Share

Adrian dan Logikanya (7)

Siang itu, Adrian duduk di sebuah taman kota, tepat di bawah pohon bungur dengan bunga-bunga yang bermekaran. Mata coklatnya mengawasi sekumpulan bocah-bocah yang tengah bermain petak umpet di antara bunga-bunga kanna warna merah dan kuning. Laki-laki itu, tiba-tiba saja merindukan masa ketika Sandy, Airin, dan ia tinggal bersama di rumah tua peninggalan keluarga Keenan. Bukankah, semua terasa begitu menyenangkan? Airin yang berperan sebagai ibu. Sedangkan, Sandy tetap memerankan tokoh sebagai kakak yang selalu cemburu akan perhatian ibu yang tercurah secara berlebihan pada adiknya. Adrian tersenyum. Mengingat penggalan-penggalan cerita yang muncul serupa film pendek dalam pikirannya itu.

“Apa kamu sudah bertemu Airin?” Sebuah suara terdengar tepat di sampingnya. Sandy Keenan, kakak laki-lakinya itu telah mengambil duduk di sisi Adrian. Laki-laki itu terlihat tampan dengan hoodie navy berbahan tipis.

Adrian mengangguk. “Jadi, apa yang terjadi, Kak? Kak Rin berkata, kalau kakak pergi dari rumah.”

“Bagaimana kabarnya?” tanya Sandy.

“Kakak belum menjawab pertanyaanku?”

Sandy terdiam sembari melemparkan pandangannya ke arah kolam. Sebuah patung bangau putih berdiri dengan satu kaki nampak hidup di tengah kolam dengan bunga-bunga teratai berwarna putih mukim di atas permukaan airnya yang hijau.

“Apa yang ingin kamu ketahui, Yan?” tanyanya tanpa menatap ke arah Adrian. Ia masih sibuk menatap ke arah teratai-teratai yang nampak cantik itu.

“Semuanya, Kak. Kenapa Kakak pergi meninggalkan Kak Rin, apa yang terjadi pada kalian berdua?”

Sandy kembali terdiam, lalu ia menatap ke arah adik laki-lakinya. “Aku tak tahu harus memulai darimana, Yan.”

Adrian terdiam untuk sesaat. Ia nampak berpikir, lalu kembali berujar, “Kak, mungkinkah Kak Rin melakukan satu kesalahan atau justru Kakaklah yang membuat kesalahan?”

“Seharusnya, semua bisa diselesaikan dengan baik, Kak,” Adrian kembali berujar.  

Sandy nampak menghela napas. “Airin tidak bisa lagi diajak bicara dengan baik, Yan,” keluh Sandy.

Adrian menatap Sandy tak percaya, “Tidak mungkin, Kak. Aku kenal Kak Rin dengan baik.”

“Tapi sekarang, kamu tidak akan bisa mengenali Airin, Yan. Dia sudah berubah. Dia bukan lagi Airin yang lembut seperti dulu.”

“Apa maksud, Kakak?”

“Setahun belakangan ini, Airin dinyatakan mengidap Bipolar.”

Adrian terdiam.

“Dan, hingga saat ini, ia masih menyangkal.”

“Apa Kakak yakin?”

“Seandainya dia tidak menyangkal, pastinya dia menjalani pengobatannya, kan?”

Adrian nampak berpikir, ada rasa sesak memenuhi kalbunya yang dia sendiri tidak tahu mengapa.

Sandy berkata lagi, “Bagiku, Airin menjadi sosok orang lain, Yan. Dia mulai hidup dalam dunianya sendiri. Kadang begitu energik hingga aku lelah menuruti kemauan isi dalam kepalanya. Namun, kadang ia merasa begitu sedih, hingga aku sendiri frustasi dibuatnya.”

Adrian menatap Sandy.

“Aku menyerah, Yan. Sungguh.”

“Lalu, kalau Kakak menyerah, untuk apa Kakak memintaku datang dan bekerja di sini dan memaksa aku untuk tinggal bersama Kak Rin?”

“Karena aku tidak bisa membiarkannya sendiri, Yan.”

Adrian menatap Sandy bingung. “Kalau begitu, kenapa Kakak meninggalkannya?”

“Karena aku salah.”

“Ya Tuhan…” Adrian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Aku berbuat kesalahan pada Airin. Sialnya, aku  tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.”

“Kak… sudah. Hentikan! Kakak membuat kepalaku terasa sakit.”

“Maafkan aku…” ujar Sandy tulus.

Adrian menunduk sembari memainkan jemari tangannya sesaat, lalu kembali melempar pandangannya jauh ke depan.

Sandy pun terdiam. Banyangan Airin tiba-tiba muncul tanpa ia minta. Perempuan jelita itu nampak berdiri di depan jendela dapur dengan membawa secangkir kopi; tercenung.

Adrian menarik napas panjang, “Kenapa semua menjadi sangat menyebalkan,” desah Adrian. “Seharusnya, Kak Sandy tidak melibatkanku dengan cara seperti ini. Apakah dengan menghilang darinya dan mengutus aku ke sana, merupakan satu-satunya ide terbaik yang bisa Kakak pikirkan?”

Sandy menghela napas.

“Baiklah. Jadi, apa rencana kakak setelah ini?” tanya Adrian, matanya kini beralih ke arah bocah-bocah yang tengah berlarian kesana- kemari.

“Aku akan menikah lagi.”

Adrian menatap Sandy sesaat, menggelengkan kepala. Laki-laki itu bangkit dari duduknya, dan maju beberapa langkah.

“Adrian. Aku titip Airin padamu, ya?” ujar Sandy, ia bangkit; berdiri di belakang Adrian.

Adrian berbalik dengan cepat, seraya melayangkan tinjunya ke wajah Sandy. Serta merta, serangan Adrian yang tak diduga-duga  itu, membuat Sandy terjungkal. Darah mengalir dari sudut bibirnya.

“Kak! Apa kakak tahu, kalau aku sudah mulai muak sekarang?” Wajah Adrian memerah menahan marah. “Aku tak pernah menyangka, hal ini akan terjadi, Kak,” ujarnya gemas. “Dan, aku sangat menyesal. Seharusnya, aku tidak perlu mendengarkan Kakak.”

Sandy berusaha bangkit. “Aku tidak punya pilihan lagi, Yan,” ujarnya sembari terhuyung. “Semuanya sudah terjadi. Dan, aku tidak sanggup membereskannya, kecuali mengikuti jalannya saja.”

Adrian terdiam. Matanya yang nampak berkaca-kaca, menatap Sandy dengan kesal.

“Berikan ini pada Airin.” Sandy menyerahkan amplop coklat yang semenjak tadi tersimpan dari balik hoddie-nya kepada Adrian. Laki-laki itu pun menerimanya  dengan ragu. Setelahnya, Sandy berbalik, meninggalkan Adrian yang termangu sendiri.

****

Hujan turun di penghujung senja. Meninggalkan jejak pada kaca jendela sebuah kafe. Adrian menatap jalan yang nampak samar di antara rinai hujan, dari dalam kafe. Secangkir latte menunggu dengan cantik di hadapannya. Di sisi cangkir itu, tergeletak secarik kertas bertajuk  Surat Gugatan Cerai.

“Kak Sandy sepertinya mulai gila,” gerutu Adrian. “Kalau dia mau menceraikan Kak Rin, buat apa menyuruhku menjaganya? Ya Tuhan…”

Kepala Adrian berdenyut. Dengan cepat, diminumnya latte di hadapannya hingga tandas. Kemudian diletakkan cangkir sisa latte itu kembali di atas meja dengan kasar, hingga menimbulkan suara ‘prak’. Para pengunjung kafe sekilas menatap ke arah Adrian, lalu kembali dengan aktivitasnya masing-masing.

Adrian nampak menarik napas panjang. Laki-laki itu kembali teringat akan kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika kakak laki-lakinya itu secara tiba-tiba menghubunginya. Semula, ia pikir, Sandy murni hanya ingin memberikannya sebuah pekerjaan. Namun, keanehan mulai mengganjal hatinya, ketika laki-laki itu memberikan syarat bahwa ia harus tinggal bersama Airin. Setelah memintanya menjaga Airin, Sandy justru menitipkan surat gugatan cerai kepadanya, untuk diserahkan kepada kakak iparnya itu. Bukankah, itu konyol? Secara tidak langsung, kakak laki-lakinya itu telah membunuhnya tanpa harus capek-capek menikamnya dengan pisau dapur berkali-kali.

Otak Adrian berputar dengan cepat. Apa yang akan dikatakannya pada Airin sesampainya di rumah nanti. Airin tak pernah tahu, bahwa kedatangannya adalah atas perintah Sandy. Laki-laki itu telah mengatur segalanya, termasuk pekerjaan baru yang akan ditempati oleh Adrian. Karena bagi Sandy, itulah satu-satunya alasan yang paling masuk akal bagi Adrian untuk bisa mendekati Airin dengan dalih menumpang di rumah yang dibangunnya bersama Airin. Selama laki-laki itu mampu berpura-pura, bahwa ia tidak tahu kalau sebenarnya Sandy telah pergi meninggalkan Airin. Ah! Adrian benar-benar merasa serba salah.

Semakin ia memikirkan kelakuan kakak laki-lakinya itu, semakin ingin rasanya Adrian menghabisi kakaknya. Terlebih lagi, ia mengetahui bahwa kakak iparnya adalah perempuan yang baik. Airin tidak akan tega mengusir Adrian, meskipun hubungannya dengan Sandy bermasalah.

****

Adrian kembali ke rumah Airin, setelah jarum jam menunjukan pukul 21.30. Nampaknya, Airin tengah dalam kondisi baik. Ia menyiapkan beberapa hidangan untuk makan malam mereka. Perempuan berkulit pucat itu tak banyak bertanya, ia hanya menanyakan apakah adik iparnya itu sudah makan malam atau belum. Adrian lega. Setidaknya, ia tidak perlu bercerita kepada Airin ke mana saja ia menghabiskan waktu seharian ini.

Adrian menikmati masakan Airin lagi dengan santai tanpa banyak pikiran. Rasa masakan Airin terbilang cukup lezat, walaupun sederhana. Satu-satunya masakan yang paling disukainya adalah omelet. Dulu, ketika mereka masih tinggal bersama di kediaman keluarga Keenan, Airin rajin membuatkan Adrian omelet sebelum laki-laki itu berangkat ke sekolah.

Airin tersenyum melihat adik iparnya makan dengan lahap.

“Besok, kamu mau sarapan apa?” tanya perempuan itu.

“Omelet,” jawab Adrian mantap.

Airin tertawa. “Baiklah. Tapi, aku tidak janji, ya?”

Andrian tersenyum. Di matanya, Airin tampak semakin menggemaskan. Apa kurangnya Airin? Mengapa Sandy tega meninggalkannya?

“Yan? Kamu melamun?” suara Airin membuat Adrian tersadar.

“Hmm….enggak apa-apa, Kak. Cuma sedikit kepikiran saja. Kan, besok pertama kali aku kerja di kota.”

Airin tertawa, “Tidak ada bedanya, Yan, di kota maupun di desa.

Adrian tersenyum.

“Hmmm…” Airin menatap Adrian dalam.

“Ada apa, Kak? Apa yang kakak pikirkan?”

“Yan, boleh kamu cari tahu tentang Sandy?”

Adrian terdiam.

“Mungkin, besok kamu bisa tanyakan rekan-rekan dokter yang satu kerjaan sama kamu. Siapa tahu di antara mereka ada yang mengenal Sandy,” ujar Airin.

“Apa Kakak tidak memiliki kontak teman dekatnya?” tanya Adrian.

Airin menggeleng. “Tidak ada satu temannya pun yang aku kenal, Yan. Aku pernah beberapa kali mengunjungi tempat prakteknya. Tapi sepertinya, Sandy sudah tidak praktek lagi di sana.”

“Nanti aku coba cari tahu, ya, Kak.”

Airin tersenyum. “Makasih, Yan.”

Ganti Adrian tersenyum. Walaupun, ia merasakan debaran aneh dalam dadanya. Debaran yang ingin diledakkannya saat itu juga.

Setelah makan, Adrian membereskan piring-piring yang kotor dan mencucinya di wastafel. Sedangkan Airin membereskan piring berisi lauk pauk dan menyimpannya ke dalam lemari penyimpanan. Sesekali, Adrian mencuri pandang ke arah kakak iparnya. Ada rasa iba bergelayut dalam relung hatinya.

“Kak, aku naik ke kamar, ya,” Adrian berujar setelah merapikan semua piring yang dicucinya ke atas rak.

Airin mengangguk. “Istirahat, Yan. Jangan terlalu banyak pikiran. Dan, jangan tidur terlalu malam, ya? Karena kita tak pernah tahu, apa yang terjadi besok.” 

Entah, pernyataan Airin itu berupa pesan atau himbauan. Adrian tidak berniat memberikan jawaban apa pun, kecuali hanya menatap kakak iparnya sesaat, kemudian melanjutkan langkahnya menaiki tangga, menuju lantai atas.

Di dalam kamarnya, laki-laki berambut ikal itu sengaja tidak menyalakan lampu. Ia duduk di sisi jendela, sembari menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan setelah hujan sore tadi. Bulan bersinar sempurna sebagai penghias jubah malam yang tak menanggalkan pekatnya.

Adrian jatuh dalam perenungan. Mulai menimbang-nimbang setiap kemungkinan. Menyusuri tiap hal yang akan dilakukannya, lalu mulai melakukan pemetaan. Ini benar atau salah, baik atau tidak, dan boleh atau tidak boleh. Kepalanya mulai berdenyut. Resah dalam kegalauan hatinya sendiri.

Pelan-pelan ia mulai melakukan ketukan pada pergelangan tangan kirinya dengan ujung jari telunjuk kanan. “Ya Tuhan. Lama-lama, aku bisa gila dengan kondisi seperti ini.” Desahnya sambil terus melakukan tapping atau ketukan. “Sandy, sialan kamu!”

Adrian yang mulai merasa tertekan di hari pertamanya bertemu Sandy, mulai meng-EFT[1] dirinya sendiri. Menerapkan ilmu yang dimilikinya sebagai dokter spesialis jiwa untuk mengontrol emosinya. Ini adalah satu-satunya hal terbaik dan bijaksana yang bisa dilakukan oleh laki-laki bermata teduh itu, setidaknya untuk saat ini.

****

Adrian terbangun oleh suara tangisan di pagi hari. Dengan malas, tangannya coba meraih jam beker yang berada di atas meja. Jarum jam menunjukan pukul 03.30. Laki-laki tampan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mengumpulkan kesadarannya sedikit demi sedikit.

Dengan malas, ia  keluar dari kamar, mencari sumber suara. Menuruni anak tangga menuju dapur. Airin di sana. Ia tengah duduk bersimpuh di bawah jendela dapur; terisak-isak sendirian.

“Kak Rin. Kakak kenapa?” tanya Adrian sembari berjalan mendekat.

Airin menatap Adrian, lalu mengusap air matanya cepat dengan punggung tangan. “Enggak apa-apa Yan. Maaf mengganggu…” ujarnya lalu bangkit dari duduk dan dengan terhuyung, ia berlalu meninggalkan Adrian.

Adrian menatap kepergian Airin lalu kembali melemparkan pandangan ke bekas tempat Airin duduk. Sebotol vibe dan gelas sloki tergeletak di sana dengan sisa abu dan beberapa putung rokok dalam asbak. Adrian terpana. []

[1] EFT: Emotional Freedom Technique

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status