Share

Perangkap

Seorang wanita cantik membukakan pintu ruangan saat Celine tiba di lantai lima gedung bertingkat kantor Bisma. 

"Pasti ini sekretarisnya." Dia menduga seperti itu. Ada sedikit rasa minder salam hatinya saat melihat penampilan wanita itu. Seragamnya pastilah mahal, terlihat dari jahitan yang halus dan bahan yang bagus. Sedangkan yang dia pakai hanya pakaian biasa.

Selain itu, terlihat berkelas dengan beberapa perhiasan yang melekat di tubuhnya. Baunya harum parfum entah merek apa dan lekuk yang seksi. 

Tanganya bergerak mengambil sesuatu di dalam tas. Menyemprotkan sedikit parfum di sekitar dada dan lengan. Setidaknya, walaupun hanya berpenampilan biasa, dia masih tercium harum saat bertemu Bisma.

"Silahkan masuk, Mbak. Mr. Bisma sudah menunggu di dalam."

Lamunannya terhenti. Dengan cepat dia masukkan botol parfum murahan itu ke dalam tas. Sekilas teringat akan pertemuan pertama dengan lelaki itu. Semoga kali ini berhasil dan Bisma bersedia memberikan kesempatan kepadanya. Ayo, Celine. Berusaha, ya!

Dia menatap setiap sudut itu dengan seksama. Luas, besar, dan mewah. Satu ruangan ini sama besarnya dengan rumah panti asuhan yang dikelolanya. Ada sofa, meja panjang dengan banyak kursi. Udaranya sejuk karena pemdingin ruangan yang menyala non stop.

"Andaikan anak-anak bisa tinggal di tempat senyaman ini. Mereka pasti akan senang sekali." Begitulah khayalnya berkata.

"Hei. Apa kabar?" Bisma mengulurkan tangan. 

Celine menoleh, menatap seorang lelaki yang sedang berjalan mendekat. Sosok yang sudah dikenalnya bertahun-tahun yang lalu. Ditangannya ada sebuah lap, sepertinya baru saja selesai mecuci tangan.

Celine menarik napas panjang. Tangannya gemetaran. Gugup saat berhadapan dengan seseorang yang mempunyai posisi penting di kantor ini.

"Baik," jawabnya kaku. 

Sekian lama tidak bertemu, Bisma masih tampan seperti dulu. Bahkan kini lebih menawan. Uang memang bisa merubah semua penampilan orang, juga merubah sifatnya.

"Duduk." Lelaki itu menunjuk sofa. "Mau kopi atau teh?"

"Kak, aku kesini untuk ..."

"Hei. Santai aja, jangan buru-buru. Kita minum-minum dulu. Cerita-cerita. Sudah lama gak ketemu." Senyumnya terlihat manis sekali. Jantung Celine sampai berdebar melihatnya.

"Kalau begitu teh hangat saja. Mau?" Bisma berdiri menuju meja kerja dan men-dial beberapa nomor.

Gadis itu mengangguk mengiyakan.

"Patricia, tolong hubungi pantry. Bawakan dua teh hangat ke ruangan saya. Jangan lupa snack." Bisma menutup telepon, kemudian kembali berjalan menuju sofa, duduk di sebelah Celine.

Tak lama menunggu, seseorang datang masuk membawakan nampan berisi snack, meletakkanya di meja kemudian berpamitan keluar. 

"Ayo diminum."

Tangan Celine bergerak mengambil cangkir dihadapannya. Bagus sekali. Tehnya enak, kuenya apalagi. Dia jadi teringat anak-anak. Seandainya bisa ikut mencicipi makanan ini, pastilah mereka akan senang. Ada rasa perih dihatinya.

"Nah, gimana kabar kamu?"

"Baik-baik saja, Kak."

"Kamu makin cantik, ya?" goda Bisma. 

Matanya melirik dari atas sampai ke bawah. Senyum melengkung di bibirnya. Sebagai seorang lelaki, melihat pemandangan indah begini pastilah hatinya senang.

