Share

Perempuan Bermahar Lima Miliar
Perempuan Bermahar Lima Miliar
Penulis: David Khanz

Bagian (1) : Arumi Melarikan Diri

PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIAR

Penulis : David Khanz

(Bagian 1)

Petang itu, Hamizan baru saja usai melaksanakan kewajiban ibadah salat Isya, tiba-tiba terdengar suara bel rumah berdentang. Lekas lelaki tersebut melipat sajadah dan bergegas keluar dari kamar.

Namun baru saja membuka pintu, Bi Inah pembantu di rumah itu, sudah mendahului menuju ruang depan. “Biar saya yang bukain, Den,” ujar wanita tua berusia sekitar 60’an tahun tersebut seraya menahan gerak langkah Hamizan.

“Oh, baiklah, Bi. Terima kasih, ya,” kata anak muda itu sembari melemparkan senyuman. “O, iya … Mang Karta di mana, Bi?” tanyanya lebih lanjut, tentang sosok lelaki yang merupakan suami dari Bu Inah tadi.

“Ada di belakang, Den. Nanti saya panggilkan setelah saya ke depan,” jawab Bi Inah disertai jari jempol menunjuk ke arah ruangan depan tadi. Maksudnya terlebih dahulu akan memeriksa siapa orang yang bertamu sepetang itu ke rumah, kemudian membantu memanggilkan suaminya.

“Ah, tidak usah, Bi,” timpal Hamizan dengan cepat. “Biar saya sendiri yang ke belakang. Bibi lihat saja dulu di depan, siapa yang datang itu. Oke?”

Bi Inah mengangguk hormat, lantas menjawab, “Baik, Den.”

Hamizan berbelok menuju arah belakang, ruangan dimana  tempat biasa Mang Karta dan Bi Inah berada pada waktu-waktu tersebut. Dia pikir, mungkin yang membunyikan bel di depan itu adalah petugas kurir atau seseorang yang tidak terlalu penting untuk ditemui.

“Ya, Allah … Neng Arum?” seru Bi Inah begitu membukakan pintu depan.

Sesosok perempuan muda berusia 25 tahun, tampak berdiri mematung di beranda rumah. Terlihat kedinginan dalam keadaan basah kuyup dan kedua tangan menyilang lipat di depan dada.

“B-bi ….,” sebut sosok yang dipanggil Arum tersebut menatap lekat pada Bi Inah. “M-mas Izan-nya a-ada, Bi?” imbuhnya bertanya dengan suara tergagap, kedinginan.

Sejenak wanita tua itu malah terdiam kaku. Terpana, karena entakkan rasa kaget, melihat sosok yang sudah begitu dia kenal sebelumnya.

“Ada, Neng, ada,” jawab Bi Inah lirih. “Ya, Allah … kenapa hujan-hujanan begini, Neng? Ayo, masuk,” ajak orang tua tersebut seraya hendak menggandeng lengan perempuan bernama Arum tadi, agar segera masuk ke dalam rumah.

“Tidak usah, Bi. Biar saya menunggu di luar saja,” balas Arum menolak ajakan pembantu rumah Hamizan itu.

Namun Bi Inah tetap bersikukuh memaksa. Apalagi melihat cuaca pada petang itu, masih turun rintik hujan semenjak sore tadi.

“Jangan, Neng. Ayo, masuk sekarang juga,” paksa orang tua tersebut sambil menarik-narik tangan tamu istimewa itu. “Kasihan sekali Neng ini sampai … Yaa Allah, basah kuyup begini. Ayo, ke dalam.”

Kali ini Arum terpaksa mengikuti ajakan Bi Inah. Melangkah memasuki rumah dengan langkah gontai dan tubuh menggigil kedinginan.

“Sudah, Bi. Saya nunggu Mas Izan di sini saja.” Arum berhenti berjalan secara tiba-tiba. Berdiri tepat membelakangi pintu depan yang masih terbuka lebar.

Bi Inah mendesah, lirih.

“Jangan, Neng. Ayo, ganti dulu pakaiannya,” kata wanita tua tersebut miris memperhatikan kondisi Arum yang tidak henti-hentinya menggigil. “Pakai saja dulu baju-baju saya buat sementara. Yang ini ….” Bi Inah menunjuk sekujur tubuh perempuan muda di hadapannya tersebut. “ … biar saya cuci dan keringin sekarang juga. Ya, Neng, ya?”

Arum menggeleng pelan. Menolak tawaran bantuan yang hendak diberikan oleh pembantu rumah Hamizan itu.

“Ya, Allah … Neng,” desah kembali Bi Inah semakin merasa kasihan melihat kondisi Arum. Sekujur badan, termasuk balutan kain jilbab yang menutupi kepala, basah kuyup terkena guyuran hujan.

Akhirnya, karena tidak kunjung mengikuti ajakan tadi, sosok wanita tua itu pun bermaksud mengambilkan seperangkat pakaian pengganti di kamar. Sekalian memanggilkan Hamizan yang mungkin saja saat itu sedang bersama Mang Karta, sang suami.

“Neng Arum tunggu di sini sebentar, ya?” pamit Bi Inah mewanti-wanti. Lalu menutup daun pintu, agar embusan kencang angin dari luar, tidak masuk dan menerpa tubuh tamunya tersebut. “Duduk saja dulu. Saya panggilkan dulu Den Izan-nya.”

Arum mengangguk, tapi masih juga bertahan untuk tetap berdiri di tempatnya tadi. Tidak memilih duduk-duduk, karena kondisi pakaiannya yang basah kuyup. Dia melihat-lihat sekeliling ruangan di sana, tampak begitu lega dan tertata rapi dengan berbagai perabotan indah serta mewah.

Benar saja sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Bi Inah sebelumnya, Hamizan sedang duduk-duduk bersama Mang Karta di kamar. Kedua lelaki berbeda usia tersebut, serempak menoleh begitu dirinya muncul di ambang pintu kamar.

“Den ….,” panggil Bi Inah dengan suara lirih.

“Siapa tadi tamunya, Bi?” tanya Hamizan disertai kening berkerut, saat melihat raut wajah sosok pembantunya itu tampak muram. 

Wanita tua tersebut tidak langsung menjawab. Tatap matanya, sejenak melirik pada sang suami, Mang Karta. Lantas beralih kembali pada Hamizan, sosok anak muda yang sudah bertahun-tahun bersama-sama, semenjak keluarga majikannya itu masih utuh, dulu.

Bi Inah pun menjawab usai menelan seteguk ludah, “Di depan ada Neng Arum, Den.”

Seketika, baik Hamizan maupun Mang Karta tersentak kaget.

“Apa? Astaghfirullahal’adziim!” seru anak muda tersebut terkaget-kaget, lalu sontak bangkit dari duduk santainya di atas karpet, diikuti oleh Mang Karta dengan kelopak mata membulat besar. “Kenapa datang semalam ini? Sama siapa, Bi?” imbuhnya kembali Hamizan bertanya. Seketika dia membayangkan satu sosok lain, selain Arum sendiri. “Apa Arum datang sama—”

Tukas Bi Inah singkat, tapi bersuara lirih dan perlahan, “Sendiri, Den.”

Kembali anak muda tersebut mengucap istighfar. Maka tanpa bertanya-tanya kembali, cepat-cepat dia keluar dari dalam kamar, bergegas menuju ruangan depan hendak menemui sosok Arum.

“Neng ….?” sebut Hamizan begitu tiba di ruangan, dimana Arum saat itu berada. Berdiri di belakang daun pintu dengan kedua tangan menyilang di depan dada. 

Arum menoleh lunglai dengan sorot mata sayu beradu tatap bersama sosok lelaki tersebut. “Mas Izan ….,” balas Arum kemudian.

“Astaghfirullahal’adziim. A-apa yang terjadi sama kamu, Neng?” tanya Hamizan bingung. 

Sesaat anak muda tersebut memperhatikan pakaian basah yang melekat di sekujur tubuh perempuan itu. Lalu memanggil-manggil Bi Inah.

Tidak berapa lama, sosok yang dipanggil pun muncul sambil membawakan seperangkat pakaian di tangan. Diikuti oleh suaminya, Mang Karta.

“Sudah saya siapin, Den,” kata Bi Inah dengan kedua tangan terangkat sebatas perut, memperlihatkan pakaian ganti miliknya, yang tadi sempat ditawarkan pada Arum. “Tadi sudah saya tawarin, tapi Neng Arum-nya menolak.”

“Ya, Allah ….,” desah Hamizan lirih. “Cepat, ganti dulu pakaianmu ya, Neng. Nanti masuk angin.”

Kali ini, Arum langsung mengiyakan. Tidak lagi bersikeras menolak, sebagaimana yang dilakukannya tadi terhadap Bi Inah.

“Mang ….!” panggil Hamizan pada Mang Karta yang terlihat ikut membalik badan mengikuti Bi Inah dan Arum. “Mau ke mana?”

Seketika, lelaki tua suaminya Bi Inah itu tersadar. Dia menepuk kening sendiri sambil terkekeh menyebalkan.

“Astaghfirullah! Lupa saya, Den. He-he,” ungkapnya seraya kembali memutar arah langkah mendekati Hamizan. “Maaf, Den. Beneran, saya lupa.”

Anak muda tersebut tersenyum miring, kecut. Lantas berkata, “Tolong, Mamang bilangin sama Bi Inah, siapin makan malam buat Arum ya, Mang.”

Mang Karta menjawab, “Baik, Den. Saya laksana—”

“Tapi jangan sekarang!” tukas Hamizan sembari menahan gerak langkah laki-laki tua tersebut yang dengan sigap, hendak bergegas menuju ruangan belakang. “Tunggu sampai Bi Inah, istri Mamang, beres mengurus Arum.”

“O, iya. Tentu saja, Den. He-he,” balas Mang Karta mengekeh sendiri. Memperlihatkan barisan giginya yang berwarna kecoklatan dan sebagian sudah pada tanggal.

“Satu lagi!” ujar Hamizan, lagi-lagi menarik siku Mang Karta yang bersiap-siap pergi. “Malam ini, Mamang tidur sendiri. Biar Bi Inah nemenin Arum di ruangan atas sana,” imbuh kembali anak muda tersebut seraya menunjuk loteng, lantai atas rumah itu yang terdapat beberapa ruangan lain, termasuk kamar tidur khusus tamu.

Usai mendengar perintah dari Hamizan, Mang Karta pun lantas tersenyum-senyum menggoda.

“Ciee … ciee … ciee ….,” ledek sosok suami Bi Inah itu. “Kenapa tidak diajak tidur bareng Aden Izan saja, Den? Apalagi hujan-hujan begini. Hi-hi. Pasti lebih—”

“Astaghfirullah! Dosa, Mang! Belum halal!” seru Hamizan terkaget-kaget.

“Eh, i-iya … astaghfirullahal’adziim! Maaf, Den. Saya khilaf ngomong,” ungkap Mang Karta langsung membekap mulut sendiri. “Haduh! Kenapa ini mulut tidak bisa dikondisikan, ya? Asal saja kalau bunyi!”

Hamizan memegangi kening sambil menggeleng-geleng miris. “Allahuakbar ….,” desahnya kemudian usai melirik pada Mang Karta.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status