Share

Iso Nyawang Ra Iso Nyandhing

Persiapan kondangan sudah selesai. Aisyah juga telah membungkus kado untuk pernikahan Ustadz Khalid dengan istrinya. Masih dalam hati yang terluka, Aisyah membungkus kado tersebut dengan melamun. 

"Jangan melamun, nanti bungkusnya jadi jelek. Sini, biarkan aku yang bungkus kado itu!" tegur Feng meminta kado itu dari tangan Aisyah. 

"Hm, jodoh itu tidak ada yang tau, Ko. Siapa yang mendamba, dan siapa yang mendapatkannya," ucap Aisyah dengan helaan napas panjang. 

"Iso nyawang tapi ra iso nduweni. Huft, ngenes ndes. Tresno pancen ra kudu duweni, sista. Sabar, ya." celetuk Gwen menepuk-nepuk pundak Aisyah. 

(Bisa memandang, tapi tidak bisa memiliki. Cinta memang tidak harus memiliki) 

Aisyah dan Feng menatap pakaian yang dipakai Gwen pagi itu. Terlihat rapi, dan anggun memakai gamis berwarna biru muda dengan sepatu berwarna putih. 

"Ngampus apa mau kondangan? Kenapa pakai gamis?" tanya Aisyah. 

"Ikut kondangan lah. Siapa tau ada yang butuh bahuku," jawab Gwen santai. 

Aisyah berdiri, kemudian meminta Gwen untuk pergi ke kampus. Namun, Gwen menolak pergi ke kampus karena ingin ikut dengannya. Aisyah menjadi kesal, ia pun mengurungkan niatnya untuk menghadiri pernikahan Ustadz Khalid. 

"Kok, gitu? Syah, aku udah siapa-siapa, loh. Masa nggak jadi pergi, sih?" protes Feng. 

"Kalau Koko mau pergi, pergi aja sana sendiri! Dan untukmu, kuliah!" bentak Aisyah dengan menunjuk wajah Gwen. 

Hatinya sedang kacau, dan Gwen menambah emosi dihatinya. Gwen juga ingin sekali bisa pergi bersama dengan saudara-saudaranya. Namun, situasi memang sedang tidak tepat bagi Gwen untuk ikut campur. 

"Gwen, ganti baju dan segera ke kampus," pinta Feng dengan lembut. 

"Iya, Ko."

Gwen menurut dengan rasa bersalah. Ketika melintas di depan pintu kamar Aisyah, ia menghentikan langkahnya seraya bergumam, "Kenapa kamu selalu marah denganku, Syah? Waktu kecil, kamu tidak seperti ini denganku." 

Waktu memang mengubah semuanya. Semua orang pasti menua, tapi nggak semua orang menjadi dewasa pada saat bertambahnya usia.

Kedewasaan tidak dilihat dari segi usia, karena yang menjadikan tolak ukur sebuah kedewasaan adalah kemampuan untuk memiliki pola pikir yang matang. Namun, memang begitulah Aisyah, semakin tinggi ilmunya, ia akan semakin merendah dan lebih hati-hati dalam mengutarakan perasaannya. 

"Aku salah jika membentak Koko dan Gwen. Hatiku memang sedang sakit dengan pernikahan Ustadz Khalid, tapi--" 

"Ya Allah, waktu itu … ingin sekali aku mengatakan perasaan ini. Namun apa daya, lidah seketika menjadi kelu, kaku tak bergerak. Malu juga adalah halangan terbesarku," gumam Aisyah dengan tangan yang tidak tenang. 

"Ustadz Khalid, jika memang memendam rasa kepadamu begitu sulit dan menyakitkan, tapi mengapa hatiku enggan menyerah hingga detik ini. Bahkan di hari pernikahanmu pula. Ada apa denganku?"

Aisyah terus gelisah dengan hatinya. Sisi kedewasaannya berhasil mengalahkan egonya. Ia pun keluar dari kamarnya dan menanyakan dimana Gwen berada. 

"Dimana Gwen?" tanya Aisyah kepada Feng. 

"Udah berangkat ke kampus, ada apa?" Feng masih sibuk membungkus kado tersebut. 

"Aku minta maaf telah membentakmu, Ko. Aku juga menyesal membentak Gwen. Haih, aku terlalu egois dengan rasaku," ucap Aisyah dengan wajah lesu. "Andai saja, aku berani menyatakan saat itu--"

Rebecca menyentuh kepada Aisyah dengan lembut. Kemudian memberi pengertian, jika memang tak seharusnya Aisyah bersedih karena cintanya. 

