Setelah mengganti perban di lengannya, Gwen meminta izin kepada Maminya untuk ke restoran menyusul Ayahnya. Gwen memang dekat sekali dengan Yusuf semenjak Yusuf tahu bahwa dirinya adalah putri kandungnya 13 tahun yang lalu.
"Mau kemana? Rapi amat?" tanya Aisyah sibuk dengan laptopnya.
"Suka-suka aku lah!" jawab Gwen sinis. "Yang penting aku udah bilang ke Mami, kalau aku mau otw," imbuhnya sambil memakai sepatu milik Aisyah.
"Sepatu siapa itu?"
"Nggak tau, nemu!" jawaban Gwen masih ketus.
"Masih ngambek?" tanya Aisyah mencoba basa-basi.
Namun, Gwen hanya diam saja. Sebelum pergi, ia menadahkan tangan lebih dulu kepada Aisyah, tanda jika dirinya membutuhkan uang untuk ongkos pergi.
Tak tanggung-tanggung, Aisyah memberikan dompetnya. "Ambil seperlunya, jangan tamak!" serunya.
"Bawel, ikhlas nggak?" Gwen masih saja ketus, ia masih kesal karena tidak membelanya ketika di depan dosen barunya.
"Kalau pergi itu pakai hijab, Gwen! Kamu mau aku guyur lagi, hah?" teriak Aisyah, melihat Gwen sudah lari duluan setelah mengambil uangnya.
Gwen masih bongkar pasang jilbab. Sejak kecil memang tidak dibiasakan mengenakan jilbab. Kemudian, dengan sifat Gwen yang seperti itu juga seluruh keluarga juga sudah kewalahan. Rebecca dan Aisyah hanya berdoa, agar suatu hari nanti ada seseorang yang mampu merubahnya.
"Bu, itu si Gwen, kenapa tidak Ibu enggak Ibu suruh pakai jilbab ketika keluar?" protes Aisyah.
"Ibu yang tegas, dong! Ayah sama Ibu terlalu manjain dia, suruh dia mengenakan hijab kalau keluar rumah. Usianya sudah 22 tahun, masa mau kek gitu terus, sih?" tegasnya.
"Nak, kamu tahu sendiri kan Gwen itu seperti apa orangnya. Dia hanya mau tunduk dengan kamu saja," ungkap Rebecca.
"Ibu berharap, suatu saat nanti ada seseorang yang bisa merubah dirinya," imbuhnya.
Aisyah tetap kesal dengan kelakuan Gwen yang semakin hari semakin membuatnya pusing. Sudah kewajibannya mengingatkan saudarinya untuk memakai hijab dan menjadi muslimah yang benar. Namun, Gwen sendiri yang susah di atur, bahkan sering saja melanggar aturan yang diberikan oleh Aisyah.
Ketika restoran, Gwen melihat Feng yang baru saja turun dari taksi. Gwen langsung menyapa, karena baginya, "Anjay, kadang uang. Ko Feng datang, pasti duit melimpah. Secara dia juga dokter berpenghasilan di sana."
Gwen menyapa Feng yang kalau itu sedang menikmati kopi hangat di restoran Yusuf. "Assalamu'alaikum, Hai cowok. Kenalan dong, pasti banyak duit, ya?" sapa Gwen menganggukkan Feng.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Maaf, saya bukan pria penyuka gadis kecil," goda Feng memalingkan wajahnya.
"Dih, Ko bagi duit, dong. Lagi butuh nih!" seru Gwen menadahkan tangannya.
"Nggak!" jawab Feng.
"Kok, gitu? Seratus aja deh, ya?" pinta Gwen memaksa.
"No!" Jawab Feng memalingkan wajahnya.
"Dasar kulkas! Sekarang gitu, pelit banget sama aku. Keknya di dunia ini emang nggak ada yang sayang denganku deh. Semuanya aja, nggak butuhin aku, sebel!" Gwen berakting, ia terus melirik ke arah Feng, supaya diperhatikan.
Lagi-lagi, Gwen di cuekin begitu saja oleh Feng. Dengan wajah memelas dan juga menggenggam tangan Feng, Gwen kembali memohon agar diberi uang.
"Apaan, sih? Sepupu juga bukan mahram, Gwen!" Feng menepis tangan Gwen.
"Ih kasar, emang nggak ada yang sayang sama aku! Lihat saja, aku akan membuat kalian menyesal!" kesal Gwen melipat tangannya.
