Siang itu, Adrian duduk di sebuah taman kota, tepat di bawah pohon bungur dengan bunga-bunga merah mudanya yang bermekaran. Mata coklat laki-laki itu mengawasi sekumpulan bocah yang tengah bermain petak umpet di antara bunga-bunga kanna warna merah, kuning dan oranye. Tiba-tiba rasa rindu menghimpitnya. Ia merindukan masa di mana ia, Sandy, serta Airin masih tinggal bersama di rumah tua peninggalan keluarga Keenan. Bukankah semua terasa menyenangkan? Airin berperan sebagai ibu yang sempurna bagi Adrian muda. Sedangkan, Sandy tetap memerankan tokoh sebagai kakak yang selalu cemburu akan perhatian ibu yang tercurah secara berlebihan pada adiknya. Adrian tersenyum. Mengingat penggalan-penggalan cerita yang muncul serupa film pendek dalam pikirannya itu.
“Apa kamu sudah bertemu Airin?” Sebuah suara terdengar tepat di sampingnya. Sandy Keenan, kakak laki-lakinya itu telah mengambil duduk di sisi Adrian. Laki-laki itu terlihat tampan dengan hoodie navy berbahan tipis.
Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang terjadi, Kak? Kak Rin berkata, kalau kakak pergi dari rumah.”
“Bagaimana kabarnya?” tanya Sandy.
“Kakak belum menjawab pertanyaanku?”
Sandy terdiam sembari melemparkan pandangannya ke arah kolam. Sebuah patung bangau putih berdiri dengan satu kaki nampak hidup di tengah kolam dengan bunga-bunga teratai berwarna putih mukim di atas permukaan airnya yang hijau.
“Apa yang ingin kamu ketahui, Yan?” tanyanya tanpa menatap ke arah Adrian. Ia masih sibuk menatap ke arah teratai-teratai yang nampak cantik itu.
“Semuanya, Kak. Kenapa Kakak pergi meninggalkan Kak Rin? Apa yang terjadi pada kalian berdua?”
Sandy kembali terdiam, lalu ia menatap ke arah adik laki-lakinya. “Aku tidak tahu harus memulai darimana, Yan.”
Adrian terdiam untuk sesaat. Ia nampak berpikir, lalu kembali berujar, “Kak, mungkinkah Kak Rin telah melakukan satu kesalahan? Atau, justru Kakaklah yang membuat kesalahan?”
Sandy menghela napas panjang.
“Seharusnya, semua bisa diselesaikan dengan baik, Kak,” Adrian kembali berujar.
Sandy menggeleng. “Airin tidak bisa lagi diajak bicara dengan baik, Yan,” keluh Sandy.
Adrian menatap Sandy tidak percaya, “Tidak mungkin, Kak. Aku kenal Kak Rin dengan baik, loh.”
“Tapi sekarang, kamu tidak akan bisa mengenali Airin, Yan. Dia sudah berubah. Dia bukan lagi Airin yang lembut seperti dulu.”
“Apa maksud, Kakak?”
“Setahun belakangan ini, Airin dinyatakan mengidap bipolar.”
Adrian terdiam.
“Dan, hingga saat ini, ia masih menyangkal.”
“Apa Kakak yakin?”
“Seandainya dia tidak menyangkal, pastinya dia menjalani pengobatannya, kan?”
Adrian tampak berpikir, ada rasa sesak memenuhi kalbunya yang dia sendiri tidak tahu mengapa.
Sandy berkata lagi, “Bagiku, Airin menjadi sosok orang lain, Yan. Dia mulai hidup dalam dunianya sendiri. Kadang begitu energik hingga aku lelah menuruti kemauan isi dalam kepalanya. Namun, kadang ia merasa begitu sedih, hingga aku sendiri frustasi dibuatnya.”
Adrian menatap Sandy.
“Aku menyerah, Yan. Sungguh.”
“Lalu, kalau Kakak menyerah, untuk apa Kakak memintaku datang dan bekerja di sini? Lalu, apa artinya ini, Kak? Kakak maksa aku untuk tinggal dengan Kak Rin? Jujur, Kak. Untuk yang terakhir ini, aku benar-benar nggak paham apa yang ada dipikiran Kakak.”
