"Itu benar kamu!" Elena memekik, tubuhnya kaku saat menyadari siapa pria bertopeng itu sebenarnya. "Kamu... kenapa kamu di sini?!"
Pria itu mematung sejenak, namun rautnya tak menunjukkan kejutan seperti Elena. Tatapannya justru berubah semakin gelap, dingin, dan tajam. "Kenapa kamu pergi begitu saja malam itu? Tanpa pamit?" tanya Elena, suara gemetar namun penuh tuntutan. Entah mengapa, perasaan dikhianati muncul. Padahal mereka nyaris tidak saling mengenal. Namun pria itu tidak menggubris. Malah dengan geram, dia menindih Elena lebih erat. "Berhenti bicara, wanita!" geramnya. Tubuh kekar itu menahan Elena yang kembali meronta dalam panik. "Lepas! Jangan lakukan ini!" jerit Elena, namun suara dan tenaganya kalah jauh dibandingkan si pria. Tangan besar itu tiba-tiba melingkar di lehernya. Tak sampai mencekik penuh, tapi cukup membuat Elena nyaris kehabisan napas. "Diam! Satu kata lagi dan aku benar-benar membuatmu tak bisa bersuara selamanya," desisnya dengan nada mengancam. Elena membeku. Tubuhnya gemetar di bawah pria itu, air mata mulai mengalir di pipinya. Dia sungguh ketakutan. Tapi alih-alih melanjutkan, pria itu justru menjauh dan bangkit berdiri. Napasnya memburu, jelas menahan emosi. "Apa hubunganmu dengan Baskara?" tanyanya tajam. "Kenapa kau bisa begitu polos, padahal sudah dijual oleh ayahmu sendiri?" "A-apa maksudmu?" Elena menggigil. "Aku sudah membayar mahal untukmu dan perawatan ibumu! Lebih dari satu miliar rupiah! Dan si brengsek itu bilang kamu siap untuk melakukan apapun yang aku perintahkan!" Elena menahan napas. Kata-kata itu seperti palu menghantam kesadarannya. Jadi... ayahnya tidak memberinya kesempatan, tidak sedang berjuang demi ibunya... tapi benar-benar menjual dirinya untuk keuntungan pribadi? Dia merasa ingin muntah. Pria itu kembali menatapnya, kali ini lebih tenang namun tetap mengintimidasi. "Dengar. Aku tidak peduli kamu suka atau tidak. Tapi mulai malam ini, kamu milikku. Tapi karena kamu pernah menyelamatkanku... akan kuajak membuat kesepakatan." Elena menatapnya penuh curiga dan takut. "Isi kesepakatannya sederhana," lanjut pria itu. "Pertama, kamu tidak boleh keluar dari mansion ini tanpa seizinku. Kedua, kamu dilarang menjalin kedekatan dengan pria manapun, termasuk ayahmu. Ketiga... kamu harus melayaniku kapanpun aku menginginkannya. Tanpa perlawanan." "Itu... bukan kesepakatan. Itu perbudakan!" suara Elena lirih namun menggugat. "Anggap saja begitu," ucap pria itu ringan. "Tapi setidaknya aku tidak memperlakukanmu sekejam yang dilakukan Baskara." Elena menggertakkan gigi. Apa dia punya pilihan? Tidak. Maka dengan enggan, dia mengangguk. "Baik. Aku terima." Pria itu membalikkan badan dan berjalan menuju pintu. Namun sebelum pergi, dia berkata dingin, "Namaku Rixon. Ingat baik-baik itu. Sekarang, tidur! Kamu butuh energi." ** * * Pagi harinya, Elena terbangun oleh ketukan lembut di pintu. "Nona Elena, saya masuk, ya!" Seorang perempuan paruh baya dengan senyum keibuan muncul membawa nampan berisi sarapan. "Selamat pagi. Nama saya Alma. Saya pelayan pribadi Nona mulai hari ini." Elena menatap wanita itu, masih merasa asing dengan semua yang terjadi. Alma meletakkan nampan di meja dan duduk di tepi ranjang. "Saya tahu ini