Allah Ta’ala berfirman tentang hal ini setelah menyebutkan tentang macam-macam orang yang haram dinikahi, artinya, "Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian…."(Qs. An-Nisa’: 24)
Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam menjelaskan ayat tersebut, "Hal itu seperti anak paman/bibi (dari ayah) dan anak paman/bibi (dari ibu)." (Taisir Karimir Rohman fii Kalamil Mannan hal 138-139)
***
Feng menempati mes di restoran, dimana Yusuf sering istirahat di sana. Sebab, tiga hari lagi dirinya akan ikut seminar di Thailand bersama dengan Aisyah. Dirinya terpilih juga untuk penyuluhan di desa terpencil di sana.
"Apa? Kalian akan ke Bangkok dan meninggalkan aku sendirian?" Gwen merasa terkejut.
"Tidak! Aku harus ikut pokoknya, cuma tiga hari juga, 'kan? Aku ikut!" serunya.
"Gwen, mereka sedang bekerja. Lalu, kamu mau apa di sana?" tanya Yusuf. "Tapi, Feng. Kenapa Aisyah tidak cerita dengan Paman, ya?"
Feng mengatakan bahwa memang Aisyah masih ragu akan pergi ke sana. Sebab itulah Aisyah belum membicarakan hal itu kepada Ayahnya.
"Pokoknya aku harus ikut, enak aja mereka pergi ke luar negri, aku nggak di ajak. Hm, harus cari ide!" Gwen terus berperang dengan hatinya untuk mewujudkan keinginannya tersebut.
Waktu malam telah tiba, Yusuf mengajak Feng sekalian makan malam di rumah. Rebecca juga tidak tega jika Feng harus tinggal di mes restoran. Rebecca menyarankan agar Feng menginap di rumah itu selama ia berada di Jogja.
"Bi, aku tidak enak hati dengan tetangga di sini," jawab Feng dengan lirih. "Lagipula, sudah terbiasa juga kan aku tidur di mes jika berkunjung ke sini?" imbuhnya.
"Setelah makan, kita lapor ke Pak RT untuk kamu bermalam, ya," sahut Yusuf.
"Tapi, Paman--"
"Sudahlah, Ko. Kenapa harus keras kepala, sih? Bukankah besok juga kamu akan mengantarku pagi-pagi sekali? Biar sekalian aja gitu," potong Aisyah menambahkan kuah sayur di piring Feng.
"Sudah, ya. Ketika makan, jangan ada lagi yang bicara. Aku tidak suka itu!" tegas Aisyah.
Akhirnya Feng setuju untuk menginap di rumah itu. Gwen yang masih marah dengan Aisyah hanya diam dan menikmati makanannya dengan khidmat.
"Mau kemana mereka, besok?" gumam Gwen dalam hati. "Mereka kalau udah bertemu, selalu aja nggak pernah ajak aku kalau jalan-jalan, awas saja kalian, ya!" gerutunya.
Tengah malam, Gwen tidak bisa tidur, ia memikirkan bagaimana caranya bisa ikut ke Bangkok bersama saudaranya dengan izin mereka juga tanpa harus ada drama.
"Kenapa aku juga ingin ke sana, ya? Pasti ada sesuatu di sana? Tapi apa?"
"Apakah di sana banyak cogan? Atau banyak Sultan? Haih, bencong mah banyak!"
"Eh, baru ingat kalau Ayah angkat juga tinggal di sana sekarang. Coba aku hubungin dia ah!"
Bagi Gwen, memang selalu ada cara untuk mencapai keinginannya. Setelah berpikir panjang, akhirnya Gwen menemukan ide cemerlang itu. Memang usai menikah lagi, Rebecca meminta Willy untuk mengurus usaha di Bangkok.
Di sisi lain, rupanya Chen juga sering menemui Willy hanya sekedar menanyakan kabar tentang keluarga kandungnya. Itu sebabnya Chen juga akan ke Bangkok saat itu juga.
"Kan, ide cemerlang! Aku ini cerdas, sangat cerdas. Makanya aku paling cantik di rumah, haih bobok ah …."
Acara apa yang ingin Aisyah hadiri besok pagi?
Ya.
Suara adzan subuh sudah berkumandang. Seperti biasa jika tidak ada halangan keluarga kecil ini selalu menyempatkan sholat subuh di masjid. Meski Gwen sangat susah diberi tahu, tetap saja jika melaksanakan kewajibannya, ia tidak pernah telat.
Usai pulang dari masjid, "Nanti, kalian mau ke mana?" tanya Gwen ketus.
"Tau ustadz Khalid, nggak?" sahut Feng.