"Ustadz Khalid sudah ijab qobul semalam. Kenapa kamu masih memikirkannya? Dia sudah menjadi suami wanita lain, move on, Nak. Bukankah kamu sendiri yang memilih untuk diam?" 

Renungan bagi Aisyah, memang resikonya karena memilih diam selama ini. Rebecca juga memberi saran untuk tetap datang sebagai wakilnya. Lalu, segera berangkat ke Bangkok untuk melepas rasa sakitnya. 

***

"Sial! Kalau saja aku bisa ikut, aku akan recokin tuh acara nikahan. Kesel deh, saudariku yang paling cantik serumah, di sakiti,"

"Dasar, cowok plin plan. Ini nih yang aku males buat jatuh cinta, ogah!" gerutunya Gwen. Ia terus mengomel di halte seperti ibu-ibu yang baru saja mengetahui harga cabai di pasar sedang naik. 

Orang-orang di sana sampai melihatnya dan menjauhinya. Namun, tetap saja Gwen masih mengomel tiada henti. Memang diantara Gwen dan Aisyah selalu bertengkar dan jarang bisa akur, namun tetap saja mereka selalu pengertian satu sama lain. 

"Siapa sih yang jadi istri ustadz Khalid? Penasaran aku, seberapa cantik dia dan seberapa pintarnya dia. Bisa-bisanya cuekin Aisyah," masih sana Gwen mengumpat di angkutan umum. 

"Aisyah kan cantik, baik hati juga meski galak. Tapi dia menjadi terluka hatinya. Bener-bener nggak bisa di biarin ini!" lanjutnya. 

Sesampainya di kampus, Gwen terus menyepam pesan kepada Feng. Ingin tahu, bagaimana keadaan saudarinya saat ini. 

[Tenang saja, ini kami sudah sampai di rumah ustadz Khalid.] - jawab Feng. 

[Dih, kalian jadi datang?]

[Iya, memangnya kenapa? Di undang juga, 'kan? Dah sana belajar yang giat!] - balas Feng. 

Saat sibuk dengan ponselnya, Anita menghampiri dirinya dan memberikan pertanyaan konyol tentang kalsium kepadanya. Gwen pun merasa heran atas pertanyaan tersebut. 

"Kalsium? Dah minum obat kan lu?" Gwen menjawab dengan tatapan kesal. 

"Jawab aja ngapa!" sulut Anita. 

"Bodo!" seru Gwen kembali sibuk dengan ponselnya. 

Anita hanya ingin membuatnya malu di kelasnya. Ia pun merebut ponsel milik Gwen dan hendak memberikannya lagi ketika Gwen mampu menjawab semua pertanyaannya. 

"Apa, sih, lu?" kesal Gwen. 

"Jawab dulu, kalsium gunanya untuk apa?" Anita memberikan pertanyaan itu lagi. 

"Dih, lu seharusnya tanya sama mahasiswa kedokteran sono, ngapain lu nanya ke gue, hah?" Gwen menepis tanya  Anita yang saat itu memberikannya kertas kosong untuk menjawab. 

Kalsium adalah mineral penting yang bermanfaat untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tulang serta gigi.

"Udah, besok gue pindah haluan kejuruan. Pinter gue ini!" ucap Gwen membanggakan diri.

Rupanya, Anita menanyakan itu karena adiknya yang bertanya. Pada dasarnya, Anita memang tidak pintar. Namun, ia memiliki daya fisik yang lumayan membuat kaum Adam tertarik alias good looking. 

Di tempat kondangan, 

Aisyah terus memperhatikan resepsi pernikahan itu dengan tatapan sendu. 

Feng menepuk bahu saudarinya dengan lembut dengan berkata, "Sabar ya, kuatkan hatimu. Jodohmu mungkin baru lulus SMA, atau bahkan dia masih kuliah di luar sana," 

"Na'udzubillah, masa lulus SMA, sih? Nggak lucu!" kesal Aisyah. "Bagaimana kalau Koko aja yang jadi suamiku? Kita kan tumbuh bersama nih, deket pula. Kenapa kita tidak menikah saja?" imbuhnya. 

"Kamu kalau sakit, sebaiknya kita pulang, yuk. Aku jadi takut deket-deket denganmu. Aku masih waras woy, nggak mungkin nikahin adik sendiri," sukur Feng dengan pipi yang menggebu. 

Aisyah tertawa, candaan Aisyah justru malah membuatnya tertawa sendiri. Tidak mungkin juga Aisyah akan jatuh cinta dengan sepupunya. Meski mereka memang diperbolehkan menikah dalam islam, tetap saja Aisyah dan Feng tidak memiliki perasaan seperti itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status