LOGINRafael Valentino menyimpan dendam membara pada mantan mitranya. Edgar Marvelo, pria licik yang menggelapkan jutaan dolar dan membuat cabang perusahaan mereka runtuh. Edgar menghilang tanpa jejak. Kesempatan balas dendam datang saat Aurora Marvelo, putri semata wayang Edgar, kembali dari Paris. Aurora tak tahu apa-apa soal kejahatan ayahnya, apalagi kebencian yang Rafael simpan terhadap keluarganya. Rafael menuntut Aurora untuk membayar utang sang ayah, bukan dengan uang, tapi dengan kebebasannya, pilihannya, bahkan harga dirinya. Kini, Aurora terjebak bekerja di bawah kendali Rafael. Di tengah tekanan dan konflik, apakah benih cinta bisa tumbuh dari tanah yang dipenuhi dendam?
View MoreUdara malam terasa lembap, membalut kulit mereka yang berkeringat di dalam kamar. Lampu gantung tembaga menyinari samar dinding bata yang dingin, kontras dengan desahan hangat dua tubuh yang saling menjelajah. Rafael berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan gelap, napasnya berat, sementara Aurora terbaring di bawahnya, rambut pirangnya berantakan di atas seprai putih.
Kemeja Rafael sudah tak beraturan, terbuka hingga dada, menampilkan lekuk otot yang tegang. Tangannya menelusuri tulang selangka Aurora, lalu naik ke rahangnya, mengangkat wajah gadis itu paksa agar menatap matanya. Aurora menahan napas, tubuhnya bergetar antara takut dan rindu akan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Rafael mendekat perlahan, mencium bibirnya dengan tekanan yang tak sepenuhnya lembut, seolah mencampur amarah dengan keinginan yang lama terkubur. Ciuman itu memabukkan membakar syarafnya. Tangannya yang kuat kini bergerak lebih berani, menyusuri tubuh Aurora seolah menandainya, seolah menuntutnya untuk tunduk. Dan ketika jemari mereka saling mencengkeram, ketika napas mereka berpadu dalam satu desahan tertahan, ketegangan di antara mereka memuncak dalam diam yang menggantung. Namun tepat saat penyatuan itu nyaris terjadi Rafael berhenti. Tubuhnya kaku. Kedua tangannya kini mengepal, dan wajahnya menjauh dari wajah Aurora, menatap ke arah jendela yang tertutup tirai tipis. Napasnya memburu, bukan karena gairah, tapi karena gelombang emosi lain yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Aurora membuka mata, matanya yang masih berkabut menatap Rafael dengan bingung. “Rafael? Kenapa kau berhenti?” Rafael menoleh perlahan. Matanya gelap, namun bukan lagi karena hasrat. “Aku…” Suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Aku tak bisa. Tidak malam ini.” Ia bangkit, mengambil kemejanya yang terjatuh di lantai dan memakainya dalam diam. Aurora duduk, menarik selimut menutupi tubuhnya, berusaha memahami perubahan yang begitu tiba-tiba. “Apakah aku melakukan kesalahan?” tanyanya pelan. Rafael menggeleng. “Bukan kau.” Ia menatapnya lama, seolah mencoba berkata sesuatu yang tertahan terlalu lama. Tapi akhirnya ia hanya berkata: “Aku hanya... hampir lupa alasan kenapa aku mendekatimu.” Lalu ia melangkah keluar kamar, meninggalkan Aurora dalam keheningan yang kini berubah menjadi tanda tanya besar. *** Dua bulan lalu, di kantor perusahaannya, Rafael berdiri membeku di depan layar proyektor. Angka-angka laporan keuangan menari-nari dalam grafik yang absurd dan semuanya salah. Celah itu tak akan terlihat oleh sembarang mata, tapi Rafael adalah pria yang membangun sistem ini dari nol. Ia tahu saat sesuatu dipalsukan. Dan seseorang telah melakukannya berbulan-bulan. “Cross-check semua akun vendor dalam dua belas bulan terakhir,” perintah Rafael kepada sekretarisnya, Nadine, dengan rahang terkunci. Beberapa jam