"Ran, kenalkan inilah papanya kembar." Felliana menarik lengan Ryan menghampiri dirinya yang mengerjap, seolah tersadar Rani hanya mengangguk mengulas senyum.
Rani mengatupkan kedua tangan seraya tersenyum. Sedangkan Ryan hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Pandangan mereka berempat tiba-tiba teralihkan dengan gelak tawa Fathiya merangkak ke arah papanya."Ulu, ulu anak papa memang ini ya," ucap Bu Ilmi diamini Felliana dan kedua baby sitter yang berada di ruangan itu. Umar beranjak dari sofa mendekati mereka. "Tante hari ini masak apa, kalau enak ... aku maulah makan siang di sini. Kalau enggak, izin bawa Rani makan siang di luar ya,"Melihat sekilas ekspresi Ryan saat berjumpa Rani. Takut menimbulkan canggung pada anak angkatnya, Bu Ilmi memperbolehkan Rani diajak makan siang di luar oleh keponakannya."Ya, udah bawa saja Rani makan di luar. Sekalian antar ke mini market membeli keperluan selama tinggal di sini.""Siap, Nyonya. Titah dilaksanakan!" Bu Ilmi mengantar keduanya sampai teras rumah. "Ini buat belanja kamu, Ran. Belilah segala kebutuhanmu selama di sini."Tangan Rani disalimi oleh Bu Ilmi. Ada beberapa lembar uang seratus terlibat dua ia berikan kepada anak angkatnya itu."Kalau sekedar belanja keperluan saya. Uang saya cukup, Ma. Ini enggak perlu.""Sudah Ran. Trima saja, biar cepat kita jalan," sahut Umar yang telah membukakan pintu depan untuknya.Akhirnya Rani terima dengan ekspresi wajah sungkan. Dimasukkannya uang pemberian Bu Ilmi ke dalam tas slempang miliknya. Saat menuju ke pintu rumah tadi, ia sempatkan masuk ke kamar tamu, mengambil tasnya. "Paman, jam dua sekalian jemput Anida, ya!" seru Felliana keluar dari pintu rumah.Umar mengacungkan jempol seraya menutup pintu depan begitu Rani masuk dalam mobilnya.***Rr***"Maaf, Nak Ryan bila kehadiran Rani kurang berkenan," ucap Bu Ilmi membuka obrolan seraya duduk di sofa ditemani Felliana."Kenapa Mama bilang begitu. Perasaan sikap Mas Ryan biasa tadi pada Rani," bisik Felliana pada mamanya."Mama perhatikan tadi tidak begitu. Rani langsung kayak canggung gitu, syukurnya Umar sadar situasi. Makanya, dia ajak keluar tadi."Felliana mengangguk. Ia perhatikan suaminya yang sedang bermain dengan putra-putri mereka. Entah karena terlalu asyik hingga sang suami tidak merespon ucapan dari mamanya."Nanti, Liana coba ngomong dengan Mas Ryan, Ma. Sekarang, Mama istirahat dulu di kamar." Bu Ilmi mengangguk, kemudian beranjak dari tempat duduknya. Ditemani Felliana, beliau menuju ke kamarnya untuk istirahat.Setelah mengantar mamanya. Felliana menemui Ryan di ruang belakang. Sesampai di sana, ia tepuk bahu suaminya itu."Pa, kita ke kamar sebentar yuk. Ada sesuatu yang ingin bunda sampaikan."Ryan mencium kedua pipi kembar sebelum beranjak mengikuti Felliana menuju kamar mereka berdua.***Rr***"Rani dan Leo sudah dianggap anak sendiri oleh mama. Jadi, seandainya nanti mereka berdua berada di sini. Aku harap Mas Ryan tidak keberatan.""Kita tempati rumah kita saja, yuk Bund," ucap Ryan seraya merangkul bahu istrinya. Keduanya duduk di pinggir ranjang.Felliana menggeleng kepala. "Andai aku tidak sakit. Dengan senang hati, aku turuti keinginanmu ini, Pa."Felliana menyandarkan kepala pada bahu Ryan. "Ingin rasanya aku menempati rumah yang dibuat oleh suamiku sendiri. Apalagi kita