Share

03

Sesampainya di kantor, Kemal langsung menuju ruang HRD. Dia meminta data milik Khansa, terutama nomor ponselnya.

Setelah mendapat nomor ponsel Khansa, Kemal berniat untuk langsung menghubungi gadis itu. Namun, dia mengurungkan niatnya.

"Kalo aku telpon gadis itu, nanti dia bisa tahu dong kalau aku yang sudah membeli keperawanan gadis itu. Ah tidak boleh! Aku tidak boleh menghubunginya! Tapi, bagaimana dengan gadis itu? Bagaimana kalo dia benar-benar hamil?" Kemal terlihat berpikir dengan keras.

Dari jauh Arfan merasa aneh melihat tingkah Kemal. "Kenapa dia? Masih pusing memikirkan benihnya yang dibawa gadis itu?" Monolognya.

Arfan berjalan menghampiri sahabatnya yang sedang mondar-mandir di depan ruang HRD.

"Lagi ngapain loe? Ngitung jumlah ubin lantai?" Tanya Arfan.

"Bukan," jawab Kemal tanpa menoleh sedikit pun pada Arfan.

"Ngepel lantai biar kinclong?" Tanya Arfan lagi.

"Bukan," lagi-lagi itu jawaban yang dilontarkan oleh Kemal.

"Jadi, kamu lagi ngapain? Mondar-mandir nggak jelas!" Sungut Arfan.

"Aku sedang ... Hei! Sejak kapan kamu di sini?" Kemal mengusap dadanya karena terkejut saat melihat kehadiran Arfan.

"Aku di sini sejak kamu mondar-mandir kayak setrikaan," jawab Arfan lalu pergi begitu saja.

Kemal terdiam sejenak, "Apa iya aku begitu?" Tanyanya dengan suara lirih. Pertanyaan yang tepatnya ditujukan untuk dirinya sendiri.

Kemal pun memilih pergi ke ruang kerjanya, akan dia pikirkan langkah apa yang harus dia ambil.

Kemal duduk di kursi kebesarannya, dia sama sekali tidak berminat untuk menyentuh kertas-kertas berisi pekerjaan. Dia sibuk memikirkan cara bagaimana mengorek informasi tentang Shanum pada Khansa.

"Argh!!" Kemal kesal karena tidak kunjung mendapatkan ide.

"Kenapa sih? Sepulang dari kantor cabang kamu kayak orang stres gitu?" Tanya Arfan.

"Bagaimana? Apa sudah kalian dapatkan informasi tentang gadis itu?" Bukannya menjawab pertanyaan Arfan padanya, Kemal malah balik melemparkan pertanyaan.

"Belum," jawab Arfan singkat.

"Lalu, untuk apa kamu datang ke ruanganku?" Tanya Kemal, wajah dan nadanya terdengar kesal.

"Aku membawa mereka yang dipindahkan dari kantor cabang," jawab Arfan.

"Suruh mereka masuk!" Titah Kemal. Dia tidak sabar ingin melihat wajah Khansa.

Arfan membuka pintu ruang kerja, lalu menyuruh beberapa orang masuk ke ruangan itu.

Ada sekitar lima orang di sana.

"Kalian berlima laki-laki semua? Bukankah ada satu perempuan yang datang bersama kalian?" Cecar Kemal.

"Bu Khansa hari ini ikut terjun ke lokasi pembangunan pak. Pak Rayden yang membawanya," jawab salah satu dari mereka.

"Apa dia bertugas di lantai Rayden?" Tanya Kemal.

"Iya pak," jawab orang itu lagi.

Arfan membawa ke lima orang itu kembali ke luar setelah proses tanya jawab tentang pekerjaan selesai. Setelah itu dia kembali menemui Kemal.

"Dari mana kamu tahu tentang Khansa?" Tanya Arfan.

"Dari pihak rumah sakit, dia sahabat perawan satu miliarku." Jawab Kemal.

"What? Kamu serius? Kalo begitu tanyakan saja pada Khansa ke mana perginya gadis satu miliarmu itu!" Cetus Arfan.

"Kalau aku bertanya pada dia, berarti aku buka topeng, Arfan!" Geram Kemal.

"Jadi kita harus bagaimana? Mencarinya terus tanpa mengantongi informasi apa-apa? Mau sampai kapan? Buang dulu lah gengsimu itu!" Suara Arfan terdengar sangat kesal.

Kemal terdiam, memikirkan setiap kata yang keluar dari mulut Arfan.

