Dua kali Lintang mengulang membaca pesan itu dan berharap sia hanya salah baca. Sayang, kenyataan berkata lain. Satya memang masih berhubungan dengan Hanum, kekasihnya. Dengan tangan gemetar, Lintang menelusuri chat sebelumnya yang membuat hatinya semakin hancur.
Lintang mengembalikan ponsel Satya ke tempat semula ketika mendengar suara langkah kaki di luar kamar yang semakin jelas. Dihapusnya setitik air mata yang sempat jatuh lalu ia berpura-pura menyibukkan diri dengan membersihkan kamar.
Kedua sudut bibir Lintang terangkat kala Satya masuk kamar. Lelaki itu terlihat segar dan melihat wajahnya membuat dada Lintang berdebar. Namun, buru-buru ditepisnya harap yang tumbuh di hati. Jangan sampai ia justru jatuh cinta saat nanti berpisah dengan Satya. Pasti sangat menyakitkan ditinggal ketika sedang sayang-sayangnya.
“Beneran kamu nggak mau ikut ke Bandung? Jalan-jalan dulu, nanti baru ngerjakan skripsi lagi?” Satya kembali bertanya pada Lintang. Sudah beberapa kali ia mengajak istrinya ikut ke Bandung, tetapi selalu tak bersambut. Bukan apa-apa, Satya hanya tidak ingin Bunda marah karena meninggalkan Lintang di Yogyakarta.
Mendengar pertanyaan Satya, seketika chat lelaki itu dengan Hanum kembali mengusik ingatan Lintang. Sejak awal ia memang sudah berencana untuk tetap di Yogyakarta. Ia akan ke Bandung setelah selesai skripsi. Namun, chat suaminya membuat Lintang bimbang. Bagaimana jika keduanya intens bertemu layaknya pasangan kekasih selama ia berada di Yogyakarta? Bagaimana jika Satya diam-diam menikahi Hanum ketika ia tidak berada di sisi suaminya itu? Berbagai pertanyaan buruk seketika berjejalan di kepala, membuat hati Lintang mendadak diliputi rasa was-was.
“Lin ….” Satya menatap lekat Lintang. Matanya memindai wajah berselimut make up tipis di depannya yang terlihat melamun. Sejujurnya, Satya mengakui jika Lintang gadis berparas ayu. Tidak salah Bunda memilihkan istri untuknya. Namun, ia tentu tidak ingin mengingkari janji yang sudah terucap. Laki-laki pantang ingkar janji dan yang paling penting ia tidak ingin menyakiti hati Hanum.
“Diajak bicara kok, malah melamun?” Satya mengibaskan tangan di depan Lintang seraya tersenyum samar. “Mikirin apa?”
Lintang tergeragap. “Eh, enggak, kok, Mas. Nggak mikir apa-apa.” Lintang memalingkan wajah dari Satya sejenak, menyembunyikan rasa malu karena ketahuan bengong. “Aku di sini dulu saja. Khawatirnya kalau ikut Mas Satya ke Bandung, aku nggak balik karena keenakan di sana. Nanti aku nggak jadi lulus, deh,” ujarnya setelah kembali bersitatap dengan Satya.
Satya memamerkan deretan giginya yang rapi, membuat hati Lintang berdesir karena suaminya selalu menawan saat tersenyum. “Kamu ada-ada saja, Lin. Liburan seminggu enggak masalah. Nanti aku ingetin kalau mager di sana.”
Lintang terdiam. Saraf-saraf otaknya sibuk menimbang dan berhitung tentang segala kemungkinan. Ajakan Satya cukup menggiurkan juga. Ia belum pernah liburan ke Bandung. Siapa tahu nanti di sana ia bisa sekalian mencari informasi tentang Hanum.
“Nggak usah khawatir, rumah di Bandung punya dua kamar tidur, kok. Jadi kamu enggak usah takut aku bakal ngapa-ngapain kamu.” Satya kembali memecah beku di antara mereka.
Kata-kata itu lagi, membuat mood Lintang terjun bebas ke jempol kaki. Ia yang sempat bahagia karena ajakan Satya dan berharap ini jadi awal yang baik bagi pernikahannya kembali terpuruk. Perempuan itu merasa seperti disanjung kemudian dihempaskan ke tanah dengan keras sehingga tulang-belulang di tubuhnya remuk.
“Nggaklah, Mas. Nanti saja sekalian kalau sudah beres skripsinya aku ke Bandung. Jadi bisa liburan tenang tanpa kepikiran kerjaan di lab dan nulis.” Lintang mencoba mengurai senyum meski hatinya diamuk topan badai.
“Ya sudah, kalau begitu. Nanti kabari saja kalau kamu mau ke Bandung biar aku jemput.” Satya bangkit dari tepi ranjang kemudian menata barang-barangnya di dalam koper.
“Sini aku setrikain dulu, Mas, baju-bajunya. Di sana nanti tinggal pakai.” Lintang menawarkan diri ketika melihat baju-baju suaminya masih kusut. Ia merutuki diri yang lupa menyetrika. Kebiasaannya hanya menyetrika baju saat akan berangkat kuliah. Untuk urusan itu Lintang memang termasuk ceroboh.
“Nggak usah. Aku.ada laundry langganan, kok. Lagian kalau disetrika sekarang nanti kusut lagi.” Satya menjawab santai sembari tersenyum.
