Share

9. Kejujuran Rani

Dalam hidup kita, pasti ada satu nama yang selalu terkenang. Bukan karena tak ingin melupakan, tetapi Tuhan memang menciptakan kenangan itu untuk menetap.

Bahkan terkadang waktu tak mampu memainkan perannya, menghapus angan akan kenangan itu. Ingatan kita masih saja tetap segar tentangnya. Tentang semua kebaikannya.

Tak dapat dipungkiri saat di ujung kenangan itu hadir. Si empunya kenangan akan menangis berharap semua kembali di waktu itu. Andaikan dulu berkata bersedia, akankah sekarang diri akan berbahagia. Hidup bersama dengannya, saling menjaga dan mencintai.

Dan Rani berusaha mengikhlaskan semua itu. Berharap jika suatu waktu dipertemukan kembali dengan Ryan. Keduanya dalam keadaan hati yang terjaga dan baik-baik saja. 

"Ran, bisa kau jelaskan. Maksud tulisan mas Ryan ini." Untuk kedua kalinya Felliana menanyakan hal yang sama.

"Ada baiknya masa lalu tidak perlu untuk diungkit kembali. Toh, kita tidak mungkin kembali ke masa itu, Kak."

"Masih tidak mau menjawab," pancing Felliana lagi.

"Kurang bijak rasanya kita membicarakan ini. Bilang orang, hanya cari penyakit. Yang semula baik-baik saja, bisa jadi akan jadi beban pikiran."

"Apakah mas Ryan pernah bilang mencintaimu," tebakan Felliana membuat Rani terbungkam. "Diam berarti iya, jangan-jangan ungkapan pengecut dan penghianat ini ia tunjukkan padamu, Rani.

Ayo, ada baiknya kamu cerita. Bisa jadi ada kesalahpahaman di sini. Selama jadi istrinya, baru kali ini, lo, Ran. Kakak melihat mas Ryan tidak suka pada orang. Anehnya, yang tak disukai adalah gadis sebaik kamu."

"Baiklah. Aku akan cerita, Kak. Tapi, kakak harus janji padaku. Enggak akan merubah perasaan kakak pada mas Ryan."

"Tentu. Katakanlah ada apa sebenarnya."

"Kakak pasti ingat, saat bapak meninggal. Waktu itu, mama sudah berangsur membaik kondisinya. Empat puluh hari setelah meninggalnya bapak, mas Ryan memintaku menjadi istrinya. Dia ingin mengambil tanggung jawab bapak sebagai kepala keluarga di rumah. Kondisi mas Sigit, saya dan Leo yang masih sekolah waktu itu."

"Kalau jadi kamu, kakak akan senang hati menerima tawaran mas Ryan. Kenapa kamu nolak?"

Rani memaksa untuk tersenyum. "Ibunya mas Ryan datang. Tidak setuju kami menikah."

"Hanya itu."

"Ya, intinya seperti itu. Aku menulis surat, isinya tidak bisa menerima lamarannya. Surat itu kutitipkan sama mas Radit. Untuk cerita selanjutnya, kakak pasti sudah tahu. Karena Kak Liana dan Mas Umar yang bantu carikan kami kontrakan yang dekat dengan kampus waktu itu."

"Oh, sudah ketemu benang merahnya. Sikapmu waktu itu memang pengecut, Ran. Harusnya kalau nolak kau bisa bicara langsung 'kan, tanpa melibatkan Radit. Tapi, ungkapan penghianat ini. Apakah ditujukan untuk Radit."

Rani mengedikkan bahunya. "Entahnya aku tidak tahu, Kak. Bisa jadi, ibu dan saudaranya mas Ryan fitnah aku sama mas Radit." Rani menarik napasnya, kemudian memandang ke arah Felliana. "Tapi, sudahlah. Enggak penting juga hal ini, dibahas sekarang. Kak Liana sudah tahu cerita tentang kami. Benar kakak enggak apa-apa?"

Felliana tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Rani. "Aku mau jujur tentang sakitku. Di rumah ini, hanya mama dan mas Ryan yang tahu."

"Memangnya kakak sakit apa? Mama sampai memintaku menjaga anak-anak karena kakak sakit."

"Aku tertular pasien AIDS stadium akhir, Ran. Bahkan bulan lalu, kakak meminta mas Ryan untuk mencari pendamping lagi."

"Astaghfirullahal'azim, Kak ... kenapa meminta sesuatu yang bakalan menyakiti hati kakak."

Felliana tersenyum mendengarnya. "Mas Ryan tidak mau. Dan mama pun waktu itu langsung memarahiku. Bilangnya, mudah bagi mas Ryan mencari pengantiku. Tapi, belum tentu bisa menggantikan aku menyayangi kembar."

"Benar yang dikatakan mama, Kak. Jangan sembarangan dalam mengambil suatu keputusan yang melibatkan perasaan. Takutnya menyesal tapi sudah terlambat."

Felliana terkekeh. "Apakah ini kau bercerita tentang dirimu sendiri, Rani. Kau menyesal, karena dulu tidak berani menerima lamaran Ryan."

"Jangan menyimpulkan sesuatu yang bikin hati tambah nyesek, Kak. Enggak ada seperti itu. Bagiku, cerita kami hanya masa lalu. Jujur, akupun turut bahagia menyaksikan kebahagiaan kalian.

Setidaknya, pilihanku menolak lamaran mas Ryan waktu itu. Mengantarkan takdir kakak berjodoh dengan mas Ryan. Yang semangat untuk berobat. Insyaallah, selagi kita berupaya. Akan dicatat sebagai amal kebaikan kita. Bahwa kita bukan makhluk Allah yang mudah berputus asa."

"Setelah mengajakmu berbicara. Aku semakin yakin, bahwa pilihan mama selalu tepat. Ran, andaikan kakak tidak membersamai tumbuh-kembang Fatih dan Fathiya. Tolong gantikan kakak merawat mereka, ya."

"Kak Liana ngomong apa sih, aku jadi merinding," ungkap Rani lirih seraya mengusap kedua sudut matanya. "Oiya, Kak ... besok siang Leo akan mampir kemari. Kita akan pulang. Kurasa sepekan di sini. Cukuplah mengobati rasa rinduku selama ini."

"Sekarang aku tahu alasan sebenarnya, kamu membenci Rani, Mas Ryan," gumam Felliana nyaris tak terdengar kecuali olehnya sendiri.

***Rr***

Sepulang sekolah tidak biasanya Anida langsung mencari mamanya. Biasanya ia akan segera naik ke kamarnya di lantai atas. Karena ia hafal jadwal praktek mamanya. Hari Senin-Sabtu dari jam 08.00-14.00 di RS. Pertamina.

Anida tahu, hari ini sang mama mengambil izin sehari. Karena berjanji akan menemaninya mengunjungi makam Aziz, ayah kandungnya.

"Jadi 'kan, Bund, kita ke makam ayah hari ini?" tanya Anida berlari menemui bundanya.

"Jadi dong. Kita diantar paman Umar. Kebetulan oma juga mau mengunjungi makam opa Ismail." 

Jawaban dari Felliana membuat Anida semakin ceria. Bergegas dirinya menaiki tangga menuju kamarnya, untuk berganti pakaian.

"Sayang, cepatan! Ganti bajunya. Karena bunda juga mau mampir ke kantor papa," ucap Felliana mengikuti langkah Anida.

"Beres, Bunda!"

Di ruang tamu sudah bersiap Umar dan Bu Ilmi. Sedangkan Rani diminta mengawasi kembar karena baby sitter yang biasanya menjaga Fatih minta izin selama tiga hari.

"Nanti sepulang dari makam. Turunkan kakak di kantor papanya anak-anak ya, Paman."

"Siap, Bosque!" jawab Umar seraya mengangkat tangan ke pelipisnya. Felliana terkekeh dengan tingkah sepupu sekaligus adik iparnya itu. 

Begitu Anida turun dengan setelan baju panjangnya. Mereka segera berangkat menuju pemakaman muslim yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal Bu Ilmi.

***Rr***

Usai memanjatkan doa untuk papanya. Felliana memperhatikan Anida dan Umar yang masih betah di depan makan Aziz, suami pertamanya.

"Padahal saat ditinggal mas Aziz, usia Anida baru tujuh tahun. Herannya semua kenangan tentang mas Aziz sangat melekat dalam ingatannya. Semoga saat bundanya pergi. Ia juga tak pernah alfa kirimi doa kita berdua."

"Kamu itu ngomong apa, Liana!" sangah Bu Ilmi tidak suka, ditempukkan bahu kiri putrinya.

Felliana tersenyum melihat ekspresi wajah sang mama. "Bukankah, di sinilah nanti ... tempat tinggal terakhir kita di dunia ini, Ma. Saat Anida menceritakan mimpinya dua kali berturut-turut bertemu almarhum mas Aziz. Akankah nanti aku akan mendatangi kalian lewat mimpi andai terbersit rasa rindu di alam yang berbeda."

Bu Ilmi mengusap sudut air matanya. Sesekali tangannya meratakan bunga yang ditabur bersama Felliana tadi. 

"Kamu benar, Liana. Terimakasih sudah mengingatkan mama. Terkadang saat diuji sakit, kita akan mengingat kematian. Beribadah lebih baik lagi, mendekatkan diri dengan Allah. Banyak meminta ampun atas segala dosa yang pernah kita lakukan."

"Itulah salah hikmah yang kurasakan selama dua bulan ini, Ma. Pasrah dan ikhlas dengan segala takdir Allah. Bisa jadi, dengan sakitku ini sebenarnya Allah sayang padaku. Supaya aku semakin dekat dengan-Nya."

Bu Ilmi menatap putrinya tunggalnya yang sedang bercerita masa kecilnya bersama papanya sembari membersih mengusap batu nisan almarhum Pak Ismail.

☘☘Next ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status