Share

Perempuan Asing

Setelah pertengkaran kami, mas Bayu tampak berubah. Setiap hari, dia mengirimkan bunga ke rumah padahal dia sedang sibuknya di kantor. Setiap pagi juga, mas Bayu memelukku dan mencium keningku. Aku bisa merasakan bahwa lelaki itu tidak mau kehilanganku.

Seperti malam ini, di meja makan, bibi Sri sudah menyediakan beberapa makanan untuk kami. Suasana makan malam kali ini sangat hening. Dua hari setelah pertengkaran kami, mas Bayu terlihat sangat berubah.

Mas Bayu mengengam tanganku. “Bulan, mas tidak bisa kau diami seperti ini!”

Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Aku mencoba menatap mas Bayu. Sudah dua hari aku tidak berbicara dengannya.

“Mas sudah jujur kepadamu, mas tidak akan melakukan itu lagi!” sambungnya. Mas Bayu mengecup pundak tanganku sambil tersenyum. Wajah tampannya selalu menawan, pantas saja banyak perempuan yang menyukainya.

“Mas sudah jujur kepadamu, Bulan. Terserah jika kamu tidak percaya mas lagi.”

“Mas hanya mau tanya saja, jika kamu tidak setuju mas menikah, tidak masalah, Bulan!” Mas Bayu terus berbicara. Wajahnya benar-benar serius. Tapi, rasa sakit masih tertanam di hatiku.

Setelah makan malam, kami berdua bergegas menuju kamar. Seperti biasa, mas Bayu selalu memuji apa yang aku pakai. Namun, ada yang aneh. Mas Bayu tidak biasanya memilih baju. Bahkan dia mengatakan bahwa aku harus memesan beberapa baju yang lain.

“Mengapa?” batinku.

“Apa dia sudah bosan saat aku memakai pakaian itu?”

Aku memilih terlelap tidur di sampingnya. Tidak ada percakapan lagi setelah kami sampai di dalam kamar. Mas Bayu memelukku dari belakang dan mengecup kepalaku. Namun, aku sama sekali tidak mengubris ucapan cintanya. Mungkin beginilah mas Bayu mengungkapkan rasa bersalahnya.

Aku terlelap tidur dan berusaha menyembunyikan rasa sakit ini. Pukul dua malam, aku terbangun. Aku meraba kasur yang berada di sampingku. Namun, mas Bayu tidak ada. Aku mencoba memanggil namanya.

Aku berjalan keluar dari dalam kamar. Mungkin saja mas Bayu berada di luar. Aku terus memangilnya. Namun, mas Bayu tak kunjung terlihat. Aku bergegas kembali ke dalam kamar. Aku duduk sejenak sambil memikirkan di mana mas Bayu?

Pintu kamar terbuka, aku menatap mas Bayu yang memandangiku. Dia terlihat kaget.

“Kamu kok belum tidur, sayang?” tanyanya segera. Aku menyipitkan mata menatap mas Bayu.

“Dari mana Mas?” tanyaku kemudian. Mas Bayu menghela napas panjang. Dia kemudian berjalan di sampingku. Dia mengengam tanganku dan mengecup keningku.

“Mas di luar, mas lagi butuh udara segar.”

“Pukul dua malam?” sahutku. Mas Bayu menganggukan kepala. Aku menatap wajahnya dengan sangat lama.

“Tidurlah Bulan, mas susah tidur belakangan ini, mungkin mas merasa bersalah kepadamu,” ucapnya.

***

Pagi-pagi buta mas Bayu sudah tidak ada di rumah. Kata bibi Sri, mas Bayu tergesa-gesa berangkat ke kantor. Aku mencoba memahami semua situasi ini. Semakin lama, semakin sulit untuk aku mengerti.

“Non Bulan, apakah hari ini mau keluar?” tanya bibi Sri. Aku menganggukan kepala.

“Sediakan makan siang yah, aku ingin membawahkan mas Bayu,” ucapku. Aku ingin mengunjungi kantor mas Bayu. Aku ingin memberikannya perhatian. Aku tidak ingin mas Bayu terlihat kaku denganku. Tidak baik mendiaminya seperti ini. Aku akan berusaha memaafkannya dan memulai hubungan kami dengan hangat lagi.

“Baik Non!” ucap bibi Sri.

Aku mencoba menghubungi mas Bayu, namun teleponnya tidak aktif. Aku mencoba menghubungi ibuku di kampung. Ingin rasanya menceritakan hal ini, tapi aku memilih menyimpannya dulu. Mas Bayu terlihat merasa bersalah sekarang.

Namun, ada yang ingin aku cari. Zara,Siapa  perempuan itu dan di mana dia bertemu mas Bayu? Apakah perempuan itu menemani perjalanan dinas mas Bayu? Aku berusaha mencari nama Zara di kontak media sosial mas Bayu. Namun, aku sama sekali tidak menemukannya. Tidak ada seorang pun bernama Zara di media sosial mas Bayu.

Aku menghela napas panjang. Pukul sebelas siang, aku bersiap diri untuk ke kantor. Bibi Sri sudah menyediakan makan siang untuk mas Bayu. Aku memakai pakaian terbaikku dan tidak lupa merias diri. Mas Bayu sangat suka jika aku datang ke kantor.

Aku meminta tolong kepada Pak Ujang untuk mengantarku ke kantor mas Bayu.

“Non Bulan kebetulan sekali ke kantor pak Bayu,” sahutnya. Aku yang berada di kursi belakang hanya tersenyum. Sudah dua bulan aku tidak berkunjung di kantor suamiku. Aku rasa, saat aku berada di kantor dan membawahkan makan siang, hubunganku dengan mas Bayu akan baik-baik saja.

“Non Bulan tampak sedih yah?”

“Lagi tidak enak badan, pak Ujang!” ujarku.

Lima belas menit melewati jalan menuju kantor mas Bayu, aku bergegas turun. Aku masuk ke loby kantor dan beberapa resepsionis menyapaku. Semuanya terlihat bahagia melihatku berada di kantor. Ah, sudah lama aku tidak menyapa mereka.

“Mbak Bulan tambah cantik aja!”

Para resepsionis yang berada di kantor mas Bayu selalu suka memujiku. Aku hanya tersenyum lalu bergegas masuk setelah memastikan bahwa mas Bayu ada di kantor.

Aku berjalan masuk ke ruang direktur. Aku membuka pintu, namun tidak ada mas Bayu di ruangannya. Aku bertanya kepada Gani, sekretaris suamiku. Gani mengatakan mas Bayu lagi keluar.

Aku menghela napas panjang. Aku mencoba menghubungi mas Bayu. Namun ponselnya tidak aktif. Aku kemudian meletakkan makanan itu di atas meja Gani dan menitipkan pesanku kepada mas Bayu.

Aku melangkah keluar, aku bergegas menuju rumah sakit. Yuni, sahabatku bekerja sebagai dokter di tempat itu. Yuni juga sudah mengirimkan pesan agar aku mengunjunginya dan menceritakan apa keresahanku.

Aku bergegas menuju rumah sakit Bunda Kasih. Rumah sakit yang tidak jauh dari Bayu Corp, kantor suamiku. Pak Ujang masih setia menemani perjalananku. Sesampai di rumah sakit, aku mempercepat langkahku menuju ruangan Yuni. Namun, seketika mataku menatap mobil mas Bayu. Tidak jauh dari tempat itu, aku melihat mas Bayu sedang berjalan ke arah salah satu ruangan.

Tidak tinggal diam, aku mengikutinya dari belakang. Namun, langkahnya sangat cepat. Seperti seseorang yang sedang terburu-buru.

“Mas Bayu buat apa di sini?”

“Siapa yang sakit?” batinku penasaran.

Aku bergegas menuju sebuah ruangan tempat mas Bayu masuk. Ada beberapa suster yang menjaga di depan ruangan itu. Aku melangkah dengan sangat pelan menuju salah satu sisi kamar. Aku melihat mas Bayu dari balik jendela. Untung saja tidak ada yang melihatku di sini.

Tubuhku tiba-tiba menegang saat aku melihat mas Bayu berdiri di samping seorang pasien perempuan. Aku melihat mas Bayu duduk di sampingnya. Mas Bayu menatap perempuan itu dengan sangat lama. Tiba-tiba saja aku merasa tekanan udara di sekitarku mendadak naik. Darahku berdesir dan ketakutan itu seketika menghantuiku kembali.

Aku mencoba menahan segala sesak di dadaku. Aku mencoba untuk berpikir positif. Mungkin perempuan itu adalah salah satu teman mas Bayu. Tidak, tidak mungkin dia sedang mengunjungi selingkuhannya. Mas Bayu sudah berjanji kepadaku.

Bola mataku membulat saat tangan mas Bayu mengelus kepala perempuan itu dengan lembut. Aku tidak bisa menahan sesak di dadaku. Perlahan, bola mataku memanas dan seketika berkabut. Aku berusaha untuk tetap berdiri dan melihat semua kejadian di depanku.

Mas Bayu duduk di samping perempuan itu. Mengengam tangannya dengan erat lalu menyentuh keningnya.

Oh, aku tidak bisa berdiri lagi. Kakiku seakan menginjak jelly dan tidak bisa menopang tubuhku. Hatiku terluka, bagaikan sepuluh belati yang menusukku secara paksa. Sakit, sangat sakit hingga aku ingin terjatuh begitu saja.

Kecupan di kening perempuan itu membuatku menangis. Sungguh, mas Bayu selalu melakukan itu kepadaku. Tapi, mengapa dia melakukan untuk perempuan lain? Apa kurangnya aku? Mengapa mas Bayuku melakukan hal seperti itu?

“Mas, kamu membohongiku!”

“Kamu membohongiku!” batinku dalam linangan air mata.

Bersambung …

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
magister tolol dan dungu. kau pikir menangis menyelesaikan masalah. temui langsung sebelum terlambat. atau kamu mau lari dari kenyataan? mampus ajalah kau istri g berguna
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status