Gwen mengangguk. "Nah, dia mau nikah hari ini. Aisyah dan aku juga di undang. Maka dari itu, kita mau datang," jelas Feng.
"Buset, ustadz Khalid? Ustadz yang rumahnya paling pojok itu? Kampung sebelah?" tanya Gwen heboh. "Kak, bukankah kamu naksir dengannya? Kupikir hubungan kalian istimewa … ternyata epribadeh, cin--" ucapan Gwen terputus karena mulutnya di bungkam oleh Aisyah.
Ustadz Khalid adalah salah satu santri di pesantren Darussalam. Usianya terpaut 8 tahun, waktu itu Aisyah memang memiliki perasaan dengan ustadz tersebut. Namun, ketika cintanya mulai merekah, rupanya ustadz Khalid sudah dijodohkan dengan wanita lain. Cinta dalam diamnya hanya Aisyah sendiri yang merasakan.
Mengapa Gwen dan Feng bisa tahu perasaannya? Sebab, Aisyah memang hanya cerita kepada dua saudaranya itu. Meski Gwen selalu memberi kode kepada ustadz Khalid, tetap saja ustadz Khalid tidak pernah meresponnya.
Persiapan kondangan sudah selesai. Aisyah juga telah membungkus kado untuk pernikahan Ustadz Khalid dengan istrinya. Masih dalam hati yang terluka, Aisyah membungkus kado tersebut dengan melamun."Jangan melamun, nanti bungkusnya jadi jelek. Sini, biarkan aku yang bungkus kado itu!" tegur Feng meminta kado itu dari tangan Aisyah."Hm, jodoh itu tidak ada yang tau, Ko. Siapa yang mendamba, dan siapa yang mendapatkannya," ucap Aisyah dengan helaan napas panjang."Iso nyawang tapi ra iso nduweni. Huft, ngenes ndes. Tresno pancen ra kudu duweni, sista. Sabar, ya." celetuk Gwen menepuk-nepuk pundak Aisyah.(Bisa memandang, tapi tidak bisa memiliki. Cinta memang tidak harus memiliki)Aisyah dan Feng menatap pakaian yang dipakai Gwen pagi
Tiba saatnya dimana Aisyah dan Feng akan berangkat ke Bangkok. Gwen masih bersikap seperti biasa, dengan rencana yang sudah ia siapkan agar bisa menyusul saudarinya ke sana.Mereka sarapan tanpa Rebecca dan Yusuf, sebab keduanya sedang ada acara sejak semalam belum pulang. Namun, Rebecca dan Yusuf sudah memberikan izin kepada putrinya bertugas."Kalian berangkat jam berapa?" tanya Gwen."Mau tau aja urusan orang!" jawaban Aisyah membuat Gwen kesal tentunya. Gwen merasa memang Aisyah sudah tidak menyayanginya lagi, saat Feng ada bersamanya."Dih, nanya baik-baik juga. Kenapa jawabnya gitu? Kalau masih sakit hati sama ustadz Khalid, ya jang--" ucapan Gwen terputus ketika Aisyah menatapnya dengan tatapan tajam."Um, aku berangkat ke k
"Kamu mau apa, sih?" tanya Pak Raza serius."Jawab aja. Kapan terakhir Pak Raza bepergian keluar negri, terus visa-nya masih aktif atau tidak, gitu!" Gwen masih mendesak agar Pak Raza mau menjawab semua pertanyaannya."Huft, Allahu Akbar. Iya, saya jawab nih, ya. Saya terakhir kali ke luar negri lima hati yang lalu, dengan bisa pelancong. Terus, kamu mau apa?" jelas Pak Raza sedikit kesal."Cocok, hari ini kita otw ke Bangkok. Janji aku bakal belajar dengan gajian. Tapi, hari ini, memang kita harus segera berangkat!" seru Gwen dengan mata yang berbinar-binar.Pak Raza terkejut dengan pernyataan itu. Ia berusaha menolak dan menanyakan mengapa Gwen mengajaknya ke luar negri secara mendadak. Tanpa mendengarkan penolakan dan penjelasan dose
