Share

Bagian (2) : Perselisihan Abah dan Umi

PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIAR

Penulis : David Khanz

(Bagian 2)

Hamizan, Arumi, Bi Inah, dan Mang Karta, duduk berkumpul di atas sofa, melingkar di ruangan depan. Ditambah lagi dengan kehadiran dua orang lainnya, yaitu Pak RT beserta istrinya. Pihak laki-laki dan perempuan, sengaja memilih berada agak berjauhan, menyisakan celah tersendiri di antara dua kelompok tersebut. Sementara, keempat sosok tadi, baru saja menyantap makan malam bersama-sama sebelumnya.

“Baik …..” Hamizan memulai membuka suara sebagai pihak tuan rumah. Menatap lurus ke depan dan terkadang ke bawah, tanpa mau beradu tatap dengan Arumi. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.”

Serempak, ucapan pembuka Hamizan baru saja tersebut, dijawab oleh kelima sosok yang hadir di sana secara berjamaah. 

Setelah menghaturkan terima kasih pada Pak RT dan istrinya, atas pemenuhan undangan kedatangan mereka ke rumah, Hamizan pun lanjut membuka pertemuan tersebut.

“Mang Karta, Bi Inah, Pak RT, serta Ibu RT ….,” ujar Hamizan kembali seraya menunjuk sosok tua, kedua asisten rumahnya, dan pihak ke-RT-an setempat menggunakan jari jempol, “ … sengaja, saya ikut sertakan di sini bersama-sama, tidak lain adalah … saya tunjuk, bertujuan untuk menjadi saksi.”

Pak RT dan istrinya mengangguk-angguk sambil —sesekali— melirik pada sosok Arumi yang duduk di samping Bi Inah.

“Malam ini, saya kedatangan tamu. Ini … namanya Neng Arumi,” imbuh kembali Hamizan, menunjuk sosok perempuan yang telah lama menjadi kekasihnya. “Jauh-jauh, datang dari Tasikmalaya ke Jakarta ini hanya seorang diri, Pak-Bu RT.”

“Masyaa Allah, jauh banget, Neng,” ujar Ibu RT terkejut. “Naik apa ke sini? Angkutan umum?” tanyanya lebih lanjut.

Arumi menjawab sambil menganggukkan kepala, “Muhun, Bu. Naik beus.”

(Iya, Bu. Naik bis.)

“Apa, Neng? Naik Zeus?” tanya Mang Karta kaget.

Serempak semua mata langsung terarah pada suami Bi Inah tersebut.

“Bukan Zeus, Mang, tapi beus. Bis, kalau istilah di kita mah.” Yang membantu menjawabkan adalah Hamizan.

“Oh, kirain saya … Zeus, Den,” timpal Mang Karta langsung memahami. Namun kini justri Hamizan yang balik merasa bingung dan lekas bertanya, “Zeus? Nama Dewa orang Yunani kuno?”

Menjawab lelaki tua tersebut, “Bukan, Den. Itu loh, yang suka dimainin sama orang-orang pake HP, tapi kudu depo dulu.”

Mendengar ucapan suaminya, Bi Inah pun langsung meradang. “Ih, Bapak!” serunya pada Mang Karta. “Orang Den Izan lagi ngomong serius, Bapak bercanda saja! Kebiasaan, tua-tua masih suka main slot-slotan terus! Malu-maluin saja!”

Seketika, Hamizan pun menoleh pada sosok tua lelaki di sampingnya tersebut. “Astaghfirullahal’adziim.”

“Tuh, bilangin sama suami saya, Den. Jangan main begituan terus, ‘gitu. Haram!” lanjut Bi Inah menyerocos pada Mang Karta.

Hamizan menarik napas dalam-dalam. Dia mencoba menenangkan perseteruan mendadak antara kedua sosok asisten rumahnya tersebut.

“I-iya … iya, nanti, Bi. Sekarang, kita lagi fokus membahas persoalan lain dan lebih penting. Jadi, Bibi tahan dulu, ya?,” ujar lelaki muda itu. Lalu menoleh pada Pak-Bu RT diiringi senyum-senyum kelu. “Maaf ya, Pak-Bu. He-he. Ada sedikit intermezo di sini. Haduuhhh.”

Untunglah, pihak ke-RT-an bisa memaklumi keadaan tersebut. “Tidak apa-apa, Pak Izan. Wajarlah, di usia seperti Pak Karta dan Bu Inah ini, memang lagi dalam masa lucu-lucunya, He-he,” kata Pak RT bermaksud mencairkan ketegangan yang terjadi sesaat itu.

Diam-diam, Pak Karta dan Bu Inah saling mencibir satu dengan lainnya.

“Silakan dilanjut lagi, Pak Izan.” Kali ini pihak Bu RT yang berkata, setelah terlebih dahulu melihat-lihat waktu yang ditunjukkan pada jam dinding. ‘Haduh, mudah-mudahan saja, acara pertemuan ini tidak bakalan lama. Soalnya, sekarang ‘kan, malem Jumat. Mana si Bapak sudah ngasih kode terus sama aku. Hi-hi,’ membatin istri Pak RT tersebut dan tanpa sadar diiringi senyum-senyum simpul.

Di antara keenam orang yang ada di ruangan itu, hanya Arumi sendiri yang tidak banyak bersikap. Sejak awal duduk, perempuan muda yang berusia 25 tahun tersebut, hanya menundukkan kepala, serta sesekali memperhatikan kuku jempol Bi Inah yang kèkèongeun atau paronikia alias cantengan.

Seketika itu pula, benak Arumi lantas teringat pada sosok ibunya, Umi Afifah. Bukan karena hal menjijikkan tadi. Lain dari itu adalah membayangkan perasaan orangtuanya kini, pasti tengah merasa khawatir, risau, maupun kalang kabut, bahwa dirinya telah kabur dari rumah.

Bukan tanpa sebab Arumi nekat melakukan hal demikian. Perempuan tersebut merasa, sudah tidak ada lagi pilihan lain yang bisa dilalakukan untuk menunjukkan ketidaksukaannya akan keputusan sang ayah, KH. Bashori, beberapa waktu sebelum hari itu.

Arumi menangis tersedu sedan di pelukan ibunya. 

“Tolonglah, Umi. Arum tidak mau dijodohkan. Arum ingin membina rumah tangga dengan laki-laki yang Arum sendiri cintai,” rengek perempuan muda tersebut di bawah tatapan garang ayahnya.

Dengan lembut, Umi Afifah mengusap kepala anaknya dan berkata pelan-pelan, “Iya, Nak. Umi paham sekali apa yang kamu pikirkan itu. Tapi, keputusan Abah untuk menikahkanmu dengan Ustaz Basil, adalah demi kebaikanmu juga.”

Arumi melepaskan pelukan dari tubuh ibunya, lalu berkata lantang, “Tidak! Ini bukan demi kebaikan Arum, tapi demi kepentingan Abah sendiri!”

Mendengar ucapan sang anak, sontak kelopak mata KH. Bashori menyorot galak. “Bukan hanya kepentingan Abah, tapi demi masa depan kamu sendiri, Arum! Ingat, Basil itu anak teman Abah sendiri. Sama-sama punya pesantren. Kelak kalau kamu menikah dengan anak KH. Anam, kehidupan beragamamu akan lebih terjamin. Ini perkara dunia-akhirat, Arum! Kamu harus sadar itu!” sentak laki-laki tua berusia 60’an tahun tersebut.

Bukannya tersadar dan menurut terdiam, malah Arumi semakin menggebu-gebu mengungkapkan keberatan atas rencana perjodohan dirinya dengan Ustaz Basil Basyiruddin tersebut.

“Bagaimana mungkin urusan akhirat bisa tercapai, Abah, sementara perkara di dunianya saja harus dijalani dengan ketidakikhlasan?” balas anak perempuan kedua KH. Bashori dan Umi Afifah itu, dengan sengit.

“Berarti kamu harus banyak-banyak bersyukur. Kuncinya ya itu, bersyukur. Bukan malah menuntut banyak,” kilah KH. Bashori semakin nyaring intonasi suaranya. “Contoh tuh, kakakmu sendiri. Azizah. Dia nurut sama Abah dan Umi. Makanya sekarang … lihat, rumah tangga Azizah baik-baik saja, bahagia, dan harmonis. Dulu pun mulanya sama seperti kamu, menolak Abah jodohkan dengan Ustaz Muzakir.”

Arumi menggeleng-geleng, merasa tidak setuju dengan pendapat ayahnya baru saja.

“Tidak, Bah. Yang Abah lihat sekarang sama Kak Azizah, itu hanya luarnya saja, Abah,” ungkap Arumi kembali diselingi sedu sedannya. “Abah sama sekali tidak tahu, bagaimana perasaan Kak Azizah selama ini. Atau jangan-jangan Abah-nya saja yang tidak mau memahami kondisi anak sendiri?”

“Arum! Jangan kurang ajar kamu sama orangtua!” bentak KH. Bashori seraya bangkit dari duduknya.

“Abah, istighfar, Abah,” pinta Umi Afifah buru-buru menengahi. “Pelan-pelan bicaranya. Jangan sampai terdengar sama Azizah dan Muzakir.”

Lelaki tua itu lekas duduk kembali sambil mengusap dada dan melafalkan kalimat ‘astaghfirullahal’adziim’.

“Umi juga yang selama ini mendidik Arum dengan cara seperti itu,” tuding KH. Bashori tiba-tiba terhadap istrinya. “Bicara dengan Arum itu tidak perlu lemah lembut, Umi. Dari kecil dia sudah keras kepala dan sering membangkang sama omongan Abah.”

“Loh, bukannya karena faktor keturunan dari Abah sendiri yang begitu?” balas Umi Afifah. “Abah sendiri ‘kan, orangnya keras, Bah.”

Mata tua yang sudah mulai tenang dan redup baru saja, kini kembali membelalak ngeri menatap wajah istrinya.

“Umi menuduh Abah? Kok, Abah yang disalahkan? Bukannya selama ini anak perempuan selalu dekat dengan ibunya? Ya, Umi sendiri!” ucap KH. Bashori berkilah. “Seorang ibu itu, madrasah bagi anak-anaknya, loh.”

“Terus Abah juga tidak punya kewajiban untuk mendidik dan membimbing Umi dan anak-anak? Begitu, Bah?” Umi Afifah kini yang mengotot.

Arum menutup telinga mendengar perdebatan kedua orangtuanya. Setelah itu, dia berlari dari sana. Menghindar dan masuk ke dalam kamar sendiri.

Di saat yang bersamaan, sepasang mata ikut memperhatikan perseteruan antara KH. Bashori dan Umi Afifah dari balik tirai ambang pintu. Sosok itu mengelus dada yang terasa nyeri, diiringi linangan air mata yang hangat menganak sungai di pipi.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status