Share

05

Tepat jam pulang kerja, Khansa naik ke lantai ruang kerja milik Arfan. Dia berlari agar cepat sampai ke ruang kerja orang nomor dua di kantor itu.

"Selamat sore, pak!" Ucap Khansa dengan nafas tersengal-sengal.

Arfan yang sedang membicarakan pekerjaan dengan Kemal pun terkejut melihat Khansa yang tiba-tiba saja muncul.

"Khansa? Kenapa lari-lari?" Tanya Arfan.

Khansa langsung masuk tanpa menghiraukan Kemal, dia menganggap Kemal tidak ada.

"Ada hal penting yang akan saya sampaikan," jawab Khansa, nafasnya masih belum teratur.

Arfan berdiri lalu berjalan menuju lemari pendingin yang ada di ruangannya. Dia mengambil sebotol air mineral lalu memberikannya pada Khansa.

"Duduklah!" Titah Arfan dan Khansa mematuhinya.

"Katakan!" Titah Arfan lagi.

"Apa bapak bisa melacak keberadaan seseorang melalui nomor ponselnya?" Tanya Khansa.

"Kamu datang kemari mengacaukan pembicaraan kami hanya karena mau minta tolong melacak nomor ponsel seseorang?" Wajah Kemal terlihat tidak bersahabat. Wajahnya yang dingin dan datar tanpa senyum terlihat semakin pucat dan menyeramkan.

"Dari tadi sepertinya anda selalu ikut campur urusan kami. Bisa diem nggak," pungkas Khansa.

"Ha-ha-ha, baru kali ini aku melihat orang berani membentakmu selain mama." Arfan tidak kuasa menahan tawanya saat melihat Khansa meninggikan suaranya pada Kemal.

"Ternyata Shanum pergi dari rumah bersamaan dengan keberangkatanku hari itu. Tadi aku menghubungi ayah dan ayah yang memberitahuku. Aku mencoba menghubungi nomor ponselnya tapi tidak bisa, sepertinya dia sengaja menonaktifkan ponselnya." Tutur Khansa.

Kemal beranjak dari duduknya lalu ke luar.

"Hei! Biar aku saja yang urus!" Teriak Arfan, namun Kemal tidak mendengarnya.

"Itu orang kenapa sih? Nggak jelas!" Celetuk Khansa.

Arfan kembali tertawa mendengar celetukan Khansa.

"Mana nomor ponselnya, biar aku lacak." Pinta Arfan.

Arfan membuka laptopnya dan mengetikkan sesuatu. Setelah itu dia mulai serius dan tidak berbicara sedikit pun. Hanya jari jemarinya yang dengan lihai menari di atas keyboard.

"Ponselnya berada di rumahmu," ujar Arfan sambil menunjukkan layar laptopnya pada Khansa.

"Dia pergi tidak membawa ponsel, bagaimana jika yang dia khawatirkan terjadi. Dasar gadis kurang pintar!" Khansa merutuki keteledoran sahabatnya.

Khansa menenggelamkan kepalanya di antara dua tangannya. Sebentar kemudian dia terlihat gelisah.

"Astaga! Aku lupa!" Khansa menepuk keningnya lalu berdiri.

"Maaf pak, hari sudah malam. Saya takut nggak dapat angkot," ujar Khansa sambil membungkuk.

Khansa berpamitan pada Arfan dan langsung ke luar dari ruangan itu.

Di ruangan Kemal,

Dia sedang berbicara serius dengan seseorang yang tersambung dengannya di panggilan telepon.

Tangannya memijat kening, kepalanya terasa pusing memikirkan gadis satu miliarnya.

Dia masih mendengarkan seseorang yang berbicara di seberang telpon. Sesekali dia hanya mendehem sebagai tanggapan.

"Baiklah, aku tunggu kabar selanjutnya." Ujar Kemal lalu memutuskan panggilan di ponselnya.

Di tempat lain,

"Bu bagaimana ini?" Wajah Shanum terlihat pucat, di tangannya ada sebuah tespek bergaris dua.

"Apanya yang bagaimana? Syukuri saja apa yang sudah Tuhan gariskan. Semua terjadi memang karena sebuah kesalahan, namun anak yang ada di dalam perutmu tidak punya salah sedikit pun. Jangan menambah dosa, Shanum!" Tegas bu Dewi.

Air mata Shanum mengalir deras, "Aku takut bu," ucapnya.

Bu Dewi membelai rambut Shanum, dia merasa iba pada anak angkatnya tersebut.