Kedatangan Chen bersamaan dengan kedatangan Aisyah dan Feng di Bandara Internasional Suvarnabhumi. Mereka telah tiba di waktu yang sama di ibukota Negara Seribu Pagoda itu. Mereka juga sempat jalan depan belakang keluar dari bandar. Lalu, berpisah kembali karena Aisyah dan Feng sudah dijemput dari dinas kesehatan di sana.Chen merasakan kehadiran saudarinya, jantungnya berdebar kencang, dan air matanya mulai menetes tanpa membendung. "Ada apa denganku? Kenapa jantungku berdebar dengan cepat seperti ini?" gumamnya dalam hati seraya menyentuh dadanya.Tanpa Chen sadari, bahwa adiknya baru saja berdiri dibelakangnya. Ia pun menoleh, namun Aisyah sudah tidak ada lagi di sana. Air matanya juga tiba-tiba menetes tanpa sebab, hatinya juga merasakan kegelisahan yang tidak tahu apa penyebabnya juga."Tuan, mobilnya sudah datang. Mari, kita akan segera bertemu dengan Tuan Wil." ucap Asi
Chen dan Gwen saling menatap, wajah manis Gwen mengingatkan akan seseorang dalam ingatan Chen, setelah beberapa saat, Chen pun menutup kaca mobilnya kembali."Sepertinya … aku pernah melihat gadis itu. Tapi, dimana aku pernah melihatnya?" gumam Chen kembali menatap Gwen.Tak sengaja, ia melihat dirinya dari cermin di kaca depan mobilnya. Kemiripan pada dirinya menyiratkan tanda tanya. Sekilas, mereka sangat mirip, bedanya hanya pada mata mereka.Jika saja Gwen juga memiliki mata berwarna biru, mereke berdua hanya akan dibedakan oleh gender. Keduanya sangat mirip dengan ibunya, Rebecca."Jika dilihat, gadis itu mirip denganku. Hm, aku pernah dengar jika di dunia ini, semua orang memiliki 7 rupa yang hampir mirip meski orangnya berbeda," gumam Chen."Sialan, kupikir dia akan mendatangiku. Ganteng sih, tapi sombong. Eh, mobilnya keren juga,
Masing-masing regu di dampingi oleh perawat maupun dokter dari pribumi agar bisa berkomunikasi meski akan ada perbedaan dalam berbahasa sedikit.Mereka berempat di sambut dengan ramah oleh kepala desa dan seluruh warga. Keadaan desa itu sangat menyeramkan bagi Syamsir yang penakut.Meski menggunakan obor dan listrik hanya ada di gedung besar dan balai desa, tetap saja baginya sangat menakutkan.Jamuan makan malam juga berlangsung khidmat. Mereka mulai bercengkrama dengan baik. Makanan yang disiapkan juga sesuai dengan selera Aisyah, Feng dan juga Syamsir sebagai seorang muslim. Hanya sayuran dan tanpa adanya daging di sana."Jika boleh tau, dokter ini dari mana? Satu negara, atau beda negara?" tanya Mee Noi, anak kepala desa yang baru saja pulang dari Ibu Kota.
Waktunya salat subuh tiba, alarm yang dipasang Feng berbunyi. Ia segera bangun dan ingin mengajak Aisyah untuk salat bersama-sama. Tentunya dengan Syamsir juga."Lah, kamu sudah bangun, Syah?"Feng melihat Aisyah tengah duduk dengan menyelimuti seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Feng jadi ingat, saat mereka kecil, mereka pernah mengunjungi tempat yang angker. Aisyah melihat sesuatu dan pulangnya, ia menjadi demam tinggi.Namun sebelum demam itu menyerang, Aisyah akan menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut terlebih dahulu."Syah, kamu kenapa?" tanya Feng lagi. "Apa kamu melihat penampakan?"Aisyah mengangguk pelan. Meski ketakutan, Aisyah tetap tidak menunjukkan bahwa dirinya tengah takut, ia hanya menutupi seluruh tubuhnya dan
"Saya ke toilet dulu, kamu jangan kemana-mana!" Pak Raza meninggalkan Gwen di luar toilet."Hati-hati, jangan salah pilih toilet, Guru pembimbing!" teriak Gwen dengan tawa mengejek.Ketika Gwen membalikkan badannya, tak sengaja ia bertabrakan dengan seorang lelaki berpostur tinggi. Tasnya terjatuh, dan lelaki itu malah menyalahkannya."Aw," jerit Gwen."Aduh, tas kamu ini isinya apa? Bisakah kau berjalan dengan melihat jalan? Dimana matamu? Kau mengotori bajuku!" bentak lelaki itu."Woy!" teriak Gwen. Tatapan matanya sangat tajam dengan tangan mengepal mengarah wajah lelaki itu.Namun, hal tak terduga terjadi. Lelaki itu adalah Chen, Chen Yuan Wang, kakak kandungnya yang selama ini i