sudah berencana tahun baru kemarin akan pindahan. Tapi, takdir berkata lain. Mama juga aslinya keberatan kalau kita pergi dari rumah ini.""Maksud mama meminta perempuan itu kemari, apa?" tanya Ryan menghempuskan napas dengan kasar."Rani namanya, Pa.""Terserahlah, siapa namanya.""Seminggu yang lalu mama mengutarakan keinginannya. Supaya Rani yang merawat anak-anak kita."Ryan terkejut dengan ucapan istrinya. "Kenapa harus dia, Dik?""Maksudnya?" Menyadari kebingungan di wajah istrinya. Ryan mencoba menjelaskan penolakannya barusan."Semoga ini enggak ada kaitannya dengan permintaanmu kemarin ya, Dik," ungkap Ryan kemudian.Felliana menggelengkan kepala. "Oiya, berhubung Papa ingatkan. Bunda malah jadi kepikiran. Jangan-jangan maksud mama meminta Rani kemari karena itu."Felliana termenung, mamanya menasehati untuk tidak gegabah meminta Ryan menikah lagi. Kenapa, meminta Rani merawat anak-anaknya. Apakah mamanya memiliki gambaran ke depan, bagaimana jalan rumah tangganya. Seperti saat dulu menyodorkan foto Ryan untuk mempertimbangnya menjadi suaminya kala itu.Bu Ilmi dan nenek Ryan berteman baik karena dulu pernah terjalin kerjasama antara suami keduanya. Hingga terbesit keinginan mereka menjodohkan Ryan dan Felliana empat tahun yang lalu. Ryan yang ingin move on dari sakit hatinya. Membuka hatinya menerima lamaran keluarga Ismail untuk menikahi Felliana. Seorang dokter, janda mati dengan seorang putri berusia tiga belas tahun. Perbedaan usia sepuluh tahun diantara keduanya. Tidak menyurutkan niat keluarga Ismail melamar Ryan waktu itu.Pikiran Ryan berkecamuk. Mencoba menerka maksud kedatangan Rani di kediaman mama mertuanya. Kemudian ia hubungkan dengan sakit istrinya. Permintaan menikah lagi dari Felliana, dua minggu yang lalu."Dari sekian perempuan. Kenapa harus dipertemukan lagi dengannya, Tuhan." ***Rr***Sore hari selepas salat Ashar. Felliana menemui mamanya di taman belakang rumahnya. Kebetulan tadi dilihatnya, Rani diajak pergi oleh putrinya Anida. Jadi, menurutnya ini waktu tepat bertanya kepada mama tentang kedatangan Rani. Apakah sesuai dengan asumsi Ryan."Ma, kalau aku tanya tentang hal ini. Mama jawab dengan jujur, ya."Felliana menggenggam kedua tangan mamanya. Keduanya duduk menikmati semilirnya angin sore hari."Iya, katanya saja, Sayang.""Apakah kedatangan Rani kemari untuk menjadikan dia maduku, Ma?"Pertanyaan Felliana bernada ketus, ada rasa cemburu dan sedikit kecewa apabila tebakan suaminya benar. Secepat itu mamanya bertindak tanpa memperdulikan perasaannya.Bu Ilmi menepuk punggung tangan putrinya. "Sayang, saat kau bercerita sakitmu. Hampir tiap malam, mama tidak bisa tidur. Salah besar, jika kamu berpikir mama tidak memperdulikan perasaanmu. Terserah kalau semua orang menilai mamamu ini egois. Tapi, mama mencoba realistis, Nak." Bu Ilmi memejamkan matanya, buliran bening itu berjatuhan dari kedua matanya. "Maksud Mama apa?""Lihatlah mama. Kamu hitunglah, sekiranya berapa lama lagi jatah mama berada di dunia ini. Saat kau melahirkan kembar, itu momens yang sangat membahagiakan bagi mama. Kau mendapatkan pendamping hidup yang tepat, anak-anak yang sehat, hidup yang berkecukupan. Tenang rasanya, jika mama pergi meninggalkan kalian waktu itu.Tapi, saat takdir berkata kau mendapat cobaan lewat penyakitmu itu. Jujur, mama tidak peduli bagaimana tentang suamimu. Yang mama pikirkan, siapa yang akan merawat kembar saat kita berdua pergi selamanya.""Mama akan panjang umur, memilihkan jodoh terbaik untuk Anida. Seperti yang mama lakukan untukku."Bu Ilmi tersenyum. "Umur mama tahun ini, InsyaaAllah 65 tahun, Sayang. Tidak mungkin bukan, mama abadi hidup di dunia fana ini."Felliana memeluk mamanya. Terkadang ia berfikir mamanya akan selalu ada di sisinya hingga nanti. Setiap mengambil keputusan penting dalam hidupnya, Bu Ilmi orang pertama yang akan dimintai pendapat. Kesehatan mamanya yang mulai menurun akhir-akhir ini membuatnya takut, melebihi saat ibunya mengalami stroke tujuh tahun yang lalu."Kamu pasti tidak akan lupa bagaimana ketulusan Rani merawat mama. Berapa kali kau jumpai perawat yang hanya baik di depanmu. Sedangkan seenak hati memperlakukan mama yang tidak bisa apa-apa waktu itu. Satu tahun Rani telaten merawat mama yang jadi bunga ranjang.Kamu juga bisa melihat tadi, Fatih langsung mau bersamanya. Jiwa bayi itu suci, mereka bisa merasakan ketulusan dari orang lain. Sekali lagi, mama tegaskan. Kehadiran Rani di rumah ini. Untuk kedua bayimu. Bukan menjadi madumu. Kamu bisa tenang menjalani pengobatan didampingi oleh Ryan. Tanpa wawas memikirkan anak-anakmu. Karena sudah ada Rani yang mengurus mereka." Tanpa keduanya sadari, seseorang tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka. Orang tersebut adalah Umar. Sebenarnya ia tadi hendak pamit pada tantenya, berjalan mengendap untuk mengejutkan sang tante. Namun, yang terjadi dirinya yang dibuat terkejut mengenai maksud kedatangan Rani di rumah Bu Ilmi.☘☘Next ...."Eh Paman, serius dengan perjodohan ini. Ntu sekalinya betulan ABG. Baru masuk kelas 12. Hari ini dilamar, baru nikahnya tahun depan gitu," ucap Anida melirik ke arah pamannya. "Mana, Paman tahu." Umar menatap lekat Denok yang berjalan di depan mereka.Setelah menaruh barang bawaan mereka. Anida menghampiri Denok meminta izin untuk ke belakang."Paman tungguin ya, sekalian ajak pedekate calon bibiku." Kerling Anida sebelum berlalu. Ingin rasanya Umar menjitak anak semata wayang kakaknya itu.Denok mengangguk sopan berjalan ke arah Umar. Gadis basa-basi menyapa sebelum berlalu meninggalkan kedua tamu."Maaf, saya tinggal masuk dulu ya, Mas. Mau bantu nyiapin makan siang." Pamit Denok ketika akan melewati Umar."Tunggu!" cegah Umar.Denok berhenti sekitar tiga langkah dari Umar."Iya, Mas."HuufftsUmar menghembuskan nafas, untuk mengurangi sesak di dadanya sedari tadi."Maaf sebelumnya, tapi saya harus mengatakan ini. Saya pribadi keberatan dengan perjodohan ini. Beberapa minggu yang
Peri menatap nanar map di atas meja tamu kediaman Umi Hanifah. Angan yang dia harapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang didengarnya barusan.Barusan Umi Hanifah menyampaikan, proses ta'aruf antara dirinya dan Umar ada kemungkinan tidak bisa dilanjutkan.Umar sebelum bertemu dengan Peri, telah bercerita semuanya dengan Ustad Mukhlis, alasan tidak dapat melanjutkan ta'aruf. Bahwa dia dijodohkan dengan anak sahabat bapaknya. Dirinya tidak dilibatkan, dengan kata lain dia tidak mengetahui perihal perjodohan ini."Maaf, tidak ada maksud saya mempermainkan perasaan anti, Ukh .... " ucap Umar sebelum beranjak meninggalkan ruang tamu kediaman ustadzah Hanifah."Tak mengapa, Akh ... semoga kita berdua dipertemukan dengan jodoh terbaik," balas Peri lirih. Umi Hanifah selaku murabbi Peri, sekaligus kepala sekolah TA Al Furqon itu mengelus punggung binaannya seraya memberi dukungan untuk sabar dan ikhlas."Aamiin."Dengan perasaan bersalah, Umar menatap getir ke arah perempuan yang ta
