“Selamat pagi, Tuan dan Nona.” Madam Runi baru memasuki butik, di mana Selma dan Panji sudah duduk di dalamnya.Wanita berusia hampir kepala lima itu terheran-heran meihat calon mempelai yang duduk dari sudut ke sudut kursi panjang. Daripada disebut sepasang pengantin, mereka–Selma dan Panji–lebih pantas disebut sebagai orang asing yang kebetulan memiliki kepentingan di butiknya.Panji berdiri. “Pagi, Madam,” sambutnya. “Bisa kita langsung ke intinya saja? Masih ada banyak yang harus kita urus setelah ini,” pinta pria itu.“Tentu, Tuan. Mari, Nona Selma bisa mengikuti saya, sementara Tuan sendiri bisa menunggu di sini.” Madam Runi setengah membungkuk, kedua tangannya mengarah ke tirai ruang ganti.Tanpa pamit, Selma menuntun kakinya ke lokasi yang ditunjukkan Madam Runi. Gadis itu mengunci suara sejak insiden amuk mendadak di depan rumah tadi. Seperti itulah dirinya yang cerewet dibuat anteng dengan mudah. Entah bagaimana kelanjutan ‘Renjani’ yang ia sebutkan, pria yang seharusnya
“Ah, segala hal yang ada di diri gue emang nggak pernah salah.” Selma mengedipkan sebelah mata pada bayangannya dalam cermin. “Kecuali tentang suami,” imbuhnya, bernada sesal. Senyum yang semula mengambang pun perlahan terbenam.Hari ini adalah tanggalnya, momen di mana gadis 21 tahun itu meresmikan status sebagai Nyonya Antaraxa, duda kaya yang memaut sepuluh tahun dari usianya. Sejarah hidup terkelam dalam lembaran Selma, kebahagiaan ratusan manusia yang memenuhi ballroom sama sekali tidak menjangkit pada hatinya.Masih dengan gaun cantik yang dijuluki sebagai busana duka oleh calon suaminya, tambahan kalung permata safir semakin membuat gadis itu bak putri dongeng yang kebetulan berjodoh dengan tokoh anime. Entah apa yang tengah dilakukan Panji di ruang sebelah, gadis itu tinggal menunggu nyonya penata busana kembali dari mengambil sepatunya.Ceklek!Selma menoleh ke arah pintu. “Apa sepatuku sud—Viko!” Kelopak mata gadis itu melebar, bulu mata lentiknya sampai terasa menusuk.
“Ah, kenapa mereka lama sekali?” Jemari Panji meremas-remas tidak tenang, tatapannya terpaku pada pintu besar yang akan menjadi jalan masuk bagi calon mempelai wanita.Ini sudah lewat sepuluh menit dari jam yang seharusnya. Akan tetapi, mata Panji tidak kunjung disapa gadis cantik yang ia tinggakan 25 menit lalu. Seharusnya dari pintu emas itulah Selma muncul bersama Sasmara, berjalan di tengah perhatian seluruh tamu undangan yang telah duduk menjamur, seraya membawa buket mawar putih ke arahnya.“Panji!” desis Damar, melambaikan tangan dari bawah pelaminan. “Ke marilah!” suruh pria itu.Tampak ada yang tidak beres, Panji merasakan gelagat aneh dari orang-orang sekitarnya. Akhirnya, pria itu turun dan menyapa iparnya tersebut. “Ada apa ini? Harusnya kita mulai dari tadi, tapi mana Selma?”“Itu dia masalahnya.” Damar menggaruk leher. “Selma … tidak ada,” lirih Damar, sangat hati-hati.“Apa maksudmu dengan tidak ada?” Bukan hanya volume, bahkan sekujur urat Panji ikut menanjak.“H
"Aaaa!" Selma memejamkan matanya rapat-rapat, kepalanya mengobat-abit. Sekian detik kemudian, terdengar pekikan Panji. "Mati saja kau, Gatra!" Pria itu bersiap menyerang musuh meski dengan tangan kosong. "Kamu yang sepantasnya mati!" Gatra beralih mengurusi Panji, mengangkat bangku kecil yang sebelumnya hendak dilemparkan pada Selma. Melihat kegaduhan dua pria itu, Selma berusaha melonggarkan ikat yang membelenggu kaki tangannya. Apalagi melihat Panji kewalahan menghadapi kegilaan Gatra, gadis itu semakin ingin terbebas. "Duh, gimana, nih? Om Panji bisa kalah kalau gitu caranya." Jika tidak ingat waktu berjam-jam yang dihabiskan untuk memoles wajah, Selma tidak perlu menahan air cengengnya. Brak! Panji bergulung di lantai, beruntungnya bangku itu tidak berhasil mendarat di kepalanya. Dengan napas yang terengah, pria itu menyempatkan diri melirik Selma, memastikan gadis itu tidak mengakami hal buruk. Aman, tetapi ia harus mengulur waktu sebisa mungkin hingga
