“Nduk Cah Ayu, kata Satya kamu nggak ikut ke Bandung. Kapan kamu ke Solo? Bunda kangen sama kamu.” Pesan dari Bu Sekar terpampang di layar ponsel pintar berukuran enam inchi di tangan Lintang.
Kedua sudut bibir Lintang terangkat membaca pesan dari ibu mertuanya. Sejak awal bertemu, perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu selalu penuh kasih kepadanya. Ia memang berencana sesekali menengok ibu mertuanya, tetapi tidak dalam waktu dekat. Pekerjaan di lab dan skripsinya sudah memanggil untuk segera digarap.
“Bunda harap kamu tiap akhir pekan pulang ke Solo, Cah Ayu. Waktu Bunda tidak lama. Bunda pengen kamu temani di sisa usia Bunda.”
Lintang mengganjur napas. Pesan berikutnya yang dikirm sang bunda membuatnya kembali memikirkan rencana kerja yang telah disusunnya. Sejak kemarin ia sudah bertekad akan lembur tiap akhir pekan.
Lintang mengurungkan niat menelepon Bu Sekar ketika melihat jam di dinding menunjukkan pukul 10.05. Sudah terlalu malam. Dokter tidak mengizinkan perempuan yang gemar membatik itu tidur lewat jam sembilan malam. Masih ada waktu esok hari untuk menghubungi ibu mertuanya. Lintang akan meminta pengertian perempuan berdarah ningrat itu tentang skripsinya yang harus segera selesai.
Keesokan harinya, Lintang berangkat ketika sinar matahari mulai menyiram bumi. Vario hitam yang dikendarainya mulai menyusuri jalan Bantul - Yogyakarta dengan kecepatan sedang. Sesekali ia mempercepat laju motornya ketika melewati jalanan yang tidak terlalu ramai. Ia sengaja berangkat sepagi mungkin agar tidak tergesa.
Tepat sepuluh menit jelang jam delapan pagi, Lintang memasuki kompleks Fakultas MIPA. Setengah berlari ia menuju gedung di sebelah timur. Ia harus bertemu dengan dosen pembimbing sebelum jam setengah sembilan.
“Sorry ngganggu honeymoon kamu, Lin,” goda Prof. Katrina ketika Lintang sudah berada di kantornya. Perempuan berotak jenius yang telah meraih gelar profesor di usia sebelum empat puluh tahun itu tersenyum jenaka.
“Honeymoon sudah selesai kok, Prof. Saya mau ngerjakan skripsi sekarang.” Lintang memamerkan deretan gigi-gigi kecil serupa biji mentimun.
“Baguslah. Lebih cepat lebih baik. Nanti kamu bisa honeymoon lagi kalau skripsi sudah kelar.” Prof. Katrina mengambil draft skripsi Lintang dari rak di samping meja kerjanya. “Sudah saya cek kerjaan kamu. Ada beberapa teori penunjang yang harus ditambahkan untuk memperkuat hasil analisis kamu. Salah-salah tulis dan tanda baca juga tolong diperbaiki.” Perempuan bertubuh tinggi semampai itu menyodorkan draft skripsi pada Lintang.
“Ada bad news yang mau saya sampaikan. Dua bulan lagi saya harus ke Jerman. Ada shourtcourse tiga bulan di sana. Kalau nggak pengen sidangmu tertunda, selesaikan secepatnya skripsimu.”
Kalimat terakhir Prof. Katrina cukup membuat kepala Lintang berdenyut. Tadi pagi dia sudah menelepon mertuanya. Perempuan itu tetap meminta Lintang datang setiap akhir pekan. Keinginannya benar-benar tidak bisa ditawar sehingga akhirnya Lintang pun mengiyakan, sementara di sini ia harus berpacu dengan waktu.
“Ada yang mau ditanyakan?” Prof. Katrina menatap Lintang yang termangu di seberang meja.
Lintang menggeleng. “Tidak, Prof. Insyaallah saya akan selesaikan secepatnya agar bisa segera mendaftar ujian,” jawabnya. Ia pun segera pamit karena masih ada satu mahasiswa bimbingan yang menunggu giliran di luar.
Tanpa membuang waktu, Lintang melangkahkan kaki menuju perpustakaan untuk mencari literatur yang dibutuhkan untuk melengkapi skripsinya. Ia akan mencoba membujuk kembali ibu mertuanya nanti setelah urusannya selesai. Hanya akhir pekan ini saja ia meminta waktu agar diizinkan tetap di Yogyakarta. Selebihnya ia akan berusaha untuk berkunjung ke Solo tiap Sabtu - Minggu.
“Duh, pengantin baru, sudah ngampus aja.”
Tepukan di pundak dan suara renyah Dini serupa benang kasat mata yang menarik perhatian Lintang dari tumpukan buku-buku.
“Astagfirullah, bikin kaget aja, Din,” ujarnya pura-pura kesal.
“Memangnya sudah kelar honeymoon-nya, Lin? Kok, sudah nongol di kampus?” Dena tersenyum menggoda. “Sudah goal, belum?”
“Ish, apaan, sih.” Lintang melempar gumpalan kertas ke arah sahabatnya. “Skripsimu gimana, sudah selesai?” Ia mencoba membelokkan topik pembicaraan sebelum Dena semakin menjadi.
Dini membuang napas kasar. “Senasib sama kamu, masih revisi. Tapi Pak Pras sudah wanti-wanti bulan ini harus selesai sebelum beliau berangkat ke Jerman.”
“Wah, sama dong, kita. Prof. Katrina juga minta selesai bulan ini.”
“Kita memang ditakdirkan selalu senasib sepenanggungan, Lin.” Dini berujar dengan wajah serius. “Kecuali satu hal.” Gadis berwajah oriental itu menggantung kalimatnya.
“Apaan?” Lintang menatap Dini dengan sorot penuh tanya. Jika wajah Dini serius, pertanda ia akan melontarkan sesuatu yang penting.
“Kamu sudah sold out dan aku masih jomlo.” Kali ini Dini memasang wajah memelas.
“Ish, kirain mau ngomong apa.” Lintang melempar gumpalan kertas pada sahabatnya yang disambut tawa Dini. Setelah mengobrol sekian menit, mereka kembali tenggelam di antara tumpukan buku-buku. Ultimatum dosen pembimbing membuat mereka menghabiskan waktu di perpustakaan hingga senja dan hanya terjeda oleh waktu salat dan makan siang yang dilahap secepat kilat.
Waktu berputar cepat laksana panah yang memelesat dari busurnya. Hari Jumat, Lintang dan Dini masih berada di perpustakaan hingga tirai malam menutup bumi. Hari Senin mereka berencana menyerahkan revisi skripsi pada dosen pembimbing masing-masing.
Keduanya baru saja merapikan buku-buku dan bersiap pulang ketika ponsel Lintang bergetar. Nama Bunda tertera di layarnya. Sigap, tangannya mengambil ponsel dari atas meja.
“Mbak Lintang, ini saya Mbok Darmi.”
Lintang berjengit ketika bukan suara sang bunda yang ia dengar.
“Ibu sakit. Beliau meminta saya menelepon Mbak Lintang supaya bisa ke sini secepatnya. Ini Pak Pardi sudah berangkat mau jemput Mbak Lintang.”
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba