Di ruangan berukuran lima kali lima meter ini Celine berada, bersama beberapa keluarga dan tim rias. Harusnya ini tertutup dan tak boleh dimasuki banyak orang. Hanya saja beberapa orang kerabat penasaran dan ingin melihat bagaimana wanita itu didandan. Fatma sudah melarang mereka masuk karena mengganggu kegiatan. Sebab, untuk pihak keluarga sudah disiapkan juru rias sendiri di ruangan lain. Hingga tak perlu baur dengan sang pengantin. Mata Celine berair sejak tadi hingga melunturkan make-up. Para juru rias sudah memintanya untuk menahan haru, tetapi wanita itu tetap saja menangis. Hilir mudik beberapa orang yang menyiapkan acara, juga keluarga yang ingin melihatnya dirias, tak membuat Celine bisa menahan perasaannya. Dia teramat bahagia dan itu terlihat dari sikapnya. Impiannya menikah dengan disaksikan banyak orang akan segera terwu
Celine berjalan tegak memasuki gedung perkantoran itu. Bangunan mewah, megah yang menjulang di tengah congkaknya ibu kota. Awalnya, dia ragu datang ke tempat itu. Namun, tekad di dadanya sudah bulat. Semua harus selesai hari ini. Kelangsungan hidup mereka berada di tangan manusia yang akan ditemui nanti. Beberapa kali dia mencoba menghubungi lelaki itu melalui telepon, tetapi tidak direspons. Sungguh luar biasa sibuknya dia, sampai membalas chat-nya pun tak sempat. Celine menatap sekeliling. Semua orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu?" Seorang resepsionis bertanya kepadanya. Wanita itu nampak cantik dengan dress kerja yang sangat formal, juga rambut yang digelung rapi. Aroma tubuhnya begitu harum dengan dandanan yang natural. "Saya ingin bertemu dengan Kak Bisma. Bisa?" tanya Celine ragu. "Oh Mr.
Beberapa tahun yang lalu. Dua orang itu duduk berhadapan dengan canggung. Segelas minuman dan beberapa cemilan menjadi teman mereka saat berbincang. Si lelaki menatap si gadis dengan mata berbinar, sedangkan yang ditatap malah menjadi takut, seperti sedang terjebak ke dalam kandang singa. "Maaf, Kak. Aku belum bisa," tolaknya halus. Celine tidak bisa menolak lelaki ini dengan kasar. Selain berkuasa karena ayahnya pemilik yayasan di universitas ini, Bisma adalah seniornya. Sedangkan dia mahasiswa baru di tahun pertama. "Kenapa?" Bisma menatap Celine dengan wajah kecewa. Belum pernah seumur hidupnya dia ditolak oleh wanita, sehingga merasa harga dirinya sedang diinjak-injak. &nb
Rumah itu nampak asri dengan halaman yang luas. Banyak pohon-pohon rindang yang sengaja ditanam oleh pemiliknya. Sebagian adalah pohon buah-buahan yang bisa dipanen jika sudah waktunya tiba. Bentuk atap rumah itu menyerupai pelana yang dilipat. Jika di lihat dari samping, maka lipatan-lipatan tersebut terlihat seperti lipatan kebaya. Orang Betawi menyebutnya Rumah Kebaya. "Assalamualaikum. Abah Ummi, Elin datang, nih," ucap Celine saat mengetuk pintu. Tak lama keluarlah seorang lelaki separuh baya menyambut kedatangannya. "Waalaikum salam, Neng," jawab Abah sembari menyuruh Celine masuk. "Ummi mana, Bah?" Celine meraih tangan Abah kemudian menciumnya sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. "Ke pasar. Biasa belanja. Tau dah nyari apaan." Mereka berdua duduk berhadapan. Teras rumah ini memang luas. Abah dan Ummi biasa mengggunakannya untuk menjamu tamu atau menjadi tempat bersantai keluarga. "Ummi rajin ya, Bah." "Daripada bosan di rumah. Neng ngapain datang dima