“Karena ternyata, aku nggak bisa membiarkannya sendiri, Yan.”
Adrian menatap Sandy bingung. “Kalau begitu, kenapa Kakak malah ninggalin dia?” Adrian bertanya dengan gemas.
“Karena aku salah.”
“Ya Tuhan…” Adrian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Aku berbuat kesalahan pada Airin, Yan,” keluh Sandy, “sialnya, aku nggak tahu bagaimana cara untuk menghadapinya.”
“Kak… sudah. Hentikan!” Adrian menatap Sandy nanar. “Kakak membuat kepalaku sakit.”
“Maafkan aku, Yan.” ujar Sandy tulus.
Adrian menunduk sembari memainkan jemari tangannya sesaat, lalu kembali melempar pandangannya jauh ke depan.
Sandy pun terdiam. Banyangan Airin tiba-tiba muncul tanpa ia minta. Perempuan jelita itu nampak berdiri di depan jendela dapur dengan membawa secangkir kopi; tercenung.
Adrian menarik napas panjang, “Kenapa semua jadi sangat menyebalkan, sih?” desah Adrian. “Seharusnya, Kakak nggak melibatkanku dengan cara seperti ini. Apakah dengan cara Kakak menghilang kemudian mengutus aku ke rumahnya, merupakan satu-satunya ide terbaik yang bisa Kakak pikirkan saat ini? Lalu, apa Kakak penah berpikir, bagaimana caraku menghadapinya, jika dia tahu bahwa aku berhubungan dengan Kakak?”
Sandy menghela napas.
“Ah… Damn!” rutuk Adrian. “Baiklah,” ujarnya kembali setelah terdiam cukup lama. “Jadi, apa rencana kakak setelah ini?” tanyanya tanpa menatap ke arah Sandy. Netranya justru mengawasi bocah-bocah yang tengah berlarian kesana-kemari.
“Aku akan menikah lagi, Yan.”
Adrian menatap Sandy sesaat, menggelengkan kepala. Laki-laki itu bangkit dari duduknya, dan maju beberapa langkah.
“Adrian. Aku titip Airin padamu, ya?” ujar Sandy, ia bangkit; berdiri di belakang Adrian.
Adrian berbalik dengan cepat, seraya melayangkan tinjunya ke wajah Sandy. Serta merta, Sandy pun terkapar di atas rumput karena mendapat serangan dari Adrian yang tidak diduga sebelumnya. Darah mengalir dari sudut bibirnya.
“Kak! Apa Kakak tahu, kalau aku sudah mulai muak sekarang?” Wajah Adrian memerah menahan marah. “Aku nggak pernah menyangka, hal ini akan terjadi, Kak,” ujarnya gemas. “Dan, aku sangat menyesal. Seharusnya, aku tidak perlu mendengarkan Kakak.”
Sandy berusaha bangkit. “Aku tidak punya pilihan lagi, Yan,” ujarnya sembari terhuyung. “Semuanya sudah terjadi. Dan, aku tidak sanggup membereskannya, kecuali mengikuti jalannya saja.”
Adrian terdiam. Matanya yang nampak berkaca-kaca, menatap Sandy dengan kesal.
“Berikan ini pada Airin.” Sandy menyerahkan amplop coklat yang semenjak tadi tersimpan dari balik hoddie-nya kepada Adrian. Laki-laki itu pun menerimanya dengan ragu. Setelahnya, Sandy berbalik, meninggalkan Adrian yang termangu sendiri.
***
Hujan turun di penghujung senja. Meninggalkan jejak pada kaca jendela sebuah kafe. Adrian menatap jalan yang tampak samar di antara rinai hujan, dari dalam kafe. Secangkir latte menunggu dengan cantik di hadapannya. Di sisi cangkir itu, tergeletak secarik kertas bertajuk Surat Gugatan Cerai.
“Sandy sepertinya mulai gila,” gerutu Adrian. “Kalau dia mau menceraikan Kak Rin, buat apa menyuruhku menjaganya? Ya Tuhan…”
Kepala Adrian berdenyut. Dengan cepat, diminumnya latte di hadapannya hingga tandas. Kemudian diletakkan cangkir sisa latte itu kembali di atas meja dengan kasar, hingga menimbulkan suara ‘prak’. Para pengunjung kafe sekilas menatap ke arah Adrian, lalu kembali dengan aktivitasnya masing-masing.
