Share

9. Kejujuran Rani

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2023-07-10 12:33:44

Dalam hidup kita, pasti ada satu nama yang selalu terkenang. Bukan karena tak ingin melupakan, tetapi Tuhan memang menciptakan kenangan itu untuk menetap.

Bahkan terkadang waktu tak mampu memainkan perannya, menghapus angan akan kenangan itu. Ingatan kita masih saja tetap segar tentangnya. Tentang semua kebaikannya.

Tak dapat dipungkiri saat di ujung kenangan itu hadir. Si empunya kenangan akan menangis berharap semua kembali di waktu itu. Andaikan dulu berkata bersedia, akankah sekarang diri akan berbahagia. Hidup bersama dengannya, saling menjaga dan mencintai.

Dan Rani berusaha mengikhlaskan semua itu. Berharap jika suatu waktu dipertemukan kembali dengan Ryan. Keduanya dalam keadaan hati yang terjaga dan baik-baik saja. 

"Ran, bisa kau jelaskan. Maksud tulisan mas Ryan ini." Untuk kedua kalinya Felliana menanyakan hal yang sama.

"Ada baiknya masa lalu tidak perlu untuk diungkit kembali. Toh, kita tidak mungkin kembali ke masa itu, Kak."

"Masih tidak mau menjawab," pancing Felliana lagi.

"Kurang bijak rasanya kita membicarakan ini. Bilang orang, hanya cari penyakit. Yang semula baik-baik saja, bisa jadi akan jadi beban pikiran."

"Apakah mas Ryan pernah bilang mencintaimu," tebakan Felliana membuat Rani terbungkam. "Diam berarti iya, jangan-jangan ungkapan pengecut dan penghianat ini ia tunjukkan padamu, Rani.

Ayo, ada baiknya kamu cerita. Bisa jadi ada kesalahpahaman di sini. Selama jadi istrinya, baru kali ini, lo, Ran. Kakak melihat mas Ryan tidak suka pada orang. Anehnya, yang tak disukai adalah gadis sebaik kamu."

"Baiklah. Aku akan cerita, Kak. Tapi, kakak harus janji padaku. Enggak akan merubah perasaan kakak pada mas Ryan."

"Tentu. Katakanlah ada apa sebenarnya."

"Kakak pasti ingat, saat bapak meninggal. Waktu itu, mama sudah berangsur membaik kondisinya. Empat puluh hari setelah meninggalnya bapak, mas Ryan memintaku menjadi istrinya. Dia ingin mengambil tanggung jawab bapak sebagai kepala keluarga di rumah. Kondisi mas Sigit, saya dan Leo yang masih sekolah waktu itu."

"Kalau jadi kamu, kakak akan senang hati menerima tawaran mas Ryan. Kenapa kamu nolak?"

Rani memaksa untuk tersenyum. "Ibunya mas Ryan datang. Tidak setuju kami menikah."

"Hanya itu."

"Ya, intinya seperti itu. Aku menulis surat, isinya tidak bisa menerima lamarannya. Surat itu kutitipkan sama mas Radit. Untuk cerita selanjutnya, kakak pasti sudah tahu. Karena Kak Liana dan Mas Umar yang bantu carikan kami kontrakan yang dekat dengan kampus waktu itu."

"Oh, sudah ketemu benang merahnya. Sikapmu waktu itu memang pengecut, Ran. Harusnya kalau nolak kau bisa bicara langsung 'kan, tanpa melibatkan Radit. Tapi, ungkapan penghianat ini. Apakah ditujukan untuk Radit."

Rani mengedikkan bahunya. "Entahnya aku tidak tahu, Kak. Bisa jadi, ibu dan saudaranya mas Ryan fitnah aku sama mas Radit." Rani menarik napasnya, kemudian memandang ke arah Felliana. "Tapi, sudahlah. Enggak penting juga hal ini, dibahas sekarang. Kak Liana sudah tahu cerita tentang kami. Benar kakak enggak apa-apa?"

Felliana tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Rani. "Aku mau jujur tentang sakitku. Di rumah ini, hanya mama dan mas Ryan yang tahu."

"Memangnya kakak sakit apa? Mama sampai memintaku menjaga anak-anak karena kakak sakit."

"Aku tertular pasien AIDS stadium akhir, Ran. Bahkan bulan lalu, kakak meminta mas Ryan untuk mencari pendamping lagi."

"Astaghfirullahal'azim, Kak ... kenapa meminta sesuatu yang bakalan menyakiti hati kakak."

