Share

7. Menjauhlah

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2023-07-06 09:42:09

"Bunda, berkas di map Papa ma- ... Kenapa, kau lancang masuk kamar kami. Hah!" bentak Ryan menunjuk ke arah Rani. 

"E ... ak- ... maaf," ucap Rani terbata karena dirinya pun terkejut tiba-tiba Ryan masuk dalam kamarnya.

Bergegas dia taruh setumpuk pakaian yang dibawa ke atas ranjang. Lantas dia meninggalkan kamar Felliana. Syukur pintu tadi dia buka, jadi tidak akan timbul prasangka. 

"Ada apa, Pa. Kenapa marah-marah begitu. Rani tadi bantuin bunda angkat pakaian kita yang sudah disetrika mbak Nur." Felliana muncul dari balik pintu kamar mandi.

"Lain kali. Enggak usah suruh masuk kamar kita."

"Papa kenapa, sih. Kok kayaknya benci banget sama Rani. Apa jangan-jangan, Papa sudah kenal ya, dengannya. Atau kalian mantan, ya," tebak Felliana bermaksud mengajak suaminya bergurau.

"Enggak lucu. Yaa Tuhan ... jangan berprasangka yang tidak-tidak. Mas 'kan, pernah bilang tidak pernah pacaran." Ryan memeluk tubuh istrinya.

"Asli. Papa lucu, deh. Sekarang, mudah emosi. Kek perempuan mau PMS saja."

"Bunda, papa mohon sekali. Bisakah perempuan untuk pergi dari rumah ini, kalau Bunda tidak mau kita pindah."

"Papa, yang minta Rani kesini mama. Dan ini rumah mama. Masak bunda main usir. Tamu yang mama undang ke rumahnya."

"Berarti, kita yang harus pindah dari sini," putus Ryan. 

"Entahlah, bunda mulai penasaran. Apa yang membuat Papa begitu membenci Rani. Padahal baru tiga hari Rani berada di rumah ini."

Ryan meraup wajahnya dengan kesal. Dirinya juga tidak paham akan perasaannya. Kenapa bisa membenci Rani. Padahal ia yakini dalam hati. Posisi Rani di hatinya sudah tergantikan oleh Felliana istrinya.

***Rr***

"Astaga, Aku kesiangan!"

Anida melompat dari tempat tidur, saat membuka mata dan jam dinding di kamar tamu menunjukkan angka enam.

Secepat kilat Anida berlari ke lantai atas, menuju kamarnya. Semenjak Rani berada di rumah neneknya. Anida lebih nyaman tidur berdua dengan adik angkat bundanya itu.

Begitu sampai di kamarnya. Bergegas ia masuk ke kamar mandi dan langsung membersihkan diri.

Subuh tadi Rani sudah membangunkan berhubung lagi kedatangan tamu bulanan ia tidur lagi. Padahal hari ini, jadwal UTS terakhir di sekolahnya. 

Setelah mandi, berganti pakaian dan berdandan seadanya, Anida langsung keluar kamar.

"Anida. Kamu gak sarapan dulu?" Felliana bertanya karena Anida melewati meja makan tanpa menyentuh apapun.

"Gak sempat, nanti saja di kantin, Bunda," jawab Anida sambil terus berjalan tergesa menuju teras samping tempat motornya berada.

"Ya sudah, ingat lo, harus sarapan," Felliana mengingatkan putrinya.

"Siap, Bunda!" 

Mereka menghampiri sepeda motor Anida. Tapi, ia langsung menepuk jidat karena kunci motornya ketinggalan di kamar tamu.

"Kak Rani, tolong ambilkan kunci motor. Di meja kamar kita!" teriak Anida dari teras, sempat tadi dia berpamitan. Posisi Rani sedang menyapu di ruang tamu.

"Ya ampun Nida, kayak di hutan. Teriak-teriak gitu. Biar bunda saja yang ambilkan!" omel Felliana sambil geleng-geleng kepala.

"Hehee ... maaf, ya Bunda," Anida nyengir tanpa dosa. Ia sendiri memperbaiki penampilannya, berkaca pada jendela samping rumah.

Rani setengah berlari memberikan kunci pada Felliana. Kemudian melanjutkan pekerjaannya menyapu ruang tamu. 

Anida mengambil kunci motor dari bundanya. Buru-buru menaiki sepeda motor. Namun saat menstarter ternyata motornya tidak mau nyala.

"Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Ada apa dengan motor ini, kenapa gak mau nyala sih? Perasaan kemarin baik-baik saja," Anida dibuat frustasi setelah mencoba berkali-kali, tapi motornya tetap tidak mau nyala.

Ryan keluar sembari membawa tas kerjanya. Menghampiri istri dan putri tirinya.

"Motor kamu kenapa?"

"Oh, ini gak tau kenapa. Tiba-tiba gak mau nyala, Pa."

"Coba papa lihat."

Anida mundur, memberi tempat untuk Ryan mengecek sepeda motornya.

"Pantasan gak mau nyala, spidonya mepet gini. Kehabisan bahan bakar ini."

"Hah, masa sih?" Seakan tak percaya, Anida melongo menatap papanya.

"Emang kamu gak tahu kalau bahan bakarnya habis? Kan kamu bisa lihat di sini."

Ryan menunjuk bagian atas motor. Sedangkan Anida hanya bisa tersenyum malu menyadari kealfaannya.

"Ayo papa antar. Sekalian mampir beli susu buat adik-adikmu."

"Lho, Papa enggak telat meeting kalau harus balik lagi antar susu. Biar nanti, Bunda telpon Umar untuk mampir, dia mau ke sini soalnya."

"Perasaan dari dulu Paman Umar kalau ada Kak Rani senang banget kemari ya, Bund," celetuk Anida membuat Ryan melirik ke arah Rani yang masih meneruskan menyapu hingga teras depan rumah.

"Ya, biarkan saja. Pamanmu lagi PDKT sama kak Rani. Syukur-syukur kak Rani mau nerima pamanmu. Jadi, kak Rani nanti jadi tantemu."

"Asyik!" seru Anida bertepuk tangan. Sekilas Rani memperhatikan ketiganya sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam rumah.

Jawaban dari Felliana membuat Ryan mendehem. "Anida minta kak Rani ikut kita. Nanti papa turunkan dia untuk belanja susu kembar. Pulangnya biar naik taksi online."

"Siap. Papa." Anida berlari masuk ke dalam rumah menemui Rani.

Felliana mengernyit, melirik waspada pada suaminya. "Apa maksud papa mengajak Rani. Jangan-jangan mau papa turunkan di jalanan, memintanya pergi dari sini."

"Astaga, Bunda. Itu perempuan memang balita. Yang diturunkan di jalan, enggak ngerti mesti kemana. Janganlah terlalu berburuk sangka pada suamimu. Bukankah, semalam bunda meminta papa melihat sisi baiknya dia. Ini yang sedang papa lakukan."

Tak menunggu lama, Anida dan Rani sudah keluar dari pintu menghampiri mereka berdua.

"Kami berangkat dulu ya, Bun," pamit Anida kedua kalinya seraya salim dan mencium pipi Felliana. 

Demikian juga Ryan berpamitan dengan istrinya. Sedangkan Rani memperhatikan mereka bertiga dengan mengulum senyum manisnya.

***Rr***

Seharusnya Ryan bisa menurunkan Rani dahulu sebelum mengantar Anida. Tapi, ia memilih memutar arah kembali menuju baby shop Queen. Tempat biasanya Felliana belanja keperluan putra-putrinya. 

"Kamu bisa duduk di situ! Untuk menunggu belanjaan anak-anak," perintah Ryan menunjuk bangku yang berada di depan baby shop.

Rani hanya mengangguk. Ryan hanya meliriknya sekilas kemudian masuk ke dalam baby shop. 

Karena masih pagi. Tidak sampai lima menit, Ryan sudah menyerahkan kantong putih berisi empat kaleng susu kepada Rani.

"Ini. Kamu tahu alamat rumah, 'kan. Naik saja taksi online." Ryan melangkah kemudian berbalik mendekati Rani.

"Kamu pasti tahu sejak awal. Aku menantu Bu Ilmi. Karena itu kamu tidak datang saat kami menikah bahkan saat kelahiran kembar. Kalau selama ini kau begitu menghindar bertemu denganku. Kenapa sekarang kau harus menampakkan diri di depanku, Rani?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir Ryan.

