Share

Bab 3: Tawaran Semu (2)

Sesuai jadwal yang tertera di tiket, sore harinya Lintang mengantar Satya ke Stasiun Tugu.

“Kamu bisa nyetir?” Satya menatap heran Lintang ketika istrinya membawa kunci mobil milik pamannya.

“Lintang itu perempuan mandiri, Mas Satya.” Tiba-tiba Paklik Heru sudah berada di samping Satya. “Dia bisa melakukan banyak hal. Cuma satu dia kurangnya.” Lelaki dengan rambut kelabu itu tersenyum jenaka sembari meantap Lintang yang terpasak di dekat pintu garasi. “Dia itu pelupa dan kadang agak ceroboh. Semoga nanti setelah jadi istri, dia nggak lupa sama suaminya.”

Seketika tawa Satya pecah berderai sementara Lintang terlihat manyun.

“Jangan marah, Lin. Sudah kewajiban Paklik memberitahu suamimu. Biar dia nggak kaget kalau tiba-tiba kamu lupa sama dia.”

Lintang semakin merengut. Dengan wajah kesal ia berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan mobil.

“Biar aku saja yang nyetir.” Satya buru-buru mengikuti Lintang dan memintanya pindah posisi. “Kamu jadi navigator saja.” Lelaki itu memberi isyarat dengan matanya agar Lintang segera pindah tempat duduk.

Lintang menurut. Ia pun memberikan kemudi kepada Satya dan berpindah tempat. Tak banyak yang mereka bincangkan sepanjang perjalanan selama satu jam dari Bantul ke Stasiun Tugu. Ingatan tentang Hanum datang silih berganti. Ingin sekali ia bertanya kepada Satya tentang perempuan itu, tetapi deretan kata itu hanya berhenti di ujung lidah sementara bibirnya seolah terkunci rapat.

“Kabari aku kalau skripsimu sudah selesai dan mau berlibur ke Bandung,” ucap Satya saat berpamitan. Petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta yang akan ia naiki sudah tiba.

“Insyaallah, Mas.” Lintang memamerkan senyum semanis cokelat hangat.

Senyum tulus istrinya serupa benang kasat mata yang menarik kedua sudut bibir Satya. Lagi-lagi darahnya berdesir dan hatinya bertalu. Senyum Lintang sungguh membius. Tak ingin berlama-lama menatap wajah perempuan di hadapannya, ia segera membalikkan badan dan bergegas menuju kereta tujuang Bandung.

Lintang menarik napas berat melihat tubuh Satya menjauh lalu menghilang di balik gerbong. Sampai saat ini, ia masih berharap ada kesempatan merajut pernikahan impian dengan Satya. Dalam diam ia melangitkan doa, memohon agar Allah membuka hati Satya untuknya. Hanya berdoa yang bisa ia lakukan saat ini. Lintang yakin, doanya akan berbuah manis.

Lintang melangkah keluar menuju tempat parkir. Dalam hitungan menit, ia sudah kembali membelah jalanan Yogyakarta - Bantul. Ia mulai menyusun rencana agar skripsi dan pekerjaan di lab segera selesai sehingga ia bisa tiba di Bandung secepat mungkin.

Gadis yang telah yatim piatu sejak berusia sepuluh tahun itu baru saja memarkir mobil di garasi ketika W******p dari ibu mertua dan dosennya datang hampir bersamaan. Dua pesan yang membuatnya harus mengubah beberapa rencana yang telah tersusun.

 “Kok, enggak ikut suamimu saja, tho, Nduk?” Bu Marni yang masih sibuk membungkus tempe di ruang tengah menghentikan pekerjaan ketika Lintang masuk kemudian duduk di sampingnya. Perempuan yang masih setia dengan pekerjaannya membuat tempe itu menatap keponakannya lamat-lamat.

“Gimanapun juga kalian pengantin baru, saatnya saling mengenal. Kalau langsung pisahan gini gimana?” Bu Marni tersenyum samar. “Nanti Bulik nggak jadi cepet dapet cucu. Padahal Bulik sudah kangen gendong bayi.” Perempuan bermata seteduh naungan pohon itu mencubit hidung bangir Lintang.

Rona merah menyemburat di pipi Lintang, membayangkan Satya bersikap layaknya seorang suami. Namun, buru-buru dihapusnya bayang lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu. Ia tidak ingin terlalu berharap karena konon kalau jatuh sangat sakit. Sampai saat ini ia masih belum bisa membayangkan nasib pernikahannya kelak. Apakah akan bertahan sampai maut memisahkan ataukah terhempas dalam hitungan bulan sebagaimana perjanjiannya dengan Satya.

“Nah, tho, baru pisah sebentar kamu sudah melamun.” Kali ini pipi Lintang yang menjadi sasaran cubitan gemas Bu Marni.

Lintang tertawa. “Lintang enggak melamun, Bulik. Cuma lagi mikir.” Tangan Lintang meraih daun pisang dan kedelai yang sudah diberi ragi. “Sebenarnya pengen juga ikut Mas Satya ke Bandung. Tapi, kan, skripsi Lintang sudah hampir selesai. Eman kalau enggak dirampungkan dulu. Nanti keburu mager di Bandung malah gawat.”

Bu Marni manggut-manggut. “Kalau gitu cepat selesaikan skripsimu, Nduk. Kasihan kalau masmu kelamaan sendiri di Bandung. Baru buka puasa sudah harus puasa lagi.”

Lintang memaksakan senyum. Sikap Satya kembali mengusik ingatan meski segera ditepisnya agar tak terlihat Bu Marni. “Ya, Bulik, doain Lintang, ya.”

Wajah perempuan itu terlihat lega ketika Bu Marni mengganti topik pembicaraan sepanjang pekerjaan mereka membungkus tempe. Kedatangan Farhan dan Karima yang baru pulang dari rapat remaja menambah riuh suasana, membuat Lintang sejenak mampu melupakan prahara rumah tangganya.

Lintang hampir lupa membuka pesan dari dosen dan mertuanya karena perhatiannya tersita untuk membantu Bu Marni. Ia baru membuka W******p ketika sudah masuk ke kamar setelah pekerjaannya selesai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status