Home / Romansa / Perempuan Kopi / Ketika Depresi itu Datang (8)

Share

Ketika Depresi itu Datang (8)

last update Last Updated: 2021-09-04 07:00:38

Adrian membereskan botol vipe, sloki, abu beserta putung-putung rokok yang bertebaran di lantai dapur. Laki-laki itu mulai membongkar laci-laci lemari, setelah ia membersihkan lantai dapurnya. Adrian pun dibuat terkesima, ketika matanya menemukan beberapa botol vipe lainnya tersimpan dalam lemari. Dengan perasaan jengkel, adik Sandy Keenan itu mengeluarkan botol-botol yang tersusun rapi tersebut kemudian membuang isinya ke dalam wastafel.  Setelah diyakininya tidak ada setetes cairan pun yang tersisa, ia menjinjing botol-botol itu ke halaman belakang lantas dilemparkannya ke dalam bak sampah.

Setelah semua dirasa beres, laki-laki itu pun mencuci tangan sebelum kembali ke dalam kamar. Ia berhenti sejenak ketika melewati kamar kakak iparnya. Samar-samar, pemuda itu mendengar suara kegaduhan dari dalam. Sekitar 5 sampai 10 menit, kegaduhan itu pun mereda.

“Adrian…” desahnya kemudian, “selamat, ya! Kamu sudah menjerumuskan hidupmu sendiri, demi si gila Sandy,” gumamnya sembari berlalu menuju kamar.

***

Setelah merasa sedikit tenang, Adrian kembali ke kamarnya. Berbaring di atas ranjang. Resah dengan pikirannya sendiri. Baginya, sepertiga malam terakhir kali ini, terasa berjalan sangat lambat.

“Apa Kak Rin akan baik-baik saja, kalau surat gugatan itu aku berikan padanya?”

Surat gugatan cerai itu masih tersimpan rapi di dalam laci meja di sisi ranjang Adrian. Mengingat keberadaan surat itu, mau tidak mau membuatnya gelisah. Ada rasa khawatir jauh dalam relung batin laki-laki berkulit bersih itu. Alih-alih, berusaha membantu kakak iparnya keluar dari kemelut gangguan mood yang dialaminya, justru hal tersebut bisa saja membuat gangguan mood Airin semakin parah. “Kenapa sampai sekarang, Kak Sandy tidak berusaha mengobati Kak Rin?” Pertanyaan demi pertanyaan terus berkutat dalam pikirannya. Dan semuanya terasa menggelisahkan.

***

Suara kokok ayam terdengar dari kejauhan, sebagai pertanda bahwa mentari bersiap untuk menempati singgasananya. Hari ini adalah hari pertama Adrian bekerja di tempatnya yang baru, ia pun mulai menyiapkan segalanya. Laki-laki itu pun menyempatkan diri mengintip ke dalam kamar kakak iparnya. Karena ia merasa, kamar Airin terlalu hening.

Adrian menemukan Airin yang tengah terlelap seperti bayi. Di lantai kamar, tampak sisa putung dan abu rokok berserakan. Dengan bergegas, laki-laki itu pun membereskan semua. Menyapu dan mengepel kamar Airin dengan hati-hati, nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin Airin terbangun lalu mulai berulah di hari pertamanya bekerja.

Adrian bergerak cepat, membereskan rumah serta menyiapkan sarapan. Setelah semuanya beres, laki-laki tampan itu pun berangkat tanpa pamit kepada kakak iparnya.

Adrian tak lagi sempat memikirkan banyak hal. Ia hanya ingin menemui Sandy di tempat kerja, lalu memohon kepada kakak laki-lakinya itu. Bahwa ia tidak ingin menemani Airin lagi, karena hidupnya terlalu berharga untuk tertawan di sana. Lagi pula, ia pun tidak merasa yakin bisa menangani Airin dengan baik.

Setelah berbasa-basi dengan beberapa staf di unit tempat kerjanya seusai praktek, Adrian mulai mencari Sandy di unit bedah. Wajahnya cerah, ketika ia menangkap sosok laki-laki yang tengah berbicara serius dengan seorang dokter cantik berkaca mata.

“Permisi,” Adrian menegur.