"Maafkan aku, Mas Ryan."

"Ini untuk maaf yang mana? Tiba-tiba kau menghilang. Hanya mengirim sepucuk surat tidak bisa menerima lamaranku waktu itu. Atau sekarang kau muncul kembali untuk menghancurkan rumah tanggaku." 

"Astaghfirullahal'azim ... Mas Ryan jangan khawatir, besok pagi aku akan pulang. Senin aku sudah harus bekerja." Kali ini Rani memberanikan diri menatap manik mata tajam Ryan. Tatapan yang masih sama tajam bagai elang.

"Menjauhlah. Aku tidak ingin kita bertemu lagi."

☘☘Next ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Pilihan Istriku    Takdir Yang Tertulis (Ending)

    "Eh Paman, serius dengan perjodohan ini. Ntu sekalinya betulan ABG. Baru masuk kelas 12. Hari ini dilamar, baru nikahnya tahun depan gitu," ucap Anida melirik ke arah pamannya. "Mana, Paman tahu." Umar menatap lekat Denok yang berjalan di depan mereka.Setelah menaruh barang bawaan mereka. Anida menghampiri Denok meminta izin untuk ke belakang."Paman tungguin ya, sekalian ajak pedekate calon bibiku." Kerling Anida sebelum berlalu. Ingin rasanya Umar menjitak anak semata wayang kakaknya itu.Denok mengangguk sopan berjalan ke arah Umar. Gadis basa-basi menyapa sebelum berlalu meninggalkan kedua tamu."Maaf, saya tinggal masuk dulu ya, Mas. Mau bantu nyiapin makan siang." Pamit Denok ketika akan melewati Umar."Tunggu!" cegah Umar.Denok berhenti sekitar tiga langkah dari Umar."Iya, Mas."HuufftsUmar menghembuskan nafas, untuk mengurangi sesak di dadanya sedari tadi."Maaf sebelumnya, tapi saya harus mengatakan ini. Saya pribadi keberatan dengan perjodohan ini. Beberapa minggu yang

  • Perempuan Pilihan Istriku    32. Takdir Yang Tertulis (1)

    Peri menatap nanar map di atas meja tamu kediaman Umi Hanifah. Angan yang dia harapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang didengarnya barusan.Barusan Umi Hanifah menyampaikan, proses ta'aruf antara dirinya dan Umar ada kemungkinan tidak bisa dilanjutkan.Umar sebelum bertemu dengan Peri, telah bercerita semuanya dengan Ustad Mukhlis, alasan tidak dapat melanjutkan ta'aruf. Bahwa dia dijodohkan dengan anak sahabat bapaknya. Dirinya tidak dilibatkan, dengan kata lain dia tidak mengetahui perihal perjodohan ini."Maaf, tidak ada maksud saya mempermainkan perasaan anti, Ukh .... " ucap Umar sebelum beranjak meninggalkan ruang tamu kediaman ustadzah Hanifah."Tak mengapa, Akh ... semoga kita berdua dipertemukan dengan jodoh terbaik," balas Peri lirih. Umi Hanifah selaku murabbi Peri, sekaligus kepala sekolah TA Al Furqon itu mengelus punggung binaannya seraya memberi dukungan untuk sabar dan ikhlas."Aamiin."Dengan perasaan bersalah, Umar menatap getir ke arah perempuan yang ta

  • Perempuan Pilihan Istriku    31. Ta'aruf

    Tiga tahun kemudian "Papa, berangkat dulu ya, Farraz. Baik-baik sama Mama." Ryan menciumi wajah batita dalam gendongannya. Bocah yang sebentar lagi menjadi kakak itu, terkekeh geli dengan ulah papanya. Farraz Putra Edogawa, putra ketiga Ryan."Mas sudah bikinkan janji periksa untuk nanti sore. Semoga dedeknya enggak malu lagi, dilihat identitinya." Ryan beralih mencium kening Rani. Istrinya itu tersenyum seraya mengangsurkan tas kerja milik suaminya."Iya, Mas. Hati-hati bawa mobilnya, ya," balas Rani meraih tangan kanan suaminya untuk salim lantas diciumnya dengan takzim."Mas jadi pingin makan rujak, ya," ujar Ryan sembari mengecap dan mendesis mirip ekspresi orang makan rujak manis, asam, pedas.Rani tertawa geli melihat ekspresi suaminya. Diraihnya tubuh Farraz dari gendongan Ryan. Kemudian menggendong putranya itu, di sisi pinggang kanan."Assalamualaikum," sapa Tamara mengandeng bocah sepantaran Farraz. Disusul Radit dibelakang mereka berdua."Dari bangun Subuh tadi. Sudah heb