kemudian, Rafael melihat rekening bayangan yang telah ditemukan. Didalamnya terdapat transfer bertahap, uang mengalir perlahan tapi pasti ke perusahaan fiktif yang kemudian ditelusuri hingga satu nama. Edgar Marvelo. Mitra bisnisnya yang sudah ia percaya selama ini, pria berusia 50an yang berdiri bersamanya saat mereka memotong pita pembukaan gedung baru enam bulan lalu. Rafael tak percaya, sampai ia melihat rekaman email terenkripsi, dan persetujuan tanda tangan digital yang tak terbantahkan. “Kenapa?” gumam Rafael lirih, berdiri di ruang rapat kosong sambil memandangi kota yang perlahan dibungkus senja. “Kita membangun ini bersama.” Namun tak ada jawaban. Edgar sudah kabur ke luar negeri sebelum Rafael bisa menuntutnya. Menghilang, seperti pengecut. Meninggalkan nama baiknya, perusahaannya, dan satu-satunya warisannya di kota ini, Aurora Marvelo. *** Rumah keluarga Marvelo berdiri seperti istana yang kosong. Dinding putihnya masih bersih, halaman rumput masih terawat, namun tak ada kehidupan nyata di dalamnya selain jejak-jejak masa lalu yang tertinggal. Dan kini, satu-satunya pewarisnya kembali. Aurora berdiri di tengah ruang tamu yang luas, memandangi foto ayahnya yang tergantung di dinding. Senyum Edgar yang tenang di balik pigura emas kini terasa asing. Ia mencoba tersenyum, tapi hatinya merinding. Terlalu banyak yang berubah. Terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Sejak tiba dari Paris dua hari lalu, Aurora tak pernah sekalipun berhasil menghubungi ayahnya. Telepon mati. Email tak dibalas. Aurora tidak mengerti kenapa tiba-tiba ayahnya memutuskan pembiayaan kuliahnya di Paris. Bahkan dia pulang dengan sisa tabungan yang tak seberapa. “Ayah, kau di mana?” tanyanya, penuh kesal. Namun hari itu ia tak punya waktu untuk tenggelam dalam pikiran sendiri. Karena sesaat kemudian, suara mesin mobil terdengar di luar. Dari balik jendela, ia melihat seorang pria keluar dari mobil. Pria itu tinggi, gagah, mengenakan jas gelap dan kacamata hitam. Aurora membuka pintu sebelum bel sempat berbunyi. “Siapa ya?” tanyanya waspada. Pria itu melepas kacamatanya perlahan. Mata cokelat gelapnya langsung terkunci pada wajah Aurora. Pandangannya menusuk. Dalam. Seolah mencoba menelanjangi jiwanya. “Aurora Marvelo?” tanyanya tenang. “Ya.” “Aku Rafael Valentino.” Aurora terdiam. Nama itu familiar. Sangat familiar. Ia pernah mendengarnya dalam satu percakapan telepon ayahnya, atau mungkin dari sebuah artikel bisnis yang samar ia baca. Tapi yang ia ingat pasti Rafael Valentino bukan nama kecil. Rafael adalah pria penting. Seseorang yang punya kuasa. Dan dari tatapannya, Aurora tahu... kedatangannya bukan untuk bersilaturahmi. “Aku datang bukan untuk basa-basi,” lanjut Rafael sambil melangkah masuk tanpa diundang. “Kita perlu bicara. Tentang ayahmu.” Aurora menutup pintu perlahan, membiarkan pria itu masuk ke dalam rumahnya atau lebih tepatnya, rumah ayahnya. Ia mengikuti Rafael ke ruang tamu, lalu duduk berhadapan dengannya. “Jika kau tahu di mana ayahku, tolong katakan padaku,” ucap Aurora akhirnya. “Aku sudah mencarinya berminggu-minggu.” Rafael mendengus pelan, mengejek. “Tentu saja kau tidak akan tahu.” Aurora menatapnya bingung. “Apa maksudmu?” Rafael bersandar, menyilangkan kaki dan menatapnya tanpa senyum. “Ayahmu mencuri uangku. Meninggalkanku dengan kehancuran. Dan dia menghilang seperti pengecut. Sekarang, dia meninggalkanmu di sini di rumah mewah hasil uang kotor.” Aurora membeku. “Apa maksudmu uang kotor?” “Jangan pura-pura tidak tahu, Aurora.” Suaranya menjadi lebih tajam. “Kau wanita cerdas. Tapi jangan