Celine tersipu saat mendengar ucapan lelaki itu. Semua perempuan pastilah suka jika dikatakan cantik. Dia juga sama.

"Makasih." 

Wajahnya merona, malu dan ertunduk lama saat melihat Bisma menatapnya intens. Mata lelaki memang mengerikan. Dibaliknya ada berbagai macam keinginan yang kita tidak tahu.

"Oke. Kamu ada yang mau disampaikan?"

"Soal panti asuhan yang aku kelola." 

Celine berbicara dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan. Lelaki ini penguasanya, dia harus sopan saat bertutur.

"Bukannya di perjanjian udah jelas, ya?"

"Iya. Tapi, apa gak ada perpanjangan waktu untuk pinjam pakai bangunan. Kalau cuma dua bulan, rasanya, aku belum sanggup." Dia berusaha menjelaskan pelan-pelan.

"Semua bisa kita bicarakan, Celine. Dengan kepala dingin. Gak usah pake marah-marah atau membanting telepon." Bisma menyindirnya.

"Maaf, Kak. Aku panik. Masa perpanjangan tinggal satu bulan. Aku belum ketemu rumah penggantinya. Belum ada yang cocok." 

Belum ada yang cocok harganya. Dia hanya punya setengah dari uang sewa yang mereka minta per tahunnya. "Kakak sulit dihubungi. Aku berkali-kali nelepon tapi gak diangkat. Jadinya kemarin nekat datang ke sini."

Bisma tertawa mendengar itu. Gadis ini lucu. Polos sekali, dan dia ... suka.

"Maaf, aku sibuk. Kerjaan lagi banyak-banyaknya. Proyek ini harus segera rampung. Sudah ditanya investor berkali-kali." Dia mengangkat bahu.

"Aku tahu. Kakak kan seorang manager perusahaan besar. Wajar kalau sibuk. Beda denganku yang cuma ..."

"Hei, jangan begitu. Bagaimana pun dulu kita pernah saling kenal." Bisma membesarkan hatinya. Sejujurnya, dia masih menginginkan gadis ini.

"Aku datang ke sini mau minta tolong sama kakak. Bisa gak kakak menambah perpanjangan waktu? Biar aku cari dulu rumah penggantinya. Setelah itu kami keluar dari sana."

"Berapa lama?" Bisma menimbang.

"Mungkin dua atau tiga bulan." Gadis itu memberikan opsi.

"Terlalu lama. Proyek harusnya udah jalan bulan ini. Kalau kasusnya kayak gini, berarti aku harus nge-lobby ulang investor." Bisma mencoba menjelaskan juga memberikan pengertian.

"Aku mohon kasih kami waktu. Kami gak mungkin pindah dalam waktu secepat itu." 

Mata Celine mulai berkaca-kaca, Tidak bisa membayangkan jika sampai anak-anak terusir. Mau tinggal di mana mereka? Menyewa rumah lain pun belum punya biaya.

"Investor udah lama nunggu. Tempat itu dipilih karena sangat strategis. Tanahnya luas, pemukiman di sekitarnya udah siap untuk dikosongkan. Aku masih ngasih tenggang waktu, itu juga cuma sama kamu." 

Bisma kembali menjelaskan. Ada pengecualian jika Celine mau menjadi kekasihnya, misalnya. Tawa jahat bergema di dada.

"Apa gak ada alternatif lain?" 

Gadis itu masih mencoba bernegosiasi. Kepalanya sakit beberapa hari ini memikirkan semua. Kalau dia sendiri tidak akan ada masalah. Dia bisa tinggal di manapun, bisa juga menumpang s

Di kos-an Siska. Tapi anak-anak, mau dimau bawa ke mana?

"Baiklah. Aku kasih tenggang waktu satu bulan lagi. Setelah itu maaf, gak bermaksud mengusir. Kalian harus mengosongkan tempat itu secepatnya." Bisma berkata tegas sambil menatap Celine dengan tajam. 

