“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Pernikahan ini hanya sementara, Lin. Tidak akan lama.” Satya menatap lekat Lintang yang baru dinikahinya beberapa jam lalu. Mereka tengah duduk di bibir ranjang pengantin ditemani wangi melati dan sedap malam. “Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini.” Mulut Lintang terbuka dan kedua matanya membulat. Lalu, kepalanya tertunduk demi menyembunyikan air mata yang nyaris tumpah. Ia tidak menyangka Satya menginginkan pernikahan mereka segera berakhir. Mimpi dalam genggamannya seketika jatuh berceceran. “Aku tahu kamu juga terpaksa melakukannya.” Lintang tersenyum getir. “Awalnya saya memang terpaksa, tapi semua sudah terjadi, Mas. Kita enggak mungkin putar balik.” Satya menggeleng. “Sesuatu yang dipaksakan tidak akan memberi kebaikan, Lin. Daripada kita saling menyakiti, lebih baik kita pisah. Aku yakin, lama-lama Bunda akan mengerti kalau kita tidak saling mencintai.” Tidak saling mencintai. Kata-kata itu berputar di kepala Lintang. Ia sadar sepenuhnya kalau mereka menikah kare
Dua kali Lintang mengulang membaca pesan itu dan berharap sia hanya salah baca. Sayang, kenyataan berkata lain. Satya memang masih berhubungan dengan Hanum, kekasihnya. Dengan tangan gemetar, Lintang menelusuri chat sebelumnya yang membuat hatinya semakin hancur. Lintang mengembalikan ponsel Satya ke tempat semula ketika mendengar suara langkah kaki di luar kamar yang semakin jelas. Dihapusnya setitik air mata yang sempat jatuh lalu ia berpura-pura menyibukkan diri dengan membersihkan kamar.Kedua sudut bibir Lintang terangkat kala Satya masuk kamar. Lelaki itu terlihat segar dan melihat wajahnya membuat dada Lintang berdebar. Namun, buru-buru ditepisnya harap yang tumbuh di hati. Jangan sampai ia justru jatuh cinta saat nanti berpisah dengan Satya. Pasti sangat menyakitkan ditinggal ketika sedang sayang-sayangnya.“Beneran kamu nggak mau ikut ke Bandung? Jalan-jalan dulu, nanti baru ngerjakan skripsi lagi?” Satya kembali bertanya pada Lintang. Sudah beberapa kali ia mengajak istriny
Sesuai jadwal yang tertera di tiket, sore harinya Lintang mengantar Satya ke Stasiun Tugu.“Kamu bisa nyetir?” Satya menatap heran Lintang ketika istrinya membawa kunci mobil milik pamannya.“Lintang itu perempuan mandiri, Mas Satya.” Tiba-tiba Paklik Heru sudah berada di samping Satya. “Dia bisa melakukan banyak hal. Cuma satu dia kurangnya.” Lelaki dengan rambut kelabu itu tersenyum jenaka sembari meantap Lintang yang terpasak di dekat pintu garasi. “Dia itu pelupa dan kadang agak ceroboh. Semoga nanti setelah jadi istri, dia nggak lupa sama suaminya.”Seketika tawa Satya pecah berderai sementara Lintang terlihat manyun.“Jangan marah, Lin. Sudah kewajiban Paklik memberitahu suamimu. Biar dia nggak kaget kalau tiba-tiba kamu lupa sama dia.”Lintang semakin merengut. Dengan wajah kesal ia berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan mobil.“Biar aku saja yang nyetir.” Satya buru-buru mengikuti Lintang dan memintanya pindah posisi. “Kamu jadi navigator saja.” Lelaki itu memberi isyarat d
“Nduk Cah Ayu, kata Satya kamu nggak ikut ke Bandung. Kapan kamu ke Solo? Bunda kangen sama kamu.” Pesan dari Bu Sekar terpampang di layar ponsel pintar berukuran enam inchi di tangan Lintang.Kedua sudut bibir Lintang terangkat membaca pesan dari ibu mertuanya. Sejak awal bertemu, perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu selalu penuh kasih kepadanya. Ia memang berencana sesekali menengok ibu mertuanya, tetapi tidak dalam waktu dekat. Pekerjaan di lab dan skripsinya sudah memanggil untuk segera digarap.“Bunda harap kamu tiap akhir pekan pulang ke Solo, Cah Ayu. Waktu Bunda tidak lama. Bunda pengen kamu temani di sisa usia Bunda.”Lintang mengganjur napas. Pesan berikutnya yang dikirm sang bunda membuatnya kembali memikirkan rencana kerja yang telah disusunnya. Sejak kemarin ia sudah bertekad akan lembur tiap akhir pekan.Lintang mengurungkan niat menelepon Bu Sekar ketika melihat jam di dinding menunjukkan pukul 10.05. Sudah terlalu malam. Dokter tidak mengizinkan perempuan yang
Lintang berharap berita yang ia dengar salah. Namun, suara di seberang dua kalii menegaskan jika ibu Satya benar-benar sakit dan Lintang harus segera pergi ke Solo.“Ada apa, Lin?” Dini menatap wajah Lintang yang mendadak keruh.Helaan napas panjang dan berat Lintang terdengar. Mata perempuan ayu itu menatap Dini bingung. Setumpuk rencana lembur yang telah tersusun rapi terancam buyar.“Bunda sakit dan beliau minta aku ke Solo. Sekarang sopirnya sudah jalan mau jemput aku.”“Ya udah, ayo cepetan pulang.”Lintang mengiyakan ajakan Dini. Keduanya berjalan cepat menuju tempat parkir.Ponsel Lintang kembali bergetar ketika ia dan Dini sampai di tempat parkir. Nama Satya tertera di layar.“Lin, kamu bisa ke Solo sekarang?” Suara Satya di seberang terdengar khawatir. Ia bahkan lupa mengucap salam.“Tolong tengok dan titip Bunda, ya. Aku pulang besok,” lanjutnya setelah Lintang menjawab pertanyaannya.“Iya, Mas. Nanti aku kabari kalau sudah sampai dan tahu keadaan Bunda.”Satya menutup pangg
Melihat Bunda dan Lintang di ruang makan, sigap Mbok Darmi menata makan malam yang memang sudah dimasaknya di atas meja. Harum rempah dari nasi liwet dan pelengkaapnya meraja hidung, membangktkan rasa lapar yang sempat tertahan.Sepsang manik mata cokelat milik Lintan smpat bersitatap dengan Mbok Darmi. Ia ingn meminta penjelasan perempuan tua itu kenapa Bunda ternyata tidak sakit.“Besok, Bunda ajak kamu ke Omah Lowo. Rumah itu sedang direnovasi. Kalau sudah jadi, kamu yang akan mengurus.”“Bunda istirahat dulu saja. Khawatirnya nanti drop lagi.” Lintang benar-benar merasa ganjil dengan sikap sang bunda. Sudut hatinya mulai yakin di mertuanya memang tidak sakit.Bunda bergeming sesaat, membiarkan sesendk nasi yang tengah dikunyah di mulut melewati tenggorokan menuju lambung.“Alhamdulillah Bunda baik-baik saja, Nduk. Kan, Bunda sudah bilang kalau lihat kamu sakit Bunda langsung sembuh.”“Ta-tapi, Bun …..”“Sst …., enggak boleh membantah orang tua, enggak patut.”Lintang menelan ludah
Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak