Share

3. Sahabat Tampan

“Dasar janda gatal!” sergah Vania mulai menyerangku dengan kata-katanya yang pedas.

Untuk ke sekian kalinya aku harus menerima stigma buruk juga kalimat yang mengkerdilkan hanya karena aku mengasuh kedua keponakanku seperti anakku sendiri.

Nyaris semua orang salah menganggapku, mereka menyangka aku janda. Bahkan Vania juga menilaiku dengan seenaknya.

Saat mendengar ucapannya yang tajam sontak aku menyergapnya dengan tatapan nyalang.

Satu persatu aku mulai melepaskan sarung tangan karet yang biasa aku gunakan saat bekerja dengan sorot mata yang kian tajam terunggah.

Perlahan aku mendekati gadis itu.

Gadis manja yang suka berkata pedas, yang sekarang mulai terlihat agak ketakutan. Sesekali ia melirik ke arah ruang kerja Jason, berharap pria yang diklaim sebagai kekasihnya segera muncul dari sana dan akan segera ia dekati untuk bisa mendapatkan perlindungan.

Aku sudah sangat bisa membaca apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.

Tapi sekarang aku sudah sangat marah saat mendengar ucapannya itu.

“Kamu bilang apa tadi?” sergahku menentang.

Vania memundurkan langkahnya saat aku kian mendekat.

“Ih kamu emang janda kan? Kalau nggak mau dibilang janda gatel ya jangan goda pacar orang lain dong. Kamu itu harusnya ngaca, emangnya pantas Jason bersanding sama cewek pekerja bengkel kayak kamu, udah dekil miskin lagi.”

Nyatanya wanita itu tetap saja memuntahkan segala penghinaan untukku. Benar-benar memuakkan.

Vania masih enggan untuk menyadari kesalahannya.

“Lagian apapun yang kamu lakukan, Jason nggak akan pernah tertarik sama cewek model kayak kamu. Cewek kayak kamu itu paling banter hanya bisa menggoda abang-abang tukang siomay, atau preman pasar. Sampai kapanpun kamu itu nggak level sama Jason.”

Gadis bermulut seperti comberan itu masih saja tidak berhenti melontarkan ejekannya yang pedas padaku. Sangat menguji kesabaranku memang.

Aku mulai tersengat amarah, hingga tanpa sadar aku mengepalkan kedua tangan.

Melihat sepasang mataku menyala karena marah, Vania mulai semakin ketakutan.

Gadis yang mengumbar pangkal dadanya itu terus melangkah mundur.

Aku terus saja melangkah maju menyergapnya dengan sorot mata penuh emosi. Aku benar-benar ingin mengintimidasinya

Tapi sebelum aku melakukan apapun untuk memberinya pelajaran karena mulutnya yang asal ngomong itu mendadak Jason sudah muncul dengan membawa tas ranselnya.

“Aku pulang dulu La, kamu bawa kunci bengkel ini ya. Biar besok aku akan samperin kamu ke rumah kamu,” ucap Jason ketika sudah berada di depanku.

Jason kemudian melemparkan kunci bengkel padaku, yang segera aku tangkap dengan tangkas. Kedatangan Jason membuatku urung untuk memberi pelajaran pada Vania yang kelakuannya selalu saja seperti ulat, suka gatal mengurusi orang lain.

Sementara Vania langsung menyongsong mendekati Jason yang malah tampak risih saat didekati.

Aku mencibir ke arahnya meski masih tak terlihat oleh Jason. Karena sahabatku itu sedang sibuk ingin menjauhkan lengannya yang terus ditarik Vania agar bisa bersenggolan dengan dadanya yang dipasang implan agar terlihat membusung menggoda.

“Ayo Jason kita pulang sama-sama,” ajak Vania sembari bergayut manja masih saja menempelkan dada besarnya itu pada lengan kokoh Jason.

Nyatanya pria blasteran itu malah menampakkan gurat tidak sukanya di hadapan Vania yang aku tahu jelas sedang berusaha untuk menggoda sahabatku itu dengan sentuhannya yang seduktif.

“Kamu apa-apaan sih Vania?”

Jason mendesah jengah sembari menjauhi Vania yang berusaha untuk terus menempel padanya.

“Kita pulang sendiri-sendiri, lagian aku bawa mobil sendiri dan kamu juga kan?”

“Tapi kita bisa satu mobil kok, kamu tinggal aja mobil kamu, terus kita bisa barengan.”

“Ish, apa kamu nggak dengar tadi, kalau pagi-pagi sekali aku harus ke rumahnya Mala?” sergah Jason kesal.

“Nggak kita tetap pulang sendiri-sendiri, aku tetap butuh mobilku buat besok.” Jason memutuskan dengan tegas.

Vania langsung terlihat bersungut-sungut sembari memajukan bibirnya yang diberi filler hingga tampak tebal seperti disengat tawon kalau menurutku.

“Ya udah La, aku pulang dulu,” ungkap Jason sembari membalikkan badan ke arah pintu keluar dan setelah itu melangkah mengabaikan Vania yang sudah tampak merajuk karena Jason tak mau menuruti keinginannya.

Tentu saja Vania akan mengejar Jason dan pastinya akan tetap berusaha untuk membujuk temanku yang tampan itu, yang memiliki sepasang mata sipit yang tajam menggoda. Pasti dia ingin menghindari seranganku untuk memberinya pelajaran karena mulutnya lemesnya yang sering kelewatan mengatai orang lain.

Tapi ketika wanita penggoda itu melirik ke belakang, aku segera mengacungkan jari tengah padanya sembari menyergapnya dengan tatapan tajam, karena aku benar-benar tidak suka dengan segala usahanya yang murahan untuk menggoda Jason.

Setelah itu aku mengabaikan mereka yang bahkan sudah tak lagi berada di dalam bengkel.

Aku benar-benar tak peduli kalaupun Jason akan tetap pulang bersama Vania. Bagaimanapun aku merasa tak perlu ikut campur dengan persoalan mereka berdua. Sampai saat ini Jason hanyalah aku anggap sahabat.

Lagipula aku cukup tahu diri, keadaan keluargaku saat ini sangatlah tak sepadan dengan keluarga Jason yang kaya raya. Yang sudah jelas aku tahu bahwa Tante Anggun sudah tak lagi suka denganku semenjak aku sudah tak dianggap anak oleh ayahku sendiri dan seluruh harta yang dimiliki bunda dirampas dengan licik oleh wanita pelakor yang bahkan sebelumnya adalah seseorang yang pernah ditolong oleh bunda.

Pada akhirnya aku kembali menekuni pekerjaanku sampai aku bisa menyelesaikannya bahkan tak sampai sepuluh menit, yang membuatku bisa menyusul waktu maghrib, tidak sampai terlewat, dan menjalankan kewajibanku sebagai hamba di mushola bengkel.

***

Karena kemarin aku pulang telat Ghana dan Ghara di pagi hari jadi semakin manja padaku. Kedua keponakanku yang sejak bangun tidur hanya ingin bersamaku, bahkan soal mandi dan sarapan pagi, mereka hanya ingin melakukannya denganku.

Mereka yang selama ini selalu memanggilku mama itu, akhirnya sekarang sudah aku dandani rapi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

“Sekarang kalian udah ganteng-ganteng,” ucapku sembari memberikan ciuman sayang pada kedua pipi Ghara dan Ghana setelah aku selesai menyisiri rambut mereka yang berombak.

“Nanti kalau di sekolah, dengerin kata-kata bunda-bunda pengajar ya, jangan nakal,” imbuhku sembari memandangi wajah-wajah mereka yang menggemaskan.

“Iya Ma, di sekolah aku biasanya juga membantu bunda-bunda,” kata Ghara jelas dengan menampakkan tampang polosnya yang begitu lucu.

Aku tersenyum lebar kelucuan mereka memancingku untuk mencubit dengan sayang kedua pipi Ghara yang memang lebih tembem.

Nyatanya setelah itu mereka berdua malah bergayut manja padaku.

Sementara bunda berdiri di dekat kami, menunggu Ghara dan Ghana bersiap dan akan segera di antar pergi ke sekolah, dengan berjalan kaki bersama karena letak sekolah mereka yang memang dekata rumah.

“Udah sekarang kalian berangkat, Eyang udah nungguin kalian.”

“Ayo kita berangkat,” ajak bunda bahagia sembari mengembangkan senyumnya yang sumringah.

Setelah segala kepahitan yang terjadi di dalam hidup bunda, kehadiran Ghara dan Ghana sungguh bagai oase yang menyejukkan hati beliau. Hingga aku melihat bunda sekarang semakin jarang meratap seakan menangisi takdir buruk yang digariskan Tuhan dalam hidupnya.

Baru saja aku akan melepas mereka hingga di depan pintu mendadak, sesosok pria muncul di ujung jalan dan segera memanggilku dengan antusias, yang membuat kami semua segera menoleh padanya.

“Mala!”

Ketika melihat kedatangan Jason, aku langsung menahan langkahku untuk menunggunya sampai ia mendekat.

Sementara bunda yang sudah menggandeng Ghara dan Ghana yang sudah aku bantu menyandang tas ransel mereka, ikut melirik pada pemuda jangkung itu, seorang blasteran yang selalu menarik perhatian para tetangga julidku setiap kali dia datang.

“Tuh Mala, pacarnya yang ganteng udah nyamperin,” celetuk salah seorang tetangga depan rumahku yang leher panjangnya langsung terulur ke arah jalan saat melihat kedatangan Jason.

Aku hanya melirik malas pada wanita berdaster batik  yang warnanya sudah pudar itu, yang sekarang bahkan sudah keluar dari rumahnya, hanya demi bisa menyapa Jason yang sudah terlihat di depanku.

“Mas Jason kok pagi datangnya?” sapa wanita yang ditinggal merantau oleh suaminya itu yang tinggal di rumahnya hanya bersama seorang bibi.

Jason mengacuhkan sapaan wanita yang biasa aku panggil Mpok Lala itu.

Aku menanggapi dengan senyuman tersungging, sampai Jason, sahabat tampanku itu mulai mengajakku berbicara.

“Ayo Mala, kita ke bengkel bareng!”

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dede Sr.
Keren sekali
goodnovel comment avatar
Dede Sr.
Sangat bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status