Mata Qiana membelalak lebar. Dia tak mengira Ned akan memperlakukannya seperti itu, memangkunya di depan orang-orang. Dengan terburu-buru Qiana hendak beranjak turun tapi kedua lengan Ned yang kuat menguncinya erat. Lelaki itu bahkan menunduk hingga wajah mereka menjadi sangat dekat.
"Tidak bisakah kau menjadi lembut sejenak? Ini sama sekali bukan dirimu." Suara lelaki itu pelan di telinganya tapi sanggup membuat kulit wajahnya memerah."A… apa maksudmu?" Qiana tergagap sambil berusaha memalingkan wajahnya agar tidak terlalu dekat."Aku baru saja kembali. Apa kau tidak rindu padaku?" Tuntut Ned sambil mengendus aroma shampo yang samar dari rambut gadis di pangkuannya."Tidak." Qiana nyaris menggeleng kalau tidak ingat akan berkemungkinan menyentuh wajah di sebelahnya. "Kenapa harus rindu pada orang yang tidak kukenal?""Tapi aku sangat merindukanmu." Ned berujar serak di dekat telinga gadis itu.Seluruh tubuh Qiana merinding. JarQiana berusaha menyembunyikan airmatanya sepanjang perjalanan dengan bis yang membawanya ke rumah sakit. Dia sudah melupakan Beatrice yang datang bersamanya. Sepanjang usianya yang sembilan belas tahun lebih, tak ada lelaki yang dengan kurang ajar menyentuhnya seperti itu. Bahkan saat Qiana menyukai seseorang, dia belum pernah berkhayal berciuman dengannya. Kini, lelaki yang baru dikenalnya, yang memaksa menganggapnya sebagai kekasih, lelaki itu dengan paksa sudah menciumnya.Sesampai di rumah sakit, Qiana pergi ke kamar mandi lebih dulu, mencuci wajahnya di wastafel. Qiana memandangi raut menyedihkan di cermin. Sepasang matanya tampak bengkak dan merah. Sementara bibirnya, Qiana merasa malu dan marah saat teringat lagi ciuman lelaki itu. Dengan kasar digosoknya bibirnya dengan sabun pencuci tangan hingga perih kemudian membilasnya dengan air. Hasilnya malah membuat bibirnya menjadi semakin merah seperti habis digigit. Dengan putus asa, Qiana
Kepala Qiana rasanya mau pecah saat keluar dari ruangan dokter. Dia tidak langsung kembali ke tempat ibunya di rawat melainkan terduduk bingung di dekat taman samping rumah sakit. Rasanya beban yang ditumpuk dibahunya ditambah dan terus ditambah. Belum sempat dia berdiri benar dengan kedua kaki kecilnya, sebuah beban seberat gunung kembali ditimpakan padanya.Ibunya harus segera menjalani operasi untuk mengurangi resiko serangan jantungnya.Sebuah operasi? Bahkan untuk makan hari ini pun dia sudah tak sanggup lagi membeli. Perasaan Qiana sangat kacau. Dia menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Tak ada gunanya lagi berpikir karena semua cara sudah dia pikirkan.Haruskah dia menjual dirinya pada seorang lelaki tua kaya seperti kerap dilakukan gadis-gadis miskin yang putus asa?Qiana menggeleng sedih. Harga diri terkadang memang susah dipertahankan saat keadaan sedang tidak berpihak pada kita. Benarkah dia begitu putus asa hingga te
Gadis yang sudah memasang senyum manis di wajahnya itu tiba-tiba menarik kembali bibirnya menjadi sebuah garis lurus. Penampilan Qiana yang tampak seperti mahasiswi miskin membuat sang resepsionis mengernyitkan alisnya. Sementara pertanyaan yang Qiana lontarkan baginya sangat tidak masuk akal.Apa maksud gadis ini mencari tuan Zavier dengan penampilan menjijikkan? Sang resepsionis memandang dengan tidak senang. Sesekali ada juga gadis yang datang ke kamar tuan Zavier. Resepsionis itu cukup hapal. Semua gadis itu memiliki penampilan yang luar biasa. Tidak saja cantik tapi seluruh yang dikenakan di tubuh mereka juga bukan barang biasa. Tuan Zavier bukan orang yang pelit."Maksud Nona, tuan Zavier pemilik hotel ini?" Si gadis mencoba memastikan jika yang dicari Qiana adalah orang yang sama dalam pikirannya.Qiana mengangguk dengan antusias. "Benar. Bukankah dia tinggal di sini? Apa dia sedang ada di kamarnya?"Alis resepsionis itu mengernyit. "Apa Nona sudah punya janji?" tanyanya lagi.