semua membingungkan. Tapi percayalah, lebih baik bersabar. Tuan Rixon orangnya... sulit. Sangat mudah berubah-ubah. Mood-nya lebih gawat daripada gadis remaja menjelang datang bulan." Elena nyaris tertawa mendengar pernyataan jujur Alma, namun rasa pahit di hatinya terlalu mendominasi. "Aku... harus mulai dari mana?" tanya Elena pelan. Alma tersenyum. "Saya bisa antar Nona berkeliling dulu setelah Anda mandi." Elena mengangguk dan segera mandi. Dia melirik pakaian warna merah yang disediakan untuknya. Setelahnya, Alma menunjukkan berbagai ruangan di mansion, hingga akhirnya mereka tiba di ruang santai dengan dinding kaca dan kursi empuk. Di sana, dua wanita sedang duduk sambil membaca majalah. Mereka tampak cantik dan anggun, namun aura dingin jelas terasa. Yang satu memakai gaun warna emas dan satunya lagi mengenakan pakaian serba hitam. "Selamat pagi," sapa Elena dengan ramah. Namun keduanya hanya menatap sekilas. Yang berambut pirang mencibir, sementara yang berambut hitam mendengus. "Mereka Nona Onix dan Nona Golda," bisik Alma. "Nona Onix adalah wanita favorit Tuan Rixon. Jangan ambil hati jika mereka bersikap begitu pada Anda." Elena menggigit bibirnya. Ini akan sulit. Malamnya, Elena dibawa ke sebuah ruangan misterius oleh dua pengawal Rixon. Di atas pintu tertulis dengan ukiran besi: Lunatic Pleasure. Begitu masuk, Elena tercekat. Rixon berdiri di tengah ruangan, mengenakan kemeja hitam dengan setelan gelap. Di belakangnya, deretan lemari kaca berisi benda-benda asing: cambuk, borgol, tali, dan alat-alat yang bahkan tidak berani Elena sebut namanya. "Mulai malam ini," suara Rixon menggema, "kau akan belajar mengenal semua sisi dunia, termasuk apa yang aku sukai. Dan itu dimulai dari sini."“Um…” Meski ragu dan takut, Elena tetap mendekat ke Rixon.Dia tak punya daya ataupun kuasa untuk menolak. Walau hatinya menjerit tak ingin, dia harus patuh demi ibunya.“Argh!”Pekikan pelan Elena timbul saat Rixon menarik tangannya. Tak bisa dicegah, dia jatuh di pangkuan si pria bengis sesuai perintah.“Haannhh….”Elena tak mampu menahan suara erangannya begitu tangan cabul Rixon meremas dadanya. Sedangkan tangan bebas si ketua mafia sudah melingkari pinggang rampingnya.Dengan posisi membelakangi Rixon di atas pangkuan pria itu, Elena tak perlu sungkan menampilkan wajah merah cerinya.Terlebih sewaktu tangan bejat Rixon menguasai kedua aset kenyal di dada Elena.“Hnnn… Tuan….”Dia melirik ke bawah demi melihat apa yang sedang dilakukan Rixon pada kedua bongkah kenyal miliknya yang berukuran cukup besar.“Hm, menyenangkan saat dipegang.” Suara berat Rixon terdengar berbahaya di belakang telinga Elena.Hingga ketika kedua tangan pria itu terus menjajah keindahan di dadanya, Elena me
“Jangan, Nona!”Sebelum bilah itu menyentuh kulit pergelangan tangan Elena, Alma bergerak cepat meraih tangan Elena dengan sekuat tenaga. Dia sudah curiga sejak Elena membaca surat tadi. “Tolong jangan lakukan itu, Nona! Jangan!”Alma terus berjuang merebut pisau di tangan Elena.“Lepaskan, Bu Alma! Biarkan aku mengakhiri semuanya!” Elena berteriak, air matanya mengalir deras.Tapi Alma tak mundur. Dia justru mempertahankan bilah pisau dengan telapak tangan kosong, mencegah sisi tajam benda itu menembus kulit Elena.“Tidak, Nona! Anda tidak boleh begini! Anda tidak boleh mati!”Pisau itu kini jadi medan tarik menarik. Elena menangis sambil berusaha menguasai pisau, tangannya gemetar hebat. Tapi Alma berjuang menggenggam bilah tajam itu kuat-kuat.Crasshh!Darah mengucur dari telapak tangan tanpa bisa dihindari.“Bu Alma!” Elena terpekik kaget, tubuhnya membeku seketika.Pisau langsung dia lepaskan, jatuh ke lantai dengan dentingan dingin yang mengiris telinga.Alma terengah-engah, t
