Sesuai jadwal yang tertera di tiket, sore harinya Lintang mengantar Satya ke Stasiun Tugu.
“Kamu bisa nyetir?” Satya menatap heran Lintang ketika istrinya membawa kunci mobil milik pamannya.
“Lintang itu perempuan mandiri, Mas Satya.” Tiba-tiba Paklik Heru sudah berada di samping Satya. “Dia bisa melakukan banyak hal. Cuma satu dia kurangnya.” Lelaki dengan rambut kelabu itu tersenyum jenaka sembari meantap Lintang yang terpasak di dekat pintu garasi. “Dia itu pelupa dan kadang agak ceroboh. Semoga nanti setelah jadi istri, dia nggak lupa sama suaminya.”
Seketika tawa Satya pecah berderai sementara Lintang terlihat manyun.
“Jangan marah, Lin. Sudah kewajiban Paklik memberitahu suamimu. Biar dia nggak kaget kalau tiba-tiba kamu lupa sama dia.”
Lintang semakin merengut. Dengan wajah kesal ia berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan mobil.
“Biar aku saja yang nyetir.” Satya buru-buru mengikuti Lintang dan memintanya pindah posisi. “Kamu jadi navigator saja.” Lelaki itu memberi isyarat dengan matanya agar Lintang segera pindah tempat duduk.
Lintang menurut. Ia pun memberikan kemudi kepada Satya dan berpindah tempat. Tak banyak yang mereka bincangkan sepanjang perjalanan selama satu jam dari Bantul ke Stasiun Tugu. Ingatan tentang Hanum datang silih berganti. Ingin sekali ia bertanya kepada Satya tentang perempuan itu, tetapi deretan kata itu hanya berhenti di ujung lidah sementara bibirnya seolah terkunci rapat.
“Kabari aku kalau skripsimu sudah selesai dan mau berlibur ke Bandung,” ucap Satya saat berpamitan. Petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta yang akan ia naiki sudah tiba.
“Insyaallah, Mas.” Lintang memamerkan senyum semanis cokelat hangat.
Senyum tulus istrinya serupa benang kasat mata yang menarik kedua sudut bibir Satya. Lagi-lagi darahnya berdesir dan hatinya bertalu. Senyum Lintang sungguh membius. Tak ingin berlama-lama menatap wajah perempuan di hadapannya, ia segera membalikkan badan dan bergegas menuju kereta tujuang Bandung.
Lintang menarik napas berat melihat tubuh Satya menjauh lalu menghilang di balik gerbong. Sampai saat ini, ia masih berharap ada kesempatan merajut pernikahan impian dengan Satya. Dalam diam ia melangitkan doa, memohon agar Allah membuka hati Satya untuknya. Hanya berdoa yang bisa ia lakukan saat ini. Lintang yakin, doanya akan berbuah manis.
Lintang melangkah keluar menuju tempat parkir. Dalam hitungan menit, ia sudah kembali membelah jalanan Yogyakarta - Bantul. Ia mulai menyusun rencana agar skripsi dan pekerjaan di lab segera selesai sehingga ia bisa tiba di Bandung secepat mungkin.
Gadis yang telah yatim piatu sejak berusia sepuluh tahun itu baru saja memarkir mobil di garasi ketika W******p dari ibu mertua dan dosennya datang hampir bersamaan. Dua pesan yang membuatnya harus mengubah beberapa rencana yang telah tersusun.
“Kok, enggak ikut suamimu saja, tho, Nduk?” Bu Marni yang masih sibuk membungkus tempe di ruang tengah menghentikan pekerjaan ketika Lintang masuk kemudian duduk di sampingnya. Perempuan yang masih setia dengan pekerjaannya membuat tempe itu menatap keponakannya lamat-lamat.
“Gimanapun juga kalian pengantin baru, saatnya saling mengenal. Kalau langsung pisahan gini gimana?” Bu Marni tersenyum samar. “Nanti Bulik nggak jadi cepet dapet cucu. Padahal Bulik sudah kangen gendong bayi.” Perempuan bermata seteduh naungan pohon itu mencubit hidung bangir Lintang.
Rona merah menyemburat di pipi Lintang, membayangkan Satya bersikap layaknya seorang suami. Namun, buru-buru dihapusnya bayang lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu. Ia tidak ingin terlalu berharap karena konon kalau jatuh sangat sakit. Sampai saat ini ia masih belum bisa membayangkan nasib pernikahannya kelak. Apakah akan bertahan sampai maut memisahkan ataukah terhempas dalam hitungan bulan sebagaimana perjanjiannya dengan Satya.
“Nah, tho, baru pisah sebentar kamu sudah melamun.” Kali ini pipi Lintang yang menjadi sasaran cubitan gemas Bu Marni.
Lintang tertawa. “Lintang enggak melamun, Bulik. Cuma lagi mikir.” Tangan Lintang meraih daun pisang dan kedelai yang sudah diberi ragi. “Sebenarnya pengen juga ikut Mas Satya ke Bandung. Tapi, kan, skripsi Lintang sudah hampir selesai. Eman kalau enggak dirampungkan dulu. Nanti keburu mager di Bandung malah gawat.”
Bu Marni manggut-manggut. “Kalau gitu cepat selesaikan skripsimu, Nduk. Kasihan kalau masmu kelamaan sendiri di Bandung. Baru buka puasa sudah harus puasa lagi.”
Lintang memaksakan senyum. Sikap Satya kembali mengusik ingatan meski segera ditepisnya agar tak terlihat Bu Marni. “Ya, Bulik, doain Lintang, ya.”
Wajah perempuan itu terlihat lega ketika Bu Marni mengganti topik pembicaraan sepanjang pekerjaan mereka membungkus tempe. Kedatangan Farhan dan Karima yang baru pulang dari rapat remaja menambah riuh suasana, membuat Lintang sejenak mampu melupakan prahara rumah tangganya.
Lintang hampir lupa membuka pesan dari dosen dan mertuanya karena perhatiannya tersita untuk membantu Bu Marni. Ia baru membuka W******p ketika sudah masuk ke kamar setelah pekerjaannya selesai.
“Nduk Cah Ayu, kata Satya kamu nggak ikut ke Bandung. Kapan kamu ke Solo? Bunda kangen sama kamu.” Pesan dari Bu Sekar terpampang di layar ponsel pintar berukuran enam inchi di tangan Lintang.Kedua sudut bibir Lintang terangkat membaca pesan dari ibu mertuanya. Sejak awal bertemu, perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu selalu penuh kasih kepadanya. Ia memang berencana sesekali menengok ibu mertuanya, tetapi tidak dalam waktu dekat. Pekerjaan di lab dan skripsinya sudah memanggil untuk segera digarap.“Bunda harap kamu tiap akhir pekan pulang ke Solo, Cah Ayu. Waktu Bunda tidak lama. Bunda pengen kamu temani di sisa usia Bunda.”Lintang mengganjur napas. Pesan berikutnya yang dikirm sang bunda membuatnya kembali memikirkan rencana kerja yang telah disusunnya. Sejak kemarin ia sudah bertekad akan lembur tiap akhir pekan.Lintang mengurungkan niat menelepon Bu Sekar ketika melihat jam di dinding menunjukkan pukul 10.05. Sudah terlalu malam. Dokter tidak mengizinkan perempuan yang
Lintang berharap berita yang ia dengar salah. Namun, suara di seberang dua kalii menegaskan jika ibu Satya benar-benar sakit dan Lintang harus segera pergi ke Solo.“Ada apa, Lin?” Dini menatap wajah Lintang yang mendadak keruh.Helaan napas panjang dan berat Lintang terdengar. Mata perempuan ayu itu menatap Dini bingung. Setumpuk rencana lembur yang telah tersusun rapi terancam buyar.“Bunda sakit dan beliau minta aku ke Solo. Sekarang sopirnya sudah jalan mau jemput aku.”“Ya udah, ayo cepetan pulang.”Lintang mengiyakan ajakan Dini. Keduanya berjalan cepat menuju tempat parkir.Ponsel Lintang kembali bergetar ketika ia dan Dini sampai di tempat parkir. Nama Satya tertera di layar.“Lin, kamu bisa ke Solo sekarang?” Suara Satya di seberang terdengar khawatir. Ia bahkan lupa mengucap salam.“Tolong tengok dan titip Bunda, ya. Aku pulang besok,” lanjutnya setelah Lintang menjawab pertanyaannya.“Iya, Mas. Nanti aku kabari kalau sudah sampai dan tahu keadaan Bunda.”Satya menutup pangg
Melihat Bunda dan Lintang di ruang makan, sigap Mbok Darmi menata makan malam yang memang sudah dimasaknya di atas meja. Harum rempah dari nasi liwet dan pelengkaapnya meraja hidung, membangktkan rasa lapar yang sempat tertahan.Sepsang manik mata cokelat milik Lintan smpat bersitatap dengan Mbok Darmi. Ia ingn meminta penjelasan perempuan tua itu kenapa Bunda ternyata tidak sakit.“Besok, Bunda ajak kamu ke Omah Lowo. Rumah itu sedang direnovasi. Kalau sudah jadi, kamu yang akan mengurus.”“Bunda istirahat dulu saja. Khawatirnya nanti drop lagi.” Lintang benar-benar merasa ganjil dengan sikap sang bunda. Sudut hatinya mulai yakin di mertuanya memang tidak sakit.Bunda bergeming sesaat, membiarkan sesendk nasi yang tengah dikunyah di mulut melewati tenggorokan menuju lambung.“Alhamdulillah Bunda baik-baik saja, Nduk. Kan, Bunda sudah bilang kalau lihat kamu sakit Bunda langsung sembuh.”“Ta-tapi, Bun …..”“Sst …., enggak boleh membantah orang tua, enggak patut.”Lintang menelan ludah
Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak
“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke Whatsapp miliknya mes
Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum belia
“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?” Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir. “Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.” “Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.” “Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan. “Ak
“Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan d