Part 15Pov Melinda"Mel, sudah lama aku tak bertemu dengan Lola. Bisakah dia ikut bersamaku untuk dua hari saja?""Ayah, aku kangen sama ayah. Bunda apa aku boleh ikut ayah?" tanya putriku dengan polos. Enam tahun lebih saat ini usianya, dia mengenal ayahnya karena sedari bayi dia lebih dekat dengannya. Dari gantiin dia popok, memandikan bahkan menyuapi makan. Belum lagi saat di kampung Mas Tanto selalu menghubungi Lola menanyakan kabar. Aku yang sebenarnya malas menanggapi. Sesekali Mas Tanto kirim uang jajan untuk Lola tapi ya nominalnya sedikit. "Ya dibawa saja. Tapi ingat cuma dua hari saja. Kamu harus mengembalikannya padaku!" tukasku ketus."Baiklah, Mel. Kamu tinggal dimana sekarang?""Nanti kuberi tahu kalau sudah dua hari. Atau kita ketemuan di cafe.""Ya, baiklah. Ayo sayang kita pergi ke tempat tinggal ayah. Salim dulu sama bunda.""Bunda, Lola sama ayah dulu ya. Bunda jangan marah-marah terus.""Iya sayang.""Dadah bunda ..."Lola melambaikan tangan ke arahku. Sengaja
Part 16"Kenapa dia harus tinggal di sini? Memangnya kenapa? Ini ada apa, Mas?""Wulan, tolong jangan salah paham dulu. Dengarkan penjelasan kami, jangan setengah-setengah menyimpulkannya," ujar ibu lagi.Hah! Aku benar-benar tak mengerti dengan drama keluarga suamiku bersama pelakor itu. Mengagumkan sekali! Sungguh tak tahu malu. Oke, mari kita ikuti alurnya dulu."Ya, baiklah.""Jadi begini, Nak, Melinda ini sedang kesulitan ekonomi. Dia butuh pekerjaan untuk sementara ini, Nak."Kulirik ke arah Melinda, matanya membulat mendengar ucapan ibu mertua."Terus apa hubungannya denganku? Kenapa harus datang kesini? Lowongan pekerjaan banyak, kantor banyak, rumah makan banyak, kenapa datangnya ke rumah kami, Bu?Ibu mertua tersenyum."Iya, karena ibu tahu kamu ini kan habis melahirkan, repot mengurus dua anak yang masih kecil-kecil, kamu pasti butuh bantuan tenaga. Nah, menurut ibu, biarkan Melinda bekerja disini dulu sebagai asisten rumah tangga," jawab ibu mertua lagi makin membuat Melin
Part 17"Kenapa sih, Mas, panik banget kayak ada apa aja. Kalau khawatir samperin saja sono kali aja ada ular masuk ke kamarnya!""Ah, ya gak mungkin Dek. Dah tidur aja kamu jangan berpikiran macem-macem," kilah Mas Damar."Aneh aja sih soalnya, tengah malam telepon ada perlu apa coba? Kalau bukan ada maksud tertentu. Kau harus ingat ini baik-baik, Mas, Melinda mungkin teman kamu, tapi dia juga seorang wanita. Dia datang kesini sendiri untuk meminta pekerjaan jadi pembantu. Kamu tidak boleh mengistimewakannya. Aku tidak suka dengan caramu yang seperti ini, Mas.""Iya, Dek. Maaf."Ia kembali berbaring dan meletakkan ponselnya lagi. Tapi rupanya mereka tetap curi-curi waktu buat saling berbalas pesan saat aku tertidur.[Maaf Mel, aku gak mungkin menemuimu. Nanti Wulan bisa curiga] chat dari Mas Damar.[Menyebalkan sekali, meski dekat tapi kita tetap jauh. Aku ada ide, Mas] balas Melinda. [Ide apa?][Bagaimana kalau tiap malam kau buat istrimu tidur lebih cepat. Saat kau pergi ke kantor
Part 18"Bu, rencana ini tidak berhasil, lalu kita mau bagaimana? Atau katakan saja yang sebenarnya tentang kami, Bu? Aku gak mau hubungan kami terus seperti ini. Tak ada kejelasan, apalagi Mas Damar ..."Aku mendekat. "Mas Damar kenapa, Mbak Mel?"Mereka bertiga terkejut mendengar suaraku. "Ah tidak, tidak apa-apa, Mbak Wulan. Maksudnya aku mau pamit pergi dulu, tapi Mas Damar masih di kantor.""Tidak apa-apa nanti saya sampaikan," sahutku lagi."Kalau begitu ibu juga mau pamit, Nak. Maaf ya ibu kesini malah ngerepotin kalian.""Tidak apa-apa, Bu. Selagi aku masih jadi menantumu.""Hah? Maksudnya?"Aku hanya tersenyum, aku menatap Farah yang sedari tadi diam dan memperhatikanku. "Farah, kamu sudah pesan taksinya?" "Iya sudah, Mbak. Sebentar lagi datang."Tiiin ... Suara klakson menghenyakkan kami. Farah bangkit dan melihatnya. Ia tersenyum. "Bu, Mbak, taksinya sudah datang," ujarnya."Ya sudah kita langsung berangkat saja. Pamitan sama Damar di telpon saja," sahut ibu.Mereka melan