Sandy berbalik, sebuah senyum merekah di bibirnya. “Hai, Yan.”

Adrian tersenyum, lalu mengangguk ke arah Hanna.

“Kamu ingat dengan dia?” tanya Sandy seraya menepuk bahu Hanna lembut.

Adrian menatap Hanna sesaat. Sebelum ia berujar, Sandy telah kembali bicara.

“Dia Hanna, teman SMA kakak dulu.”

“Oh!” Adrian manggut-manggut.

Hanna tersenyum ramah, seraya mengulurkan tangan menyalami Adrian yang di sambut dengan uluran tangan Adrian.

“Hai, Kak,” sapa Adrian ramah.

“Yan, ternyata kamu nggak terlalu jauh berubah, ya,” Hanna berujar.

Adrian tertawa. “Aku masih begini-begini saja, Kak.”

“Bagaimana hari pertamamu bekerja?” tanya Sandy kemudian. “Apa semua baik-baik saja?” tanya Sandy.

Adrian tersenyum, “Ya. Semua berjalan lancar.”

“Aku senang kamu bekerja di sini, Adrian,” Hanna berujar, “oh iya, kamu bisa, kan, menjadi saksi di hari pernikahan kami nanti,” sambungnya.

Adrian tertegun, lalu menatap Sandy yang juga tengah menatap ke arahnya.

“Kami akan menikah bulan depan,” terang Sandy cepat.

“Oh,” Adrian tersenyum, “ baguslah,” ujarnya sambil manggut-manggut, penuh keraguan.

“Kak,” Adrian kembali berujar setelah sempat terdiam sepersekian detik, sambil menatap ke arah Sandy. “Boleh kita bicara sebentar?”

“Ya,” Sandy menjawab cepat.

“Baiklah,” Hanna memotong. “Sebaiknya, aku tinggalkan kalian,” ujar Hanna tersenyum. setelah mengangguk ke arah Adrian, perempuan berkuncir kuda itu pun berlalu.

“Apa Kakak sudah gila,” ujar Adrian penuh tekanan, setelah kepergian Hanna.

“Apa kamu sudah berikan amplop itu pada Airin, Yan?” tanya Sandy balik bertanya.

“Aku nggak bisa memberikannya, Kak. Hari ini mood-nya sedang tidak baik,” terang Adrian.

“Kamu tidak akan pernah mendapatkan kesempatan, Yan. Perubahan mood yang dialami Airin itu semakin parah. Jadi, buat apa kamu tahan-tahan lagi.”

“Ayolah, Kak. Bagaimana bisa Kakak berbuat seperti ini.”

“Aku hanya manusia biasa, Yan.”

Adrian menatap Sandy dengan frustasi. Bahkan ia tak yakin bahwa Sandy bisa memahami kondisinya.

“Sudahlah!” Sandy berujar kemudian. “Abaikan saja Airin. Bila kamu memang tidak tahan dengan perilakunya, tinggalkan saja dia,” ujar laki-laki itu pada akhirnya dengan kesal.

Adrian terdiam sambil menatap ke arah Sandy dengan tatapan mata kecewa. Laki-laki itu pun beringsut mundur, kemudian berbalik meninggalkan Sandy. Pikirannya buntu. Rasanya saat itu juga, ia ingin meledakkan kakak laki-laki itu hingga berkeping-keping.

***

Matahari mulai tergelincir ke ufuk timur. Pendar kemerahan mulai terlukis di ujung cakrawala. Airin duduk bersengkil di jendela dapur. Matanya mengawasi tanaman dalam pot yang tersusun di antara tanaman perdu.

“Ya Tuhan, aku tahu. Ada banyak hal yang mampu membuat seorang merasa bahagia, dan banyak hal juga yang bisa membuat orang merasa muak. Bukankah begitu, Tuhan? Aku pikir, semakin ke sini, aku pun merasa semakin muak. Aku bosan menulis, aku bosan berpikir, aku bosan melakukan apa pun. Aku tak ingin menjadi orang yang terus memeras otak dengan kisah-kisah absurd dalam novel-novelku itu. Aku pikir, mungkin aku akan menjadi gila. Kenapa aku merasa sefrustasi ini? Padahal, aku tidak memikirkan apa pun. Ah! Sandy… hanya laki-laki itu yang kupikirkan. Kenapa dia pergi tanpa pesan? Kenapa dia menghilang? Apakah memang nasibku yang harus terus-menerus mengalami kehilangan?Mengapa tidak Kau buat saja aku yang menghilang?”

Airin kembali menatap sekeliling ruang dapur. Ruangan itu nampak berbeda. Sepertinya, Adrian telah merapikannya. Dan, baginya ini terlalu sempurna.

Airin bangkit dari duduk, menyusuri laci, membukanya satu persatu. Lalu berpikir sebentar, coba mengingat-ngingat sesuatu.

“Di mana aku meletakkannya, ya? Apa Adrian memindahkannya? Atau justru, anak itu membuangnya?” Airin bergumam. Dengan cepat ia keluar menuju teras samping. Membongkar plastik tempat sampah yang masih  nampak baru. Bibirnya berdesis, ketika matanya menatap botol-botol vibe kosong di sana.

“Ah! Adrian…” Airin merutuk.

***

Sore itu Airin pergi ke toserba untuk mencari beberapa barang yang ia butuhkan. Kepenatan mulai menjangkitinya. Banyak hal yang berkutat di dalam kepala. Ia mulai memilih-milih dan membeli beberapa bahan makanan seperti mi, sarden, dan beberapa makanan kaleng lainnya.

Airin berdiri cukup lama di hadapan counter penjual daging. Menimang-nimang daging apa yang harus ia beli. Ataukah, sebaiknya  ia membeli ikan atau ayam saja? Sampai seseorang perempuan tiba-tiba menabraknya.

“Upss… maaf, Mbak,” ujar perempuan yang ternyata adalah Hanna. Ia nampak sedang menelpon seseorang, hingga tidak menyadari keberadaan Airin yang berdiri di sana. Perempuan itu menjatuhkan beberapa barang bawaannya berupa kaleng-kaleng berisi manisan buah. Dengan cepat, Airin membantu memunguti kaleng-kaleng tersebut.

“Sebentar, ya.” Hanna menutup ponselnya, lalu dengan kikuk menerima kaleng-kaleng yang diserahkan Airin padanya.

“Makasih,” ujarnya kemudian. Airin hanya mengangguk.

Lalu, perempuan itu pun berlalu. Meninggalkan Airin yang masih berdiri di tempatnya sembari menatap tumpukan kaleng berisi manisan buah yang tersusun tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Bukankah, Sandy menyukainya?”

Tidak jauh dari tempat Airin berdiri, Hanna kembali melakukan panggilan dengan ponselnya. Namun belum sempat ia menekan tombol panggilnya, Sandy telah muncul di ujung rak, tidak jauh dari tempatnya berada.

“Sandy!” Hanna berseru, lalu perempuan itu pun berlari ke arah laki-laki yang nampak tampan dengan kemeja biru langitnya itu. Sandy tersenyum, menggandeng Hanna dan mereka pun berlalu.

Seperti tersadar, Airin pun berbalik. Ia mendengar ada seseorang yang mengucapkan nama ‘Sandy’, ketika ia benar-benar sedang memikirkan keberadaan laki-laki itu.  Airin pun menyapu arah pandangnya ke seluruh penjuru toserba yang dapat terjangkau oleh netranya. “Sandy… kupikir aku melihatnya,” desah Airin. Perempuan itu mulai berjalan menyusuri toserba, dan ia melihat gambaran sepasang kekasih dari balik jendela di luar sana. Mereka berjalan beriring dan saling merangkul. “Sa-Sandi…” Mata Airin membulat, tatapannya pun terpaku di sana.

Erlina P. Lestari

Jangan lupa like dan save, ya... Saya tunggu masukan dan komentarnya, tapi tetap dengan cara menghargai literasi dan sampaikanlah dengan sopan. ^ ^

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kontroversi (78)

    Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat

  • Perempuan Kopi   Kepergian Moza (77)

    Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg

  • Perempuan Kopi   Kecemburuan Adrian (76)

    Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa

  • Perempuan Kopi   Hadirnya Amanda (75)

    Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kecelakaan (74)

    Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da

  • Perempuan Kopi   Kegusaran Alfian (73)

    “Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status