Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b
Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa
Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg
Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat
Perempuan itu berdiri di hadapan seorang laki-laki yang menatap ke arahnya khawatir. “Alenna,” ujar laki-laki itu, “coba dengarkan aku sebentar saja, Sayang.” Tatap matanya penuh dengan permohonan. Perempuan bernama Alenna itu bergeming. Matanya yang hitam pekat menatap tajam ke arah laki-laki itu, hingga membuatnya salah tingkah. “A- aku mencintaimu, Al,” kembali laki-laki bernama Rafael itu berujar, berusaha meyakinkan kekasihnya, bersamaan dengan angin dingin yang berhembus. Suaranya terdengar begitu parau di antara kegelisahan batinnya sendiri. “Sangat mencintaimu,” ulangnya kembali – pelan namun penuh kesungguhan. Setidaknya, ia harus berusaha terdengar sungguh-sungguh, walaupun ia sendiri tidak yakin akan hal itu. Angin dingin terus berhembus di antara keduanya. Angin yang membawa sisa-sisa hujan di bulan Desember. Hawa dingin membekukan otak Rafael untuk bekerja lebih baik di hadapan Alenna, perempuan yang hampir lima bulan menjadi tunangannya itu. Alenna tersenyum sinis. “
Airin berbaring di atas ranjang, setelah bersitegang dengan alter ego-nya sendiri. Tidak ada satu sayuran pun yang tersisa di atas lantai, ketika kemarahan merasukinya. Semua nampak busuk! Itu pula yang menjadi alasan baginya tidak menyisakan satu sayuran pun untuk dikembalikan ke dalam lemari pendingin, tapi justru ia lemparkan ke tempat sampah. Hari itu pun, Airin membereskan rumahnya selama 8 jam, setelah hampir 3 hari ia tidak memejamkan mata, merangkai 200 halaman cerita tanpa jeda. Perempuan itu tersentak dari atas ranjang, ketika ia menangkap suara dari lantai bawah. Ia bangkit dari tidurnya, lalu dengan segera berlari menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Matanya menangkap sesosok laki-laki tengah menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa seraya memejamkan mata. Airin tersenyum. Lalu menghambur ke arah laki-laki itu. Namun, tiba-tiba ia berhenti – menahan diri untuk tidak mendekat di kala jarak mereka hanya selangkah saja. Suara dengkuran halus terdengar pelan. Nampaknya
Airin memasuki sebuah kantor penerbitan. Disapanya beberapa staf yang nampak tidak asing baginya dengan ramah. “Hai, Airy!” Seorang perempuan bertubuh gempal dengan kulit putih menghampirinya. Matanya nampak berbinar. Ada gurat bahagia yang terpancar di wajahnya tatkala perempuan bernama pena Airy itu datang. “Hai, Juli.” Airin tersenyum melihat Juli yang terlihat berbeda dengan kamisol warna kuning gadingnya itu. “Wow, cantiknya…” puji Airin kepada sahabat sekaligus editornya itu. “Ini kamisol baru, loh.” Juli tertawa seraya berputar. “Bagimana, cantikkan?” “Warnanya cukup lembut. Dan, sangat pas dengan kulitmu,” ujar Airin. “Cantik sekali.” Airin mengacungkan jempolnya seraya berdecak. “Cukup membahas kamisolnya, Ry. Aku ingin mengucapkan selamat dulu. Buku terakhirmu diminati banyak orang. Selamat, ya!” ujar Juli antusias. Airin tersenyum. “Terima kasih, Juli. Kalau bukan berkat kejelianmu dan promosimu yang luar biasa, apalah arti buku-buku yang kutulis. Sekali lagi, terima k
Asap rokok mengepul memenuhi ruangan. Gelas-gelas sisa kopi berserakan di lantai. Airin terkapar di atas tempat tidurnya. Mata hitamnya menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Perempuan itu seolah-olah melihat masa depannya sendiri melalui langit-langit yang berhias bintang-bintang berbahan fosfor itu. Menyaksikan dunia yang dibangunnya runtuh tanpa mampu berbuat apa pun, bukanlah impiannya. Bahkan, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berharap demikian. Airin sama sekali tidak memiliki harapan untuk bertahan, dalam kemelutnya sendirian. Kepergian Sandy menjadi puncak depresinya. Ia merasakan lelah yang teramat sangat. Sepulangnya menginap semalaman di rumah sakit, saat orang-orang menemukannya tidak sadarkan diri di jalan kemarin. Mereka pun memutuskan membawanya ke rumah sakit. Rasa lelah bukan hanya menyerang fisik Airin, tapi juga pikirannya. Di atas pembaringan, Airin menarik napas panjang. Diangkat tangannya tinggi-tinggi. Mencoba menggapai udara kosong di hadapannya.