Tiga tahun kemudian "Papa, berangkat dulu ya, Farraz. Baik-baik sama Mama." Ryan menciumi wajah batita dalam gendongannya. Bocah yang sebentar lagi menjadi kakak itu, terkekeh geli dengan ulah papanya. Farraz Putra Edogawa, putra ketiga Ryan."Mas sudah bikinkan janji periksa untuk nanti sore. Semoga dedeknya enggak malu lagi, dilihat identitinya." Ryan beralih mencium kening Rani. Istrinya itu tersenyum seraya mengangsurkan tas kerja milik suaminya."Iya, Mas. Hati-hati bawa mobilnya, ya," balas Rani meraih tangan kanan suaminya untuk salim lantas diciumnya dengan takzim."Mas jadi pingin makan rujak, ya," ujar Ryan sembari mengecap dan mendesis mirip ekspresi orang makan rujak manis, asam, pedas.Rani tertawa geli melihat ekspresi suaminya. Diraihnya tubuh Farraz dari gendongan Ryan. Kemudian menggendong putranya itu, di sisi pinggang kanan."Assalamualaikum," sapa Tamara mengandeng bocah sepantaran Farraz. Disusul Radit dibelakang mereka berdua."Dari bangun Subuh tadi. Sudah heb
"Sungguh aku iri padamu. Ingin aku menggantikan posisimu sekarang. Dan itu tidak akan terwujud kalau kau masih bernyawa, Rani."Setelah berkata demikian Lucia bangkit dari duduknya menerjang tubuh Rani. Hingga keduanya terjatuh ke karpet. Lucia berada di atas tubuh Rani."Kalau gagal membunuhmu dengan tangan orang lain. Mungkin sudah saatnya kau mati di tanganku sendiri." Lucia mencekik kuat leher Rani dengan kedua tangannya.Rani yang tidak menyangka akan diserang demikian. Napasnya tersenggal, lidahnya hampir terjulur.Hingga"Anak kurang ajar!" teriak seseorang yang membuat Lucia merenggangkan cekikannya.Kepala wanita itu dihantam sekuat tenaga oleh tas yang dibawa seseorang yang terlihat samar oleh penglihatan Rani. Namun, ia hafal suara sosok yang datang menyelamatkannya barusan."Kak Rani!" seru Aida panik. Sepupu Lucia itu menghampiri Rani yang terbaik berkali-kali dengan nafas terengah-engah."Nenek pastikan kali ini, kamu meringkuk dalam penjara, Lucia." Bu Dewi memukulkan t
Hari ketiga dirawat di rumah sakit. Rani meminta Ryan untuk menguruskan kepulangan. Ia sudah merindukan kedua anak mereka."Mas tidak berani memutuskan sendiri. Kita tunggu apa kata dokter. Setelah itu pertimbangan dari mama Ilmi.""Kurasa aku sudah cukup istirahatnya, Mas. Di sini aku tak melakukan aktivitas apapun. Nanti Mas Ryan bantu aku ngomong sama Mama, ya."Rani merasa kesehatannya telah pulih, kondisi badannya kembali fit pasca keguguran. Di rumah sakit dirinya memang dia diperbolehkan beraktivitas berlebihan. Kondisinya pun terus mendapat pantauan langsung dari dokter kandungan."Mau ke rumah kita atau tetap ke rumah mama Ilmi?" tanya Ryan seraya membelai pipi wanitanya itu."Senyamannya Mas Ryan saja. Aku ikut.""Kalau pemeriksaan dokter menyatakan sudah pulih. Kita pulang ke rumah kita saja, ya.""Hu um." Rani mengangguk seraya tersenyum menatap pria di depannya itu."Sayang, Mas tanya sekali lagi. Benar, kamu tidak mau mengusut kasus ini. Atau sebenarnya kamu sudah tahu.