"Apa kamu benar tidak ingat bagaimana wajah pria itu?" Tanya bu Dewi.

"Tidak bu! Shanum tidak bisa melihat wajahnya karena gelap," jawab Shanum.

Bu Dewi menghela nafas pelan, bingung harus mencari solusi seperti apa untuk menghadapi masalah Shanum.

"Apa Shanum posting lagi ya bu? Sepertu waktu itu!" Cetus Shanum.

"Tidak! Kamu mau bikin kita malu!" Jawab bi Dewi dengan tegas.

"Lebih baik sekarang kamu istirahat, jangan banyak pikiran. Itu bisa berakibat buruk pada janin yang ada di kandunganmu," ujar bu Dewi lalu pergi ke toko boneka miliknya.

Sudah dua hari Shanum tidak ke luar dari rumah. Tubuhnya lemas karena setiap mencium aroma makanan dan wewangian dia akan mual lalu muntah.

Sudah dua hari juga dia tidak menjaga toko boneka milik bu Dewi, karena toko itu berdempetan dengan para penjual makanan seperti nasi goreng, bakso, dan lain-lain yang aromanya menusuk penciuman.

"Apa aku pulang saja ke kampung? Kasihan bu Dewi jika tetangga tahu aku hamil di luar nikah," monolog Shanum.

"Tapi apa kata orang kampung, pasti omongan mereka lebih pedas dari pedasnya bakso mercon," imbuhnya.

Shanum masuk ke kamarnya, dia merebahkan tubuhnya yang lemah di atas kasur.

Shanum mengambil ponsel yang ada di atas meja, ponsel yang baru dibelinya sebulan yang lalu.

Dia membuka akun sosial mdia miliknya, hal yang pertama dia lihat adalah postingan Khansa yang menanyakan keberadaannya.

"Maafkan aku Sa, aku tidak mau kamu malu karena punya teman kotor sepertiku." Gumam Shanum.

Shanum meletakan kembali ponselnya di atas meja. Dia menarik selimut lalu tertidur.

"Mau main di sofa?"

Shanum terbangun dan duduk di atas kasurnya. Perkataan pria malam itu kembali terngiang, bahkan di dalam mimpi sekali pun.

"Kenapa suaramu terus menggangguku? Tidak tahukah kamu jika sekarang aku menderita?" Lirih Shanum sambil melihat ke arah perutnya.

"Maafkan mama ya nak jika sampai kamu lahir mama tidak bisa menemukan papamu. Mama terlalu buta hingga tidak bisa melihat banyak kesalahan yang sudah mama perbuat. Mama janji, mama akan bekerja sekuat tenaga untuk hidup kita. Jangan lemah ya sayang, kita harus kuat." Celoteh Shanum sambil mengusap lembut perutnya yang masih rata.

Shanum tidak melanjutkan tidurnya, dia turun dari kasur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Selesai mandi Shanum pergi ke toko untuk membantu bu Dewi yang sebentar lagi akan menutup toko.

"Shanum? Ngapain kamu di sini? Biar ibu saja yang bereskan," kata bu Dewi saat melihat Shanum berdiri di antara tumpukan boneka yang baru saja datang.

"Nggak apa-apa bu, kerjanya juga nggak berat kok." Kata Shanum sambil menyusun boneka ke rak.

"Ya sudah, tapi ingat kamu nggak boleh terlalu capek. Kamu harus banyak istirahat," pungkas bu Dewi dan Shanum pun mengangguk sambil tersenyum.

Beberapa waktu belakangan ini toko mereka dibanjiri orderan secara online maupun yang langsung datang ke toko.

Toko yang awalnya berisi sedikit boneka kini semakin bertambah banyak dan bermacam-macam.

Terkadang Shanum dan bu Dewi kewalahan melayani banyaknya pelanggan yang memesan boneka.

"Sudah selesai belum nak?" Tanya bu Dewi sambil menghampiri Shanum, dia sudah menutup pintu tokonya.

"Sedikit lagi bu," jawab Shanum.

Bu Dewi membantu Shanum menyelesaikan pekerjaannya, setelah selesai mereka langsung kembali ke rumah.

Seperti biasa, mereka menghitung hasil penjualan hari ini dan hasilnya sangat memuaskan. Penjualan boneka semakin melejit.

"Semoga besok anakmu perempuan, jadi ada orang yang akan mengobrak-abrik isi toko." Ujar bu Dewi sambil tersenyum bahagia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status