Huft, terdengar suara helaan nafas berat dari arah Kemal. "Buntuti gadis itu! Ikuti dan laporkan padaku setiap gerak-geriknya. Mereka pasti saling berkomunikasi dan saling bertemu." Titah Kemal.

"Baiklah! Tapi hanya satu bulan. Jika dalam sebulan gadis satu miliarmu tidak juga ada titik terang keberadaannya, aku akan menanyakannya langsung pada Khansa." Arfan ke luar dari ruang kerja Kemal membawa kekesalan.

"Kenapa dia marah? Apa salahku?" Kemal tidak menyadari kesalahannya.

Di tempat lain,

Di sebuah toko boneka, Shanum sedang melayani para pembeli. Kebanyakan dari mereka yang menjadi pelanggan toko adalah sepasang muda-mudi dan anak-anak.

"Shanum, ibu tinggal sebentar ya. Jaga toko baik-baik!" Pesan buk Dewi, pemilik toko.

Shanum bertemu buk Dewi di pesawat. Mereka berkenalan lalu buk Dewi pun menawarkan pekerjaan pada Shanum, dan gadis itu pun menerimanya.

Bu Dewi sangat baik, dia menganggap Shanum seperti putrinya sendiri. Dia mau menerima keadaan Shanum jika nanti Shanum hamil.

Bu Dewi janda tanpa anak, suaminya meninggal setahun yang lalu karena sakit jantung.

Shanum menceritakan semua kepada bu Dewi tentang apa yang terjadi padanya. Shanum juga menitipkan uang miliknya pada wanita paruh baya tersebut.

Sore harinya,

Seperti biasa toko akan tutup pukul lima sore.

"Shanum, ini ibu bawain makanan." Kata bu Dewi sambil menyodorkan bungkusan plastik pada Shanum.

"Terima kasih bu," ucap Shanum.

Setelah menutup toko, Shanum dan bu Dewi masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan tubuhnya. Selesai mandi baru mereka duduk di ruang keluarga untuk menghitung uang hasil penjualan.

"Hari ini kita menjual banyak boneka, Shanum. Semenjak ada kamu penjualan semakin meningkat. Kamu pembawa rezeki bagi ibu! Benar kata orang jika setiap anak punya rezeki masing-masing. Seorang anak adalah pembawa rezeki," tutur bu Dewi.

"Terima kasih ya bu, ibu sudah mau menerima Shanum." Ucap Shanum.

"Seharusnya ibu yang berterima kasih sama kamu, nak. Kamu sudah bersedia untuk menemani wanita tua ini," kata bu Dewi.

"Bu, bagaimana jika nanti Shanum hamil?" Raut wajah Shanum terlihat sedih.

"Kamu jangan khawatir, ibu sudah mengatakan pada pak RT dan warga sekitar jika kamu keponakan ibu, rumahmu kebakaran dan suamimu bekerja di luar negeri. Ibu mengatakan pada pak RT jika semua berkas-berkas milikmu semua habis terbakar." Jawab bu Dewi.

"Mereka percaya bu?" Tanya Shanum lagi dan bu Dewi pun mengangguk.

Setelah selesai menghitung uang hasil penjualan hari ini, bu Dewi mengajak Shanum untuk makan malam. Selesai makan, mereka kembali masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

Shanum duduk bersandar di atas kasurnya, tangannya mengusapi perut yang rata.

"Apa iya aku akan hamil? Jika benar, bagaimana nasib anakku nanti? Bagaimana jika dia besar dan bertanya tentang ayahnya? Aku sendiri tidak tahu seperti apa wajah lelaki itu." Monolog Shanum.

Shanum memejamkan mata, mengingat kembali kejadian malam itu.

Dia mengingat bagaimana Kemal melakukannya dengan sangat lembut. Seolah ada cinta di antara mereka.

"Siapa kamu? Kenapa kamu tidak menampakkan wajahmu malam itu? Dari mana kamu punya uang sebanyak itu? Apakah kamu sultan?" Monolog Shanum.

Shanum merebahkan tubuhnya, matanya sudah mulai mengantuk. Dia berusaha untuk memejamkan matanya namun tidak bisa, bayangan malam itu terus melintas dalam ingatannya.

"Aku masih ingat suaramu, aku mengingatnya, Tuan!" Lirih Shanum.

"Mau main di sofa?" Itu kalimat pertama yang diucapkan oleh Kemal dan suara-suara Kemal yang lain selalu memenuhi kepala Shanum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status