Laksman tidak membawa mobil ke area parkir klinik melainkan putar balik ke tempat dia berjumpa dengan Leo menggendong kakaknya tadi. Dia masih berharap apa yang didengar tadi tidaklah benar. Tanpa sengaja dia mendengar instruksi kakaknya dengan seseorang di telepon, yang mengarah pada tindakan kriminal.Saat pandangan Laksman menemukan sebuah gudang tua. Ia memelankan laju mobil Tamara hingga berhenti di samping Jeep milik kedua preman yang dihajar oleh Leo tadi.Laksman bergegas masuk ke dalam gudang, yang pintunya telah dirusak oleh Leo tadi. Begitu memasuki gudang, dia menghampiri dua preman yang masih tak bergerak. Keduanya tergeletak di lantai penuh dengan luka.Dengan langkah berhati-hati ia mendekati kedua preman itu. Ragu, apakah kedua preman dalam keadaan sadar atau pingsan, Laksman mengoyangkan salah satu kaki preman dengan kaki kanannya.Pemuda itu terjingkat, ketika terdengar dering ponsel dari saku celana preman sebelah kiri kakinya. Laksman bergegas mengambil ponsel itu,
Rani terkesima begitu tiba di rumah Pak Faiz suasana sangat rame. Setelah sungkeman secara singkat tadi. Dirinya permisi membawa kembar ke taman belakang. Ditemani Aida menjaga Fathiya dan Fatih dirinya bisa bercengkrama dengan kerabat Ryan secara lebih dekat.Lucia dan ibunya hanya memperhatikan Rani dengan tatapan tak suka dari tempatnya menikmati hidangan yang ditata secara prasmanan itu. "Ma ... harusnya aku yang duduk disana. Disapa dan disambut ramah sebagai istri mas Ryan. Bukan perempuan itu. Beruntung sekali dirinya dipungut anak oleh Bu Ilmi. Jadi, bisa menggantikan posisi dokter Felliana menjadi ibu untuk anaknya mas Ryan.""Sudahlah, Lucia. Mama sadar sekarang, sesuatu yang dipaksakan itu ... tak akan pernah baik akhirnya. Benar kata nenekmu, kalau dasarnya jodoh. Mau dipisahkan kayak manapun. Akhirnya bersatu juga. Itu, yang bisa mama lihat dari Ryan dan Rani.Lihatlah kembar juga nyaman dengan perempuan itu. Dulu mungkin, Ryan ingin menikah dengan gadis yang dicintai. N
Acara buka bersama dalam rangka tasyakuran atas penikahan Radit-Tamara berjalan lancar di kediaman keluarga Ardiansyah, Bogor. Acara yang dihadiri kerabat dan tetangga sekitar rumah itu, cukup meriah.Ketika acara berbuka telah usai. Pembawa acara mengarahkan tamu undangan untuk melaksanakan salat Tarawih di masjid komplek perumahan Seroja. Ada sebagian yang memilih langsung pulang ada yang melaksanakan salat Tarawih di sana.Setelah semua orang kembali ke rumah masing-masing, Radit pun mengajak Tamara masuk ke kamarnya."Tadi sebelum berangkat, Mas lihat rambutnya basah. Sudah suci rupanya." Radit hanya memastikan saja, padahal dia tadi melihat istrinya salat Maghrib juga ikutan jamaah Tarawih dengan rombongan keluarganya."Hmm ...."Tamara menjawab dengan gumaman. Radit tersenyum, langsung memeluk tubuh istrinya itu. "Ya, sudah. Mas siap-siap dulu ya, Sayang.""Siap-siap mau kemana?""Membawamu ke nirwana."Jawaban dari Radit tak urung membuat Tamara memutar bola matanya.Radit terk
"Jam berapa, rombongan Radit datang, Kak?" tanya Bu Syarifah pada Tamara yang duduk dengan gelisah."Harusnya sudah sampai ini, Mam. Apa terjebak mancet, ya. Pesanku belum dibacanya juga," jawab Tamara dengan wajah gelisah. Wanita itu tampil sempurna dengan setelan kebaya berwarna pink rose. Senada dengan gamis yang dikenakan mama, Aida dan Aisha.Bu Syarifah menepuk pundak putri sulungnya. "Ya, sudah. Kayaknya terjebak macet, Sayang.""Semoga kalaupun iya, enggak lama terjebak macetnya. Papa juga kenapa pakai pasang tenda undang semua warga komplek, kalau mas Radit enggak jadi datang. Apa enggak malu, kitanya," sungut Tamara kemudian.Karena hampir setengah jam dari waktu yang diperkirakan kedatangan rombongan Radit. Sosok pria itu belum juga nampak."Astaghfirullahal'azim, Nak. Kok malah nyumpahin diri sendiri gitu, sih. Enggak baik itu. Mama yakin Radit bukan orang seperti itu. Papa menyiapkan ini semua karena sudah dibicarakan dengan Radit juga orang tuanya.""Ya, kalau enggak jad