Matanya menatap ngeri ke deretan alat-alat aneh di ruangan tersebut. Diantaranya berbagai macam borgol, cambuk, tali, dan alat kesenangan dewasa lainnya.
Beberapa diantaranya tergantung di sebuah rak tipis. Ada pula alat berbentuk aneh semacam pelana dari kayu berbentuk segitiga. Belum lagi palang silang besi dengan borgol di keempat sudutnya. Semua terlihat asing dan mengerikan bagi Elena. “Hehe… sepertinya kamu familiar dengan hal semacam ini, Ruby.” Tawa kekeh Rixon tertangkap pendengaran Elena. Dia mengurai beberapa manik kemejanya, sehingga dada berbulu halus bisa terlihat jelas di mata Elena. ‘Jadi, di sini namaku Ruby sesuai dengan gaun tipis yang aku pakai saat ini?' Elena membatin. Sekali lagi Elena menggeleng. Dia bukannya berpengalaman dengan alat-alat itu. Tapi, dia paham kegunaan alat-alat tersebut. Dia bukan anak kecil! “Aku… aku belum pernah bersingungan dengan itu, tapi aku paham.” Elena memberikan alasan. “Jangan, kumohon jangan lakukan itu padaku! Aku sangat awam mengenai hobimu yang ini.” Kening Rixon berkerut mendengar ucapan Elena. Tanpa banyak bicara, dia melambaikan tangan ke anak buahnya. “Panggil Onix!” perintah Rixon. Tak berapa lama kemudian, Onix datang ke Lunatic Pleasure. Ruangan itu didominasi warna merah dan hitam dengan pencahayaan sedikit temaram, menambah kesan misterius sekaligus eksotis. “Bos sayang….” Onix mendekat ke Rixon yang duduk di single sofa besar. “Kesayanganku.” Rixon tersenyum saat menyambut Onix. Meskipun tersenyum, wajah Rixon masih terlihat mengerikan, beraura penuh bahaya di mata Elena. Pria itu bagaikan iblis baginya. “Perhatikan dan belajarlah dari ini!” Rixon melirik tajam ke Elena. Itu seakan menjadi ultimatum darinya. Dalam sekejap, tangan dan kaki Onix sudah dibelenggu pada palang silang besi. Matanya ditutup blindfold hitam, sungguh kontras dengan wajah putih dan bibir merah menyalanya. “Angh!” Onix memekik ketika gaun hitam tipisnya dirobek Rixon. Dia tertawa binal saat lidah Rixon menjelajahi sudut-sudut peka tubuhnya. “Argh!” Onix kembali memekik saat Rixon melecutkan cambuk kulit warna hitam ke paha mulusnya. Tapi setelah itu, dia mengerang manja. Elena menatap adegan tak senonoh itu dalam diam, berdiri kaku di tempatnya. ‘Ini aneh. Sungguh tak normal! Apakah aku harus diperlakukan seperti itu?!’ Sambil meremas ujung gaun merah pendeknya dengan gugup, dia membayangkan apabila berada di posisi Onix. Seketika tubuhnya bergidik ngeri. Tidak mau! Itu terlalu menjijikkan! ‘Bahkan Onix masih bisa mengerang keenakan ketika paha yang baru dicambuk itu ditetesi lelehan lilin? Gila! Mereka semua sakit!’ Elena menyeru di batinnya. ‘Aku tak paham dengan jenis kesenangan macam ini!’ Tanpa sadar, Elena menggeleng. Dia memeluk tubuhnya sendiri untuk menahan gemetar. Kegilaan di depan mata membuat Elena ingin muntah. Itu terlalu menjijikkan baginya. Dia lekas membekap mulutnya karena tak ingin benar-benar menumpahkan makan malamnya secara percuma. Rixon menyadari Elena yang memberikan gestur mual. “Kenapa, hm?” “Ti-tidak apa-apa. Lanjutkan saja kegilaan kalian yang menjijikkan itu.” Elena memalingkan pandangan. Ingin sekali dia keluar secepatnya dari Lunatic Pleasure. Kening Rixon berkerut mendalam atas jawaban Elena. Seketika, Elena menyadari dia sudah salah memilih kata. Segera dia bekap mulutnya. Bukan karena mual, melainkan takut jika salah bicara. Dia tak mungkin dijadikan perkedel daging setelah ini, kan? “A-aku minta maaf. Maksudku… aku….” Elena merasakan hawa dingin di punggungnya saat Rixon berjalan mendekat. “Menjijikkan, yah?” Raut wajah Rixon terlihat suram. Tapi sejurus berikutnya, dia terkekeh, mirip iblis. Dengan gerakan sederhana, Rixon melepas kemeja hitamnya dan memperlihatkan otot-otot maskulin di lengan dan torsonya. “Arkh!” Elena tidak bisa tidak menjerit sewaktu tangannya dicekal dan ditarik Rixon. “Maafkan aku! Maafkan aku, Tuan!” Kini dia ingin memilih mati saja daripada berada di cengkeraman iblis bernama Rixon. “Bukankah sudah terlambat untuk meminta maaf, hm?” Suara berat Rixon mengalun rendah di dekat telinga Elena. “Kyaahh!” Elena memekik saat dirinya dilempar ke tempat tidur. Belum sempat dia bangun, tangannya sudah dikalungi borgol oleh Rixon yang bergerak cepat. “Jangan! Aku tak mau! Jangan begini!” Elena menjerit panik.“Aku harus kembali ke sana!” teguh Elena.Maka, di malam harinya, Elena kembali ke kamar terlarang itu—kamar yang dulu sunyi, kini terasa berdenyut dengan teka-teki.Dengan langkah ringan, dia membuka laci tempat dia menyembunyikan diary yang ditemukan sebelumnya—milik Ruby terdahulu.“Oke, kembali ke kamarku!” bisiknya sambil melangkah setengah berlari meninggalkan kamar tersebut.Di kamarnya, dia menatap sampul usang itu beberapa detik, jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Jemarinya gemetar saat membuka halaman pertama yang masih utuh.Tulisannya kecil dan rapi, tapi terlihat seperti ditulis dengan emosi yang meletup-letup.“Aku tahu aku seharusnya tidak mencintainya. Tapi bagaimana jika yang kulakukan ini bukan pilihan? Bagaimana jika aku jatuh, karena dia membuatku merasa hidup—meski hanya ketika dia melihatku?”Elena membaca pelan dan kemudian dahinya mengernyit. Hatinya menegang. Ini tentang Rixon?Dia membalik halaman berikutnya. Lebih banyak lagi tulisan yang tak
Alma mundur satu langkah. “Saya tidak boleh bicara lagi.”“Bu, tolong…” Elena hampir mencengkeram tangannya. “Aku tidak bisa tinggal di sini tanpa tahu… apa yang terjadi pada dia. Apa yang bisa terjadi juga padaku?”Alma menatapnya lama. Ada gejolak dalam sorot matanya—seperti seseorang yang pernah menyaksikan sesuatu terlalu kelam untuk diucapkan.“Ruby bukan perempuan sembarangan,” katanya pelan. “Dia punya hati. Dia berani. Dia… mencintai terlalu dalam.”“Mencintai siapa?” tanya Elena. “Ibu, bicara saja, tak apa. Ini sudah di kamarku sendiri. Pasti aman.”Dia sedikit berbisik sambil meyakinkan Alma yang tampak waspada meski sudah berada di kamar Elena.Alma menggeleng keras, seolah membuang ingatannya jauh-jauh.“Tidak, saya tidak bisa,” katanya gemetar. “Kalau saya ceritakan… saya… saya bisa ikut menghilang.”Elena surut, terlihat kecewa.“Elena…” lanjutnya, kali ini tanpa menyebut ‘nona’, suara Alma terdengar lebih seperti seorang ibu yang sedang memohon, bukan pelayan. “Percayal
“Tidak! Tidak mau!” Elena secepatnya menjawab Rixon.“Kalau begitu, cepat mendesah untukku! Keluarkan suaramu!” Rixon mengeluarkan titah absolutnya.Elena melihat binar semangat di mata pria yang menguncinya di atas. Dia menggigit bibir dan mulai merelakan suaranya keluar.“Mmhh… hmmhh….” Elena mau tak mau memunculkan suara erangan tertahannya.Dia sengaja mengatupkan mulut erat-erat agar suaranya bisa teredam. Bagaimanapun, dia masih ingin menyisakan sedikit harga dirinya untuk tidak terlalu tunduk pada Rixon.“Lebih keras! Ayo keluarkan yang benar, Ruby!” bentak Rixon. “Atau kamu ingin tanganku di lehermu?”Lekas saja Elena menggeleng. Kemudian dengan harga diri yang sudah tercabik-cabik, dia mulai membuka mulut, megeluarkan suara seperti yang diinginkan Rixon.“Ihh… hiihh….” Elena malu. Suaranya lirih saat dia mencuatkan desahannya.Namun, tentunya Rixon bukan orang yang mudah dipuaskan.“Kamu bukan tikus, kan? Kenapa mencicit? Ayo, mendesah yang benar! Mendesahkan seperti manusia