‘Tidak! Jangan….’ Elena menyeru di hatinya.Dia terperangkap dalam malam yang tak bisa diulang. Gaun merah yang menjuntai usai dikoyak, bagaikan kelopak mawar layu jatuh ke lantai. Hanya menyisakan tubuh yang menggigil, bukan karena dingin, tapi karena kepedihan yang menyelinap halus seperti belati beludru.Rixon seperti bayangan gelap dengan tatapan tajam seakan mampu membakar langit—menariknya ke dalam badai yang tak diminta.Tangis Elena tak bersuara, hanya mata yang berbicara, memohon pada langit yang pekat. Keheningan menjadi saksi, saat kesucian direnggut, bukan dengan cinta, tapi kekuasaan.Dan ketika pagi datang, dia bukan lagi gadis yang sama. Dalam diam, jiwanya berjalan menjauh dari tubuhnya sendiri.Batin Elena menjerit tak terima. Kesuciannya diambil dengan cara tidak terhormat dan sungguh mengenaskan.‘Kenapa aku harus berada di sini? Kenapa aku menuruti kemauan mau Ayah? Bajingan itu! Dia tega menjualku pada iblis!’Entah sudah berapa jam Elena harus menjadi Ruby, salah
“Lepaskan! Tolong lakukan sewajarnya saja!” Elena menatap ngeri ke arah Rixon. Dia tak menyangka hidupnya akan berujung pada kegilaan macam ini. 'Semuanya salah Baskara!' Dia mengutuk sang ayah di hatinya.“Tolong jangan!”Mata Elena membelalak terkejut ketika mulutnya sudah diberi pembekap yang memiliki bola untuk dijejalkan di mulut. Gag ball. Dia pun kesulitan bicara.“Hnnghh! Nnnghh!” Elena berusaha berteriak, tapi sia-sia. Bola pembekap di mulutnya menghalangi keleluasaan lidahnya untuk melafalkan apa yang ingin dia ucapkan.Rixon tertawa terkekeh-kekeh melihat Elena menggeliat ingin berontak. Mata selicik iblisnya menatap tajam dengan bibir membentuk seringaian. Rixon sudah tak ada bedanya dengan predator yang bersiap melahap mangsanya.Brettt!“Nnnhh!” Jeritan Elena tertahan bola pembekap di mulut saat tangan agresif Rixon merobek paksa bagian dada gaun merah tipisnya.Ini bukan hal yang dia inginkan dalam hidupnya. Elena hanya bisa meraung tak terima dalam hati ketika da
Matanya menatap ngeri ke deretan alat-alat aneh di ruangan tersebut. Diantaranya berbagai macam borgol, cambuk, tali, dan alat kesenangan dewasa lainnya.Beberapa diantaranya tergantung di sebuah rak tipis. Ada pula alat berbentuk aneh semacam pelana dari kayu berbentuk segitiga. Belum lagi palang silang besi dengan borgol di keempat sudutnya.Semua terlihat asing dan mengerikan bagi Elena.“Hehe… sepertinya kamu familiar dengan hal semacam ini, Ruby.” Tawa kekeh Rixon tertangkap pendengaran Elena. Dia mengurai beberapa manik kemejanya, sehingga dada berbulu halus bisa terlihat jelas di mata Elena.‘Jadi, di sini namaku Ruby sesuai dengan gaun tipis yang aku pakai saat ini?' Elena membatin.Sekali lagi Elena menggeleng. Dia bukannya berpengalaman dengan alat-alat itu. Tapi, dia paham kegunaan alat-alat tersebut. Dia bukan anak kecil!“Aku… aku belum pernah bersingungan dengan itu, tapi aku paham.” Elena memberikan alasan. “Jangan, kumohon jangan lakukan itu padaku! Aku sangat awam me