Lintang tertunduk sesaat. Entah kenapa hari ini suaminya banyak menghias wajah dengan senyum sehangat mentari yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Ssst …, sudah dibilangin, enggak usah, kok, nekat.” Satya memegang tangan Lintang yang terulur hendak meraih baju-baju di dalam koper. Selama sekian detik, sepasang mata Satya menatap manik mata berwarna hazel milik Lintang. Sekian detik yang membuat hawa panas menjalari tubuh Satya. Buru-buru ia melepas kontak mata dan pegangan di tangan Lintang ketika bayang wajah Hanum melintas. Diam-diam Satya bersyukur istrinya tidak ikut ke Bandung. Kalau begini terus setiap hari, lama-lama ia bisa jatuh cinta pada Lintang dan menelantarkan Hanum.
Lintang membuang muka, menyembunyikan rona merah di wajah lalu keluar kamar demi mengusir rasa gugup yang mendadak hadir.
Sesuai jadwal yang tertera di tiket, sore harinya Lintang mengantar Satya ke Stasiun Tugu.“Kamu bisa nyetir?” Satya menatap heran Lintang ketika istrinya membawa kunci mobil milik pamannya.“Lintang itu perempuan mandiri, Mas Satya.” Tiba-tiba Paklik Heru sudah berada di samping Satya. “Dia bisa melakukan banyak hal. Cuma satu dia kurangnya.” Lelaki dengan rambut kelabu itu tersenyum jenaka sembari meantap Lintang yang terpasak di dekat pintu garasi. “Dia itu pelupa dan kadang agak ceroboh. Semoga nanti setelah jadi istri, dia nggak lupa sama suaminya.”Seketika tawa Satya pecah berderai sementara Lintang terlihat manyun.“Jangan marah, Lin. Sudah kewajiban Paklik memberitahu suamimu. Biar dia nggak kaget kalau tiba-tiba kamu lupa sama dia.”Lintang semakin merengut. Dengan wajah kesal ia berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan mobil.“Biar aku saja yang nyetir.” Satya buru-buru mengikuti Lintang dan memintanya pindah posisi. “Kamu jadi navigator saja.” Lelaki itu memberi isyarat d
“Nduk Cah Ayu, kata Satya kamu nggak ikut ke Bandung. Kapan kamu ke Solo? Bunda kangen sama kamu.” Pesan dari Bu Sekar terpampang di layar ponsel pintar berukuran enam inchi di tangan Lintang.Kedua sudut bibir Lintang terangkat membaca pesan dari ibu mertuanya. Sejak awal bertemu, perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu selalu penuh kasih kepadanya. Ia memang berencana sesekali menengok ibu mertuanya, tetapi tidak dalam waktu dekat. Pekerjaan di lab dan skripsinya sudah memanggil untuk segera digarap.“Bunda harap kamu tiap akhir pekan pulang ke Solo, Cah Ayu. Waktu Bunda tidak lama. Bunda pengen kamu temani di sisa usia Bunda.”Lintang mengganjur napas. Pesan berikutnya yang dikirm sang bunda membuatnya kembali memikirkan rencana kerja yang telah disusunnya. Sejak kemarin ia sudah bertekad akan lembur tiap akhir pekan.Lintang mengurungkan niat menelepon Bu Sekar ketika melihat jam di dinding menunjukkan pukul 10.05. Sudah terlalu malam. Dokter tidak mengizinkan perempuan yang
Lintang berharap berita yang ia dengar salah. Namun, suara di seberang dua kalii menegaskan jika ibu Satya benar-benar sakit dan Lintang harus segera pergi ke Solo.“Ada apa, Lin?” Dini menatap wajah Lintang yang mendadak keruh.Helaan napas panjang dan berat Lintang terdengar. Mata perempuan ayu itu menatap Dini bingung. Setumpuk rencana lembur yang telah tersusun rapi terancam buyar.“Bunda sakit dan beliau minta aku ke Solo. Sekarang sopirnya sudah jalan mau jemput aku.”“Ya udah, ayo cepetan pulang.”Lintang mengiyakan ajakan Dini. Keduanya berjalan cepat menuju tempat parkir.Ponsel Lintang kembali bergetar ketika ia dan Dini sampai di tempat parkir. Nama Satya tertera di layar.“Lin, kamu bisa ke Solo sekarang?” Suara Satya di seberang terdengar khawatir. Ia bahkan lupa mengucap salam.“Tolong tengok dan titip Bunda, ya. Aku pulang besok,” lanjutnya setelah Lintang menjawab pertanyaannya.“Iya, Mas. Nanti aku kabari kalau sudah sampai dan tahu keadaan Bunda.”Satya menutup pangg
Melihat Bunda dan Lintang di ruang makan, sigap Mbok Darmi menata makan malam yang memang sudah dimasaknya di atas meja. Harum rempah dari nasi liwet dan pelengkaapnya meraja hidung, membangktkan rasa lapar yang sempat tertahan.Sepsang manik mata cokelat milik Lintan smpat bersitatap dengan Mbok Darmi. Ia ingn meminta penjelasan perempuan tua itu kenapa Bunda ternyata tidak sakit.“Besok, Bunda ajak kamu ke Omah Lowo. Rumah itu sedang direnovasi. Kalau sudah jadi, kamu yang akan mengurus.”“Bunda istirahat dulu saja. Khawatirnya nanti drop lagi.” Lintang benar-benar merasa ganjil dengan sikap sang bunda. Sudut hatinya mulai yakin di mertuanya memang tidak sakit.Bunda bergeming sesaat, membiarkan sesendk nasi yang tengah dikunyah di mulut melewati tenggorokan menuju lambung.“Alhamdulillah Bunda baik-baik saja, Nduk. Kan, Bunda sudah bilang kalau lihat kamu sakit Bunda langsung sembuh.”“Ta-tapi, Bun …..”“Sst …., enggak boleh membantah orang tua, enggak patut.”Lintang menelan ludah
Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak
“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke Whatsapp miliknya mes
Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum belia
“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?” Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir. “Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.” “Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.” “Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan. “Ak