Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta
Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b
Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar
Part 1 [Akhirnya sekian lama terpisah, kini dipersatukan kembali. Semoga langgeng ya Mbak, Mas, lancar untuk kalian. Happy Engagement]Aku terkesiap kaget melihat status WA Farah, adik iparku. Status yang disertai foto seorang wanita cantik tengah berhadapan dengan seorang pria. Wanita itu tersenyum menghadap kamera, sedangkan sang lelaki hanya terlihat bagian punggung saja. Perawakannya sangat kukenali, seperti suamiku, walaupun aku tak melihat wajahnya langsung, tapi aku sangat mengenali lelaki yang membersamaiku tujuh tahun ini.Seketika dadaku bergemuruh hebat, entah ini hanya prasangkaku saja atau memang benar ada rahasia dengan mereka semua.Namun, saat aku ingin membalas status Farah lagi. Postingan itu sudah terhapus, mungkin sengaja dihapus karena aku telah melihatnya. Ya Allah, ada apa ini? Kenapa hal ini makin membuat kecurigaanku semakin menjadi?Aku menghela nafas panjang, lalu mencoba menghubungi suamiku untuk memastikan semua ini. Ya, saat ini Mas Damar memang tengah
Part 2"Mas, tadi siapa perempuan yang ada di belakangmu? Kamu sedang ada dimana, Mas?"Meski aku tahu, ini adalah pertanyaan konyol. Mas Damar tak mungkin menjawab dengan jujur, ia pasti akan berkilah.Lelaki di balik layar itu tampak menoleh, kemudian langsung menghadapkan ponselnya ke langit-langit kamar. Mungkin ponsel itu ia letakkan begitu saja."Kenapa kamu masuk kesini? Tunggu aku di luar. Okey?" Samar terdengar suara Mas Damar berbicara dengen seseorang. Mungkin perempuan tadi.Aku menunggu beberapa puluh detik, lalu ia sudah ada di layar handphone kembali. "Maaf tadi Farah masuk, katanya butuh sesuatu," jawab Mas Damar menjelaskan."Yakin itu, Farah? Kok penampilannya beda?""Setiap orang kan bisa berubah, Sayang. Sudah dulu ya. Jaga anak-anak dengan baik ya. Besok aku pulang, Love you."Seolah tak ingin aku bertanya lebih lanjut, Mas Damar mematikan panggilan teleponnya. Aku menghela nafas panjang. Pikiran negatif kembali berkecamuk. Sampai aku berpikir aneh, benarkah aku
Part 3"Dek, kamu sedang apa?" Aku terperanjat kaget saat Mas Damar bertanya. Ia keluar dari kamar mandi dan langsung menghampiriku, seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk."Eh Mas, aku sedang merapikan baju-bajumu. Tapi ini apa?" Aku menunjukkan nota pembelian cincin serta boneka barbie itu padanya.Sesaat matanya terbelalak kaget. Tapi secepat kilat ia sembunyikan wajah terkejutnya dibalik senyuman."Nota cincin dan boneka barbie ini punya siapa, Mas?" Aku mengulangi pertanyaan.Mas Damar menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Emmh ... anu, ini punya Farah," sahut Mas Damar gugup. Jelas sekali ia tengah beralibi."Farah? Farah gak mungkin masih mainan barbie yang penuh coretan gini kan, Mas?" tanyaku lagi."Ehem, maksud mas, ini mainan anak tetangga sebelah yang sering main dengan Farah," jawabnya salah tingkah."Kok bisa ada di koper kamu?""Ya, aku gak tahu. Mungkin ketinggalan. Masalahnya anaknya jahil."Aku mengangguk, meski hati seperti diremas-remas."Terus nota cincin i
Part 4"Memang kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"Aku terdiam sejenak, menatap matanya. Tak ada perasaan bersalah sedikitpun dari pancaran matanya. Mas Damar pintar sekali menyembunyikan rahasia."Enggak. Cuma tadi aku habis nonton drama. Ceritanya itu bikin nyesek di hati. Sampai sekarang gak ilang-ilang," sahutku kemudian."Cerita apaan emang sampai membuatmu seperti ini?""Cerita layangan putus. Suami yang ditemani dari nol ternyata berkhianat dengan perempuan lain."Mendengar jawabanku, Mas Damar terdiam. Apa jawabanku cukup menyindirnya?Dia beranjak duduk. "Sayang, lebih baik jangan nonton drama seperti itu lagi, tak baik efeknya. Kamu jadi curiga kan sama suami sendiri?""Ya soalnya seru banget, Mas. Suami yang begitu sayang dan setia tapi nyatanya bermain di belakangnya.""Sudahlah, tak perlu membahas sinetron. Tidur yuk, tubuhmu butuh istirahat lho."Aku mengangguk lemah. Rapi sekali kamu bersandiwara, Mas.***"Iya, nanti kuusahakan ya. Kamu tahu sendiri kan aku sudah cuti tig
Part 5Kuletakkan handphone di atas meja, rasanya ingin kupergoki mereka berdua, tapi apalah daya, bagaimana dengan anak dan bayiku. Membayangkan Mas Damar dan Melinda tengah bermesraan saja rasanya begitu sakit.Kuhela nafas yang terasa begitu berat, sangat berat bahkan terasa sakit meski hanya untuk menghempaskannya. Aku menoleh ke arah dua malaikat mungilku yang tengah tertidur pulas. Butiran bening menitik tak bisa dibendung lagi. Lelaki yang seharusnya jadi panutan, tapi ternyata tak lebih dari seorang pembohong besar. Namun kuakui, Mas Damar adalah seorang ayah yang baik. Hal ini yang membuatku bingung, bagaimana dengan anak-anak bila tanpa kehadiran seorang ayah.Aku kembali memungut ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Rasti dan Mas Niko.[Assalamu'alaikum, Mbak. Malam-malam maaf ganggu waktu istirahatnya] [Waalaikum salam, oh iya, kebetulan aku belum tidur. Ada apa ya, Mbak?] Balas Mbak Rasti.[Mas Niko lembur gak ya, Mbak?][Enggak kok. Pulang seperti biasa. Itu orangnya s