bodoh soal bisnis ayahmu. Dia menipuku. Mengambil jutaan dolar dari merger perusahaan kami, memalsukan dokumen, dan melarikan diri. Sekarang, dia mewariskan semua ini padamu. Termasuk... utangnya.” Aurora bangkit berdiri, suara gemetar. “Aku tidak tahu apa pun tentang itu. Aku tidak pernah terlibat dalam bisnis ayahku. Dia bahkan jarang bercerita!” “Tapi kau tetap pewarisnya.” Rafael berdiri pula, kini berhadapan langsung dengannya. Hanya beberapa inci memisahkan mereka. “Dan sebagai anak yang baik... kau akan membayarnya.” “Dengan apa?” desis Aurora. “Aku tidak punya uang sebanyak itu.” Rafael menyeringai pelan, gelap dan tajam. “Ada banyak cara untuk membayar. Dan kau akan tahu satu per satu, Aurora Marvelo.” Aurora menahan napas. Matanya membulat, memandang Rafael yang kini berdiri begitu dekat. Aura lelaki itu seperti badai, dingin dan tak tertebak. Tapi Aurora bukan tipe wanita yang mudah diintimidasi, meskipun seluruh tubuhnya menggigil, ia tetap mengangkat dagu dengan penuh harga diri. “Bagaimana jika aku menolak?” tanyanya, suaranya pelan namun jelas, seperti tantangan. Rafael tidak langsung menjawab. Ia menatapnya lama, seolah ingin memastikan bahwa Aurora benar-benar tak tahu apa-apa. Lalu perlahan, senyumnya tumbuh. Tapi bukan senyum ramah. Itu adalah senyum milik seorang pria yang terbiasa menang dalam segala bentuk permainan kotor. “Kau pikir kau punya pilihan?” balas Rafael, suaranya rendah, nyaris berbisik namun menggema seperti dentuman. Ia melangkah lebih dekat hingga Aurora hampir terdorong mundur.Dalam sekejap, Rafael menarik tubuh Aurora ke dalam dekapannya. Aurora terkejut, nyaris terjatuh ke ranjang kalau saja tidak sempat menumpukan tangan pada dada Rafael yang hangat. Pelukan itu erat dan nyaman, membuat Aurora sejenak kehilangan niatnya untuk memarahinya.“Tidur lagi sebentar,” kata Rafael lirih, dengan suara serak khas bangun tidur yang memabukkan.Aurora memukul dadanya pelan. “Rafael! Jangan manja. Sudah jam sembilan, aku udah siapin sarapan, perutku lapar.”Rafael hanya menggumam pelan, masih menolak melepaskannya. “Sepuluh menit lagi.”Aurora menarik napas panjang, mencoba melepaskan diri, tapi Rafael kembali mengencangkan pelukannya. “Rafael, serius. Kalau kamu nggak bangun sekarang, aku makan semuanya sendiri.”Mendengar ancaman itu, Rafael akhirnya membuka matanya dengan malas. Ia menatap Aurora yang berada dalam pelukannya, lalu tersenyum lebar, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang pura-pura tidur. “Kamu kejam sekali.”“Kejam karena kelaparan,” Aurora
Aurora mengangguk pelan. “Aku tahu.”"Aku sendirian di pantai tadi," ucap Aurora akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. "Sampai Kevin datang. Kami hanya mengobrol sebentar. Lalu kau meneleponku."Rafael memandang Aurora dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. Meski senyumnya lelah, ada ketulusan yang memancar dari sana. Ia berusaha berdiri, dan meski kakinya masih sakit, ia memaksa tubuhnya bergerak, pincang tapi mantap. Dalam beberapa langkah tertatih, Rafael akhirnya sampai di depan Aurora dan memeluknya erat."Aku tahu," bisiknya. "Aku tahu kamu nggak akan melakukan sesuatu yang menyakitiku. Dan... maaf karena sudah membiarkan Valery masuk. Aku ceroboh. Aku terlalu percaya pintu yang tidak tertutup rapat."Aurora menggeleng dalam pelukannya. "Aku yang harusnya minta maaf. Aku nggak seharusnya meninggalkan kamar terlalu lama. Meninggalkanmu sendirian seperti itu.”Rafael melepas pelukan itu sedikit untuk bisa menatap wajahnya. "Aurora, kamu bukan penjaga orang sakit. Kamu pasti bosan, kan?
