"kau akan belajar mengenal semua sisi dunia, termasuk apa yang aku sukai. Dan itu dimulai dari sini." Elena Clarissa menatap berbagai peralatan BDSM yang ada di ruangan dengan perasaan ngeri. ‘Ini aneh. Sungguh tak normal! Apakah aku harus diperlakukan seperti itu?! Sangat menjijikkan!’ Mulai malam laknat itu, Elena harus menjalani kehidupan bagai di dasar neraka. Masa depan gemilangnya sebagai calon dokter pun runtuh ketika dia dibawa ke bos mafia bengis dengan hasrat tak wajar. Mengapa dia merelakan dirinya dikuasai bos mafia?
View More“Ayah, jangan jual aku!”
Elena Clarissa tersungkur di lantai granit putih dengan pola berlian yang mewah dan elegan. Dia berusaha menarik ujung jaket Baskara Adijaya, memohon belas kasihnya. Tapi, pria yang dipanggil Ayah tersebut bersikap acuh tak acuh. Baskara berjongkok sambil menatap Elena lekat-lekat. “Heh, jalang! Jika kamu ingin nyawa ibumu selamat, maka diam dan menurut lah!” Baskara tersenyum getir. Lalu, berdiri sambil merapikan jaketnya. Di hadapan mereka, berdiri seorang pria paruh baya, berkumis tipis dan memiliki tatapan mata yang tajam. Penampilannya cukup formal. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Dia adalah Butler di Mansion ini. Elena menduga, pakaian pria itu sangat mahal. Belum lagi, sepatu pantofel yang mengkilap. Membayangkan saja mampu membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Baskara tersenyum pada Butler. Tatapannya melembut, sangat berbeda saat menatap Elena. Baskara membungkuk hormat. “Tuan Alan, dia putriku. Sesuai janjiku pada Don Rixon, dia akan kujadikan sebagai alat pelunas utang.” Kedua bola mata Elena membulat, menatap tidak percaya pada Baskara. Baskara memang sudah gila! Dia benar-benar ingin menjual anaknya. “Ayah!” Elena berteriak. “Tolong batalkan perjanjiannya! Ini namanya perdagangan perempuan. Ini tidak benar, Ayah! Kamu akan masuk penjara karena menjualku.” Butler mengamati tindak-tanduk Elena. Dalam sekejap, raut wajahnya menggelap. Baskara gugup. Jika dia tidak berhasil menjual anaknya, maka Don Rixon pasti akan murka. Bahkan, Don Rixon tidak akan segan melenyapkan nyawanya tanpa meninggalkan jejak. Baskara kembali berjongkok. “Diam, Elena! Ingat, status kamu cuma anak haram. Jadi, aku harus membuang aib yang menggangguku.” Elena menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya membeku. Dia tidak mampu mengatakan apapun lagi. Baskara berdiri sambil tersenyum pada Butler. Dia melirik Elena yang sedang menangis. Sorot matanya dingin dengan garis wajah yang keras, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. “Maaf, Tuan,” kata Baskara. “Aku bersalah karena tidak mendidiknya dengan baik.” Kemudian, Baskara memelankan suaranya. Dia mendekati mulutnya ke daun telinga Butler. “Ngomong-ngomong, dia masih perawan. Tuan Rixon pasti menyukainya.” Baskara mengakhiri kalimat sambil terkekeh. Sedangkan Butler mengangguk kepada anak buahnya. “Berikan uangnya!” perintah Butler. “Baik,” sahut anak buah. Anak buah Butler meletakkan satu buah koper hitam berukuran sedang di hadapan Baskara. Dalam sekejap, mata Baskara memancarkan kilat kebahagiaan. “Koper ini berisi uang sesuai dengan kesepakatan,” ungkap Butler. Kedua mata Baskara membelalak. “Rp1 miliar?!” Butler tetap bersikap tenang. “Kau harus memeriksanya terlebih dahulu, Baskara!” serunya. Baskara lantas berjongkok dan membuka koper tanpa segan. Melihat hal itu, tentunya membuat Elena semakin gelisah. Benar saja! Begitu koper terbuka, terlihat tumpukan uang merah di dalamnya. Baskara meraih beberapa rupiah. “Aku kaya raya lagi!” seru Baskara, kegirangan. “Tidak sia-sia kamu tumbuh begitu cantik, Elena!” Anak buah Butler mendekati Baskara dan menyodorkan sebuah dokumen. “Tuan Baskara, Bos kami tidak suka bermain-main. Jadi, cepat tanda tangani surat perjanjian jual beli sekarang!” “Baik.” Usai tanda tangan, Baskara mengangkat koper dan bersiap untuk pergi. “Ayah, berhenti! Jangan tinggalkan aku!” Saat Elena hendak mengejar Baskara, beberapa anak buah Butler menahannya. “Lepaskan aku!” Elena berontak. Butler melangkah mendekati Elena. “Nona, sekarang kamu sudah menjadi salah satu wanita Tuan Rixon. Kalau kamu menyayangi hidupmu, maka menurut lah!” Elena menatap Butler dengan pandangan tidak suka. Namun dia tahu, hidup dan matinya berada di genggaman Don Rixon yang bahkan dia sendiri tidak tahu bagaimana rupanya! “Aku berikan kamu nama Ruby. Sesuai dengan keinginan Tuan Rixon. Semua wanita di sini diberikan nama berdasarkan warna bajunya.” Butler berteriak memanggil pelayan. “Bawa dia ke kamar dan siapkan pakaian!” “Baik.” Mata Elena terpukau ketika menatap tangga besar. Dia baru menyadari bahwa mansion yang didominasi dengan warna hitam dan putih ini benar-benar mewah. Elena dibawa ke lantai atas. Saat menaiki anak tangga, dia melihat sebuah lukisan klasik dengan tatapan penuh kekaguman. Tidak lama, Elena tiba di ruangan yang terletak paling ujung. Salah satu pelayan menyambutnya. “Silakan masuk, Nona!” Begitu pintu terbuka, manik cokelat Elena melebar menyadari kemewahan di dalamnya. ‘Ini kamarku? Benarkah ruangan mewah ini akan menjadi kamarku? Ini bahkan terlalu mewah untukku!’ pikir Elena. “Ini kamar kamu, Nona Elena,” kata pelayan. “Sebaiknya kamu cepat mandi dan berdandan! Don Rixon akan segera datang menemui kamu.” Usai memberikan pesan, pelayan segera menutup pintu. “Aku harus bertahan.” Elena tidak boleh berdiam diri. Dia masih ingin hidup demi merawat ibunya yang sakit-sakitan. Jadi, dia memutuskan untuk mencoba menerima takdirnya. 45 menit kemudian, Elena sudah selesai mandi dan berpakaian. Dia membiarkan rambut panjangnya tergerai. Dia begitu risih dengan gaun selutut berwarna merah yang dipakainya. Angin musim gugur bertiup melalui jendela yang terbuka, membuat Elena sedikit kedinginan. Detik berikutnya, dia tertidur pulas di ranjang. Tidak lama, pintu kamar Elena terbuka. Terdengar suara sepatu pantofel pria melangkah mendekati ranjang. Sebelah alis mata pria itu terangkat. “Tidur?” Sosok pria tinggi dengan setelan jas hitam memperhatikan Elena yang sedang tertidur pulas. “Cukup berani. Akan kulihat sejauh mana keberaniannya.”“Aku harus kembali ke sana!” teguh Elena.Maka, di malam harinya, Elena kembali ke kamar terlarang itu—kamar yang dulu sunyi, kini terasa berdenyut dengan teka-teki.Dengan langkah ringan, dia membuka laci tempat dia menyembunyikan diary yang ditemukan sebelumnya—milik Ruby terdahulu.“Oke, kembali ke kamarku!” bisiknya sambil melangkah setengah berlari meninggalkan kamar tersebut.Di kamarnya, dia menatap sampul usang itu beberapa detik, jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Jemarinya gemetar saat membuka halaman pertama yang masih utuh.Tulisannya kecil dan rapi, tapi terlihat seperti ditulis dengan emosi yang meletup-letup.“Aku tahu aku seharusnya tidak mencintainya. Tapi bagaimana jika yang kulakukan ini bukan pilihan? Bagaimana jika aku jatuh, karena dia membuatku merasa hidup—meski hanya ketika dia melihatku?”Elena membaca pelan dan kemudian dahinya mengernyit. Hatinya menegang. Ini tentang Rixon?Dia membalik halaman berikutnya. Lebih banyak lagi tulisan yang tak
Alma mundur satu langkah. “Saya tidak boleh bicara lagi.”“Bu, tolong…” Elena hampir mencengkeram tangannya. “Aku tidak bisa tinggal di sini tanpa tahu… apa yang terjadi pada dia. Apa yang bisa terjadi juga padaku?”Alma menatapnya lama. Ada gejolak dalam sorot matanya—seperti seseorang yang pernah menyaksikan sesuatu terlalu kelam untuk diucapkan.“Ruby bukan perempuan sembarangan,” katanya pelan. “Dia punya hati. Dia berani. Dia… mencintai terlalu dalam.”“Mencintai siapa?” tanya Elena. “Ibu, bicara saja, tak apa. Ini sudah di kamarku sendiri. Pasti aman.”Dia sedikit berbisik sambil meyakinkan Alma yang tampak waspada meski sudah berada di kamar Elena.Alma menggeleng keras, seolah membuang ingatannya jauh-jauh.“Tidak, saya tidak bisa,” katanya gemetar. “Kalau saya ceritakan… saya… saya bisa ikut menghilang.”Elena surut, terlihat kecewa.“Elena…” lanjutnya, kali ini tanpa menyebut ‘nona’, suara Alma terdengar lebih seperti seorang ibu yang sedang memohon, bukan pelayan. “Percayal