Felliana tersenyum mendengarnya. "Mas Ryan tidak mau. Dan mama pun waktu itu langsung memarahiku. Bilangnya, mudah bagi mas Ryan mencari pengantiku. Tapi, belum tentu bisa menggantikan aku menyayangi kembar."

"Benar yang dikatakan mama, Kak. Jangan sembarangan dalam mengambil suatu keputusan yang melibatkan perasaan. Takutnya menyesal tapi sudah terlambat."

Felliana terkekeh. "Apakah ini kau bercerita tentang dirimu sendiri, Rani. Kau menyesal, karena dulu tidak berani menerima lamaran Ryan."

"Jangan menyimpulkan sesuatu yang bikin hati tambah nyesek, Kak. Enggak ada seperti itu. Bagiku, cerita kami hanya masa lalu. Jujur, akupun turut bahagia menyaksikan kebahagiaan kalian.

Setidaknya, pilihanku menolak lamaran mas Ryan waktu itu. Mengantarkan takdir kakak berjodoh dengan mas Ryan. Yang semangat untuk berobat. Insyaallah, selagi kita berupaya. Akan dicatat sebagai amal kebaikan kita. Bahwa kita bukan makhluk Allah yang mudah berputus asa."

"Setelah mengajakmu berbicara. Aku semakin yakin, bahwa pilihan mama selalu tepat. Ran, andaikan kakak tidak membersamai tumbuh-kembang Fatih dan Fathiya. Tolong gantikan kakak merawat mereka, ya."

"Kak Liana ngomong apa sih, aku jadi merinding," ungkap Rani lirih seraya mengusap kedua sudut matanya. "Oiya, Kak ... besok siang Leo akan mampir kemari. Kita akan pulang. Kurasa sepekan di sini. Cukuplah mengobati rasa rinduku selama ini."

"Sekarang aku tahu alasan sebenarnya, kamu membenci Rani, Mas Ryan," gumam Felliana nyaris tak terdengar kecuali olehnya sendiri.

***Rr***

Sepulang sekolah tidak biasanya Anida langsung mencari mamanya. Biasanya ia akan segera naik ke kamarnya di lantai atas. Karena ia hafal jadwal praktek mamanya. Hari Senin-Sabtu dari jam 08.00-14.00 di RS. Pertamina.

Anida tahu, hari ini sang mama mengambil izin sehari. Karena berjanji akan menemaninya mengunjungi makam Aziz, ayah kandungnya.

"Jadi 'kan, Bund, kita ke makam ayah hari ini?" tanya Anida berlari menemui bundanya.

"Jadi dong. Kita diantar paman Umar. Kebetulan oma juga mau mengunjungi makam opa Ismail." 

Jawaban dari Felliana membuat Anida semakin ceria. Bergegas dirinya menaiki tangga menuju kamarnya, untuk berganti pakaian.

"Sayang, cepatan! Ganti bajunya. Karena bunda juga mau mampir ke kantor papa," ucap Felliana mengikuti langkah Anida.

"Beres, Bunda!"

Di ruang tamu sudah bersiap Umar dan Bu Ilmi. Sedangkan Rani diminta mengawasi kembar karena baby sitter yang biasanya menjaga Fatih minta izin selama tiga hari.

"Nanti sepulang dari makam. Turunkan kakak di kantor papanya anak-anak ya, Paman."

"Siap, Bosque!" jawab Umar seraya mengangkat tangan ke pelipisnya. Felliana terkekeh dengan tingkah sepupu sekaligus adik iparnya itu. 

Begitu Anida turun dengan setelan baju panjangnya. Mereka segera berangkat menuju pemakaman muslim yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal Bu Ilmi.

***Rr***

Usai memanjatkan doa untuk papanya. Felliana memperhatikan Anida dan Umar yang masih betah di depan makan Aziz, suami pertamanya.

"Padahal saat ditinggal mas Aziz, usia Anida baru tujuh tahun. Herannya semua kenangan tentang mas Aziz sangat melekat dalam ingatannya. Semoga saat bundanya pergi. Ia juga tak pernah alfa kirimi doa kita berdua."

"Kamu itu ngomong apa, Liana!" sangah Bu Ilmi tidak suka, ditempukkan bahu kiri putrinya.

Felliana tersenyum melihat ekspresi wajah sang mama. "Bukankah, di sinilah nanti ... tempat tinggal terakhir kita di dunia ini, Ma. Saat Anida menceritakan mimpinya dua kali berturut-turut bertemu almarhum mas Aziz. Akankah nanti aku akan mendatangi kalian lewat mimpi andai terbersit rasa rindu di alam yang berbeda."

Bu Ilmi mengusap sudut air matanya. Sesekali tangannya meratakan bunga yang ditabur bersama Felliana tadi. 

"Kamu benar, Liana. Terimakasih sudah mengingatkan mama. Terkadang saat diuji sakit, kita akan mengingat kematian. Beribadah lebih baik lagi, mendekatkan diri dengan Allah. Banyak meminta ampun atas segala dosa yang pernah kita lakukan."

"Itulah salah hikmah yang kurasakan selama dua bulan ini, Ma. Pasrah dan ikhlas dengan segala takdir Allah. Bisa jadi, dengan sakitku ini sebenarnya Allah sayang padaku. Supaya aku semakin dekat dengan-Nya."

Bu Ilmi menatap putrinya tunggalnya yang sedang bercerita masa kecilnya bersama papanya sembari membersih mengusap batu nisan almarhum Pak Ismail.

☘☘Next ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Pilihan Istriku    Takdir Yang Tertulis (Ending)

    "Eh Paman, serius dengan perjodohan ini. Ntu sekalinya betulan ABG. Baru masuk kelas 12. Hari ini dilamar, baru nikahnya tahun depan gitu," ucap Anida melirik ke arah pamannya. "Mana, Paman tahu." Umar menatap lekat Denok yang berjalan di depan mereka.Setelah menaruh barang bawaan mereka. Anida menghampiri Denok meminta izin untuk ke belakang."Paman tungguin ya, sekalian ajak pedekate calon bibiku." Kerling Anida sebelum berlalu. Ingin rasanya Umar menjitak anak semata wayang kakaknya itu.Denok mengangguk sopan berjalan ke arah Umar. Gadis basa-basi menyapa sebelum berlalu meninggalkan kedua tamu."Maaf, saya tinggal masuk dulu ya, Mas. Mau bantu nyiapin makan siang." Pamit Denok ketika akan melewati Umar."Tunggu!" cegah Umar.Denok berhenti sekitar tiga langkah dari Umar."Iya, Mas."HuufftsUmar menghembuskan nafas, untuk mengurangi sesak di dadanya sedari tadi."Maaf sebelumnya, tapi saya harus mengatakan ini. Saya pribadi keberatan dengan perjodohan ini. Beberapa minggu yang

  • Perempuan Pilihan Istriku    32. Takdir Yang Tertulis (1)

    Peri menatap nanar map di atas meja tamu kediaman Umi Hanifah. Angan yang dia harapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang didengarnya barusan.Barusan Umi Hanifah menyampaikan, proses ta'aruf antara dirinya dan Umar ada kemungkinan tidak bisa dilanjutkan.Umar sebelum bertemu dengan Peri, telah bercerita semuanya dengan Ustad Mukhlis, alasan tidak dapat melanjutkan ta'aruf. Bahwa dia dijodohkan dengan anak sahabat bapaknya. Dirinya tidak dilibatkan, dengan kata lain dia tidak mengetahui perihal perjodohan ini."Maaf, tidak ada maksud saya mempermainkan perasaan anti, Ukh .... " ucap Umar sebelum beranjak meninggalkan ruang tamu kediaman ustadzah Hanifah."Tak mengapa, Akh ... semoga kita berdua dipertemukan dengan jodoh terbaik," balas Peri lirih. Umi Hanifah selaku murabbi Peri, sekaligus kepala sekolah TA Al Furqon itu mengelus punggung binaannya seraya memberi dukungan untuk sabar dan ikhlas."Aamiin."Dengan perasaan bersalah, Umar menatap getir ke arah perempuan yang ta

  • Perempuan Pilihan Istriku    31. Ta'aruf

    Tiga tahun kemudian "Papa, berangkat dulu ya, Farraz. Baik-baik sama Mama." Ryan menciumi wajah batita dalam gendongannya. Bocah yang sebentar lagi menjadi kakak itu, terkekeh geli dengan ulah papanya. Farraz Putra Edogawa, putra ketiga Ryan."Mas sudah bikinkan janji periksa untuk nanti sore. Semoga dedeknya enggak malu lagi, dilihat identitinya." Ryan beralih mencium kening Rani. Istrinya itu tersenyum seraya mengangsurkan tas kerja milik suaminya."Iya, Mas. Hati-hati bawa mobilnya, ya," balas Rani meraih tangan kanan suaminya untuk salim lantas diciumnya dengan takzim."Mas jadi pingin makan rujak, ya," ujar Ryan sembari mengecap dan mendesis mirip ekspresi orang makan rujak manis, asam, pedas.Rani tertawa geli melihat ekspresi suaminya. Diraihnya tubuh Farraz dari gendongan Ryan. Kemudian menggendong putranya itu, di sisi pinggang kanan."Assalamualaikum," sapa Tamara mengandeng bocah sepantaran Farraz. Disusul Radit dibelakang mereka berdua."Dari bangun Subuh tadi. Sudah heb

  • Perempuan Pilihan Istriku    30. Lembaran Baru

    "Sungguh aku iri padamu. Ingin aku menggantikan posisimu sekarang. Dan itu tidak akan terwujud kalau kau masih bernyawa, Rani."Setelah berkata demikian Lucia bangkit dari duduknya menerjang tubuh Rani. Hingga keduanya terjatuh ke karpet. Lucia berada di atas tubuh Rani."Kalau gagal membunuhmu dengan tangan orang lain. Mungkin sudah saatnya kau mati di tanganku sendiri." Lucia mencekik kuat leher Rani dengan kedua tangannya.Rani yang tidak menyangka akan diserang demikian. Napasnya tersenggal, lidahnya hampir terjulur.Hingga"Anak kurang ajar!" teriak seseorang yang membuat Lucia merenggangkan cekikannya.Kepala wanita itu dihantam sekuat tenaga oleh tas yang dibawa seseorang yang terlihat samar oleh penglihatan Rani. Namun, ia hafal suara sosok yang datang menyelamatkannya barusan."Kak Rani!" seru Aida panik. Sepupu Lucia itu menghampiri Rani yang terbaik berkali-kali dengan nafas terengah-engah."Nenek pastikan kali ini, kamu meringkuk dalam penjara, Lucia." Bu Dewi memukulkan t

  • Perempuan Pilihan Istriku    29. Benang Merah

    Hari ketiga dirawat di rumah sakit. Rani meminta Ryan untuk menguruskan kepulangan. Ia sudah merindukan kedua anak mereka."Mas tidak berani memutuskan sendiri. Kita tunggu apa kata dokter. Setelah itu pertimbangan dari mama Ilmi.""Kurasa aku sudah cukup istirahatnya, Mas. Di sini aku tak melakukan aktivitas apapun. Nanti Mas Ryan bantu aku ngomong sama Mama, ya."Rani merasa kesehatannya telah pulih, kondisi badannya kembali fit pasca keguguran. Di rumah sakit dirinya memang dia diperbolehkan beraktivitas berlebihan. Kondisinya pun terus mendapat pantauan langsung dari dokter kandungan."Mau ke rumah kita atau tetap ke rumah mama Ilmi?" tanya Ryan seraya membelai pipi wanitanya itu."Senyamannya Mas Ryan saja. Aku ikut.""Kalau pemeriksaan dokter menyatakan sudah pulih. Kita pulang ke rumah kita saja, ya.""Hu um." Rani mengangguk seraya tersenyum menatap pria di depannya itu."Sayang, Mas tanya sekali lagi. Benar, kamu tidak mau mengusut kasus ini. Atau sebenarnya kamu sudah tahu.

  • Perempuan Pilihan Istriku    28. Mengikhlaskan

    Laksman tidak membawa mobil ke area parkir klinik melainkan putar balik ke tempat dia berjumpa dengan Leo menggendong kakaknya tadi. Dia masih berharap apa yang didengar tadi tidaklah benar. Tanpa sengaja dia mendengar instruksi kakaknya dengan seseorang di telepon, yang mengarah pada tindakan kriminal.Saat pandangan Laksman menemukan sebuah gudang tua. Ia memelankan laju mobil Tamara hingga berhenti di samping Jeep milik kedua preman yang dihajar oleh Leo tadi.Laksman bergegas masuk ke dalam gudang, yang pintunya telah dirusak oleh Leo tadi. Begitu memasuki gudang, dia menghampiri dua preman yang masih tak bergerak. Keduanya tergeletak di lantai penuh dengan luka.Dengan langkah berhati-hati ia mendekati kedua preman itu. Ragu, apakah kedua preman dalam keadaan sadar atau pingsan, Laksman mengoyangkan salah satu kaki preman dengan kaki kanannya.Pemuda itu terjingkat, ketika terdengar dering ponsel dari saku celana preman sebelah kiri kakinya. Laksman bergegas mengambil ponsel itu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status