“Berani sekali kamu tidur ketika aku datang!” geram pria bertopeng.
Dia menarik pundak Elena agar gadis yang sedang lelap itu tidak lagi dalam posisi tidur menyamping. Namun alangkah kagetnya dia ketika melihat wajah Elena. “Hm? Apa? Siapa?” Elena seketika bangun terduduk dan mendapati ada orang lain di dekatnya. Yang dia lihat, seorang pria tinggi dan gagah memakai topeng perak sedang berdiri di tepi ranjang menatapnya. “Ka-kamu, siapa kamu?” Elena memasang sikap waspada. Ini adalah tempat asing dan Elena teringat bahwa dia baru saja dijual ayahnya ke mansion ini. Maka, bisa saja pria yang kini ada di dekatnya adalah orang yang disebut sebagai raja mafia. Mafia. Dalam benak Elena, dia hanya bisa membayangkan sebuah organisasi kejahatan yang melakukan banyak tindak kriminal. Karenanya, dia bergidik ngeri menatap pria yang kini kian mendekat. Sejahat apa pria di depannya? “Tu-Tuan… saya… bolehkah saya pulang saja?” Suara Elena nyaris mencicit dikarenakan takut. Segera saja dia mengganti penyebutannya kepada si pria bertopeng. “Jangan harap!” Suara serak dengan nada rendah dari pria bertopeng keluar. Rasa takut Elena semakin menjadi-jadi. Apakah dia akan dijadikan daging cincang jika nekat lari saat ini? “Tuan… itu… saya tahu, Tuan sudah membayar untuk saya.” Dia tak boleh melupakan aspek penting ini. “Tapi, saya bisa membayar sebanyak yang Tuan sudah keluarkan. Hanya saja, saya minta keringanan diperbolehkan membayarnya dengan cara mencicil—“ “Tidak!” Si pria bertopeng semakin tegas dengan sorot mata tajam menatap Elena. Elena mengkerut. Dia menyesal telah bersedia ikut Baskara ke mansion ini. Bukankah seperti mengantar nyawa saja jika datang ke sarang mafia? Segera saja dia merutuki kebodohannya. ‘Tapi… ayah berjanji akan membayar biaya perawatan ibu yang sedang koma karena kanker serviks stadium lanjut.’ Dia teringat janji Baskara. Maka, dengan mengubah posisi menjadi berlutut di atas tempat tidur, Elena mencoba peruntungannya. “Tuan, saya mohon, kasihani saya. Jangan lakukan hal-hal tak baik pada saya. Saya mohon.” Dia bahkan menangkupkan dua tangannya di depan wajah agar pria bertopeng mengerti kesungguhan permohonannya. “Enak saja bicara begitu setelah aku membayar mahal untukmu!” Si pria bertopeng terdengar semakin kesal dari nada suaranya. Sret! “Argh! Tuan!” Elena memekik kaget ketika dirinya didorong sehingga kembali jatuh rebah di kasur. Belum sempat Elena bereaksi lagi, dia sudah ditindih pria bertopeng. “Kamu pikir kamu bisa mengembalikan uang Rp1 miliar untukku dalam jangka waktu berapa lama, heh? Aku harus menunggu berapa puluh tahun?” Suara menggeram pria bertopeng masuk ke pendengaran Elena. Elena terkejut. Sebanyak itu harga untuk dirinya? Ayahnya menjual dia hingga Rp 1 miliar? Astaga! Bisa jadi Elena butuh ratusan tahun untuk bisa melunasinya. Tapi… dia hendak disetubuhi? “Akh! Tuan! Jangan!” Elena menolak. Dia belum siap. Tidak untuk malam ini. Dia butuh persiapan mental jika memang nantinya harus jadi budak seks raja mafia. Tapi tidak untuk sekarang! “Tidak sekarang, Tuan! Jangan malam ini!” Elena berteriak sambil memberontak. Bajunya sudah direnggut paksa oleh tangan kasar si pria bertopeng hingga menjadi compang-camping. Apalagi ketika tangan si pria bertopeng mulai meremas gundukan kenyal di dadanya, Elena semakin giat menolak dan mendorong. Bahkan kedua kakinya dia gunakan untuk melawan. Dia tak mau melakukannya malam ini! Namun tenaga