Share

Bab 4 Hujan Pembawa Kenangan

Sore itu, langit Jogja tampak muram. Tak mentari, hanya mega hitam yang nampak di nabastala. Danisa yang telah selesai mengajar terpaksa harus menghentikan sepeda moto matic-nya karena hujan yang tak kunjung reda dan bertambah deras. Danisa yang ketika itu sedang mampir untuk berbelanja bahan kain di seputaran Malioboro berteduh di salah satu toko baju yang mirip dengan butik. Danisa yang sedikit basah kuyup di baju lengan panjang berwarna biru dongker dan rok pendek selutut warna hitam serta alas kaki teplek (datar) berteduh di depan toko pakaian tersebut. Matanya menyeloroh seputar jalanan Malioboro yang biasanya ramai namun hari ini tampak lengang karena hujan yang cukup deras.

"Hufftt, seandainya saja aku nurut apa kata ibu, pasti ga akan kehujanan seperti sekarang," keluh Danisa tanpa sadar ada sepasang netra yang mengawasi dirinya. Netra coklat bak elang gunung Merapi itu tak pernah lepas dari siluet Danisa yang menepuk-nepuk seragam mengajarnya karena kebasahan.

"Ali, coba kamu ambilkan handuk kecil di belakang ya," ucap pria itu ramah.

"Handuk kecil untuk apa, Tuan?" tanya pemuda yang bekerja di toko pakaian Khaidir Textile itu penasaran.

"Kamu kepo, ya Ali. Sudah, ambilkan saja. Cepat!" perintah sang majikan.

Tak lama, Ali datang dan membawa handuk kecil berwarna biru dengan bahan yang lembut dan nampak tebal. Pria itu kemudian bangkit dari duduknya dan membuka pintu tokonya yang dipasang bel di atasnya sehingga membuat Danisa sedikit terkejut.

"Ah, ma--maaf. Saya hanya numpang berteduh sebentar, Pak." Ucap Danisa terkejut dengan seorang pria tinggi besar, berhidung mancung dan bibit merah sensual serta badan yang berisi.

"Tidak. Tak apa, Nona. Maafkan saya juga karena telah membuat Anda terkejut. Ini ..." pria itu memberikan handuk berwarna biru tadi pada Danisa.

"I--ini ... apa, Pak?" tanya Danisa kembali terkejut.

"Bukan apa-apa. Hanya sebagai penyerap air hujan yang mengenai Anda. Silakan," ucap pria tadi tersenyum dan langsung meninggalkan Danisa yang masih kebingungan.

"Anu, Pak ... maaf. Tapi nama Anda siapa, ya?" 

Tak ingin pamer dan identitasnya diketahui, sang majikan kemudian menggunakan nama palsu untuk membohongi Danisa.

"Ali. Namaku Ali, Nona." sahutnya.

"Oh, Pak eh Tuan Ali. Saya Danisa. Terima kasih atas handuknya. Akan saya kembalikan segera," balas Danisa seraya tersenyum.

"Take your time, Miss." pria itu kemudian masuk lagi ke dalam tokonya , duduk di kursi kebesarannya seraya melihat Danisa mengeringkan seragamnya yang basah karena air hujan.

"Cantik! Danisa, ya ...." Gumam pria itu terus saja melihat Danisa tanpa kedip.

Sekitar 1 jam sudah Danisa berteduh di depan butik itu. Seragamnya pun kini tak tampak basah, sudah hampir kering malah. Terima kasih pada pria baik hati yang telah memberinya handuk untuk menyeka air hujan di seragam yang esok akan dipakainya lagi. Tak lama kemudian, hujan pun reda. Danisa dan motor matic warna ungu kesayangannya itu pun segera meluncur di jalanan Malioboro yang sudah mulai padat lagi. Pelan-pelan dia mengendarai matic-nua seraya tengok kanan-kiri melihat apakah ada kain yang bisa dibeli untuk bahan membuat seragam sekolahnya.

Netra Danisa pun tertuju pada salah satu toko bahan pakaian dekat Hotel Garuda, salah satu hotel tertua dan paling ikonik di Jogja. "Kaya e itu ada toko bahan kain. Tak mampir sek, ah." Gumamnya kemudian Danisa memutar balik motornya dan mencari parkiran tak jauh di seberang toko bahan kain yang dimaksud.

Suara lonceng di atas pintu pun gemerincing sangat nyaring bunyinya. Toko yang saat itu sedang sepi memang tak terlalu luas, namun sangat nyaman dan sejuk karena blower yang dipasang dekat dengan pintu keluar masuk pembeli.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" seorang remaja kira-kira umur 18-an menghampiri Danisa yang tampak kebingungan memilih bahan kain.

"Oh, ini Dik--eh, Mbak. Saya mau cari kain untuk bahan pakaian seragam sekolah. Kira-kira yang cocok bahan kain apa ya?" tanya Danisa agak kikuk menghadapi sang penjaga toko.

"Mau yang panas atau yang adem, Mabk bahannya?" tanya penjaga toko itu lagi.

"Sing penak yo sing adem, tho Mbak (yang enak ya yang adem, tho Mbak)." Kelakar Danisa memecah kekakuan sang penjaga toko.

"Sebentar, Mbak. Saya carikan dulu bahan kain sesuai yang Mbak inginkan. Mbak tunggu dulu di sini." Penjaga toko itu lantas pergi ke gudang belakang untuk mencari kain sesuai keinginan Danisa. 

Suara bunyi getaran terdengar oleh Danisa di dalam tasnya. Buru-buru ia membuka zipper tasnya dan layar ponsel yang menyala menandakan ada panggilan masuk di ponselnya.

"Ibu?" gumam Danisa langsung menjaeab telepon sang bunda.

"Halo, assalammualaikum. Wonten nopo, Bu (ada apa, Bu?)?" 

[Ndhuk, kowe nang ndi? Yahmene rung bali. Wes surup (Nak, kamu di mana? Kok sudah magrib begini belum pulang?)]

"Danisa sedang di Malioboro, Bu. Sedang membeli sesuatu."

[Sesuatu opo? Cepet pulang! Udah mai magrib. Bapakmu sebentar lagi pulang. Tau sendiri 'kan bapakmu kalo sampe tahu perawan magrib-magrib ndak di rumah?]

"Astagfirullah ..."

[Astagfirullah? Astagfirullah ngopo, Ndhuk?]

"Danisa lupa, Bu. Ya wes, Danisa pulang sekarang juga. Assalammualaikum."

[Wa...ealah, bocah ki piye tho, dijawab malah dipateni hp-ne (anak ini gimana, sih. Orang dijawab malah dimatiin hp-nya)]

Danisa kemudian berjalan cepat mencari penjaga toko tersebut. Tak lama, penjaga toko tersebut datang dengan membawa gulungan kain berwarna biru yang akan ditunjukannya pada Danisa.

"Anu, Mbak. Maaf ... maaf banget. Saya ndak jadi liat-liat kainnya sekarang. Lain kali aja, ya. Maaf, lho Mbak." Ucap Danisa seraya menyatukan kedua telapak tangannya sebagai tanda permintaan maaf.

"Ndak apa-apa, Mbak," balas penjaga toko itu tersenyum.

Jam di tangan Danisa hampir menunjukkan pukul 6 sore, yang berarti waktu magrib sudah semakin dekat. Dengan perasaan was-was dan jantung yang berdegup kencang, Danisa mulai melajukan matic-nya dengan kencang bak pembalap moto GP. Dengan body Danisa yang boleh dikatakan slim serta motor matic-nya yang slim pula, dia dengan mudah menyelap-nyelip kendaraan yang ada di depannya. Sekitar 10 menit waktu yang ditempuh Danisa dari Malioboro hingga rumahnya. Dengan langkah layaknya the Flash, Danisa segera mengganti seragamnya dan membersihkan make up ringan yang menempel di wajahnya. Sang ibu sudah tengah duduk santai di ruang tamu menunggu kepulangan suami tercinta, sementara sang adik, Anyelir masih ada di kampusnya karena ada kuliah tambahan.

Selang beberapa menit dari kepulangan Danisa, sang kepala keluarga Baskoro Atmodjoyo tiba di rumah dengan mengenakan outfit kasual serta sandal laki-laki, pria yang telah berumur 50 tahun itu masih tampak gagah dan mempesona.

"Sudah pulang, Pak." Sang istri, Joyo Hanum Baskoro langsung berdiri menyambut, mencium tangan sang suami serta membawakan tas kerja kepala keluarga. Tak lupa, Danisa yang juga berada di sana bersama sang ibu turut menyambut kepulangan sang ayah dan mencium tangannya.

"Mana Anya?" tanya suara berat dengan logat jawa yang kental terdengar dari balik mulut Baskoro Atmodjoyo.

"Anya belum pulang, Pak. Dia maaih ada di kampusnya. Ada kuliah tambahan bilangnya." Jelas Hanum, sapaan wanita cantik nan anggun itu tersenyum manis.

"Hnnnn, begitu." Sahut Baskoro langsung duduk di sofa malasnya yang berwarna merah maroon.

"Danisa, tolong buatkan teh untuk bapakmu, ya Ndhuk." Pinta sang bunda memijat kaki Baskoro.

"Njeh, Bu (baik, Bu)." Balas Danisa langsung pergi ke arah dapur dan membuatkan teh hangat dengan perasan lemon di dalamnya.

"Anak-anak piye, Bu? Betah ndak di sini?" tanya Baskoro seraya memejamkan matanya di sofa malasnya.

"Betah, Pak. Malahan Anya sudah punya teman baru di sini."

"Oh, ya? Bagus kalau begitu. Berarti Bapak ndak sia-sia menutup perusahaan di Jakarta dan pindah ke sini, ya Bu." Baskoro membuka matanya dan tertawa lebar.

"Niki, Pak. Teh lemon kesukaan Bapak." Danisa meletakkan secangkir teh hangat di meja beserta camilan kue lapis legit kesukaan sang ayah.

"Hah, ini yang selalu Bapak nantikan setiap pulang ke rumah." Baskoro langsung menyeruput teh lemon buatan Danisa dan merasakan sensasi kenikmatan di lidahnya seraya memejamkan matanya.

"Seperti biasa, teh buatanmu nomor wahid, Dan." Puji sang ayah memberikan sebuah tanda jempol oada Danisa.

"Maturnuwun, Bapak," balas Danisa sambil tersenyum.

Ddrrtt ... ddrrtt ... ddrrtt

Bunyi getaran ponsel Danisa yang ia letakkan di atas lemari ruang tamu sempat tak digubris oleh Danisa karena dia bukanlah tipe wanita yang mau mengangkat telepon atau membalas pesan dari orang yang tak dikenal. Cukup lama Danisa mendiamkan ponselnya yang terus bergetar hingga membuat Baskoro sedikit terusik dengan bunyi getarannya.

"Danisa, kenapa ponselmu tak kamu angkat? Bapak ga tenang denger ponselmu nyanyi terus," ucap sang ayah seakan menyindir.

"Maaf, Pak." Danisa segera berdiri dan mengambil ponselnya. "Anya?" batin Danisa meminta izin menerima panggilan telepon.

"Hallo, An. Ada apa?"

[Kemana aja, sih Kak. Aku telponin dari tadi ga diangkat!]

"Maaf, Bapak udah pulang dan Kakak lagi buatin teh lemon kesukaan beliau."

[...]

"Hallo ... hallo, An ... An ..."

[Ya, aku masih di sini, Kak. Apa Kakak bisa menjemputku?]

"Lho, memangnya kenapa motormu?"

[Kebanan (bocor)]

Danisa bergeming, menatap sang ayah yang sedang mengobrol bersama sang bunda.

[Hallo! Bisa ga, Kak?]

"Kakak coba ya ..."

Tak lama setelah itu, Danisa menutup teleponnya dan menghampiri kedua orang tuanya.

"Siapa, Dan?" tanya Ibu penasaran.

"Anya, Bu, Pak."

"Anya? Kenapa dia?"

"Anya minta tolong Danisa ke kampusnya, motornya kebanan (kempes)," jelas Danisa netra coklat itu menatap  kedua orang tuanya.

"Ya sudah, sana ... sana ... jemput adikmu. Jangan sampai dia menunggu terlalu lama," ucap Baskoro yang tampak khawatir dengan putri bungsunya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status