Share

2. Bukan Janda Gatal

“Mau aku janda atau aku perawan bukan urusan kamu. Lagian siapa juga yang mau jadi menantu keluarga kalian?”

Aku terus menyergah dengan berani, membuat wanita yang memakai hijab hijau pupus itu, semakin membeliakkan matanya yang tajam ke arahku.

“Kamu itu gimana sih Jamal, kalau milih perempuan itu yang benar, perempuan seperti serigala gini mau kamu peristri, bisa-bisa kamu dicakari terus, sampai mampus sama dia.” Wanita itu mulai menudingkan jarinya padaku.

Aku mendengus jengah dengan nafas memburu karena tersengat emosi saat mendengar kata-katanya yang pedas padaku.

Tatapanku kemudian terarah nyalang pada lelaki bernama Jamal yang sekarang tampak canggung, sembari terus menerus mengelus rambut klimisnya, yang aroma minyaknya semakin membuatku mual.

Semua gaya pria itu benar-benar membuatku mati kutu.

“Kamu sendiri Bang Jamal, siapa juga yang nyuruh kamu datang?”

Aku mendesah jengah dan mencebik sarkas ke arahnya.

“Secara aku nggak kenal sama kamu Bang. Lain kali kalau mau ngelamar perempuan itu, kamu tanya dulu perempuannya mau atau tidak?”

Aku membalas dengan sengit ucapan pedas dari wanita yang menjadi ibu dari lelaki yang bernama Jamal itu.

Aku benar-benar dibuat kesal oleh mereka, ditambah tubuhku yang capek karena baru pulang dari bekerja, membuatku benar-benar tak bisa menolerir sikap sarkas mereka.

Melihat tanggapanku yang sedikit kasar, bunda segera menegur dengan tatapannya yang tajam.

Sikap bunda yang selalu lemah lembut itu tentu saja tak menghendaki aku memaki tamu yang datang ke rumah kami ini, yang awalnya berniat untuk melamarku.

“Maafkan sikap putri saya, Pak, Bu,” ungkap bunda pada akhirnya.

Tentu saja aku tak bisa menerima dan membuatku sedikit membeliakkan mata pada sosok bersahaja yang sudah menghadirkan aku ke dunia itu.

“Tidak apa-apa kok Bu, maafkan juga sikap istri saya,” sahut lelaki yang sejak tadi tak bersuara ketika istrinya mencak-mencak di depanku.

“Eh, Pak, kenapa Bapak malah minta maaf? Si janda gatel ini yang udah menggoda anak kita dan membuat kita tertipu dan malah datang ke sini.”

Wanita bergelang besar itu masih saja setia dengan anggapannya yang salah padaku. Dia masih saja menganggapku janda.

Benar-benar mengesalkan, yang membuatku ingin menarik lidahnya yang sudah asal mengataiku sebagai janda gatal. Sangat keterlaluan memang.

“Ayo, Jamal, ayo kita pulang, aku nggak mau ikut ketularan jadi gatel di sini.”

Wanita bertubuh bongsor itu lalu menarik tangan anak dan suaminya, dan mengajaknya pergi dari rumah petak keluargaku yang selama beberapa tahun terpaksa kami tempati semenjak prahara menimpa, ketika ayah kami tergoda oleh wanita lain dan mengabaikan anak-anak beserta istrinya sendiri.

Aku membiarkan saja mereka pergi dan malah merasa lega saat mereka sudah meninggalkan rumah.

Ketika melihat semua tamu sudah pergi, Ghana dan Ghara langsung berlari mendekatiku lagi.

“Mereka orang-orang jahat ya Ma?” Ghara menyela sembari bergayut di kakiku.

Sementara bunda malah memberikan tatapannya yang luruh padaku, yang menyiratkan sebuah kekhawatiran.

Aku berusaha untuk tak menanggapi, meski hatiku disusupi kesedihan setiap kali melihat tatapan khwatir beliau.

Hingga kemudian keponakanku yang lain Ghana, langsung memeluk pinggangku.

“Ma, aku lapar, aku pengen makan sama Mama,” rajuk Ghana.

Mereka berdua selalu saja ingin bermanja setiap kali aku baru pulang selepas bekerja. Seperti biasa aku akan selalu menyediakan waktuku untuk mereka sampai menjelang maghrib dan selalu Ghana dan Ghara akan aku ajak ke mushola terdekat untuk menjalankan sholat berjamaah yang kemudian dilanjutkan dengan mengaji.

***

Aku masih sibuk memeriksa mesin mobil dengan kap yang aku buka lebar, ketika kemudian aku rasakan seseorang menepuk pundakku dengan tegas.

Aku bisa merasakan jika saat ini Jason sedang mendekatiku. Pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatku bahkan semenjak aku masih tinggal di komplek perumahan mewah ketika kehidupan keluargaku masih berkelimpahan ketika ayah kami masih memenuhi tanggung jawab pada keluarganya.

“Ini sudah hampir maghrib, kamu nggak pulang?” tanya pria beriris coklat yang merupakan keturunan Jerman seorang anak pengusaha perhiasan dan pakaian branded, yang nyatanya malah memilih untuk membuka bengkel dan berusaha untuk membiayai kuliahnya sendiri yang sudah sampai di semester akhir itu.

“Nanggung, ntar lagi aku pulang. Lagian kamu tahu sendiri kan kalo aku siang ini baru datang, jadi aku harus mengerjakan bagian aku sampai selesai.”

Aku beralasan dan masih saja tekun mengotak-atik mesin mobil yang sedang bermasalah dengan injeksinya itu.

“Kamu kan datang siang karena kamu masih harus kuliah?”

Aku mendesah panjang dan mulai melirik pada temanku sejak kecil yang sudah menjelma menjadi seorang pemuda gagah yang seringkali digilai banyak wanita itu.

“Iya, tapi aku gak mau anak yang lain iri, karena aku nggak nyelesain pekerjaanku.”

Jason menatapku lebih lekat. Kilat simpati bisa aku tangkap dari sorot matanya saat ini.

Sejak awal hanya Jason yang selalu ada di sampingku di saat keluargaku jatuh dan kami terusir dari rumah mewah yang sebenarnya merupakan peninggalan dari kakek dan nenekku sendiri, orang tua dari bunda.

Semua karena kelicikan pelakor keji bernama Lola yang membuat ayahku kehilangan kewarasan dan begitu tega menelantarkan keluarganya sendiri.

“La, sejak dulu kamu emang tidak berubah, pekerja keras.”

“Aku kerja keras kan bukan buat aku sendiri, tapi juga buat bunda dan kedua anak aku, Jas,” tegasku sembari sedikit melirik pada pria berhati baik yang selalu saja sering menolongku selama ini.

“Kamu memang tak pernah egois tetap saja memikirkan orang lain.”

“Ish kamu ini, bunda dan anak-anakku itu bukan orang lain lho Jas?”

Aku lihat sekarang Jason malah menarik nafas dalam.

“Padahal mereka adalah keponakan kamu, tapi kamu selalu saja menganggap mereka sebagai anak-anakmu.”

“Mereka memang anak-anakku, Jas, sejak kecil secara mereka udah aku asuh.”

Sejurus kemudian aku malah mendapati Jason sedang memindaiku dengan sorot matanya yang tampak penuh arti.

Aku enggan untuk mengeja sedikitpun dan lebih memilih untuk meneruskan pekerjaanku.

Tapi nyatanya aku merasakan Jason masih ada di dekatku, dan mulai mengulurkan sebotol air mineral yang sudah ia bawa.

“Kamu minum dulu,” ucap Jason penuh perhatian.

Aku hanya melirik sekilas pada botol air segar yang sedang diberikan Jason padaku.

Aku sungguh tergoda untuk menegaknya. Tapi segera aku sadar kalau tanganku sekarang sangat kotor berlumuran oli meski aku memakai sehelai sarung tangan.

Jason segera paham sontak membuka botol itu untukku dan meminumkannya tepat di depan mulutku hingga aku bisa menegaknya tanpaa harus repot melepas sarung tanganku.

Di saat bersamaan mendadak seorang wanita cantik memasuki ruangan dalam bengkel dan langsung melihat apa yang sedang dilakukan Jason padaku.

Ketika melihat wajahnya yang glowing hasil perawatan salon mahal lengkap dengan skincarenya yang menguras isi kantong itu, hatiku segera mencelos jengkel.

Setelah ini aku yakin, wanita yang selama ini sudah mengklaim Jason sebagai miliknya itu pasti akan menumpahkan sumpah serapahnya padaku, meski gadis genit yang selalu suka memakai gaun kurang bahan itu akan bersikap pura-pura kalem jika masih ada Jason di antara kami.

“Jason, aku tahu kamu pasti masih di sini. Karena itu aku mampir ke bengkel untuk ketemu kamu,” ucap gadis bernama Vania itu manja.

Aku rasakan bola mata Vania yang selalu memakai soft lens berwarna biru itu melirik jengah padaku, penuh aura cemburu saat melihat kedekatanku bersama Jason, ditambah dengan perhatian yang sedang diberikan Jason padaku saat ini.

Aku mengabaikan semua itu, kembali fokus dengan pekerjaanku.

Jason hanya menanggapi dengaan datar kedatangan Vania yang aku rasakan sedang tak diharapkan oleh pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatku itu.

Seorang teman yang sudah memberikan pertolongan dengan memberikan aku pekerjaan di bengkelnya ini. Jason tahu keahlianku tentang mobil yang sebenarnya aku pelajari dari ayahku sendiri juga kakak lelakiku yang memang penggemar otomotif.

Siapa sangka keahlianku ini yang sebelumnya hanya sekedar hobi bisa menyelamatkan aku dan keluargaku dari kelaparan.

“Kamu mau apa ke sini?” tanya Jason sarkas.

Tentu saja Vania menjadi kecewa berat dengan tanggapan acuh dari lelaki yang ia suka.

Kekesalannya itu dilampiaskan padaku.

Tapi aku tentu saja tak peduli dengan tatapannya yang tajam itu dan lebih memilih kembali mengotak-atik mesin mobil sampai aku berhasil menemukan masalahnya dan segera memperbaiki.

“Kamu kok nanya gitu sih? Tante Anggun sendiri lho yang meminta aku datang buat nyusul kamu agar kamu bisa makan malam di rumah.”

Aku mendengar Vania sedikit mengeluarkan rajukannya. Gadis itu pasti akan menyebutkan nama maminya Jason, demi membenarkan setiap hal yang dilakukannya untuk Jason.

Jason mengerutkan dahinya sejenak sebelum kemudian memandang ke arahku yang pastinya saat ini wajahku belepotan oli.

“Setelah mobil ini kelar, kamu harus segera pulang. Karena aku juga akan pulang.”

Setelah berucap seperti itu Jason lalu masuk ke dalam ruangannya dan pastinya sedang bersiap untuk pulang dengan mengambil barang-barang pribadinya di sana.

Kini tinggallah aku dan Vania yang sekarang sudah berkacak pinggang di depanku sembari memandangku dengan angkuh.

“Dasar janda gatel.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status