"Selamat, ya, kalian telah resmi menjadi pasangan suami-istri." Hampa. Bisa-bisanya ia yang baru saja menjadi korban sandera langsung diminta menempati singgasana mempelai tanpa diberi toleransi waktu sedikit pun. Selma menatap pria yang berdiri di sampingnya, tampak tenang seolah tidak memiliki masalah apa pun sebelumnya. "Istri?" lirih Panji, sengaja menyetel suaranya agar didengar Selma seorang. "Bodoh!" kutuk Selma, "Nggak usah ngelawak, nggak lucu," sahutnya, seraya mencebikkan bibir; menahan tangis. Panji merangkul pinggang gadis itu. "Nggak usah nangis, mana ada istrinya Panji tukang mewek," ledek pria itu. Tepat sekali. Lima menit lalu, Selma resmi mencantolkan marga Panji ke dalam nama indahnya. Sepasang mempelai yang berpura-pura bahagia di tengah riuh ratusan tamu undangan itu begitu rapat menyembunyikan inti masalah meski kabar kedatangan sejumlah aparat penegak hukum telah menyebar. Keduanya masih menamatkan wajah anggota keluarga masing-mas
“Tadi aku sudah bilang untuk tidak menangis, ‘kan?” Baik Panji maupun Randi, keduanya sama-sama menenangkan tangis pasangan masing-masing. Entah chemistry jenis apa yang sudah dibangun dua saudara sepersepupuan itu, tampaknya tidak seorang pun berhasil menerjemahkannya. “Hei, masih ada ponsel. Kalian bisa teleponan sampai puas nanti,” hibur Randi, tetapi tidak diindahkan sama sekali oleh dua wanita yang mengumbar air mata tanpa suara itu. “Kenapa mendadak, sih, San?” Selma mengelap ingusnya dengan tisu yang baru diserahkan Panji. “Tega, ya, lo!” decaknya. Sana meraih tangan Selma. “Maaf, Sel. Sebenarnya Kakek sama Papa yang udah siapin ini. Kamu sibuk ngurus pernikahan, makanya aku diam aja, nggak mau bikin kamu drop tiba-tiba,” paparnya. “Nggak! Gue nggak kasih izin buat kalian pergi!” Selma menarik tangannya dari jangkauan Sana. “Sel, come on.” Panji menolehkan wajah gadis itu agar menghadapnya. “Kamu nggak bisa egois kaya gini,” nasehatnya. “Om Panji
"Ayo, bangun!" Panji menuntun lengan Selma, memposisikan gadis itu di sisinya. "Kamu kenal sama perempuan ini?" Masih hening, gadis yang ditanya sibuk menyeka air mata. "Kebangetan, kalau sampai nggak kenal!" sahut wanita berjaket bulu di hadapan mereka. "Gara-gara kamu, anak saya jadi kena masalah!" Wanita itu menuding Selma. Panji menepis telunjuk yang teracung ke wajah istrinya, lalu mengatakan, "Hati-hati, Nyonya. Tangan Anda seperti minta dimutilasi, ya!" Pria itu kemudian mengelus pipi Selma. Air mata yang semula membanjir seolah terserap, Selma menatap wajah teduh yang dipamerkan pria itu. Entah apa maksudnya, tetapi ia merasa nyaman. Pikirannya kacau oleh kharisma kebapakan yang dipamerkan Panji. Gadis itu heran, adakah yang salah dengan debaran jantungnya? "Sudah merasa hebat karena mencampakkan anak saya? Ternyata, seleranya ... tcih!" "Om, kita pergi aja, yuk?" ajak Selma, mulai tidak nyaman karena menjadi perhatian orang lain. "Pergi, sana, yang
"Om nggak tidur?" Selma baru keluar dari kamar mandi, wajahnya lebih segar; sepertinya baru selesai dibasuh. Pria yang tampak punggungnya saja itu kemudian menoleh, air mukanya tampak sayu meski kesan garang masih lekat ditampilkan. Panji menekuk sebelah kakinya ke atas kasur, lalu menepuk bidang yang masih luas itu sembari menatap sang istri. "Tidur duluan, gih. Kamu pasti capek, 'kan?" sahut pria itu. Selma nyengir masam. "Dih, sok tahu!" cibirnya, "Kalau ngantuk tidur aja kali, Om, aku nggak juga bakal ngapa-ngapain sama situ," imbuhnya, disertai lirikan yang seolah menyindir. Entah berapa kali dalam sehari Panji harus menghela napas untuk kelakuan gadis trantum satu itu. Belum genap sehari diperistri saja sudah membuat tangannya mati-matian ditahan agar tidak mengelus dada. Untuk apa ia merasa bersalah jika Selma malah semena-mena? Detik-detik pertama, pria itu masih diam memperhatikan Selma dengan rutinitas kecantikannya. Beberapa waktu selanjutnya, tepat