Part 19"Jangan pernah berpikir mas akan meninggalkanmu, Dek. Itu tidak akan pernah terjadi. Mas sangat menyayangimu dan juga anak-anak."Mendengar kata-katanya ... Separuh nafasku seakan telah pergi. Aku hancur, sehancur-hancurnya. Meski sudah menyiapkan hati sejak pertama tahu pengkhianatan ini, tapi tetap saja sangat sakit saat dia mengatakan sejujurnya dari mulut manisnya itu. Sesak terasa menghimpit di dada, untuk menghirup secuil udara saja rasanya begitu sulit. Ada rasa panas membakar hati ini. Pertahananku runtuh sudah. Butiran bening seolah tak dapat dikompromi, terus saja jatuh berderai tanpa permisi.Berkali-kali kuhela nafas dalam-dalam. Setidaknya fisikku harus kuat meski ragaku kini sedang rapuh. Beban mental kini terus menghantui, aku sendirian, tak ada kekuatan lagi selain tawa dan tangis anak-anak. Ya, aku memang hanya wanita biasa yang tak bisa terima bila ada masalah poligami, meski suami masih bisa menafkahi dengan baik. Tapi, tentu tidak dengan hati. Hati yang s
Part 20"Mas sudah berbuat keterlaluan padamu, tak memikirkan perasaanmu. Semalam mas juga sudah berpikir masak-masak mengenai masalah ini. Dan ... Mas akan memilihmu, Mas akan sudahi hubungan dengan Melinda. Tolong maafin mas ya, Dek. Ayo kita perbaiki hubungan ini lagi."Sudah terlanjur basah, Wulan mengetahui hubunganku dengan Melinda. Ternyata benar kata pepatah, serapat-rapatnya menyimpan bangkai pasti akan tercium juga.Pikiranku dilanda kalut luar biasa, sungguh sebenarnya aku dilema. Pilihan yang teramat sulit dalam hidupku. Aku tak ingin kehilangan keduanya. Wulan, wanita yang sudah melahirkan anak-anakku dan juga Melinda, cinta masa laluku.Hatiku menciut kala melihat Wulan marah, wanita yang penuh kelembutan itu tak pernah bersikap penuh emosi seperti semalam. Perasaan getir meliputi sudut hati. Apalagi dia menangis karena ulahku. Aku tahu, dia pasti patah hati, orang yang ia percaya justru mengkhianati. Tapi ... akupun tak bisa membohongi diri, bahwa cintaku masih tersang
Part 21"Tidak Dek ... mas sungguh menyayangi kalian. Mas tak ingin kehilangan kamu, Raffa dan juga Amanda. Lihatlah mereka sayang, mereka masih butuh kita, aku dan juga kamu. Kamu tak bisa berdiri sendiri tanpa aku. Akupun sama, tak bisa berdiri tanpa kamu dan anak-anak."Biasanya bila mendengar kata-katanya hatiku langsung berbunga-bunga. Tapi tidak dengan sekarang. Semua masih menyisakan luka. Apalagi saat kuminta dia menceraikan Melinda di hadapanku. Jawabannya berbelit-belit dan terkesan banyak alasan. "Ti-tidak, Wulan, aku tidak keberatan. Tapi aku butuh waktu," sahutnya ragu. Ia menatapku dengan sendu. Sunhguh menyebalkan memang!Aku menghela nafas berat. Bukankah itu artinya dia tak 100% dengan kesungguhannya? Baiklah, kita ikuti saja apa yang akan dia lakukan. Bagiku kini lebih baik bergerak sendiri. Diam-diam menjadi wanita yang mandiri daronpada lagi-lagi mengharap dia yang sudah jelas-jelas menyakiti.Masih seperti biasa, setelah Mas Damar pergi bekerja, aku mengantar Raf
Part 22Duh Wulan, kamu pergi kemana? Kenapa justru membuatku khawatir begini?Dadaku bergemuruh kencang, antara cemas, takut juga marah. Bisa-bisanya Wulan pergi tanpa izin dariku. Kembali kucoba telepon nomornya, tetap sama, tidak aktif juga tak ada balasan pesan apapun darinya.Terpaksa aku beranjak, menuju rumah Nino. Ya, istriku dan istri Niko memang berteman karena anak-anak kami sekolah bersama, juga karena kami bertetangga."Assalamu'alaikum, Mbak Rasti." Aku mengucapkan salam meski ragu Wulan ada di sini karena rumah tampak sepi."Waalaikum salam. Oh Mas Damar, ada apa ya, Mas?" tanya wanita bertubuh sedikit gendut itu. Entah lah memandang Mbak Rasti kayaknya jadi ilfil karena banyak lemak, apalagi di bagian perut. Entah kenapa Niko bisa nyaman mempunyai istri seperti dia."Mbak Rasti tahu gak Wulan pergi kemana?" tanyaku."Gak tahu, Mas. Memangnya Mbak Wulan gak ada di rumah?" Wanita itu justru balik bertanya."Gak ada, Mbak, makanya saya tanya, kali aja mereka main kesini.