Share

Bab 4: Kabar dari Bunda

“Nduk Cah Ayu, kata Satya kamu nggak ikut ke Bandung. Kapan kamu ke Solo? Bunda kangen sama kamu.” Pesan dari Bu Sekar terpampang di layar ponsel pintar berukuran enam inchi di tangan Lintang.

Kedua sudut bibir Lintang terangkat membaca pesan dari ibu mertuanya. Sejak awal bertemu, perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu selalu penuh kasih kepadanya. Ia memang berencana sesekali menengok ibu mertuanya, tetapi tidak dalam waktu dekat. Pekerjaan di lab dan skripsinya sudah memanggil untuk segera digarap.

“Bunda harap kamu tiap akhir pekan pulang ke Solo, Cah Ayu. Waktu Bunda tidak lama. Bunda pengen kamu temani di sisa usia Bunda.”

Lintang mengganjur napas. Pesan berikutnya yang dikirm sang bunda membuatnya kembali memikirkan rencana kerja yang telah disusunnya. Sejak kemarin ia sudah bertekad akan lembur tiap akhir pekan.

Lintang mengurungkan niat menelepon Bu Sekar ketika melihat jam di dinding menunjukkan pukul 10.05. Sudah terlalu malam. Dokter tidak mengizinkan perempuan yang gemar membatik itu tidur lewat jam sembilan malam. Masih ada waktu esok hari untuk menghubungi ibu mertuanya. Lintang akan meminta pengertian perempuan berdarah ningrat itu tentang skripsinya yang harus segera selesai.

Keesokan harinya, Lintang berangkat ketika sinar matahari mulai menyiram bumi. Vario hitam yang dikendarainya mulai menyusuri jalan Bantul - Yogyakarta dengan kecepatan sedang. Sesekali ia mempercepat laju motornya ketika melewati jalanan yang tidak terlalu ramai. Ia sengaja berangkat sepagi mungkin agar tidak tergesa.

Tepat sepuluh menit jelang jam delapan pagi, Lintang memasuki kompleks Fakultas MIPA. Setengah berlari ia menuju gedung di sebelah timur. Ia harus bertemu dengan dosen pembimbing sebelum jam setengah sembilan.

“Sorry ngganggu honeymoon kamu, Lin,” goda Prof. Katrina ketika Lintang sudah berada di kantornya. Perempuan berotak jenius yang telah meraih gelar profesor di usia sebelum empat puluh tahun itu tersenyum jenaka.

Honeymoon sudah selesai kok, Prof. Saya mau ngerjakan skripsi sekarang.” Lintang memamerkan deretan gigi-gigi kecil serupa biji mentimun.

“Baguslah. Lebih cepat lebih baik. Nanti kamu bisa honeymoon lagi kalau skripsi sudah kelar.” Prof. Katrina mengambil draft skripsi Lintang dari rak di samping meja kerjanya. “Sudah saya cek kerjaan kamu. Ada beberapa teori penunjang yang harus ditambahkan untuk memperkuat hasil analisis kamu. Salah-salah tulis dan tanda baca juga tolong diperbaiki.” Perempuan bertubuh tinggi semampai itu menyodorkan draft skripsi pada Lintang.

“Ada bad news yang mau saya sampaikan. Dua bulan lagi saya harus ke Jerman. Ada shourtcourse tiga bulan di sana. Kalau nggak pengen sidangmu tertunda, selesaikan secepatnya skripsimu.”

Kalimat terakhir Prof. Katrina cukup membuat kepala Lintang berdenyut. Tadi pagi dia sudah menelepon mertuanya. Perempuan itu tetap meminta Lintang datang setiap akhir pekan. Keinginannya benar-benar tidak bisa ditawar sehingga akhirnya Lintang pun mengiyakan, sementara di sini ia harus berpacu dengan waktu.

“Ada yang mau ditanyakan?” Prof. Katrina menatap Lintang yang termangu di seberang meja.

Lintang menggeleng. “Tidak, Prof. Insyaallah saya akan selesaikan secepatnya agar bisa segera mendaftar ujian,” jawabnya. Ia pun segera pamit karena masih ada satu mahasiswa bimbingan yang menunggu giliran di luar.

Tanpa membuang waktu, Lintang melangkahkan kaki menuju perpustakaan untuk mencari literatur yang dibutuhkan untuk melengkapi skripsinya. Ia akan mencoba membujuk kembali ibu mertuanya nanti setelah urusannya selesai. Hanya akhir pekan ini saja ia meminta waktu agar diizinkan tetap di Yogyakarta. Selebihnya ia akan berusaha untuk berkunjung ke Solo tiap Sabtu - Minggu.

“Duh, pengantin baru, sudah ngampus aja.”

Tepukan di pundak dan suara renyah Dini serupa benang kasat mata yang menarik perhatian Lintang dari tumpukan buku-buku.

“Astagfirullah, bikin kaget aja, Din,” ujarnya pura-pura kesal.

“Memangnya sudah kelar honeymoon-nya, Lin? Kok, sudah nongol di kampus?” Dena tersenyum menggoda. “Sudah goal, belum?”

“Ish, apaan, sih.” Lintang melempar gumpalan kertas ke arah sahabatnya. “Skripsimu gimana, sudah selesai?” Ia mencoba membelokkan topik pembicaraan sebelum Dena semakin menjadi.

Dini membuang napas kasar. “Senasib sama kamu, masih revisi. Tapi Pak Pras sudah wanti-wanti bulan ini harus selesai sebelum beliau berangkat ke Jerman.”

“Wah, sama dong, kita. Prof. Katrina juga minta selesai bulan ini.”

“Kita memang ditakdirkan selalu senasib sepenanggungan, Lin.” Dini berujar dengan wajah serius. “Kecuali satu hal.” Gadis berwajah oriental itu menggantung kalimatnya.

“Apaan?” Lintang menatap Dini dengan sorot penuh tanya. Jika wajah Dini serius, pertanda ia akan melontarkan sesuatu yang penting.

“Kamu sudah sold out dan aku masih jomlo.” Kali ini Dini memasang wajah memelas.

“Ish, kirain mau ngomong apa.” Lintang melempar gumpalan kertas pada sahabatnya yang disambut tawa Dini. Setelah mengobrol sekian menit, mereka kembali tenggelam di antara tumpukan buku-buku. Ultimatum dosen pembimbing membuat mereka menghabiskan waktu di perpustakaan hingga senja dan hanya terjeda oleh waktu salat dan makan siang yang dilahap secepat kilat.

Waktu berputar cepat laksana panah yang memelesat dari busurnya. Hari Jumat, Lintang dan Dini masih berada di perpustakaan hingga tirai malam menutup bumi. Hari Senin mereka berencana menyerahkan revisi skripsi pada dosen pembimbing masing-masing.

Keduanya baru saja merapikan buku-buku dan bersiap pulang ketika ponsel Lintang bergetar. Nama Bunda tertera di layarnya. Sigap, tangannya mengambil ponsel dari atas meja.

“Mbak Lintang, ini saya Mbok Darmi.”

Lintang berjengit ketika bukan suara sang bunda yang ia dengar.

“Ibu sakit. Beliau meminta saya menelepon Mbak Lintang supaya bisa ke sini secepatnya. Ini Pak Pardi sudah berangkat mau jemput Mbak Lintang.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status