Share

Abah Ummi

Tiga orang duduk di beranda rumah sambil menikmati angin sepoi-sepoi sore hari. Mendengarkan burung yang berkicau di dahan pohon. Menikmati semilir angin yang sejuk.

Celine, Abah dan Ummi. Duduk di teras rumah sambil berbincang-bincang.

"Maapin ummi sama abah ye, Neng. Ntu panti jadi dijual. Lu pan tau si Juki banyak utang. Mana bininya mau lahiran lagi."

Abah diam dan mendengarkan istrinya berbicara, sambil tangannya memilin kumis. Rambutnya sudah memutih semua, tapi kumisnya masih tetap saja hitam.

"Iya, Mi. Ga apa-apa. Elin ngerti, kok."

Gadis itu duduk berhadap dengan mereka. Sudah biasa dia di sini. Sudah seperti rumahnya sendiri. Abah dan ummi memang baik sekali pada dia dan anak asuhnya.

Beberapa tahun terakhir ini, dia bersama anak-anak memang mendiami salah satu rumah mereka untuk tinggal.

Celine sungguh beruntung bertemu dua orang tua ini. Mereka tak segan-segan membantu jikalau dia kesusahan. Ummi sangat suka pada Celine. Selain cantik, sikapnya sungguh santun. Sopan kepada orang yang lebih tua.

"Ummi sama abah juga langsung daftar Haji. Udah tua, Neng. Pengen ibadah." Abah menimpali.

"Mana yang terbaik aja, Bah. Elin juga kan cuma numpang." Dia tertunduk lesu. Dia tak punya kuasa atas rumah itu, hanya menyewa. Sewaktu-waktu pemiliknya bisa saja mengusir dan dia harus pergi.

"Jangan bilang gitu, Neng. Lu udah kita anggap anak ndiri."

"Iya, Neng. Coba lu dulu mau kawin ama si Jali. Udah enak idup lu. Ga usah ngurusin anak panti mulu." Ummi berceloteh panjang lebar. Masih menyesalkan ketika Celine menolak lamaran menikahi anak sulungnya.

Abang Jali sebenarnya sangat baik. Ganteng pula. Betawi asli. Tapi, entah kenapa dia tidak terlalu suka. Karena didikannya militer, kadang sifat kasarnya suka muncul. Celine kurang suka dan takut. Kalau Jali lagi marah bisa-bisa kena KDRT. Dia tidak mau. Maaf ya, Bang!

"Terus gimane lu sama anak-anak? Ude dapet rumah baru belom?" Ummi bertanya. Bagaimanapun dia merasa khawatir akan nasib Celine yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.

"Belum, Ummi. Tapi, Elin udah dapat keringanan masih boleh tempati sampai dua bulan ke depan." Celine mencoba menjelaskan.

"Lah, napa bisa begitu, Neng?"

"Orang yang beli rumah abah ntu, udah Elin temuin, Bah. Dia baik masih ngasih waktu buat kami tinggal."

Kalau bicara dengan orang tua harus begini. Harus jelas kalau tidak bisa di tanya berulang kali. Dia sudah paham kalau soal begini.

"Baek juga dia, Neng?" tanya Ummi.

"Iye, Mi. Duitnya banyak. Ga masalah kali kalau ngasih tenggang waktu sebulan dua bulan ini."

"Mudahan ada rezeki ya, Neng. Buat lu sama anak-anak. Kite bedua cuma bisa nulungin ampe di sini aje," lanjut abah.

"Iya, Bah. Ga apa-apa. Elin pamit dulu. Mau istirahat."

"Lembur lagi, lu?"

"Iya, Mi. Lumayan buat nambahin biaya dapur."

Abah segera memberikan kode-kode kepada istrinya. Ummi bergegas masuk ke dalam rumah. Mengambil sesuatu.

"Lin. Lu tunggu bentar. Ummi ada yang mau dititip buat anak-anak." Abah menahan kepergiannya.

Celine menunggu sambil memandang sekeliling. Rumah abah ini terasa sangat nyaman. Teduh banyak pohon. Rumah khas Betawi. Andaikan dia punya rezeki, pasti dia akan membeli satu yang seperti ini untuk tempat tinggal.

"Lin. Ini abah sama ummi titip buat anak-anak. Kagak banyak. Kali-kali aje bisa buat bantu-bantu lu buat bayar kontrakan nanti." Ummi datang dan menyerahkan sebuah amplop.

Tebal. Apa isinya?

Gadis itu terkejut. Selama ini mereka sudah cukup baik pada. Dia merasa tidak enak.

"Lin ga enak, Mi," tolaknya halus.

"Udah lu terima aje. Gua tau lu lagi butuh. Donatur lagi sepi pan yak?" Ummi menggenggam tangannya.

"Iya, tahun ini berat. Tapi Lin yakin pasti ada rezeki." Celine mengangguk, tangannya bergerak memasukkan amplop itu ke dalam tas.

"Si Broto masih suka deketin lu, yak? Berape banyak dia nyumbang?" Ummi penasaran juga akhirnya.

"Ada sejutaan sebulan. Lumayan buat beli beras sm telur." Gadis itu tertunduk.

"Lu mau kawin ama dia?" Wajah Ummi nampak tidak senang.

"Ga tau, Mi. Elin masih belum pengen nikah."

"Coba lu ama si Jali aja. Lu pan cantik, masa mau kawin ama si bangkotan ntu." Ummi mendengus kesal. Bisa-bisanya Celine menolak menjadi menantunya. Malah mau saja di dekati sama si tua bangka itu.

Kurang apa si Jali? Tampang keren, kerjaan bagus pula.

"Belum tau mi. Lin masih mau ngurus anak-anak aja dulu."

"Tapi kagak napa-napa juga lu kawin ama dia. Kontrakannya banyak. Hidup lu sama anak-anak pasti terjamin."

"Engga, Mi. Lin belum ada niat buat nikah. Anak-anak masih kecil. Nanti siapa yang ngurusin mereka?"

"Si Jali mah udah gede anaknya. Tapi ummi kurang sreg ama bininya. Ummi sukanya ama lu." Wanita itu bercerita panjang lebar. Mencurahkan isi hatinya. Masih berharap Celine berubah pikiran waktu itu. Tapi gadis itu tetap menolak.

"Ude, Mi. Jangan di ungkit-ungkit lagi. Ga baek." Abah menengahi. Setiap bertemu Celine selalu saja itu yang dibahas. Ketidak-sukaannya kepada menantu.

"Yaudah. Elin pamit dulu, ya." Dia mengambil tangan Abah dan Ummi. Menciumnya dan berpamitan. Matahari sudah hampir mau tenggelam. Dia harus segera pulang. Anak-anak menunggu apa yang akan dia bawa pulang nanti.

"Ati-ati, Neng."

"Assalamualaikum." Dia mengucap salam dan melambaikan tangan.

* * *

Celine meminta bantuan si abang ojol itu untuk mengangkat barang-barang belanjaan. Motornya penuh. Dengan sigap dia siap membantuku. Sepertinya dia sudah terlatih mendapatkan penumpang yang barang belanjaannya banyak.

Memang terbaik ini abang. "Aku kasih lima bintang deh plus komen yang bagus atas pelayanannya." Celine bergumam.

Hari ini dia membeli dua karung beras, minyak goreng, telur dan berbagai macam keperluan dapur. Ada sosis promo kesukaan anak-anak dan susu bubuk buat Ijal.

Dia meminta ijin lagi hari ini. Pulang lebih cepat. Bertemu Bisma di kantornya kemudian mampir kerumah Abah karena Ummi menelepon. Untunglah si pak bos mengerti. Mungkin lagi baik saja, biasanya juga suka marah-marah.

"Banyak amat, Neng." Susi menyambut di depan pintu. Dia salah satu yang membantu di panti, selain Bik Onah. Susi bagian mencuci dan melipat kain. Bik Onah masak dan mencuci piring. Anak-anak dapat tugas mengepel, menyapu dan membersihkan halaman.

Tapi Susi tidak menginap. Jam empat sore dia sudah pulang ke rumah. Celine mengambilnya karena dia janda. Dia juga tidak cerewet sewaktu Celine mengatakan hanya bisa memberinya sedikit.

"Buat bayar spp anak-anak aja, Neng. Kalau makan minum kan ditanggung sama emak," begitu katanya.

Mungkin beberapa orang akan bertanya bagaimana dia bisa terlibat mengurus panti ini dan membiayai mereka. Sedangkan dia hanya seorang karyawan mini market.

Semua bermula tiga tahun yang lalu. Saat masih kuliah. Kampus yang harus ditinggalkannya karena beasiswa dicabut.

Mengapa? Karena dia pernah menolak menjadi kekasih anak pemilik yayasan. Celine sudah memaafkan lelaki itu sekali pun dia telah menghancurkan masa depanku. Masa depan yang dirancang dengan susah payah agar kehidupannya menjadi lebih baik.

Semua musnah karena kuasa lelaki. Dia yang bisa berbuat dengan sesuka hatinya, tanpa memikirkan nasib orang lain.

Kalian tahu kan siapa dia?


Komen (1)
goodnovel comment avatar
YM
cerita yang bisa membawa pembacanya ke dalam alur ceritanya....sungguh emosional
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status