Share

04

Dua bulan pun berlalu,

Hoek!

Sedari pagi Kemal bolak-balik ke kamar mandi yang ada di dapur. Perutnya seperti diaduk, semua makanan yang dia makan keluar lagi.

Mual dan muntah yang dia rasakan membuat tubuhnya lemes.

"Kamu kenapa, Kemal? Sedari tadi mama perhatikan kamu muntah dan muntah saja," cicit Liza, mamanya Kemal.

"Nggak tau ni Ma, Kemal mual saat mencium aroma-aroma yang ada di sekitar Kemal." Jawab Kemal sambil memejamkan matanya, dia duduk bersandar di sofa.

"Kok lucu! Kayak ibu-ibu yang sedang hamil saja," celetuk Liza.

Degh! Jantung Kemal tiba-tiba berdetak lebih keras. "Ibu hamil Ma?" Tanyanya.

"Iya. Dulu temen mama hamil, tapi suaminya yang mengalami muntah dan ngidam." Jawab Liza.

Liza memperhatikan wajah Kemal yang tiba-tiba berubah, "Emangnya kenapa? Kamu nggak sedang menyembunyikan sesuatu dari mama kan?" Selidik Liza.

"Enggak! Kemal nggak menyembunyikan apapun. Cuma lucu aja dengernya, kok bisa istri yang hamil tapi suami yang mual, muntah, dan ngidam." Jawab Kemal.

"Bisa dong, karena mungkin si calon bayi ingin ayahnya merasakan apa yang dialami oleh ibunya," tutur Liza.

"Kemal masuk ke kamar dulu ya Ma, mau rebahan. Kepala Kemal pusing!"

Kemal menaiki tangga menuju kamarnya, sesampainya di kamar dia langsung menghubungi Arfan.

"Ada apa? Aku sibuk! Teganya kamu memberiku pekerjaan sebanyak ini," cicit Arfan dari seberang telpon.

"Kenapa jadi kamu yang marah sih? Aku belum ngomong, kamu udah nyerocos kayak beo." Sungut Kemal.

"Ada apa? Pengen makan rujak lagi?" Tanya Arfan. Sudah dua hari ini Arfan menjadi korban ngidamnya Kemal.

"Bukan itu," jawab Kemal.

"Lalu apa?" Tanya Arfan.

"Cepat temukan gadis itu! Dia sedang hamil anakku!" Perintah dari Kemal membuat Arfan terkejut.

"What! Kamu serius? Aku akan bertanya ada Khansa." Setelah mengatakan itu, Arfan langsung memutuskan panggilan secara sepihak.

"Arfan! Hai! Argh, sial! Kenapa harus bertanya pada gadis itu." Kemal terlihat sangat frustasi. Dia buru-buru ke luar kamar dan berniat untuk pergi ke kantor.

"Kemal? Kamu mau ke mana? Jangan pergi, Nak! Sebentar lagi dokter akan datang," cegah Liza.

"Aku harus mencegah Arfan agar tidak bertanya pada gadis itu." Kemal terus berjalan tanpa menghiraukan mamanya.

Kepala yang masih terasa sangat pusing dan tubuhnya masih lemas, Kemal pun meminta supir untuk mengantarnya ke kantor.

Di sisi lain,

Arfan mendatangi ruangan Rayden untuk mencari Khansa.

Mau tidak mau, terpaksa atau tidak, dia harus mendapatkan informasi tentang Shanum hari ini.

"Pak Arfan? Tumben kemari?" Tanya Rayden. Meskipun Arfan adalah kakaknya Rayden, di saat jam kerja mereka harus mengikuti peraturan.

"Saya ada perlu dengan nona Khansa. Apa boleh saya berbicara dengannya sebentar?" Sama seperti Rayden, Arfan pun berbicara dengan formal pada adiknya itu.

"Silakan pak!" Sahut Rayden.

"Khansa! Ikut saya sebentar!" Ajak Arfan. Sebuah ajakan yang lebih terdengar seperti perintah.

Arfan mengajak Khansa ke ruangannya agar rahasia yang akan mereka bicarakan tetap aman.

"Duduklah!" Titah Arfan setelah sampai di ruangannya.

Khansa duduk sambil harap-harap cemas, dia takut panggilan ini karena dia telah melakukan kesalahan.

Ini kali ketiga dia bertemu Arfan. Pertama di kantor yang ada di kampungnya, kedua saat pertama dia bekerja di kantor ini, dan ketiga kalinya adalah hari ini.

Jantungnya berdetak saling berpacu, keringat mulai bermunculan di area wajahnya.