“Hah?” Elena berbalik cepat ke sumber suara di ambang pintu. Di sana berdiri Rixon, tubuhnya membaur dengan bayangan lorong, wajahnya setengah gelap, setengah terlihat oleh cahaya temaram dari dalam kamar.Elena memeluk buku harian tua ke dadanya, napasnya masih tak stabil. “Siapa yang menulis ini, Tuan?”Pria itu melangkah masuk. Langkahnya pelan namun berat, seperti sedang menghormati ruangan yang telah terkunci oleh waktu. “Itu bukan pertanyaan yang perlu dijawab sekarang.”“Tidak perlu?” Nada suara Elena meninggi, antara takut dan frustrasi. “Seseorang—wanita ini—memiliki nama yang sama seperti yang Anda berikan pada saya. Ruby. Kenapa?”Rixon tak menjawab segera. Matanya menatap lurus ke arah lukisan di dinding. Sorotnya tajam, namun bukan marah—lebih seperti menyimpan perang batin yang tak pernah benar-benar reda. “Sudah kubilang tak perlu ada jawaban untuk itu!” Suara Rixon terdengar tak sabar.Mata Elena membelalak ketika dia menyaksikan Rixon mulai melepas jasnya, lalu kem
“Kenapa kesannya Anda menginginkan ini menjadi sebuah survival game untuk kami para wanita Anda?” Dahi Elena berkerut.Dia kurang setuju dengan kalimat yang baru saja disampaikan Rixon. Seakan-akan dia dan dua wanita lainnya harus bertanding untuk memenangkan tempat di mansion.Setelah beberapa waktu hidup nyaris gila di mansion ini, Elena mulai mengikis ketakutannya pada Rixon dan berusaha bisa menyampaikan apa yang ada di kepala.“Jangan mengajari aku. Cukup ketahui saja posisimu.” Tatapan Rixon menghujam ke netra Elena.Sementara itu, Golda ada di balik tembok, mendengarkan percakapan di balik pintu dengan telinga tajam. Onix berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah.“Dia bawa Ruby ke ruang kerjanya. Sendirian,” bisik Onix. “Apa dia percaya wanita itu?”Golda mengerucutkan bibir, lalu mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Di dalamnya, ada foto surat dari istri Rixon terdahulu. Isinya samar, tapi cukup menyiratkan bahwa wanita itu pernah merasa terancam... oleh seseorang y
‘Apa pria ini akan memberikan hukuman padaku?’ Hati Elena bertanya penuh akan waspada.Ingatan mengenai apa saja yang ada di Lunatic Pleasure masih belum terhapus dari memorinya. Bagaikan mimpi buruk.“Kalian tak usah ikut.” Rixon bicara tegas pada Golda dan Onix yang masih mematung di sana.Elena terdiam sejenak. Tapi dengan tenang, dia berjalan mengikuti Rixon, meninggalkan Golda dan Onix yang langsung saling pandang.Langkah-langkah Elena menggema pelan di sepanjang koridor, mengikuti punggung Rixon yang tegap dan dingin. Tidak ada kata yang terucap selama perjalanan. Hanya detak sepatu di marmer dan jantung Elena yang berdentam tanpa irama.Rixon membawanya ke ruang kerja pribadinya, lalu menutup pintu.Netra Elena berkeliling ke penjuru ruangan sambil membatin, “Sungguh ruangan yang dipenuhi aura dominasi.”Elena tidak berlebihan. Di sana sarat akan aroma kulit dari sofa mahal, buku-buku tua, dan aroma khas cerutu mahal bercampur di udara. Ruangan itu seperti perpanjangan dari so