"Itu benar kamu!" Elena memekik, tubuhnya kaku saat menyadari siapa pria bertopeng itu sebenarnya. "Kamu... kenapa kamu di sini?!"Pria itu mematung sejenak, namun rautnya tak menunjukkan kejutan seperti Elena. Tatapannya justru berubah semakin gelap, dingin, dan tajam."Kenapa kamu pergi begitu saja malam itu? Tanpa pamit?" tanya Elena, suara gemetar namun penuh tuntutan.Entah mengapa, perasaan dikhianati muncul. Padahal mereka nyaris tidak saling mengenal.Namun pria itu tidak menggubris. Malah dengan geram, dia menindih Elena lebih erat."Berhenti bicara, wanita!" geramnya.Tubuh kekar itu menahan Elena yang kembali meronta dalam panik."Lepas! Jangan lakukan ini!" jerit Elena, namun suara dan tenaganya kalah jauh dibandingkan si pria.Tangan besar itu tiba-tiba melingkar di lehernya. Tak sampai mencekik penuh, tapi cukup membuat Elena nyaris kehabisan napas."Diam! Satu kata lagi dan aku benar-benar membuatmu tak bisa bersuara selamanya," desisnya dengan nada mengancam.Elena mem
“Berani sekali kamu tidur ketika aku datang!” geram pria bertopeng.Dia menarik pundak Elena agar gadis yang sedang lelap itu tidak lagi dalam posisi tidur menyamping. Namun alangkah kagetnya dia ketika melihat wajah Elena.“Hm? Apa? Siapa?” Elena seketika bangun terduduk dan mendapati ada orang lain di dekatnya. Yang dia lihat, seorang pria tinggi dan gagah memakai topeng perak sedang berdiri di tepi ranjang menatapnya.“Ka-kamu, siapa kamu?” Elena memasang sikap waspada.Ini adalah tempat asing dan Elena teringat bahwa dia baru saja dijual ayahnya ke mansion ini. Maka, bisa saja pria yang kini ada di dekatnya adalah orang yang disebut sebagai raja mafia.Mafia. Dalam benak Elena, dia hanya bisa membayangkan sebuah organisasi kejahatan yang melakukan banyak tindak kriminal. Karenanya, dia bergidik ngeri menatap pria yang kini kian mendekat. Sejahat apa pria di depannya?“Tu-Tuan… saya… bolehkah saya pulang saja?” Suara Elena nyaris mencicit dikarenakan takut. Segera saja dia mengg
“Ayah, jangan jual aku!” Elena Clarissa tersungkur di lantai granit putih dengan pola berlian yang mewah dan elegan. Dia berusaha menarik ujung jaket Baskara Adijaya, memohon belas kasihnya. Tapi, pria yang dipanggil Ayah tersebut bersikap acuh tak acuh.Baskara berjongkok sambil menatap Elena lekat-lekat. “Heh, jalang! Jika kamu ingin nyawa ibumu selamat, maka diam dan menurut lah!” Baskara tersenyum getir. Lalu, berdiri sambil merapikan jaketnya.Di hadapan mereka, berdiri seorang pria paruh baya, berkumis tipis dan memiliki tatapan mata yang tajam. Penampilannya cukup formal. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Dia adalah Butler di Mansion ini.Elena menduga, pakaian pria itu sangat mahal. Belum lagi, sepatu pantofel yang mengkilap. Membayangkan saja mampu membuat jantungnya berpacu lebih cepat.Baskara tersenyum pada Butler. Tatapannya melembut, sangat berbeda saat menatap Elena.Baskara membungkuk hormat. “Tuan Alan, dia putriku. Sesuai janjiku pada Don Rixon, dia akan kujadik