si pria bertopeng bukan padanan Elena, sehingga dia masih tetap dikalahkan dan tak bisa bangkit dari tempat tidur, terpenjara di bawah kungkungan tubuh gagah di atasnya. “Tuan! Jangan malam ini! Saya belum siap!” Elena masih terus memberontak meski ketakutan masih merayap di sanubarinya. Dia belum pernah dijamah pria mana pun seumur hidupnya dan kenapa orang kasar dengan gelar raja mafia justru menjadi lawan jenis pertama yang memberikan sentuhan? Semua sentuhan si pria bertopeng terasa mengerikan dan kasar. Elena mulai terisak, menyesali nasib malangnya harus ditundukkan pria ganas dan berbahaya semacam itu. Plak! Tanpa sengaja, tangan Elena menampar topengnya saat sibuk melakukan perlawanan. Topeng itu terlepas. Detik berikutnya, kedua mata Elena terbelalak. “Kamu!” Elena memekik kaget. “Kamu… bukankah kamu yang malam itu terluka di kebun dan kurawat?!”“Aku harus kembali ke sana!” teguh Elena.Maka, di malam harinya, Elena kembali ke kamar terlarang itu—kamar yang dulu sunyi, kini terasa berdenyut dengan teka-teki.Dengan langkah ringan, dia membuka laci tempat dia menyembunyikan diary yang ditemukan sebelumnya—milik Ruby terdahulu.“Oke, kembali ke kamarku!” bisiknya sambil melangkah setengah berlari meninggalkan kamar tersebut.Di kamarnya, dia menatap sampul usang itu beberapa detik, jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Jemarinya gemetar saat membuka halaman pertama yang masih utuh.Tulisannya kecil dan rapi, tapi terlihat seperti ditulis dengan emosi yang meletup-letup.“Aku tahu aku seharusnya tidak mencintainya. Tapi bagaimana jika yang kulakukan ini bukan pilihan? Bagaimana jika aku jatuh, karena dia membuatku merasa hidup—meski hanya ketika dia melihatku?”Elena membaca pelan dan kemudian dahinya mengernyit. Hatinya menegang. Ini tentang Rixon?Dia membalik halaman berikutnya. Lebih banyak lagi tulisan yang tak
Alma mundur satu langkah. “Saya tidak boleh bicara lagi.”“Bu, tolong…” Elena hampir mencengkeram tangannya. “Aku tidak bisa tinggal di sini tanpa tahu… apa yang terjadi pada dia. Apa yang bisa terjadi juga padaku?”Alma menatapnya lama. Ada gejolak dalam sorot matanya—seperti seseorang yang pernah menyaksikan sesuatu terlalu kelam untuk diucapkan.“Ruby bukan perempuan sembarangan,” katanya pelan. “Dia punya hati. Dia berani. Dia… mencintai terlalu dalam.”“Mencintai siapa?” tanya Elena. “Ibu, bicara saja, tak apa. Ini sudah di kamarku sendiri. Pasti aman.”Dia sedikit berbisik sambil meyakinkan Alma yang tampak waspada meski sudah berada di kamar Elena.Alma menggeleng keras, seolah membuang ingatannya jauh-jauh.“Tidak, saya tidak bisa,” katanya gemetar. “Kalau saya ceritakan… saya… saya bisa ikut menghilang.”Elena surut, terlihat kecewa.“Elena…” lanjutnya, kali ini tanpa menyebut ‘nona’, suara Alma terdengar lebih seperti seorang ibu yang sedang memohon, bukan pelayan. “Percayal
“Tidak! Tidak mau!” Elena secepatnya menjawab Rixon.“Kalau begitu, cepat mendesah untukku! Keluarkan suaramu!” Rixon mengeluarkan titah absolutnya.Elena melihat binar semangat di mata pria yang menguncinya di atas. Dia menggigit bibir dan mulai merelakan suaranya keluar.“Mmhh… hmmhh….” Elena mau tak mau memunculkan suara erangan tertahannya.Dia sengaja mengatupkan mulut erat-erat agar suaranya bisa teredam. Bagaimanapun, dia masih ingin menyisakan sedikit harga dirinya untuk tidak terlalu tunduk pada Rixon.“Lebih keras! Ayo keluarkan yang benar, Ruby!” bentak Rixon. “Atau kamu ingin tanganku di lehermu?”Lekas saja Elena menggeleng. Kemudian dengan harga diri yang sudah tercabik-cabik, dia mulai membuka mulut, megeluarkan suara seperti yang diinginkan Rixon.“Ihh… hiihh….” Elena malu. Suaranya lirih saat dia mencuatkan desahannya.Namun, tentunya Rixon bukan orang yang mudah dipuaskan.“Kamu bukan tikus, kan? Kenapa mencicit? Ayo, mendesah yang benar! Mendesahkan seperti manusia