Di depan sana di tengah lobi yang luas, Nick menghentikan langkahnya saat Qiana menghalangi jalannya. Dia langsung mengenali gadis di depannya dan seketika senyum kaku tercipta di wajahnya. Nick mengangguk hormat.Si resepsionis di belakang meja terlihat kaget. Jantungnya seperti hendak melompat keluar ketika melihat Nick tampak mengenal Qiana dan juga terlihat bersikap segan. Siapa sebenarnya gadis itu? Resepsionis itu mulai merasa tidak nyaman. Dia sudah mengabaikan gadis itu tadi "Nona Nielson?" Nick cukup terkejut saat melihat gadis yang telah ditandai tuannya sebagai kekasih ini.Qiana tersenyum canggung. "Apakah kau temannya tuan Zavier?" tanyanya tanpa basa-basi. "Panggil saya Nick. Tepatnya saya asisten tuan Zavier." Nick memberitahu. "Apa Nona ingin bertemu tuan?"Tentu saja Nick tahu Qiana sedang dalam kesulitan saat ini. Meski gadis itu sebelumnya bersikeras menolak tuannya, suatu saat dia akan datang juga untuk meminta bantuan. Adakah yang melebihi uang dan kekuasaan? Ji
Ned Zavier masih menatap layar laptop di depannya selama beberapa saat. Selama beberapa saat juga keheningan memenuhi ruangan besar itu. Qiana tidak berani bersuara. Dia bahkan hanya sempat melirik sekilas pada sosok agung dengan kemeja putih di sana lalu menundukkan wajahnya, mengamati ujung sepatunya yang kotor.Ah, dia bahkan berdiri di atas karpet tebal dengan bulu lembut. Sepatunya telah melewati banyak jalan membawa kotoran ke atas hamparan karpet bersih ini. Qiana tanpa sadar mendesah sedih. Bahkan dirinya sangat tidak cocok berada di ruangan ini."Kau bisa pergi." Suara Ned tiba-tiba terdengar. Dia telah mengangkat wajahnya dari layar dan tengah memperhatikan Qiana.Qiana yang terkejut mengangkat wajahnya yang semula menunduk. Pandangannya beradu dengan Ned. Dia sempat mengira, Ned menyuruhnya keluar. Tapi waktu mendengar Nick yang pamit, Qiana jadi sadar bukan dia yang dimaksudkan Ned."Kemarilah," ujar Ned sambil menarik punggungnya ke sandaran. Jari-jarinya mengetuk pada l
"Berapa?" tanya Ned. Dia kini meraih jemari Qiana yang halus."Eh?" Qiana agak terkejut waktu Ned menanyakan jumlahnya. Dia menahan diri untuk tidak menarik tangannya dan membiarkan lelaki itu mencium telapak tangannya. Hatinya bergetar dengan perlakuan Ned itu . Panas dari bibir Ned terasa menyebar ke sekujur tubuhnya."Berapa banyak yang kau perlukan? Katakan saja." Ned memperjelas perkataannya."Mungkin seratus ribu…." Qiana menyebutkan jumlahnya setelah berpikir sejenak. Dia tidak begitu yakin saat mengatakannya. Itu jumlah uang yang sangat besar. Dia mengatakan akan membayarnya tapi menjadi ragu apakah dia akan sanggup melunasinya."Aku pasti akan membayarnya," ujar Qiana lagi dengan suara yang mengecil. Lebih kepada diri sendiri dibanding meyakinkan Ned. "Aku tidak akan hitung-hitungan pada kekasih sendiri, jangan kuatir." Ned membuka sebuah laci dan mengeluarkan sebuah buku cek kemudian mengambil sebuah pulpen dari tempatnya lalu mulai menulis di lem
Qiana terperangah begitu mendengar permintaan Ned. Tubuhnya menjadi kaku seketika. "Cium aku, kau dengar? Anggap saja sebagai ucapan terima kasih pada seorang pacar." Ned kelihatan tidak sabar saat melihat Qiana yang tampak linglung."I… ini…. Aku…." Qiana menjadi gugup. Dia merasa serba salah. Kalau dia menolak, itu berarti dia telah menjadi seorang kekasih yang tidak patuh."Kau tidak mau?" Ned mendekatkan wajahnya yang menawan. "Kau berjanji akan menjadi gadisku yang penurut.""Bukan begitu…." Qiana menggigit bibir bawahnya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menolaknya.Tingkah Qiana dan ekspresinya yang kebingungan seperti itu malah membuat Ned gemas.Tiba-tiba saja wajah Ned sudah ditarik dan sebuah ciuman cepat mendarat di bibir lelaki itu. Setelahnya Ned yang terpana melihat Qiana yang melompat turun dari pangkuannya dengan tersipu. Gadis itu memanfaatkan kelengahan Ned untuk melepaskan diri.Ned mematung di tempatnya. Itu sama sekali bukan ciuma
"Apa?! Se… seratus ribu?!" Ibu Qiana nyaris histeris. Jumlah itu sangat besar bagi mereka saat ini. "Untuk apa kau pinjam uang sebesar itu?"Jantung ibu Qiana berdebar lebih cepat. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Dia memegangi dadanya dan mencoba menenangkan diri. "Seratus ribu? Qiana… tahukah kau berapa banyak jumlah itu?""Ibu, tenanglah sedikit." Qiana mengambilkan air minum untuk ibunya dan membantu wanita itu minum.Setelah meneguk sedikit air yang diberikan putrinya, nyonya Diana Allard menjadi sedikit lebih tenang. Namun keluhannya masih terdengar. "Qiana, bagaimana kau bisa berpikir meminjam sebanyak itu? Bagaimana kita bisa mengembalikannya?""Ibu, dengar dulu." Qiana bermaksud mengatakan kebenarannya. Setelah menarik napas panjang gadis itu melanjutkan kata-katanya. "Sebenarnya tadi pagi dokter memberitahuku bahwa ibu… ibu harus menjalani operasi…."Ada keheningan sejenak di dalam ruangan itu. Sementara pasien dan keluarganya masing-masing telah t