Adrian tampak menarik napas panjang. Laki-laki itu kembali teringat akan kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika kakak laki-lakinya itu secara tiba-tiba menghubunginya. Semula, ia pikir, Sandy murni hanya ingin memberikannya sebuah pekerjaan. Namun, keanehan mulai mengganjal hatinya, ketika laki-laki itu memberikan syarat bahwa ia harus tinggal bersama Airin. Setelah memintanya menjaga Airin, Sandy justru menitipkan surat gugatan cerai kepadanya, untuk diserahkan kepada perempuan itu. Bukankah itu konyol? Secara tidak langsung, kakak laki-lakinya itu telah membunuhnya tanpa harus capek-capek menikamnya dengan pisau dapur berkali-kali.
Otak Adrian berputar dengan cepat. Apa yang akan dikatakannya pada Airin sesampainya di rumah nanti. Airin tidak pernah tahu, bahwa kedatangannya adalah atas perintah Sandy. Laki-laki itu telah mengatur segalanya, termasuk pekerjaan baru yang akan ditempati oleh Adrian. Karena bagi Sandy, itulah satu-satunya alasan yang paling masuk akal bagi Adrian untuk bisa mendekati Airin dengan dalih menumpang di rumah yang dibangunnya bersama Airin. Selama laki-laki itu mampu berpura-pura, bahwa ia tidak tahu kalau sebenarnya Sandy telah pergi meninggalkan Airin. Ah! Adrian benar-benar merasa serba salah.
Semakin ia memikirkan kelakuan kakak laki-lakinya itu, semakin ingin rasanya Adrian menghabisi kakaknya. Terlebih lagi, ia mengetahui bahwa kakak iparnya adalah perempuan yang baik. Airin tidak akan tega mengusir Adrian, meskipun hubungannya dengan Sandy tengah dirundung masalah.
***
Adrian kembali ke rumah Airin, setelah jarum jam menunjukan pukul 21.30. Nampaknya, Airin tengah dalam kondisi baik. Ia menyiapkan beberapa hidangan untuk makan malam mereka. Perempuan berkulit pucat itu tidak banyak bertanya, ia hanya menanyakan apakah adik iparnya itu sudah makan malam atau belum. Adrian lega. Setidaknya, ia tidak perlu bercerita kepada Airin ke mana saja ia menghabiskan waktu seharian ini.
Adrian menikmati masakan Airin lagi dengan santai tanpa banyak pikiran. Rasa masakan Airin terbilang cukup lezat, walaupun sederhana. Satu-satunya masakan yang paling disukainya adalah omelet. Dulu, ketika mereka masih tinggal bersama di kediaman keluarga Keenan, Airin rajin membuatkan Adrian omelet sebelum laki-laki itu berangkat ke sekolah.
Airin tersenyum melihat adik iparnya makan dengan lahap.
“Besok, kamu mau sarapan apa?” tanya perempuan itu.
“Omelet,” jawab Adrian mantap.
Airin tertawa. “Baiklah. Tapi, aku tidak janji, ya?”
Andrian tersenyum. Di matanya, Airin tampak semakin menggemaskan. Apa kurangnya Airin? Mengapa Sandy tega meninggalkannya?
“Yan? Kamu melamun?” suara Airin membuat Adrian tersadar.
“Hmm…enggak apa-apa, Kak. Cuma sedikit kepikiran saja. Kan, besok pertama kali aku kerja di kota.”
Airin tertawa, “Tidak ada bedanya, Yan, di kota maupun di desa.
Adrian tersenyum.
“Hmmm…” Airin menatap Adrian dalam.
“Ada apa, Kak? Apa yang kakak pikirkan?”
“Yan, boleh kamu cari tahu tentang Sandy?”
Adrian terdiam.
“Mungkin, besok kamu bisa tanyakan rekan-rekan dokter yang satu kerjaan sama kamu, Yan. Siapa tahu di antara mereka ada yang mengenal Sandy,” ujar Airin.
“Apa Kakak nggak punya satu pun nomor kontak teman dekatnya?” tanya Adrian.
Airin menggeleng. “Tidak ada satu temannya pun yang aku kenal, Yan. Aku pernah beberapa kali mengunjungi tempat prakteknya. Tapi sepertinya, Sandy sudah tidak praktek lagi di sana.”
“Nanti aku coba cari tahu, ya, Kak.”
Airin tersenyum. “Makasih, Yan.”
Ganti Adrian tersenyum. Walaupun, ia merasakan debaran aneh dalam dadanya. Debaran yang ingin diledakkannya saat itu juga.
Setelah makan, Adrian membereskan piring-piring yang kotor dan mencucinya di wastafel. Sedangkan Airin membereskan piring berisi lauk pauk dan menyimpannya ke dalam lemari penyimpanan. Sesekali, Adrian mencuri pandang ke arah kakak iparnya. Ada rasa iba bergelayut dalam relung hatinya.
“Kak, aku naik ke kamar, ya,” Adrian berujar setelah merapikan semua piring yang dicucinya ke atas rak.
Airin mengangguk. “Istirahat, Yan. Jangan terlalu banyak pikiran. Dan, jangan tidur terlalu malam, ya? Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi besok.”
Entah, pernyataan Airin itu berupa pesan atau himbauan. Adrian tidak berniat memberikan jawaban apa pun, kecuali hanya menatap kakak iparnya sesaat, kemudian melanjutkan langkahnya menaiki tangga, menuju lantai atas.
Di dalam kamarnya, laki-laki berambut ikal itu sengaja tidak menyalakan lampu. Ia duduk di sisi jendela, sembari menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan setelah hujan sore tadi. Bulan bersinar sempurna sebagai penghias jubah malam yang tidak menanggalkan pekatnya.
Adrian jatuh dalam perenungan. Mulai menimbang-nimbang setiap kemungkinan. Menyusuri tiap hal yang akan dilakukannya, lalu mulai melakukan pemetaan. Ini benar atau salah, baik atau buruk, dan boleh atau tidak boleh. Kepalanya mulai berdenyut. Resah dalam kegalauan hatinya sendiri.
Pelan-pelan ia mulai melakukan ketukan pada pergelangan tangan kirinya dengan ujung jari telunjuk kanan. “Ya Tuhan. Lama-lama, aku bisa gila dengan kondisi seperti ini.” Desahnya sambil terus melakukan tapping atau ketukan. “Sandy, sialan kamu!”
Adrian yang mulai merasa tertekan di hari pertamanya bertemu Sandy, mulai meng-EFT[1] dirinya sendiri. Menerapkan ilmu yang dimilikinya sebagai dokter spesialis jiwa untuk mengontrol emosinya. Ini adalah satu-satunya hal terbaik dan bijaksana yang bisa dilakukan oleh laki-laki bermata teduh itu, setidaknya untuk saat ini.
***
Adrian terbangun oleh suara tangisan di pagi hari. Dengan malas, tangannya coba meraih jam beker yang berada di atas meja. Jarum jam menunjukan pukul 03.30. Laki-laki tampan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mengumpulkan kesadarannya sedikit demi sedikit.
Dengan malas, ia keluar dari kamar, mencari sumber suara. Menuruni anak tangga menuju dapur. Airin di sana. Ia tengah duduk bersimpuh di bawah jendela dapur; terisak-isak sendirian.
“Kak Rin. Kakak kenapa?” tanya Adrian sembari berjalan mendekat.
Airin menatap Adrian, lalu mengusap air matanya cepat dengan punggung tangan. “Nggak apa-apa Yan. Maaf mengganggu…” ujarnya lalu bangkit dari duduk dan dengan terhuyung, ia berlalu meninggalkan Adrian.
Adrian menatap kepergian Airin lalu kembali melemparkan pandangan ke bekas tempat Airin duduk. Sebotol vibe dan gelas sloki tergeletak di sana dengan sisa abu dan beberapa putung rokok dalam asbak. Adrian terpana.
[1] EFT: Emotional Freedom Technique
Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat
Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg
Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa
Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b
Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da
“Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf