Aku membelalakkan mata mendengar ucapannya. Seketika jantungku berdebar kencang menahan emosi. Seenaknya saja dengan entengnya ia meminta jatah padaku setelah berhubungan dengan wanita lain. Membayangkannya saja sudah membuatku sesak. Sakit sekali. Aku berusaha mengurai pelukannya, tapi ia justru menarikku makin dalam.“Mas, tolong lepaskan aku. Nafasku sesak banget kalau kamu terus begini.” Di saat seperti ini aku berharap Amanda menangis dengan kencang biar ada alasan menghindar darinya. Ya Allah, dosakah aku begini?“Mas kangen, Dek ...” ujarnya lembut.Aku menghela nafas dalam. “Aku belum 40 hari Mas, kamu sibuk sama perempuan itu sampai lupa umur anakmu sendiri?” Aku sengaja mengucapkan hal itu biar dia mikir.Ia mengurai pelukannya, terduduk bersimpuh. “Dek, maaf, aku bersalah padamu. Izinkan aku memperbaiki semuanya. Tolong berikan Mas kesempatan kedua.” Tiba-tiba ia menangis, entah menangis untuk apa. Apakah ia benar-benar menyesal atau karena ada masalah lainnya, aku tidak ta
Part 27"Melinda, mulai hari ini, detik ini juga, kita tak ada ikatan apapun lagi. Kamu bukan istriku. Aku talak kamu!”"Apa, Mas? Tidak, Mas, aku gak terima. Jadi kau lebih memilihnya dari pada aku?"Mas Damar bangkit seolah tak mau lagi mendengar ucapan Melinda."Kenapa kamu bersikap seperti ini, Mas. Kamu tega!""Ayo Wulan, kita pergi! Kita tak ada urusan lagi di sini."Aku ikut bangkit menatap wanita itu. Melinda tampak shock dengan kedua mata berkaca-kaca.Mas Damar sudah pergi mendahului. "Ini belum usai, Wulan. Tapi ini justru baru awal. Aku tidak terima Mas Damar lebih memilihmu. Apa sih kelebihan kamu selain cuma dimanfaatkan seperti babu? Mas Damar cuma mencintaiku tau!"Aku menghentikan langkah sejenak, lalu berbalik menatapnya. "Apa kau bangga dengan hal itu, Mel? Menjadi pelakor di rumah tangga orang lain? Mas Damar lebih memilihku, bukankah itu artinya aku yang menang? Hei, Melinda, aku bertahan itu karena harus mempertahankan apa yang menjadi hakku dan juga anak-anak.
Part 28 Pov MelindaAku tak pernah menyangka Mas Damar mengatakan kata talak padaku. Apakah ini hanya sandiwaranya seperti tempo hari? Tapi dia tak mengatakan apapun padaku. Bahkan nomorku diblokir olehnya. Apa-apaan dia ini? Menyebalkan sekali kamu, Mas. Aku benar-benar shock, apalagi mendengar ucapan Wulan yang akan mempertahankannya sampai akhir. Perempuan itu bodoh atau gimana sih? Kupandangi punggung kekar lelaki itu yang menjauh menuju mobilnya. Wajahnya jelas sedang emosi. Pasti gara-gara kesalahpahamannya pada Mas Sandy. Aaarrhhh, aku jadi makin bingung dibuatnya."Sekarang kamu bukan istriku lagi, aku talak kamu!" Kata-kata yang keluar dari mulut Mas Damar selalu terngiang-ngiang di telinga. Entah kenapa jadinya aku tak berselera makan dan yang lain. Hanya berbaring di sofa sembari menatap langit-langit rumah. Benarkah hubunganku dan Mas Damar telah berakhir?Terbayang kembali kenangan manis bersama lelaki itu. Bahkan potongan-potongan kenangan masa lalu berulang kali sing
Part 29"Aku serius, Mel. Turun dan keluarlah dari mobilku.""Tidak, Mas! Aku gak mau! Aku gak mau pisah denganmu!"Mas Damar turun dari mobilnya dan membuka pintu dan menarikku keluar dari mobilnya."Mas, kamu kasar banget sih! Sakit tau!"Lelaki itu begitu dingin, benarkah rasa cintanya padaku sudah terkikis begitu saja hanya karena masalah sepele?Ia tak menanggapi apapun ucapanku, bahkan langsung masuk kembali ke mobilnya. Baiklah, kalau kau begitu, akupun bisa dengan cara yang nekat.Saat mobil hendak berjalan, aku langsubg berdiri di depannya. Merentangkan tangan, agar dia menghentikkan mobil. Ah apapun itu namanya usaha harus totalitas. Biar saja orang-orang menganggap aku gila. "Mel, minggir! Kau ingin ditabrak?""Silakan tabrak aku, Mas! Paling nanti kamu yang di penjara!"Tiiiinnn ....! Suara klakson dibunyikan begitu kencang. Hingga security datang menghampiri kami. "Pak, tolong bawa perempuan ini menyingkir, dia sudah gila, dia menghalangi jalanku," tukas Mas Damar ketus
Part 30Mentari di ufuk barat mulai turun ke peraduannya, hanya senja yang masih terlihat jingga. Aku menghempaskan nafas kasar. Jengah. Apalagi mendengar Melinda menungguku sedari tadi di loby kantor. Aku ingin menghindar darinya dan tak ingin hubungan ini terus berulang. Entahlah, hatiku merasa berantakan. Mau tak mau aku turun dan menghadapinya. Sikapnya benar-benar seperti orang yang gila. Setitik rasa kasihan menyelinap di hati, tapi segera terkikis kala terbayang ia menyuapi dan merangkul pria di kafe itu dengan mesra. Emosi kembali memuncak dalam dada hingga aku bersikap tega padanya. Ya, memang begitulah Melinda, tak gampang menyerah. Setelah sampai di rumah yang sepi, entah kemana Wulan dan anak-anak pergi. Melinda kembali datang menghampiri, mengancamku membuatku malu pada diriku sendiri. Kuantarkan dia pulang ke rumah kontrakannya. Tetap saja dia berusaha merayu dan menggoda, aku masih teguh pada pendirian. Karena saat ini pikiranku bercabang. Wulan dan anak-anak tak ada
Part 31"Damar, jangan diam saja! Kamu dengar gak ibu bilang apa? Cepat jemput Melinda!"Aku menghela nafas dalam dan menjatahkan bobotku di sofa. "Aku baru dateng, Bu, tapi ibu malah langsung menyuruhku jemput dia. Apa ibu tidak bertanya padaku apa masalah kami sebenarny?:"Ibu sudah tahu semuanya, Melinda sudah cerita. Kamu yang salah paham, Damar!" tukas ibu lagi.Aku tertawa, merasa konyol sekali. "Apa ibu gak ingin tahu kabar Wulan dan anak-anak? Mereka juga menantu serta cucu ibu.""Halaah, paling mereka sudah pulang. Tipe wanita seperti Wulan itu pasti gak bisa jauh-jauh dari kamu. Dia bisa apa tanpa kamu sih! Cuma lulusan SMA aja belagu, gadis miskin gak punya orang tua! Gak punya apa-apa yang bisa dibanggakan," tukas ibu kesal. "Dari awal kan ibu setengah hati memberikan restu pada kalian. Tapi ya sudahlah, ibu gak mau mengungkit lagi. Toh pernikahan kalian sudah tujuh tahun. Sudah saling mengerti. Lebih baik sekarang kamu ke sana, susul Melinda. Ibu kasihan sama dia, Nak," u
Part 32Bila bertahan menyakitkan, maka melepaskan adalah jalan terbaik. Aku sudah berpikir tentang hal ini sejak aku tahu Mas Damar bermain hati. Setiap manusia punya kesempatan untuk bahagia, begitu pula denganku. Aku tak ingin kesehatan mentalku terganggu, apalagi harus membesarkan dua anak kesayanganku.Seperti pagi ini, aku memang pulang kembali ke rumah. Tentu dengan beberapa tujuan. Meski Mas Damar sudah menalak Melinda di hadapanku, tapi aku tak serta merta percaya. Bisa saja mereka rujuk kembali tanpa sepengetahuanku. Ya, semua didasari oleh rasa curiga. Mas Damar sepertinya mulai berbohong lagi, kulihat dari sorot matanya yang tampak gusar saat dia izin pulang kampung ke rumah ibunya. Dia memang mengajakku, tapi aku tak siap dengan kenyataan bahwa dia bertemu Melinda. Aku paham Melinda pasti takkan menyerah begitu saja untuk kembali pada suamiku. Mungkin lebih baik aku yang pergi.Setelah kepergian Mas Damar, aku bersiap-siap ke sekolah Raffa, dan menghadap ke kantor guru m
Part 33Kuhubungi ponselnya berkali-kali tapi tidak aktif. Aku mengusap wajah dengan kasar. Dimana aku harus mencari Wulan? Malam ini pasti aku tak bisa tidur dengan tenang lagi. Kepala terasa berdenyut berkali-kali.Wulan, kamu kemana? Bagaimana dengan anak-anak? Seketika rasa getir menyelinap dalam hati. Bagaimana ini? Kuletakkan ponsel di meja, pandanganku terkunci pada sebuah kartu ATM yang tergeletak di sana. Jadi dia meninggalkan kartu ini? Lagi dan lagi keningku berkerut. Lalu bagaimana cara dia membiayai anak-anak? Wulan kan gak kerja. Aku jadi tak mengerti apa yang dia pikirkan. Kenapa egois sekali. Bagaimana dengan anak-anakku. Apa dia ingin mati kelaparan?Aku tertidur, entah bagaimana caranya. Ketika terbangun, kondisi rumah masih sama. Sepi. Kupikir itu hanyalah mimpi buruk, rupanya tidak. Wulan dan anak-anak tak kembali.Kepala masih terasa berat, aku beranjak membasuh wajah dan minum segelas air putih. Kuembuskan nafas panjang."Oke, Damar, ayo berpikir yang jernih," g