“Tidak! Tidak mau!” Elena secepatnya menjawab Rixon.“Kalau begitu, cepat mendesah untukku! Keluarkan suaramu!” Rixon mengeluarkan titah absolutnya.Elena melihat binar semangat di mata pria yang menguncinya di atas. Dia menggigit bibir dan mulai merelakan suaranya keluar.“Mmhh… hmmhh….” Elena mau tak mau memunculkan suara erangan tertahannya.Dia sengaja mengatupkan mulut erat-erat agar suaranya bisa teredam. Bagaimanapun, dia masih ingin menyisakan sedikit harga dirinya untuk tidak terlalu tunduk pada Rixon.“Lebih keras! Ayo keluarkan yang benar, Ruby!” bentak Rixon. “Atau kamu ingin tanganku di lehermu?”Lekas saja Elena menggeleng. Kemudian dengan harga diri yang sudah tercabik-cabik, dia mulai membuka mulut, megeluarkan suara seperti yang diinginkan Rixon.“Ihh… hiihh….” Elena malu. Suaranya lirih saat dia mencuatkan desahannya.Namun, tentunya Rixon bukan orang yang mudah dipuaskan.“Kamu bukan tikus, kan? Kenapa mencicit? Ayo, mendesah yang benar! Mendesahkan seperti manusia
“Hah?” Elena berbalik cepat ke sumber suara di ambang pintu. Di sana berdiri Rixon, tubuhnya membaur dengan bayangan lorong, wajahnya setengah gelap, setengah terlihat oleh cahaya temaram dari dalam kamar.Elena memeluk buku harian tua ke dadanya, napasnya masih tak stabil. “Siapa yang menulis ini, Tuan?”Pria itu melangkah masuk. Langkahnya pelan namun berat, seperti sedang menghormati ruangan yang telah terkunci oleh waktu. “Itu bukan pertanyaan yang perlu dijawab sekarang.”“Tidak perlu?” Nada suara Elena meninggi, antara takut dan frustrasi. “Seseorang—wanita ini—memiliki nama yang sama seperti yang Anda berikan pada saya. Ruby. Kenapa?”Rixon tak menjawab segera. Matanya menatap lurus ke arah lukisan di dinding. Sorotnya tajam, namun bukan marah—lebih seperti menyimpan perang batin yang tak pernah benar-benar reda. “Sudah kubilang tak perlu ada jawaban untuk itu!” Suara Rixon terdengar tak sabar.Mata Elena membelalak ketika dia menyaksikan Rixon mulai melepas jasnya, lalu kem
“Kenapa kesannya Anda menginginkan ini menjadi sebuah survival game untuk kami para wanita Anda?” Dahi Elena berkerut.Dia kurang setuju dengan kalimat yang baru saja disampaikan Rixon. Seakan-akan dia dan dua wanita lainnya harus bertanding untuk memenangkan tempat di mansion.Setelah beberapa waktu hidup nyaris gila di mansion ini, Elena mulai mengikis ketakutannya pada Rixon dan berusaha bisa menyampaikan apa yang ada di kepala.“Jangan mengajari aku. Cukup ketahui saja posisimu.” Tatapan Rixon menghujam ke netra Elena.Sementara itu, Golda ada di balik tembok, mendengarkan percakapan di balik pintu dengan telinga tajam. Onix berdiri tak jauh darinya, tampak gelisah.“Dia bawa Ruby ke ruang kerjanya. Sendirian,” bisik Onix. “Apa dia percaya wanita itu?”Golda mengerucutkan bibir, lalu mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Di dalamnya, ada foto surat dari istri Rixon terdahulu. Isinya samar, tapi cukup menyiratkan bahwa wanita itu pernah merasa terancam... oleh seseorang y
‘Apa pria ini akan memberikan hukuman padaku?’ Hati Elena bertanya penuh akan waspada.Ingatan mengenai apa saja yang ada di Lunatic Pleasure masih belum terhapus dari memorinya. Bagaikan mimpi buruk.“Kalian tak usah ikut.” Rixon bicara tegas pada Golda dan Onix yang masih mematung di sana.Elena terdiam sejenak. Tapi dengan tenang, dia berjalan mengikuti Rixon, meninggalkan Golda dan Onix yang langsung saling pandang.Langkah-langkah Elena menggema pelan di sepanjang koridor, mengikuti punggung Rixon yang tegap dan dingin. Tidak ada kata yang terucap selama perjalanan. Hanya detak sepatu di marmer dan jantung Elena yang berdentam tanpa irama.Rixon membawanya ke ruang kerja pribadinya, lalu menutup pintu.Netra Elena berkeliling ke penjuru ruangan sambil membatin, “Sungguh ruangan yang dipenuhi aura dominasi.”Elena tidak berlebihan. Di sana sarat akan aroma kulit dari sofa mahal, buku-buku tua, dan aroma khas cerutu mahal bercampur di udara. Ruangan itu seperti perpanjangan dari so
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments