Share

Ketika Depresi itu Datang (8)

 -8-

Ketika Depresi itu Datang

Adrian membereskan botol vipe, sloki, abu beserta putung-putung rokok yang bertebaran di lantai dapur. Laki-laki itu mulai membongkar laci-laci lemari, setelah ia membersihkan lantai dapurnya.. Adrian pun dibuat terkesima, ketika matanya menemukan beberapa botol vipe lainnya tersimpan dalam lemari. Dengan perasaan jengkel, adik Sandy Keenan itu mengeluarkan botol-botol yang tersusun rapi itu kemudian membuang isinya ke dalam wastafel.  Setelah diyakininya tidak ada setetes cairanpun yang tersisa, ia menjinjing botol-botol itu ke halaman belakang lantas dilemparkannya ke dalam bak sampah.

Setelah semua dirasa beres, laki-laki itu pun mencuci tangan sebelum kembali ke dalam kamar. Ia berhenti sejenak ketika melewati kamar kakak iparnya. Samar-samar, pemuda itu mendengar suara kegaduhan dari dalam. Sekitar 5 sampai 10 menit, kegaduhan itu pun mereda.

“Adrian…” desahnya kemudian, “selamat, ya! Kamu sudah menjerumuskan hidupmu sendiri, demi si gila Sandy,” gumamnya sembari berlalu menuju kamar.

****

Setelah merasa sedikit tenang, Adrian kembali ke kamarnya. Berbaring di atas ranjang. Resah dengan pikirannya sendiri. Baginya, sepertiga malam terakhir kali ini, terasa berjalan sangat lambat.

“Apa Kak Rin akan baik-baik saja, kalau surat gugatan itu aku berikan padanya?”

Surat gugatan cerai itu masih tersimpan rapi di dalam laci meja di sisi ranjang Adrian. Dan mengingat keberadaan surat itu, mau tidak mau membuatnya merasa gelisah. Ada rasa khawatir jauh dalam relung batin laki-laki bermata coklat itu. Alih-alih, berusaha membantu kakak iparnya keluar dari kemelut gangguan mood yang dialaminya, justru hal tersebut bisa saja membuat gangguan mood Airin semakin parah. “Kenapa sampai sekarang, Kak Sandy tidak berusaha mengobati Kak Rin?” Pertanyaan demi pertanyaan terus berkutat dalam pikirannya.

****

Suara kokok ayam terdengar dari kejauhan, sebagai pertanda bahwa mentari bersiap untuk menempati singgasananya. Hari ini adalah hari pertama Adrian bekerja di tempatnya yang baru, ia pun mulai menyiapkan segalanya. Laki-laki itu pun menyempatkan diri mengintip ke dalam kamar kakak iparnya. Karena ia merasa, kamar Airin terlalu hening.

Adrian menemukan Airin yang tengah terlelap seperti bayi. Di lantai kamar, nampak sisa putung dan abu rokok berserakan. Dengan bergegas, laki-laki itu pun membereskan semua. Menyapu dan mengepel kamar Airin dengan hati-hati, nyaris tanpa ada suara. Ia tidak ingin Airin terbangun lalu mulai berulah di hari pertamanya bekerja.

Adrian bergerak cepat, membereskan rumah serta menyiapkan sarapan. Setelah semuanya beres, laki-laki tampan itu pun berangkat tanpa pamit kepada kakak iparnya.

Adrian tak lagi sempat memikirkan banyak hal. Ia hanya ingin menemui Sandy di tempat kerja, lalu memohon kepada kakak laki-lakinya itu. Bahwa ia tak ingin menemani Airin lagi, karena hidupnya terlalu berharga untuk tertawan di sana. Lagi pula, ia pun tidak merasa yakin bisa menangani Airin dengan baik.

Setelah berbasa-basi dengan beberapa staf di unit tempat kerjanya seusai praktek, Adrian mulai mencari Sandy di unit bedah. Wajahnya cerah, ketika ia menangkap sosok laki-laki yang tengah berbicara serius dengan seorang dokter cantik berkaca mata.

“Permisi,” Adrian menegur.

Sandy berbalik, sebuah senyum merekah di bibirnya. “Hai, Yan.”

Adrian tersenyum, lalu mengangguk kea rah Hanna.

“Kamu ingat dengan dia?” tanya Sandy seraya menepuk bahu Hanna lembut.

Adrian menatap Hanna sesaat. Sebelum ia berujar, Sandy telah kembali bicara.

“Dia Hanna, teman SMA kakak dulu.”

“Oh!” Adrian manggut-manggut.

Hanna tersenyum ramah, seraya mengulurkan tangan menyalami Adrian yang di sambut dengan uluran tangan Adrian.

“Hai, Kak,” sapa Adrian ramah.

“Yan, ternyata kamu enggak terlalu jauh berubah, ya,” Hanna berujar.

Adrian tertawa. “Aku masih begini-begini saja, Kak.”

“Bagaimana hari pertamamu bekerja?” tanya Sandy kemudian. “Apa semua baik-baik saja?” tanya Sandy.

Adrian tersenyum, “Ya. Semua berjalan lancar.”

“Aku senang kamu bekerja di sini, Adrian,” Hanna berujar, “oh iya, kamu bisa, kan, menjadi saksi di hari pernikahan kami nanti,” sambungnya.

Adrian tertegun, lalu menatap Sandy yang juga tengah menatap ke arahnya.

“Kami akan menikah bulan depan,” terang Sandy cepat.

“Oh,” Adrian tersenyum, “ baguslah,” ujarnya sambil manggut-manggut, penuh keraguan.

“Kak,” Adrian kembali berujar setelah sempat terdiam sepersekian detik, sambil menatap ke arah Sandy. “Boleh kita bicara sebentar?”

“Ya,” Sandy menjawab cepat.

“Baiklah,” Hanna memotong. “Sebaiknya, aku tinggalkan kalian,” ujar Hanna tersenyum. setelah mengangguk ke arah Adrian, perempuan berkuncir kuda itu pun berlalu.

“Apa kau gila,” ujar Adrian penuh tekanan, setelah kepergian Hanna.

“Apa kau sudah berikan amplop itu pada Airin?” tanya Sandy balik bertanya.

“Aku tidak bisa memberikan padanya, Kak. Hari ini mood-nya sedang tidak baik,” terang Adrian.

“Kamu tidak akan pernah mendapatkan kesempatan, Yan. Perubahan mood yang dialami Airin itu semakin parah. Jadi, buat apa kau tahan-tahan lagi.”

“Ayolah, Kak. Bagaimana bisa kakak berbuat seperti ini.”

“Aku hanya manusia biasa, Yan.”

Adrian menatap Sandy dengan frustasi. Bahkan ia tak yakin bahwa Sandy bisa memahami kondisinya.

“Sudahlah!” Sandy berujar kemudian. “Abaikan saja Airin. Bila kau tidak tahan dengan perilakunya, tinggalkan saja dia,” ujar laki-laki itu pada akhirnya dengan kesal.

Adrian terdiam sambil menatap ke arah Sandy dengan tatapan mata kecewa. Laki-laki itu pun beringsut mundur, kemudian berbalik meninggalkan Sandy. Pikirannya buntu. Rasanya saat itu juga, ia ingin meledakkan kakak laki-laki itu hingga berkeping-keping.

****

Matahari mulai tergelincir ke ufuk timur. Pendar kemerahan mulai terlukis di ujung cakrawala. Airin duduk bersengkil di jendela dapur. Matanya mengawasi tanaman dalam pot yang tersusun di antara tanaman perdu.

