Hmm… kalau namamu?” Aku menggeleng pelan.

“Umurmu?” Aku menggeleng lagi.

“Jadi, apa yang kau ingat?” Mendengar pertanyaan itu, aku terdiam.

Apa yang kuingat? Bahkan nama dan umurku sendiri, aku tidak bisa mengingatnya… Aneh, apakah ingatanku dihapus? Tapi dihapus siapa?

“Huu.. huu..”

“Oh, oke Sonou, oke..” jawab orang itu seolah-olah mengerti perkataan dari burung hantu tersebut.

“Mohon maaf nona yangtidakbisamengingatnamanyasendiri, tapi waktumu hampir habis. Selanjutnya, aku beri dua pilihan, masuk ke pintu itu atau… membantuku mencari sebuah buku.” ujarnya sambil tersenyum. Tangannya menunjuk sebuah pintu yang berseberangan dengan pintu masukku tadi.

Pasti ada sesuatu di balik pintu itu, pasti! Tapi bagaimana kalau ternyata tempatnya lebih buruk dari tempat ini? Bagaimana kalau aku tidak bisa kembali? Tidak menutup kemungkinan kalau itu pintu keluar sih.. Tapi kalau disana nanti tidak ada makanan dan air gimana? Ah, aku kan bawa botol min-

Aku tidak bisa menemukan tasku.

“Hoo..? Kenapa? Kau mengingat sesuatu?” ujarnya yang masih bermain dengan burung hantu itu sementara aku memeriksa kantung dan punggungku.

“Iya, ranselku.”

“Ransel? Untuk apa?”

“Botol minumku di dalamnya.”

“Kau mau minum?”

“Tidak, aku hanya ingin mengecek barang.”

“Oh, nyerah aja. Lagipula kau juga tidak bisa minum lagi.”

“Kenapa begitu?”

“Kenapa? Yaah.. kau kan, sudah mati?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status