“Hah?” Elena berbalik cepat ke sumber suara di ambang pintu. Di sana berdiri Rixon, tubuhnya membaur dengan bayangan lorong, wajahnya setengah gelap, setengah terlihat oleh cahaya temaram dari dalam kamar.Elena memeluk buku harian tua ke dadanya, napasnya masih tak stabil. “Siapa yang menulis ini, Tuan?”Pria itu melangkah masuk. Langkahnya pelan namun berat, seperti sedang menghormati ruangan yang telah terkunci oleh waktu. “Itu bukan pertanyaan yang perlu dijawab sekarang.”“Tidak perlu?” Nada suara Elena meninggi, antara takut dan frustrasi. “Seseorang—wanita ini—memiliki nama yang sama seperti yang Anda berikan pada saya. Ruby. Kenapa?”Rixon tak menjawab segera. Matanya menatap lurus ke arah lukisan di dinding. Sorotnya tajam, namun bukan marah—lebih seperti menyimpan perang batin yang tak pernah benar-benar reda. “Sudah kubilang tak perlu ada jawaban untuk itu!” Suara Rixon terdengar tak sabar.Mata Elena membelalak ketika dia menyaksikan Rixon mulai melepas jasnya, lalu kem
“Kenapa kesannya Anda menginginkan ini menjadi sebuah survival game untuk kami para wanita Anda?” Dahi Elena berkerut.Dia kurang setuju dengan kalimat yang baru saja disampaikan Rixon. Seakan-akan dia dan dua wanita lainnya harus bertanding untuk memenangkan tempat di mansion.Setelah beberapa waktu hidup nyaris gila di mansion ini, Elena mulai mengikis ketakutannya pada Rixon dan berusaha bisa menyampaikan apa yang ada di kepala.“Jangan mengajari aku. Cukup ketahui saja posisimu.” Tatapan Rixon menghujam ke netra Elena.Sementara itu, Golda ada di balik tembok, mendengarkan percakapan di balik pintu dengan telinga tajam. Onix berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah.“Dia bawa Ruby ke ruang kerjanya. Sendirian,” bisik Onix. “Apa dia percaya wanita itu?”Golda mengerucutkan bibir, lalu mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Di dalamnya, ada foto surat dari istri Rixon terdahulu. Isinya samar, tapi cukup menyiratkan bahwa wanita itu pernah merasa terancam... oleh seseorang y
‘Apa pria ini akan memberikan hukuman padaku?’ Hati Elena bertanya penuh akan waspada.Ingatan mengenai apa saja yang ada di Lunatic Pleasure masih belum terhapus dari memorinya. Bagaikan mimpi buruk.“Kalian tak usah ikut.” Rixon bicara tegas pada Golda dan Onix yang masih mematung di sana.Elena terdiam sejenak. Tapi dengan tenang, dia berjalan mengikuti Rixon, meninggalkan Golda dan Onix yang langsung saling pandang.Langkah-langkah Elena menggema pelan di sepanjang koridor, mengikuti punggung Rixon yang tegap dan dingin. Tidak ada kata yang terucap selama perjalanan. Hanya detak sepatu di marmer dan jantung Elena yang berdentam tanpa irama.Rixon membawanya ke ruang kerja pribadinya, lalu menutup pintu.Netra Elena berkeliling ke penjuru ruangan sambil membatin, “Sungguh ruangan yang dipenuhi aura dominasi.”Elena tidak berlebihan. Di sana sarat akan aroma kulit dari sofa mahal, buku-buku tua, dan aroma khas cerutu mahal bercampur di udara. Ruangan itu seperti perpanjangan dari so