"Ada perlu apa ya pak? Apa saya membuat kesalahan?" Khansa memberanikan diri untuk bertanya.

"Jawaban saya tergantung jawaban dari kamu atas pertanyaan yang akan saya ajukan," jawab Arfan dan itu membuat Khansa pusing.

"Maksud bapak?" Tanya Khansa.

"Saya butuh informasi dari kamu," jawab Arfan.

"Informasi apa?" Tanya Khansa.

"Di mana Shanum?" Tanya Arfan langsung pada intinya.

Khansa terkejut, bagaimana bisa seorang Arfan mengenal Shanum sahabatnya.

"Apa ada masalah pak?" Tanya Khansa dengan hati-hati, takut salah.

"Jawab dulu pertanyaan saya. Tidak sopan membalas pertanyaan seseorang dengan balik bertanya," ujar Arfan.

Khansa menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.

"Baiklah, saya anggap bapak mengenal Shanum. Jadi, saya bercerita langsung pada intinya saja," kata Khansa.

"Silakan!" Titah Arfan.

"Semenjak ibunya meninggal, Shanum yang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa lagi tinggal di rumah saya." Tutur Khansa.

"Kamu berbohong Khansa! Sepertinya saya memang harus memecat kamu!" Gertak Arfan.

"Apanya yang bohong? Shanum memang tinggal di rumah saya!" Suara Khansa terdengar nyaring dan lantang.

"Ups!" Khansa membungkam mulutnya menggunakan telapak tangan saat menyadari kelancangannya karena telah meninggikan suara di depan Arfan.

"Saya tidak bohong pak! Saya sendiri yang mengajaknya untuk tinggal di rumah," jelas Khansa.

Arfan menatap wajah gadis itu dan dia melihat tidak ada kebohongan di sana.

"Kapan terakhir kamu bertemu dengannya?" Tanya Arfan.

"Terakhir bertemu saat saya hendak berangkat ke sini," jawab Khansa dengan jujur.

"Kapan terakhir kali kamu berkomunikasi dengannya?" Tiba-tiba Kemal sudah ada di ruang kerja Arfan.

"Hari yang sama saat saya hendak berangkat kemari," jawab Khansa dengan santainya, dia tidak tahu siapa Kemal.

"Apa kamu sanggup menerima konsekuensinya jika kamu membohongi saya?" Tanya Kemal.

"Sebenarnya ada apa ini? Kenapa kalian mencari Shanum? Dan anda siapa? Tiba-tiba datang dan ikut campur," cecar Khansa.

Kemal menyeringai lalu duduk di meja kerja milik Arfan, "Temanmu yang bernama Shanum itu telah membawa barang berharga milikku dan kamu tidak perlu tahu siapa saya," jawab Kemal.

Khansa memberanikan diri memandang wajah Arfan seolah meminta penjelasan. Namun, pria itu malah memalingkan wajahnya. Ada rasa aneh yang menjalar di hatinya saat mata Khansa menatap wajahnya.

"Saya beri waktu kamu satu minggu untuk menemukan keberadaan temanmu itu, dan jika kamu tidak berhasil menemukannya, terima akibatnya!" Ancam Kemal lalu berjalan ke luar dari ruangan itu.

Khansa semakin bingung, sebenarnya apa yang terjadi.

"Pak Arfan! Yang tadi itu siapa?" Tanya Khansa sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah pintu.

"Kamu serius nggak kenal dia?" Arfan balik bertanya.

"Nggak sopan pertanyaan dibalas pertanyaan," sungut Khansa.

Arfan berdiri lalu menghampiri Khansa, dia mengacak rambut gadis itu lalu berjalan ke arah pintu.

"Cari Shanum dan laporkan padaku jika mau karir kita berdua selamat," ujar Arfan lalu ke luar dari ruang kerjanya. Dia tidak sanggup berlama-lama berada di dekat Khansa.

Khansa buru-buru ke luar dari ruangan itu dan langsung berlari menuju ke ruang kerja pribadinya. Sesampainya di meja kerja, dia mencari ponselnya. Dia berniat menghubungi ayahnya dan juga Shanum.

"Hallo! Ayah! Apa Shanum ada di rumah?" Tanya Khansa saat sang ayah menjawab panggilan telpon darinya.

"Loh, bukannya Shanum pergi bersamamu nak?" Suara ayah terdengar seperti orang yang tidak tahu apa-apa.

"Tidak yah, Shanum tidak pergi denganku." Tegas Khansa.

"Benarkah? Ke mana perginya dia? Sejak hari itu dia tidak pernah kembali ke rumah." Tutur Ayah dan Khansa pun langsung terkulai lemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status