  • Perempuan Pilihan Istriku    30. Lembaran Baru

    "Sungguh aku iri padamu. Ingin aku menggantikan posisimu sekarang. Dan itu tidak akan terwujud kalau kau masih bernyawa, Rani."Setelah berkata demikian Lucia bangkit dari duduknya menerjang tubuh Rani. Hingga keduanya terjatuh ke karpet. Lucia berada di atas tubuh Rani."Kalau gagal membunuhmu dengan tangan orang lain. Mungkin sudah saatnya kau mati di tanganku sendiri." Lucia mencekik kuat leher Rani dengan kedua tangannya.Rani yang tidak menyangka akan diserang demikian. Napasnya tersenggal, lidahnya hampir terjulur.Hingga"Anak kurang ajar!" teriak seseorang yang membuat Lucia merenggangkan cekikannya.Kepala wanita itu dihantam sekuat tenaga oleh tas yang dibawa seseorang yang terlihat samar oleh penglihatan Rani. Namun, ia hafal suara sosok yang datang menyelamatkannya barusan."Kak Rani!" seru Aida panik. Sepupu Lucia itu menghampiri Rani yang terbaik berkali-kali dengan nafas terengah-engah."Nenek pastikan kali ini, kamu meringkuk dalam penjara, Lucia." Bu Dewi memukulkan t

  • Perempuan Pilihan Istriku    29. Benang Merah

    Hari ketiga dirawat di rumah sakit. Rani meminta Ryan untuk menguruskan kepulangan. Ia sudah merindukan kedua anak mereka."Mas tidak berani memutuskan sendiri. Kita tunggu apa kata dokter. Setelah itu pertimbangan dari mama Ilmi.""Kurasa aku sudah cukup istirahatnya, Mas. Di sini aku tak melakukan aktivitas apapun. Nanti Mas Ryan bantu aku ngomong sama Mama, ya."Rani merasa kesehatannya telah pulih, kondisi badannya kembali fit pasca keguguran. Di rumah sakit dirinya memang dia diperbolehkan beraktivitas berlebihan. Kondisinya pun terus mendapat pantauan langsung dari dokter kandungan."Mau ke rumah kita atau tetap ke rumah mama Ilmi?" tanya Ryan seraya membelai pipi wanitanya itu."Senyamannya Mas Ryan saja. Aku ikut.""Kalau pemeriksaan dokter menyatakan sudah pulih. Kita pulang ke rumah kita saja, ya.""Hu um." Rani mengangguk seraya tersenyum menatap pria di depannya itu."Sayang, Mas tanya sekali lagi. Benar, kamu tidak mau mengusut kasus ini. Atau sebenarnya kamu sudah tahu.

  • Perempuan Pilihan Istriku    28. Mengikhlaskan

    Laksman tidak membawa mobil ke area parkir klinik melainkan putar balik ke tempat dia berjumpa dengan Leo menggendong kakaknya tadi. Dia masih berharap apa yang didengar tadi tidaklah benar. Tanpa sengaja dia mendengar instruksi kakaknya dengan seseorang di telepon, yang mengarah pada tindakan kriminal.Saat pandangan Laksman menemukan sebuah gudang tua. Ia memelankan laju mobil Tamara hingga berhenti di samping Jeep milik kedua preman yang dihajar oleh Leo tadi.Laksman bergegas masuk ke dalam gudang, yang pintunya telah dirusak oleh Leo tadi. Begitu memasuki gudang, dia menghampiri dua preman yang masih tak bergerak. Keduanya tergeletak di lantai penuh dengan luka.Dengan langkah berhati-hati ia mendekati kedua preman itu. Ragu, apakah kedua preman dalam keadaan sadar atau pingsan, Laksman mengoyangkan salah satu kaki preman dengan kaki kanannya.Pemuda itu terjingkat, ketika terdengar dering ponsel dari saku celana preman sebelah kiri kakinya. Laksman bergegas mengambil ponsel itu,

  • Perempuan Pilihan Istriku    27. Tunas Yang Terenggut

    Rani terkesima begitu tiba di rumah Pak Faiz suasana sangat rame. Setelah sungkeman secara singkat tadi. Dirinya permisi membawa kembar ke taman belakang. Ditemani Aida menjaga Fathiya dan Fatih dirinya bisa bercengkrama dengan kerabat Ryan secara lebih dekat.Lucia dan ibunya hanya memperhatikan Rani dengan tatapan tak suka dari tempatnya menikmati hidangan yang ditata secara prasmanan itu. "Ma ... harusnya aku yang duduk disana. Disapa dan disambut ramah sebagai istri mas Ryan. Bukan perempuan itu. Beruntung sekali dirinya dipungut anak oleh Bu Ilmi. Jadi, bisa menggantikan posisi dokter Felliana menjadi ibu untuk anaknya mas Ryan.""Sudahlah, Lucia. Mama sadar sekarang, sesuatu yang dipaksakan itu ... tak akan pernah baik akhirnya. Benar kata nenekmu, kalau dasarnya jodoh. Mau dipisahkan kayak manapun. Akhirnya bersatu juga. Itu, yang bisa mama lihat dari Ryan dan Rani.Lihatlah kembar juga nyaman dengan perempuan itu. Dulu mungkin, Ryan ingin menikah dengan gadis yang dicintai. N

  • Perempuan Pilihan Istriku    26. Gemuruh

    Acara buka bersama dalam rangka tasyakuran atas penikahan Radit-Tamara berjalan lancar di kediaman keluarga Ardiansyah, Bogor. Acara yang dihadiri kerabat dan tetangga sekitar rumah itu, cukup meriah.Ketika acara berbuka telah usai. Pembawa acara mengarahkan tamu undangan untuk melaksanakan salat Tarawih di masjid komplek perumahan Seroja. Ada sebagian yang memilih langsung pulang ada yang melaksanakan salat Tarawih di sana.Setelah semua orang kembali ke rumah masing-masing, Radit pun mengajak Tamara masuk ke kamarnya."Tadi sebelum berangkat, Mas lihat rambutnya basah. Sudah suci rupanya." Radit hanya memastikan saja, padahal dia tadi melihat istrinya salat Maghrib juga ikutan jamaah Tarawih dengan rombongan keluarganya."Hmm ...."Tamara menjawab dengan gumaman. Radit tersenyum, langsung memeluk tubuh istrinya itu. "Ya, sudah. Mas siap-siap dulu ya, Sayang.""Siap-siap mau kemana?""Membawamu ke nirwana."Jawaban dari Radit tak urung membuat Tamara memutar bola matanya.Radit terk

  • Perempuan Pilihan Istriku    25. Endingnya Ikrar

    "Jam berapa, rombongan Radit datang, Kak?" tanya Bu Syarifah pada Tamara yang duduk dengan gelisah."Harusnya sudah sampai ini, Mam. Apa terjebak mancet, ya. Pesanku belum dibacanya juga," jawab Tamara dengan wajah gelisah. Wanita itu tampil sempurna dengan setelan kebaya berwarna pink rose. Senada dengan gamis yang dikenakan mama, Aida dan Aisha.Bu Syarifah menepuk pundak putri sulungnya. "Ya, sudah. Kayaknya terjebak macet, Sayang.""Semoga kalaupun iya, enggak lama terjebak macetnya. Papa juga kenapa pakai pasang tenda undang semua warga komplek, kalau mas Radit enggak jadi datang. Apa enggak malu, kitanya," sungut Tamara kemudian.Karena hampir setengah jam dari waktu yang diperkirakan kedatangan rombongan Radit. Sosok pria itu belum juga nampak."Astaghfirullahal'azim, Nak. Kok malah nyumpahin diri sendiri gitu, sih. Enggak baik itu. Mama yakin Radit bukan orang seperti itu. Papa menyiapkan ini semua karena sudah dibicarakan dengan Radit juga orang tuanya.""Ya, kalau enggak jad

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status