Bab selanjutnya.
"Lihat saja nanti, jika Kak Chen kembali … pasti aku yang selalu dimanja. Dan Aisyah, akan habis ditangan Kak Chen!" gerutunya.
"Mbak Gwen ini, kenapa terus menganggap Dokter Aisyah mengerikan? Dia ini sebenarnya baik, loh, Mbak." Perawat yang sebelumnya hendak di suntik oleh Gwen, tengah membalut luka di lengannya.
"Iya, dia itu terlalu tegas. Semua orang ngecap kalau dia baik dan aku buruk. Itulah!" umpat Gwen.
Setelah mengantar Pak Raza dan Ibu Nur keluar, Aisyah bergegas masuk dan menelpon ibunya. Mengingatkan bahwa sore nanti acara pengajian di rumah Airy.
Usai menelpon, Aisyah masuk dan mendapati Gwen tertidur di sofa yang selalu dipakai Aisyah untuk istirahat kalau tubuhnya lelah usai bekerja.
"Dimana dia?" tanya Aisyah kepada perawat.
"Mbak Gwen tidur, Bu. Saya permisi dulu."
Aisyah mendekati Gwen, mengusap rambutnya yang susah untuk di tutupi itu. Berharap, jika Gwen mau berubah lebih dewasa lagi. Agar tidak menyesal dikemudian hari.
*
Di Tiongkok, Chen melakukan banyak pertemuan dengan konglomerat di sana. Banyak dari konglomerat tersebut juga menyodorkan putrinya untuk Chen secara percuma.
Tetap saja, secantik apapun putri dari konglomerat tersebut, Chen sama sekali tidak tertarik akan hal itu. Ia masih memiliki dua saudari yang nantinya akan menuai karma dirinya jika dirinya melakukan hal negatif kepada perempuan.
"Chen, mengapa kamu tidak ambil saja. Lihatlah putri Tuan Xaotan. Dia begitu cantik dan menggoda, apa kau tidak mau?" tanya Tuan Wang.
"Tidak ayah, aku sama sekali tidak tertarik dengan wanita yang seperti itu," jawab Chen tegas.
"Lalu, bagaimana kriteria wanita idamanmu?" tanya Tuan Wang.
Chen mengalihkan pandangannya ke luar mobil. Saat itu, mereka memang sedang perjalanan pulang. Wanita yang diinginkan Chen, adalah wanita seperti wanita dalam keluarga kandungnya.
Namun, semua itu mustahil mengingat dirinya juga tak sama seperti keluarga kandungnya. Tuan Wang sering menjodohkan dirinya dengan koleganya, tetap saja Chen menolak perjodohan terebut dengan alasan ingin fokus dengan usaha keluarga.
Sebelum turun dari mobil, Chen mengatakan kepada Ayah angkatnya, bahwa dirinya akan pergi ke Thailand untuk suatu pekerjaan. "Maaf, Ayah, aku akan pergi dalam waktu tiga hari ke depan. Jadi, bisakah Ayah membantuku?" ujarnya.
"Katakan saja, apa yang kau mau, Nak!" seru Tuan Wang.
"Aku ingin, Ayah dan Bibi Eliza mengurus pekerjaan yang aku tunda sebelumnya. Ini dokumennya, silahkan Ayah pelajari," ucap Chen memberikan berkas penting.
"Asisten Dishi, tolong bawa kemari map hijau itu," tunjuk Chen.
"Baik, Tuan Muda!"
Rencana kepergian Chen bukan hanya pekerjaan semata saja. Ada hal yang ingin ia selesaikan di sana. Mengunjungi seseorang yang sangat penting dan mencari kabar tentang keluarganya yang ada di Jogja.
Ketika Chen turun dari mobil, seorang anak berusia 13 tahunan berlari menghampiri dirinya. Ia juga memeluk Chen dengan erat, "Kakak, aku sangat merindukanmu." ucap gadis tersebut.
Ya, anak itu seorang perempuan. Gadis yang dilahirkan oleh Cindy hasil hubungan gelapnya dengan keluarga Wang lainnya. Chen memang masih memiliki hati nurani, sehingga membiarkan Cindy untuk tetap berada di rumah itu dan melahirkan gadis tersebut.
Nama gadis itu adalah Xia. Sejak dirinya berusia 8 tahun, dengan usul Chen, Tuan Wang mengirimnya ke asrama dan saat itu ia baru saja kembali.
"Lepaskan aku!" bentak Chen.
"Kakak, aku sangat merindukanmu. Aku mengatakan kepada semua temanku jika aku memiliki seorang kakak yang sangat tampan," ucap Xia. "Kak, tolong datang di acara temanku besok, ya?" imbuhnya.
"Aku sibuk!" Chen pergi begitu saja.
Begitulah Chen, ia sama sekali tidak memperdulikan Xia, meski Xia merengek di depannya. Baginya, tugas kemanusiaannya sudah selesai. Itu cara membuat Cindy menderita selama 13 tahun, sampai Cindy mau mengatakan siapa orang tua kandung Chen yang sebenarnya kepadanya.
**
Di Jogja, Aisyah membawa Gwen pulang dengan satu jeweran yang membekas di telinga Gwen.
"Assalamu'alaikum," salam Aisyah.
"Udah dong, Kak. Sakit tau!" rintih Gwen.
"Diam! Sekarang berdiri di pojokan dan angkat tangannya. Renungi kesalahanmu itu!" tegas Aisyah.
"Dih, kita hanya selisih beberapa menit doang. Kenapa kau seolah-olah jauh lebih tua dariku?" protes Gwen tidak terima.
"Bakso plus uang 100 ribu kalau kamu mau merenungi kesalahanmu di pojokan sana." tunjuk Aisyah dengan mengeluarkan uang lembaran seratus ribuan dari tasnya.
"Setuju!" seru Gwen.
Ia pun pergi berdiri di pojokan sembari mengangkat tangannya. Sementara itu, Rebecca memberikan putrinya yang lelah setelah pulang bekerja dengan secangkir teh hangat.
"Sudah pulang?" tanya Rebecca.
"Iya, Bu. Besok aku cuti, ada acara yang ingin aku kunjungi," jawab Aisyah. "Bentar aku cuci tangan dulu." imbuhnya.
Saat Aisyah berdiri, tak sengaja sebuah amplop terjatuh. Rebecca memungutnya dan membaca isi dari amplop tersebut. Rupanya, tiga hari lagi Aisyah dan beberapa rekan kerjanya ada acara di Thailand dengan beberapa dokter muda di sana.
"Bangkok? Kamu mau ke Bangkok, Syah?" tanya Rebecca menunjukkan kertas tersebut.
Aisyah kembali, dan duduk di samping Ibunya. Menjelaskan bahwa memang dirinya dirujuk ke sana dari puskesmas. "Ini pihak puskesmas, rakanku ada 2 dari pusat. Jadi, memang ini penting. Tapi, kalau Ibu tidak mengizinkan … aku tidak akan pergi." jelasnya.
"Bangkok? Ikut, dong!" seru Gwen mendekat.
Pluk!
Pukulan kecil dilakukan Rebecca menggunakan kertas kecil tersebut dengan lembut di kening Gwen."Kakakmu ke sana akan belajar, kenapa kamu harus ikut?" tanya Rebecca.
"Ya, sekalian gitu. Kak Aisyah belajar, aku jalan-jalan, bukan begitu, Kak?" celetuk Gwen.
"Tidak! Kamu tidak boleh ikut. Yang ada malah merepotkan kakakmu nanti di sana," ujar Rebecca menolak.
"Dih, di sayang aja terus. Anak Mami kan cuma Aisyah aja. Aku mah apa atuh!" kesal Gwen masuk ke kamarnya dengan membanting pintu.
Blam!
Bukan Gwen jika dirinya tak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Rencana apa yang akan Gwen lakukan?"Tapi kamu harus tetap bicarakan ini dengan Ayahmu. Biar Ibu, yang akan menyiapkan semuanya untukmu nanti," tutur Rebecca lembut. "Iya, Bu. Nanti kalau Ayah sudah kembali, aku langsung membicarakan hal ini dengannya. Aku lapar, bisakah Ibu memasak untukku?"
"Tentu saja, apapun untuk putri kesayangan Ibu." Rebecca mencubit pipi Aisyah dan segera pergi ke dapur.
Tak lama setelah itu, Gwen keluar dengan membawa handuk dan memalingkan wajahnya dari Aisyah. Begitulah jika anak kembar saling bertengkar. Mereka akan terlihat lucu, namun hanya sebentar dalam permusuhan.
Setelah mengganti perban di lengannya, Gwen meminta izin kepada Maminya untuk ke restoran menyusul Ayahnya. Gwen memang dekat sekali dengan Yusuf semenjak Yusuf tahu bahwa dirinya adalah putri kandungnya 13 tahun yang lalu."Mau kemana? Rapi amat?" tanya Aisyah sibuk dengan laptopnya."Suka-suka aku lah!" jawab Gwen sinis. "Yang penting aku udah bilang ke Mami, kalau aku mau otw," imbuhnya sambil memakai sepatu milik Aisyah."Sepatu siapa itu?""Nggak tau, nemu!" jawaban Gwen masih ketus."Masih ngambek?" tanya Aisyah mencoba basa-basi.Namun, Gwen hanya diam saja. Sebelum pergi, ia menadahkan tangan lebih dulu kepada Aisyah, tanda jika dir
Persiapan kondangan sudah selesai. Aisyah juga telah membungkus kado untuk pernikahan Ustadz Khalid dengan istrinya. Masih dalam hati yang terluka, Aisyah membungkus kado tersebut dengan melamun."Jangan melamun, nanti bungkusnya jadi jelek. Sini, biarkan aku yang bungkus kado itu!" tegur Feng meminta kado itu dari tangan Aisyah."Hm, jodoh itu tidak ada yang tau, Ko. Siapa yang mendamba, dan siapa yang mendapatkannya," ucap Aisyah dengan helaan napas panjang."Iso nyawang tapi ra iso nduweni. Huft, ngenes ndes. Tresno pancen ra kudu duweni, sista. Sabar, ya." celetuk Gwen menepuk-nepuk pundak Aisyah.(Bisa memandang, tapi tidak bisa memiliki. Cinta memang tidak harus memiliki)Aisyah dan Feng menatap pakaian yang dipakai Gwen pagi
Tiba saatnya dimana Aisyah dan Feng akan berangkat ke Bangkok. Gwen masih bersikap seperti biasa, dengan rencana yang sudah ia siapkan agar bisa menyusul saudarinya ke sana.Mereka sarapan tanpa Rebecca dan Yusuf, sebab keduanya sedang ada acara sejak semalam belum pulang. Namun, Rebecca dan Yusuf sudah memberikan izin kepada putrinya bertugas."Kalian berangkat jam berapa?" tanya Gwen."Mau tau aja urusan orang!" jawaban Aisyah membuat Gwen kesal tentunya. Gwen merasa memang Aisyah sudah tidak menyayanginya lagi, saat Feng ada bersamanya."Dih, nanya baik-baik juga. Kenapa jawabnya gitu? Kalau masih sakit hati sama ustadz Khalid, ya jang--" ucapan Gwen terputus ketika Aisyah menatapnya dengan tatapan tajam."Um, aku berangkat ke k
"Kamu mau apa, sih?" tanya Pak Raza serius."Jawab aja. Kapan terakhir Pak Raza bepergian keluar negri, terus visa-nya masih aktif atau tidak, gitu!" Gwen masih mendesak agar Pak Raza mau menjawab semua pertanyaannya."Huft, Allahu Akbar. Iya, saya jawab nih, ya. Saya terakhir kali ke luar negri lima hati yang lalu, dengan bisa pelancong. Terus, kamu mau apa?" jelas Pak Raza sedikit kesal."Cocok, hari ini kita otw ke Bangkok. Janji aku bakal belajar dengan gajian. Tapi, hari ini, memang kita harus segera berangkat!" seru Gwen dengan mata yang berbinar-binar.Pak Raza terkejut dengan pernyataan itu. Ia berusaha menolak dan menanyakan mengapa Gwen mengajaknya ke luar negri secara mendadak. Tanpa mendengarkan penolakan dan penjelasan dose
Kedatangan Chen bersamaan dengan kedatangan Aisyah dan Feng di Bandara Internasional Suvarnabhumi. Mereka telah tiba di waktu yang sama di ibukota Negara Seribu Pagoda itu. Mereka juga sempat jalan depan belakang keluar dari bandar. Lalu, berpisah kembali karena Aisyah dan Feng sudah dijemput dari dinas kesehatan di sana.Chen merasakan kehadiran saudarinya, jantungnya berdebar kencang, dan air matanya mulai menetes tanpa membendung. "Ada apa denganku? Kenapa jantungku berdebar dengan cepat seperti ini?" gumamnya dalam hati seraya menyentuh dadanya.Tanpa Chen sadari, bahwa adiknya baru saja berdiri dibelakangnya. Ia pun menoleh, namun Aisyah sudah tidak ada lagi di sana. Air matanya juga tiba-tiba menetes tanpa sebab, hatinya juga merasakan kegelisahan yang tidak tahu apa penyebabnya juga."Tuan, mobilnya sudah datang. Mari, kita akan segera bertemu dengan Tuan Wil." ucap Asi
Chen dan Gwen saling menatap, wajah manis Gwen mengingatkan akan seseorang dalam ingatan Chen, setelah beberapa saat, Chen pun menutup kaca mobilnya kembali."Sepertinya … aku pernah melihat gadis itu. Tapi, dimana aku pernah melihatnya?" gumam Chen kembali menatap Gwen.Tak sengaja, ia melihat dirinya dari cermin di kaca depan mobilnya. Kemiripan pada dirinya menyiratkan tanda tanya. Sekilas, mereka sangat mirip, bedanya hanya pada mata mereka.Jika saja Gwen juga memiliki mata berwarna biru, mereke berdua hanya akan dibedakan oleh gender. Keduanya sangat mirip dengan ibunya, Rebecca."Jika dilihat, gadis itu mirip denganku. Hm, aku pernah dengar jika di dunia ini, semua orang memiliki 7 rupa yang hampir mirip meski orangnya berbeda," gumam Chen."Sialan, kupikir dia akan mendatangiku. Ganteng sih, tapi sombong. Eh, mobilnya keren juga,
Masing-masing regu di dampingi oleh perawat maupun dokter dari pribumi agar bisa berkomunikasi meski akan ada perbedaan dalam berbahasa sedikit.Mereka berempat di sambut dengan ramah oleh kepala desa dan seluruh warga. Keadaan desa itu sangat menyeramkan bagi Syamsir yang penakut.Meski menggunakan obor dan listrik hanya ada di gedung besar dan balai desa, tetap saja baginya sangat menakutkan.Jamuan makan malam juga berlangsung khidmat. Mereka mulai bercengkrama dengan baik. Makanan yang disiapkan juga sesuai dengan selera Aisyah, Feng dan juga Syamsir sebagai seorang muslim. Hanya sayuran dan tanpa adanya daging di sana."Jika boleh tau, dokter ini dari mana? Satu negara, atau beda negara?" tanya Mee Noi, anak kepala desa yang baru saja pulang dari Ibu Kota.
Waktunya salat subuh tiba, alarm yang dipasang Feng berbunyi. Ia segera bangun dan ingin mengajak Aisyah untuk salat bersama-sama. Tentunya dengan Syamsir juga."Lah, kamu sudah bangun, Syah?"Feng melihat Aisyah tengah duduk dengan menyelimuti seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Feng jadi ingat, saat mereka kecil, mereka pernah mengunjungi tempat yang angker. Aisyah melihat sesuatu dan pulangnya, ia menjadi demam tinggi.Namun sebelum demam itu menyerang, Aisyah akan menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut terlebih dahulu."Syah, kamu kenapa?" tanya Feng lagi. "Apa kamu melihat penampakan?"Aisyah mengangguk pelan. Meski ketakutan, Aisyah tetap tidak menunjukkan bahwa dirinya tengah takut, ia hanya menutupi seluruh tubuhnya dan