Share

8. Goresan Ryan

Ryan meninggalkan Rani tanpa menoleh lagi. Bahkan sekedar basa-basi memberikan ongkos taksi pun tidak. Bersyukur Rani bawa tasnya tadi. Menghembuskan napas sesaat sebelum akhirnya berjalan menuju trotoar.

"Andai Mas Ryan tahu kebenarannya. Alasanku dulu menolaknya. Apakah sikapnya akan berubah padaku," batin Rani bersuara.

Tetiba seolah tersadar dari lamunannya Rani menggelengkan kepalanya. Saat itulah beberapa langkah di depannya nampak Umar bersandar di pintu mobil seraya bersedekap memperhatikan dirinya.

"Sadar enggak, dari tadi kuperhatikan dirimu kayak orang stress tingkat dewa." Umar melompat kecil naik ke trotoar untuk menghadang Rani.

Rani terkekeh mendengar ucapan Umar. Setidaknya hanya Ryan saja yang tidak menyukai kehadirannya di rumah Bu Ilmi. Namun demikian, Rani merasa tidak nyaman bila harus tinggal terlalu lama.

"Aku besok pulang, Mas Umar. Pamit sekalian mumpung kita ketemu di sini. Aku duluan, ya," ujar Rani melambai ke arah ojek online yang telah dipesannya. 

"Eh, tunggu!" Umar mengejar Rani yang sudah menerima helm dari pria ojek online.

Umar merebut helm dari tangan Rani, kemudian mengangguk menyerahkan kembali pada empunya.

"Maaf, enggak jadi, Bang." Dirogohnya dompetnya, kemudian diangsur uang seratus ribu pada pria itu. "Apa-apaan sih, kamu ini. Orang sudah di tungguin juga masak naik ojek."

"Lha, Mas Umar yang apa-apaan. Itu ojek kupesan sejak keluar dari baby shop tadi. Ya, mana tahu Mas bakalan mangkal di sini."

"Hah? Sekate-kate memang kalau ngomong. Dibilang kita mangkal lagi. Tadi, tante bilang kamunya beli susu di baby shop biasanya tempat belanja kebutuhan si kembar. Kemarin kubilang bakal ke rumah. Makanya, diminta samperin kamu sekalian. Ini kan sejalan mau ke rumah tante Ilmi."

"Perasaan, tiap hari mampir ke rumah."

"Ya, gue 'kan apelin lu. Masak situ enggak merasa, sih."

"Hah?"

"Sok kaget lagi. Hai, Non ... dengar ya, aku tuh bukan pengangguran. Jadi, saat aku main ke rumah tante Ilmi itu statusnya PDKT. Pekerjaan terselubung dalam rangka mencari pendamping hidup."

Rani tak bisa menahan tawanya, mendengar penuturan Umar. "Bercandanya kurang lucu. Syukurnya aku bukan tipe cewek baperan. Jadi, biasa saja. Digombalin gitu."

Umar membuka pintu depan mobilnya meminta Rani masuk ke dalam. Gadis itupun masuk, memangku belanjaan di atas pahanya.

"Besok aku antar lagi, ya," tawar Umar melirik gadis di sampingnya. Pandangan sesekali melihat spion karena jalanan mulai padat oleh sesama pengguna jalan raya.

"Gosah, Mas. Terimakasih! Aku pulang bareng Leo, adikku. Kebetulan dianya ingin pulang ke rumah kami."

"Adikmu itu, sudah bekerja?" 

"Kemarin perusahaan tempatnya magang. Begitu selesai wisuda diminta masuk ke sana lagi. Langsung ditawari sebagai pegawai tetap bilangnya."

"Syukurlah. Saat sebagian orang sibuk mencari kerja. Dianya sudah punya kerjaan," ucap Umar sok bijak.

Rani memicingkan mata, melirik ke arah Umar. "Mas Umar tiap hari ke rumah. Apa pengangguran?"

"Ck, tadi udah kubilang 'kan. Aku tuh bukan pengangguran. Memang benar tidak kerja kantoran seperti menantu kesayangan tante Ilmi itu. Tapi, ada juga kerjaanku kok, amanlah bisa nafkahi kamu."

"Mulai deh, ngegombal."

"Aku harus kerja cepat ini. Takutnya kalah cepat dengan dokter Radit."

"Hah?"

"Nah, kan pura-pura lagi. Itu dokter juga naksir kamu. Masak kamunya enggak tahu."

"Tahulah. Orang dia pernah bilang," gumam Rani seraya tersenyum.

***Rr***

Setibanya di rumah Bu Ilmi. Rani langsung membawa belanjaan ke ruang belakang. Dimana ada meja khusus untuk menaruh dan membuatkan susu untuk kembar.

"Aduh, duh ... mau gendong ya, Sayang. Sebentar ya, tante cuci tangan dulu," sapa Rani pada Fatih yang merangkak cepat ke arahnya.

"Nanti, kita bikin anak kembar kek mereka," celetuk Umar saat Rani mengendong Fatih.

Rani tidak menanggapi serius ucapan Umar. Dirinya berjalan mendekati Fathiya yang heboh minta untuk digendong dirinya. Padahal baby sitternya masih sibuk membujuk untuk duduk anteng menghabiskan makannya.

"Ran, ikut kakak sebentar ,yuk," ajak Felliana seraya menepuk bahu Rani. Rani menganggukan kemudian mengikuti kakak angkatnya itu meninggalkan ruang belakang.

Felliana mengajak Rani ke ruang kerja almarhum papanya. Sekarang tetap difungsikan sebagai ruang kerja Ryan dan tempat penyimpanan peralatan medisnya.

Keduanya duduk di sofa berbentuk L. Felliana duduk tepat di siku sofa, sedangkan Rani berada di sebelah kanannya.

"Sekarang jujur sama kakak. Apakah antara kamu dan Mas Ryan dulu ada hubungan?" Felliana langsung to the point menanyakan pertanyaan yang disimpannya selama hampir sepekan ini.

Dengan tegas Rani menggelengkan kepala karena memang diantara mereka berdua tidak ada komitmen hubungan apapun. Selain ia tolak, lamaran Ryan waktu itu.

"Tapi, kalian sudah kenal sebelumnya."

Rani mengangguk. "Mas Ryan salah satu murid almarhum bapak di Sanggar."

"Oh, begitu. Sudah terhubung sekarang dengan foto yang kakak lihat di kamarnya mas Ryan. Waktu kami berkunjung ke rumah Oma Dewi."

"Foto apa, Kak?"

"Sebentar, seingat kakak, foto itu kakak ambil. Karena waktu beberes, kakak pikir foto itu salah satu barang yang wajib dibawa kemari." 

Felliana berjalan menuju meja kerja suaminya. Ada laci paling bawah yang biasanya jarang dibuka oleh Ryan. Karena di sana tersimpan album foto dan berkas lama. Istri Ryan itu berharap menemukan foto berbingkai yang diceritakan pada Rani tadi.

Namun ia tidak menemukan apa yang dicarinya di sana. Padahal ia yakin pernah membawa foto itu dan menaruhnya di laci paling bawah. Mencoba membuka laci nomer dua dari bawah, lanjut ke atasnya hingga laci paling atas. Dan tidak disangka foto itu berada di laci paling atas. 

"Dapat, Ran!" pekik Felliana senang. "Tapi, kemana figuranya, ya."

Rani beranjak dari tempat duduknya menghampiri Felliana. Rupanya itu foto yang sama yang dilihat olehnya kemarin. Bisa jadi memang Radit mencetak lebih dari satu waktu itu. Karena saat turnamen, Radit yang membawa camera untuk mengabadikan momens pertandingannya. Waktu itu dirinya duduk di bangku kelas 2 SMK.

"Gadis di foto ini, kamu 'kan. Sekarang kamu menjadi perempuan yang cantik dan sholehah. Enggak kebayang, tomboynya kamu waktu itu, ya Ran." 

"Sekarangpun masih. Enggak banyak yang berubah, Kak. Yang membedakan dengan yang difoto hanya hijabnya doang. Inipun awalnya karena tuntutan magang di rumah sakit Muslimat dua tahun lalu."

"Harus disyukuri itu bisa istiqomah hingga sekarang. Lebih baik, memaksakan suatu kebaikan, bukan. Biar nantinya akan menjadi kebiasaan."

"Hu um, Kak. Alhamdulillah lingkungan kerja juga mendukung sih, makanya saya setelah lulus aku melamar jadi perawat di sana."

"Oh iya. Enggak terasa ya, waktu begitu cepat berlalu. Kakak masih ingat lo, mengantar kamu daftar masuk kuliah perawatan lima tahun yang lalu." 

"Rencana mama dulu. Kalau kakak buka praktek aku yang jadi asistennya," sambung Rani.

Keduanya langsung tertawa mengingat momens itu. Hingga Felliana refleks membalikkan foto. Keduanya saling pandang saat membaca tulisan di balik foto itu. 

Tiada maaf untuk seorang pengecut dan penghianat  

"Bisa kau jelaskan maksud, kenapa mas Ryan bisa menulis ini foto kalian?"

🌾🌾 Next ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status