“Ya Tuhan, aku tahu. Ada banyak hal yang mampu membuat seorang merasa bahagia, dan banyak hal juga yang bisa membuat orang merasa muak. Bukankah begitu, Tuhan? Aku pikir, semakin ke sini, aku pun merasa semakin muak. Aku bosan menulis, aku bosan berpikir, aku bosan melakukan apa pun. Aku tak ingin menjadi orang yang terus memeras otak dengan kisah-kisah absurd dalam novel-novelku itu. Aku pikir, mungkin aku akan menjadi gila. Kenapa aku merasa sefrustasi ini? Padahal, aku tidak memikirkan apa pun. Ah! Sandy… hanya laki-laki itu yang kupikirkan. Kenapa dia pergi tanpa pesan? Kenapa dia menghilang? Apakah memang nasibku yang harus terus-menerus mengalami kehilangan?Mengapa tidak Kau buat saja aku yang menghilang?”

Airin kembali menatap sekeliling ruang dapur. Ruangan itu nampak berbeda. Sepertinya, Adrian telah merapikannya. Dan, baginya ini terlalu sempurna.

Airin bangkit dari duduk, menyusuri laci, membukanya satu persatu. Lalu berpikir sebentar, coba mengingat-ngingat sesuatu.

“Di mana aku meletakkannya, ya? Apa Adrian memindahkannya? Atau justru, anak itu membuangnya?” Airin bergumam. Dengan cepat ia keluar menuju teras samping. Membongkar plastik tempat sampah yang masih  nampak baru. Bibirnya berdesis, ketika matanya menatap botol-botol vibe kosong di sana.

“Ah! Adrian…” Airin merutuk.

****

Sore itu Airin pergi ke toserba untuk mencari beberapa barang yang ia butuhkan. Perempuan itu merasa begitu penat, seolah banyak hal yang berkutat di dalam kepalanya. Ia membeli beberapa bahan makanan seperti mi, sarden, dan beberapa makanan kaleng lainnya.

Airin berdiri cukup lama di hadapan counter penjual daging. Menimang-nimang daging apa yang harus ia beli. Ataukah, sebaiknya  ia membeli ikan atau ayam saja? Sampai seseorang perempuan tiba-tiba menabraknya.

“Upss… maaf, Mbak,” ujar perempuan yang ternyata adalah Hanna. Ia nampak sedang menelpon seseorang, hingga tidak menyadari keberadaan Airin yang berdiri di sana. Perempuan itu menjatuhkan beberapa barang bawaannya berupa kaleng-kaleng berisi manisan buah. Dengan cepat, Airin membantu memunguti kaleng-kaleng tersebut.

“Sebentar, ya.” Hanna menutup ponselnya, lalu dengan kikuk menerima kaleng-kaleng yang diserahkan Airin padanya.

“Makasih,” ujarnya kemudian. Airin hanya mengangguk.

Lalu, perempuan itu pun berlalu. Meninggalkan Airin yang masih berdiri di tempatnya sembari menatap tumpukan kaleng berisi manisan buah yang tersusun tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Bukankah, Sandy menyukainya?”

Tidak jauh dari tempat Airin berdiri, Hanna kembali melakukan panggilan dengan ponselnya. Namun belum sempat ia menekan tombol panggilnya, Sandy telah muncul di ujung rak, tidak jauh dari tempatnya berada.

“Sandy!” Hanna berseru, lalu perempuan itu pun berlari ke arah laki-laki yang nampak tampan dengan kemeja biru langitnya itu. Sandy tersenyum, menggandeng Hanna dan mereka pun berlalu.

Seperti tersadar, Airin pun berbalik. Ia mendengar ada seseorang yang mengucapkan nama ‘Sandy’, ketika ia benar-benar sedang memikirkan keberadaan laki-laki itu.  Airin pun menyapu arah pandangnya ke seluruh penjuru toserba yang dapat terjangkau oleh netranya. “Sandy… kupikir aku melihatnya,” desah Airin. Perempuan itu mulai berjalan menyusuri toserba, dan ia melihat gambaran sepasang kekasih dari balik jendela di luar sana. Mereka berjalan beriring dan saling merangkul. “Sa-Sandi…” Mata Airin membulat, tatapannya pun terpaku di sana.[]

Erlina P. Lestari

Jangan lupa like dan save, ya... Saya tunggu masukan dan komentarnya, tapi tetap dengan cara menghargai literasi dan sampaikanlah dengan sopan. ^ ^

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status