Gadis itu menarik napas berkali-kali. Berusaha menenangkan hatinya yang sejak tadi berdebar kencang.

"Begini, Kak. Aku ..." Lidahnya terasa kelu. Bagaimana dia bisa mengatakannya?

"Kenapa?" Lelaki itu bergeser hingga mereka hampir tak berjarak.

Celine merasa risih karena mereka semakin merapat. Apalagi bahasa tubuh Bisma menunjukkan sikap yang intim.

"Aku gak punya uang buat sewa tempat lain," katanya jujur, menatap wajah tampan itu dengan ekspresi sedikit ketakutan.

"Sungguh?" Bisma pura-pura bertanya. Sejak tadi dia hanya memperhatikan Celine berbicara. Matanya fokus pada wajah cantik itu, bukan pada apa yang dia bicarakan.

"Untuk operasional sehari-hari aja berat. Selama ini Abah yang punya rumah udah baik sama kami. Dia ngasih sewaan setengah harga dari tempat lain." 

Celine mulai terbuka menceritakan kehidupan meteka. Berharap dengan begitu Bisma mau mengerti. Sekalipun tidak, dia hanya bisa pasrah.

Bisma mengulum senyum. 

"Kakak kan tau, aku ini cuma karyawan mini market. Berapa lah gajiku sebulan," lirih Celine. Dia malu mengucapkannya.

"Kenapa ga kamu lepas aja?" Lelaki itu mencoba memberikan opsi lain. Toh Celine tidak punya kewajiban mengurus mereka semua. Biarkan saja anak-anak itu kembali ke jalanan.

"Biarkan mereka jadi gelandangan lagi? Aku gak bisa, Kak!"

Dia sedikit terpancing emosi. Selalu saja terbawa perasaan jika membicarakan semua hal yang berkaitan dengan anak-anak.

"Kamu kan bisa pindahkan mereka ke panti asuhan lain. Atau mencari orang tua angkat, misalnya."

"Gak semudah itu, Kak. Banyak panti yang nasibnya sama kayak kami. Rumah asuh ini bukan beda sama yang lain. Aku nampung mereka seadanya, Gak bisa melacak data orang tua adopsi. Aku gak rela mereka jadi korban trafficking," jelasnya panjang lebar. 

"Kamu masih muda. Ngapain ngabisin waktu ngurusin hal-hal kayak gitu."

"Karena aku tau gimana rasanya gak punya orang tua. Gak mau mereka bernasib sama." Wajahnya setengah memohon.

Ayolah Bisma, berilah mereka kesempatan. Apa kamu tega?

Lelaki itu menghela napas. Celine memang pantang menyerah. Sedari dulu masih sama, tidak banyak berubah. Hanya fisiknya yang semakin menawan karena bertambahnya usia.

"Gini aja. Untuk sekarang, aku belum bisa memutuskan. Aku cuma bisa nambah sedikit perpanjangan waktu. Kalau satu bulan lagi, bolehlah. Nanti bisa kita bicarakan kembali."

"Oke. Kalau gitu, aku permisi ya, Kak. Tadi sudah izin kerja. Makasih bantuannya."

Gadis itu mengulurkan tangan. Bisma menyambutnya dengan suka cita. Bahkan menahannya saat Celine ingin menarik kembali.

"Hati-hati. Kalau ada yang bisa aku bantu, telepon saja. Kalau gak sibuk aku respons, kok." Lelaki itu mengedipkan mata.

Celine mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu.

Bisma kembali ke meja kerja, mengambil gagang telepon dan menghubungi seseorang.

"Pat, hubungi pantry. Minta untuk menyiapkan snack yang tadi untuk tiga puluh orang. Berikan kepada ibu Celine yang baru keluar dari ruangan saya barusan Kamu tahan aja dia di lobby sambil menunggu snack-nya siap."

Klik!

Telepon terputus. Lelaki itu melipat tangan di dada dan menyandarkan tubuh di kursi. Senyum manis merekah di bibirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status