“Tapi kamu tetap jadi orang yang baik. Kamu tetap bisa tertawa, bisa peduli sama orang lain. Itu hebat.”Kevin tersenyum getir. “Aku berusaha. Tapi kadang... aku takut aku akan jadi seperti mereka. Sibuk sendiri. Nggak peka. Dingin.”“Enggak,” jawab Aurora tegas. “Kamu jauh dari itu. Kamu bahkan lebih hangat dari banyak orang yang dibesarkan oleh keluarga penuh cinta.”Angin kembali bertiup, mengibaskan rambut mereka. Cahaya matahari kini sudah menyentuh bahu Aurora, membuat kulitnya berkilau samar. Kevin memperhatikan gadis itu lama, lalu menarik napas pelan.“Kamu selalu tahu harus bicara apa, ya?”Aurora tertawa. “Nggak juga. Tapi aku tahu gimana rasanya pengen didengar.”Diam pun hadir lagi di antara mereka. Tapi kali ini bukan karena canggung, melainkan karena nyaman. Seperti dua orang yang saling berbagi luka dan saling menguatkan, tanpa perlu kata-kata yang rumit.Akhirnya Kevin berkata, “Terima kasih, Aurora.”Aurora tersenyum kecil. “Kamu juga. Terima kasih udah cerita.”Dan
Aurora mendelik mendengar ucapan Rafael, dia melihat ke sekeliling, memastikan tidak ada siapa-siapa yang memperhatikan mereka. Tapi Rafael tetap menatapnya dengan sabar, satu alis terangkat. Mau tak mau Aurora pun mengalah, menghela napas panjang sebelum perlahan duduk di samping Rafael.Pasirnya dingin. Tapi hangat dari lengan Rafael yang menyentuhnya cukup untuk mengimbangi rasa asing itu.“Kamu selalu suka nyari alasan buat nggak istirahat, ya,” gumam Aurora, memeluk lututnya, menatap lautan yang bergelombang kecil.Rafael tertawa kecil. “Mungkin karena aku capek istirahat. Capek diem. Dunia di luar sana nggak pernah pelan, jadi kenapa aku harus?”Aurora meliriknya, lama. Lalu memutar tubuhnya sedikit, menatap pria itu dari samping.“Kamu tahu, kamu nggak harus selalu jadi yang paling kuat,” bisiknya pelan. “Bahkan pahlawan pun kadang boleh istirahat.”Rafael menoleh, dan senyum yang ia tunjukkan kali ini lebih lembut. Lebih jujur.“Aku nggak pengen jadi pahlawan,” katanya. “Aku c
Api unggun masih menyala, menggeliat seperti ingin menari bersama nyanyian yang baru saja usai. Aurora dan Kevin masih berdiri di dekat mikrofon, senyum mereka belum pudar saat tepuk tangan membahana. Namun di sudut api, seseorang tiba-tiba berdiri.Rafael.Dengan gerakan tiba-tiba, ia melempar tongkat penyangganya ke pasir. Beberapa orang langsung terdiam. Wajah-wajah yang tadinya santai kini mulai menoleh, memperhatikan gerakan Rafael yang perlahan, tertatih tapi penuh tekad, melangkah ke arah mikrofon yang baru saja ditinggalkan Kevin.“Rafael—” Aurora hampir melangkah maju, tapi terhenti oleh tatapan Rafael yang sekilas memohon, “biarkan.”Satu langkah. Dua langkah. Rafael mengerang pelan, kakinya yang terkilir jelas belum sembuh. Tapi ia terus maju, meski pundaknya sedikit gemetar menahan beban. Semua orang kini terdiam, menyaksikan momen dramatis itu seolah sedang menonton adegan klimaks dari film romantis.Begitu sampai di mikrofon, Rafael menarik napas dalam dan mengangkat waj
Rafael mendesah, tapi menyerah juga. Dengan hati-hati, ia berdiri dengan bantuan tongkat dan Aurora di sisinya. Langkah mereka pelan saat menyusuri jalan setapak kecil keluar dari vila menuju pantai tempat acara berlangsung. Cahaya lampu dan suara tawa semakin mendekat, dan senyum pun mulai muncul di wajah Rafael.Saat mereka tiba, beberapa rekan menyambut dengan hangat.Aurora tersenyum malu, tapi Rafael hanya mengangkat tangan santai. “Jangan terlalu semangat, ya. Aku cuma bisa duduk dan menilai penampilan kalian.”Mereka memilih tempat duduk empuk di pinggir api unggun. Aurora duduk di pasir dengan selimut kecil, sementara Rafael di kursi rotan rendah dengan kakinya diluruskan. Makanan mulai dibagikan sate, jagung bakar, pisang cokelat, dan minuman dingin.Musik kembali dimainkan. Seorang staf mengambil mikrofon dan menyanyikan lagu lawas penuh semangat, membuat hadirin ikut bernyanyi dan beberapa mulai berdansa dengan riang.Aurora melirik Rafael. “Yakin nggak mau nyanyi?”“Bisa-b






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments