Lintang Ayu Saraswati terpaksa menikah dengan Satya Aditya Prawira yang telah memiliki kekasih. Sejak awal menikah, Satya mengatakan pada Lintang kalau ia ingin kembali pada kekasihnya dan pernikahan mereka hanya sementara. Bagaimana nasib Lintang? Akankah pernikahan mereka bertahan?
View More“Pernikahan ini hanya sementara, Lin. Tidak akan lama.”
Satya menatap lekat Lintang yang baru dinikahinya beberapa jam lalu. Mereka tengah duduk di bibir ranjang pengantin ditemani wangi melati dan sedap malam. “Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini.”
Mulut Lintang terbuka dan kedua matanya membulat. Lalu, kepalanya tertunduk demi menyembunyikan air mata yang nyaris tumpah. Ia tidak menyangka Satya menginginkan pernikahan mereka segera berakhir. Mimpi dalam genggamannya seketika jatuh berceceran.
“Aku tahu kamu juga terpaksa melakukannya.”
Lintang tersenyum getir. “Awalnya saya memang terpaksa, tapi semua sudah terjadi, Mas. Kita enggak mungkin putar balik.”
Satya menggeleng. “Sesuatu yang dipaksakan tidak akan memberi kebaikan, Lin. Daripada kita saling menyakiti, lebih baik kita pisah. Aku yakin, lama-lama Bunda akan mengerti kalau kita tidak saling mencintai.”
Tidak saling mencintai. Kata-kata itu berputar di kepala Lintang. Ia sadar sepenuhnya kalau mereka menikah karena perjodohan. Namun, bukan berarti bisa berbuat seenaknya seolah pernikahan hanya permainan. Hari ini mengucap janji di depan penghulu, esok lusa berpisah.
“Kenapa kita tidak berusaha dulu, Mas?”
“Tidak perlu,” sahut Satya cepat.
Suasana kamar mendadak tegang. Lintang dan Satya saling menatap dalam diam. Mulut mereka terkunci, tetapi pikiran keduanya begitu berisik.
“Jadi berapa lama kita akan berpura-pura jadi suami istri, Mas?”
Satya mengalihkan pandangan dari wajah Lintang. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba mengurai pikiran seruwet benang kusut. “Aku tidak bisa memastikan, Lin. Tergantung kondisi Bunda. Kamu tahu kan, kalau Bunda punya darah tinggi dan penyakit lainnya. Aku harus hati-hati dan cari waktu yang tepat untuk bicara dengannya.”
“Astagfirullah.” Lintang menarik napas panjang. Rasa kecewa bergumpal-gumpal di dada. “Jadi saya harus menunggu tanpa kepastian?”
“Bukan begitu, Lin. Maksudku ....”
“Membiarkan hubungan seperti ini tanpa kepastian waktu sama saja dengan menzalimi saya, Mas.” Bola mata bening milik Lintang menatap tajam Satya. Ia sudah tidak mampu lagi mengerem gelombang kekecewaan yang bergulung-gulung di hatinya. “Harus ada batas waktu yang pasti. Saya bukan boneka yang tidak punya perasaan!” serunya dengan suara bergetar.
“Aku pastikan, tidak lebih dari empat bulan, kamu sudah bebas. Aku akan segera cari waktu terbaik untuk bicara dengan Bunda.” Akhirnya Satya memberi keputusan. “Semoga kondisi Bunda stabil,” lanjutnya.
“Kalau dalam waktu empat bulan Mas Satya belum berhasil membujuk Bunda?”
Satya tertegun. Kemungkinan itu belum pernah ia pikirkan sebelumnya. Sampai saat ini ia masih yakin suatu hari Bunda akan luluh dan mengizinkannya menikah dengan perempuan pilihannya.
“A-aku belum memikirkannya, Lin.” Jemari kokoh Satya menyugar rambut lurus tebal miliknya. “Nanti aku pikirkan lagi kalau sampai empat bulan Bunda belum juga mengizinkan kita berpisah.”
Lintang membuang napas kasar, lagi-lagi dia yang harus mengalah. “Baiklah, jika itu maumu,” batin Lintang. Dalam hati, perempuan berlesung pipit itu berjanji akan menaklukan hati Satya sebelum waktu yang ditentukan habis. Ia bertekad tidak akan menyerah.
“Okelah, kalau memang itu maunya Mas Satya. Toh, memang cinta nggak bisa dipaksakan.” Lintang berujar sok bijak padahal batinnya merintih.
Senyum lega terbit di wajah Satya. “Makasih sudah mengerti, Lin.” Salah satu masalah sudah teratasi. Ia tinggal membujuk Bunda dan setelahnya mereka bias berpisah baik-baik dan meneruskan hidup masing-masing.
Tujuh hari berlalu dan semua rangkaian prosesi pernikahan yang telah diatur sang bunda akhirnya selesai. Satya sebenarnya ingin pernikahan sederhana. Toh, nanti mereka akan berpisah juga, jadi tidak perlu repot-repot menghabiskan banyak uang. Namun, seperti biasa, titah bundanya tak pernah bisa dilawan.
Hari ini Satya bersiap kembali ke Bandung dan Lintang masih akan tinggal di Yogyakarta untuk menyelesaikan skripsinya yang hampir rampung.
Tiba-tiba, terbit keinginan Lintang untuk melihat-lihat ponsel Satya, satu hal yang belum pernah dilakukannya selama satu minggu bersama. Kebetulan suaminya meninggalkan ponsel di atas meja saat mandi. Kamarnya tidak memiliki kamar mandi dalam sehingga Lintang punya cukup waktu untuk membuka-buka ponsel Satya.
Ia menarik napas lega ketika ponsel Satya tidak bersandi. Segera dibukanya aplikasi hijau. Ternyata masih terbuka chat dengan seseorang bernama Hanum. Jemari lentik Lintang segera menyusuri deretan kalimat dalam chat tersebut.
“Aku sudah bicara dengan Lintang. Hanya tiga bulan dan aku akan kembali.” Demikian tulis Satya dalam satu chat.
“Kamu sabar ya, Sayang. Tiga bulan tidak lama,” tulis Satya di chat berikutnya setelah Hanum mempertanyakan berapa lama ia harus menunggu.
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments