Sendok demi sendok bahan dimasukkan ke dalam panci. Tangannya bergerak lincah, tapi pikirannya melayang-layang. Tentang Rafael, tentang semua kata-katanya hari ini, dan tentang luka yang terus menerus ditorehkan oleh pria itu.
Tapi meski sakit, meski ingin berhenti hatinya tetap mengarah padanya. Tanpa bisa dijelaskan.***Rafael berjalan keluar dari ruang rapat, meski tubuhnya mulai terasa lelah. Rapat yang berlangsung sejak sore benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Jam di dinding menunjukkan pukul 20.02 saat Nadine, sang sekretaris, menyusul langkah cepatnya dari belakang.“Presdir Rafael,” panggil Nadine dengan sopan, tapi terdengar khawatir.Rafael menoleh singkat. “Apa?”Nadine ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Saya tahu Anda ingin semua selesai malam ini, tapi tim sudah benar-benar kelelahan. Bahkan beberapa dari mereka belum makan sejak siang. Mungkin. .. akan lebih baik jika kita lanjutkan rapat besok pagi. AndaDokter mengangguk. “Silakan, tapi harap tenang dan jangan membangunkannya jika belum sadar sendiri.” Rafael hanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke ruang UGD di mana Aurora terbaring, masih dalam kondisi lemah. Jantungnya mencengkeram hebat melihat wajah pucat Aurora yang terbaring di ranjang itu. Ia menarik kursi dan duduk di sampingnya, lalu meraih tangan Aurora perlahan. “Maaf, Aku seharusnya ada di sana. Seharusnya aku tahu kamu tidak baik-baik saja.” Di ruangan itu, hanya suara mesin monitor yang terdengar. Sementara Rafael duduk diam, menunggu dan berharap Aurora segera membuka mata. *** Kini Aurora sudah dipindahkan ke ruang rawat VVIP. Tirai jendela dibiarkan sedikit terbuka, membiarkan cahaya senja mengintip masuk ke dalam ruangan dengan lembut. Suara detak alat pemantau jantung berdetak tenang, menandakan bahwa Aurora dalam kondisi stabil. Dengan perlahan, kelopak mata Aurora
Ruangan rapat sore itu mulai terisi satu per satu oleh para pejabat penting dari berbagai divisi. Beberapa dari mereka sudah duduk tenang, membuka catatan atau sekadar berbincang ringan sambil menunggu agenda presentasi dimulai. Lampu proyektor telah menyala, layar besar menampilkan judul presentasi yang akan dibawakan oleh Aurora.Aurora berdiri di sisi depan, mengenakan blouse putih dan rok hitam rapi, namun wajahnya tampak sedikit pucat. Tangannya menggenggam alat petunjuk layar erat, mencoba menyembunyikan gemetar halus di jari-jarinya. Dia menoleh ke arah pintu, berharap melihat sosok Rafael muncul dengan langkah tenang seperti biasanya. Tapi pintu itu tetap tertutup, dan waktu terus berjalan.Nadine mendekat dan membisikkan padanya, “Presdir belum bisa hadir sekarang. Tapi beliau meminta rapat dimulai tanpa menunggunya.”Aurora menelan ludah perlahan. “Baik,” gumamnya.Ia berdiri tegak dan mulai mempresentasikan laporan yang telah disusunnya dengan susah payah. Suaranya tetap te
Makanan mereka datang tidak lama kemudian, diantar oleh pelayan yang lain. Spaghetti seafood Rachel tersaji di atas piring putih besar dengan hiasan parsley segar dan parutan keju parmesan yang harum. Sementara tenderloin steak Rafael terlihat sempurna dengan saus merah gelap di sisi piring dan potongan sayuran kukus yang tertata rapi.“Silakan dinikmati,” ucap pelayan dengan sopan sebelum meninggalkan mereka.Rachel mengambil garpunya dan mulai memutar spaghetti dengan gerakan anggun. “Jadi,” katanya sambil melirik Rafael, “tentang proyek kerja sama yang kita bicarakan lewat email itu… aku sudah lihat semua detailnya.”Rafael mengangguk sambil memotong daging steaknya. “Bagaimana menurutmu?”“Aku pikir ada banyak potensi. Terutama di bagian distribusi produk digital. Perusahaanmu kuat di sisi teknologi dan pengembangan, sementara perusahaan kami lebih matang dalam pemasaran dan relasi internasional,” ujar Rachel dengan nada percaya diri.Rafael mengunyah pelan, lalu menatapnya. “Aku