"Lin. Pak Broto datang lagi tuh. Nyariin kamu." Siska mendatangi Celine di belakang. Dia meninggalkan kerjaannya di depan dan meminta karyawan lain untuk menggantikannya sebentar.Celine sedang menyusun beberapa barang di gudang. Setahun terakhir, dia meminta kepada HRD untuk dipindahkan ke posisi ini, supaya tidak bertemu banyak orang. Dia memang cantik, jadi banyak pembeli lelaki yang suka menggoda.Penampilannya sederhana, tapi paras ayunya tidak bisa menipu. Sekali pun hanya memakai seragam karyawan, banyak lelaki yang menyukai. Karena itulah, mini market ini menjadi ramai sejak dia bergabung.Lagipula menjadi kasir berisiko tinggi. Melihat uang matanya langsung hijau. Apalagi tanggungannya banyak. Kalau di bagian gudang, dia bisa sambil mengecek barang-barang
Seorang wanita cantik membukakan pintu ruangan saat Celine tiba di lantai lima gedung bertingkat kantor Bisma."Pasti ini sekretarisnya." Dia menduga seperti itu. Ada sedikit rasa minder salam hatinya saat melihat penampilan wanita itu. Seragamnya pastilah mahal, terlihat dari jahitan yang halus dan bahan yang bagus. Sedangkan yang dia pakai hanya pakaian biasa.Selain itu, terlihat berkelas dengan beberapa perhiasan yang melekat di tubuhnya. Baunya harum parfum entah merek apa dan lekuk yang seksi.Tanganya bergerak mengambil sesuatu di dalam tas. Menyemprotkan sedikit parfum di sekitar dada dan lengan. Setidaknya, walaupun hanya berpenampilan biasa, dia masih tercium harum saat bertemu Bisma."Silahkan masuk, Mbak. Mr. Bisma sudah menunggu di dalam."Lamunannya terhenti. Dengan cepat dia masukkan botol parfum murahan itu ke dalam tas. Sekilas teringat akan pertemuan pertama dengan lelaki itu. Semoga kali ini berhasil dan Bisma bersedi
Tiga orang duduk di beranda rumah sambil menikmati angin sepoi-sepoi sore hari. Mendengarkan burung yang berkicau di dahan pohon. Menikmati semilir angin yang sejuk.Celine, Abah dan Ummi. Duduk di teras rumah sambil berbincang-bincang."Maapin ummi sama abah ye, Neng. Ntu panti jadi dijual. Lu pan tau si Juki banyak utang. Mana bininya mau lahiran lagi."Abah diam dan mendengarkan istrinya berbicara, sambil tangannya memilin kumis. Rambutnya sudah memutih semua, tapi kumisnya masih tetap saja hitam."Iya, Mi. Ga apa-apa. Elin ngerti, kok."Gadis itu duduk berhadap dengan mereka. Sudah biasa dia di sini. Sudah seperti rumahnya sendiri. Abah dan ummi memang baik sekali pada dia dan anak asuhnya.Beberapa tahun terakhir ini, dia bersama anak-anak memang mendiami salah satu rumah mereka untuk tinggal.Celine sungguh beruntung bertemu dua orang tua ini. Mereka tak se
Aku menghempaskan diri di kasur. Tanganku terulur mengambil tas dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat."Banyak amat, Neng. Duit dari siapa?" Bik Onah duduk mendekatiku.Aku sedang menghitung uang yang diserahkan Ummi tadi sore. Aku selalu melakukannya di kamar setelah semua anak-anak tertidur. Rahasia dapur biarlah aku saja yang mengetahuinya."Dari Ummi sama Abah. Uang hasil jual ini panti Bik, dibagi buat anak-anak."Bik Onah terdiam. Raut wajahnya terlihat sedih. Jika panti ini dijual dan kami tidak dapat tempat pengganti, bagaimana nasib ke depannya. Dia sudah tidak punya keluarga. Akulah satu-satunya harapan tempat dia bernaung.Sejak awal dia bersama kami, dia sudah menyerahkan hidupnya. Aku berjanji akan merawatnya di sisa usia, menemaninya sampai senja. Menganggap dia sebagai orang tua sendiri.Simbiosis mutualisme.Aku mulai menghitung satu persatu. Mataku segar melihat uang merah berlembar-lembar di hadapanku. Dunia serasa hidup k