Tapi Aurora, kau harus terbiasa dengan semua itu. Semua pegawai di sini sudah hatam siapa saja yang dekat dengan Pak Rafael. Tapi tentu saja, saat ini kamulah pemenangnya,” ucap Lia mencoba menyemangati.Aurora tersenyum hambar. Di dalam dirinya, hatinya masih menyimpan keraguan. Meski Nadine berkata tidak perlu khawatir, kenyataan bahwa Rafael tersenyum saat membaca pesan dari Rachel tetap membekas dalam pikirannya. Tapi untuk saat ini, dia memilih diam.***Restoran mewah di tengah kota itu tampak tenang siang itu. Alunan musik jazz yang lembut mengiringi suasana elegan dengan meja-meja yang tertata rapi, lampu gantung kristal memancarkan cahaya hangat, dan wangi aroma anggur serta makanan gourmet menggoda penciuman. Seorang pelayan membukakan pintu untuk Rafael yang baru saja tiba.Rafael melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan jas gelap yang membuat aura karismanya tak tertandingi. Tatapan beberapa pengunjung wanita sejenak tertuju padanya, namun ia tampak tidak peduli. Pa
Aurora duduk di balik meja kerjanya, menatap layar komputer yang menampilkan laporan data penjualan bulan ini. Matanya lelah, punggungnya mulai terasa pegal karena duduk terlalu lama, dan pikirannya… tidak sepenuhnya berada di tempat kerja. Meski ia mencoba fokus, sesekali pikirannya kembali teralihkan pada nama itu. Rachel. Nama yang terus berputar di kepalanya sejak pagi tadi. Ia ingin sekali bertanya langsung pada Rafael, ingin tahu siapa sebenarnya wanita itu. Tapi ia menahan diri, menunggu waktu yang tepat. Dan ia memutuskan, jam makan siang nanti, ia akan menanyakannya. Menuntaskan rasa penasaran yang menyesakkan dadanya sejak pagi. Jam makan siang pun tiba. Aurora berdiri dari kursinya dan mengambil napas panjang. Ia membenarkan sedikit rambutnya yang terurai di bahu, merapikan blusnya, lalu melangkah keluar menuju ruang Rafael. Wajahnya datar, tapi dalam hatinya ada secercah harapan agar Rafael ada di sana, seperti biasanya menunggunya untuk makan siang bersama. Namun har
Rafael terkejut. Ia langsung mengangkat wajahnya, lalu buru-buru mematikan layar ponselnya dan meletakkannya menghadap ke bawah."Apa aku tersenyum?" tanyanya cepat, seolah tidak sadar bahwa dia telah melakukannya berkali-kali.Aurora mengangguk sambil memotong roti panggangnya. "Iya. Beberapa kali malah. Padahal kamu biasanya jarang banget tersenyum, apalagi saat sarapan."Rafael terdiam. Tatapannya mengarah ke piringnya, tapi tak juga bergerak untuk makan. Sekilas terlihat ia seperti berpikir, namun kemudian dengan cepat ia mengalihkan topik."Sudah hampir siang. Kita harus berangkat sekarang kalau gak mau terlambat."Aurora terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan. Ia tahu Rafael menghindari menjawab. Tak ada penjelasan, tak ada penyangkalan. Hanya perpindahan topik yang terlalu jelas.Keduanya pun berdiri dari meja makan. Rafael mengambil jasnya, Aurora merapikan tas kerjanya. Tidak ada candaan kecil seperti biasanya, tidak ada percakapan ringan di pagi hari. Yang